Tuesday, November 25, 2014

YESUS MENDATANGKAN KEBANGKITAN DAN HIDUP (Yohanes 11:25-26)



Bahan Khotbah Minggu, 23 Nopember 2014
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

11:25 Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati,
11:26 dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya. Percayakah engkau akan hal ini?”

Secara umum, kematian dipahami sebagai fase akhir kehidupan yang sangat ditakuti oleh banyak orang, sehingga banyak juga yang mencoba menghindar dari kematian, paling tidak berusaha memperpanjang umurnya. Adakah yang mau mati sekarang? Adakah yang mau hidup? Pilih yang mana, mati atau hidup?

Bagi bangsa-bangsa sejak zaman dulu, termasuk bangsa Israel dan kaum Yahudi, kematian bukanlah sesuatu yang menggembirakan, kadang-kadang diidentikkan sebagai maut, suatu situasi atau kekuatan yang tidak bisa dikendalikan, tidak bisa diatasi oleh manusia. Kadang-kadang pula kematian dikaitkan dengan dosa, sehingga munculnya misalnya ungkapan “upah dosa adalah maut” (Rom. 6:23).

Tentu, kita tahu semua mengapa umat manusia memandang kematian sebagai sesuatu yang cukup menakutkan, dan setiap orang pun pasti memiliki alasan yang membuatnya menghindar dari kematian yang menakutkan itu. Memang, banyak orang – terutama orang-orang percaya – yang mencoba menghibur diri sendiri dengan mengatakan bahwa kematian merupakan jembatan menuju kepada kehidupan kekal, namun toh pada dasarnya manusia menganggap kematian sebagai sesuatu yang “negatif”. Hal inilah juga yang terjadi dengan Maria dan Marta ketika saudara laki-laki mereka Lazarus meninggal dunia (lih. Yoh. 11:1 dab). Mereka malah menyesali bahkan mungkin menyalahkan (manahigö) Yesus karena tidak ada di tengah-tengah mereka ketika Lazarus sakit sehingga saudara mereka itu mati: “Tuhan, sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (lih. Yoh. 11:21, 32).

Pada satu sisi kata-kata penyesalan Marta dan Maria ini menunjukkan betapa orang-orang pada zaman itu (dan hingga zaman sekarang) menganggap kematian sebagai suatu malapetaka besar, sebagai suatu situasi yang sangat tidak menyenangkan. Kita tidak tahu pasti alasan di balik penyesalan atau kesedihan Marta dan Maria atas kematian Lazarus. Alasan umum adalah bahwa mereka merasa kehilangan saudara laki-laki yang pada zaman itu sangat dibutuhkan dalam keluarga. Kehilangan “laki-laki” berarti kehilangan harapan, kehilangan jaminan, kehilangan rasa aman (secure), kehilangan “otoritas” atau kewibawaan keluarga, mungkin juga kehilangan warisan keluarga, kehilangan masa depan dan lain sebagainya. Tentu hal ini ada kaitannya dengan tradisi adat istiadat dan budaya yang berlaku di Israel atau Yahudi. Hal-hal inilah semua yang kemungkinan besar membuat Marta dan Maria sangat sedih atas kematian Lazarus dan kecewa atas ketidakhadiran Yesus di saat-saat mereka membutuhkan-Nya.

Namun, ketidakhadiran Yesus ini menurut penulis Injil Yohanes adalah sebuah kesengajaan Yesus sendiri supaya Allah dan Anak-Nya (Yesus) dipermuliakan (lih. Yoh. 11:6, 4). Dan Yesus membuktikan maksud di balik kesengajaan-Nya ini nanti ketika Dia membangkitkan Lazarus yang telah mati selama 4 (empat) hari itu (Yoh. 11:39, 43-44, 45). Peristiwa menyedihkan “kematian” Lazarus yang diikuti kemudian dan berpuncak pada pembangkitannya oleh Yesus, mendapat perhatian penulis Injil Yohanes, supaya para pembacanya dapat memahami esensi dari kehidupan “Hidup Kekal”. Konsep ini lebih mengarah kepada perubahan mutu kehidupan yang datang melalui persekutuan dengan Kristus.

Pada sisi lain, kata-kata penyesalan Marta dan Maria tadi menegaskan bahwa Yesus mampu mengalahkan kematian yang baru saja dialami oleh saudara mereka Lazarus. Marta sendiri secara tegas mengungkapkan kepercayaannya akan kebangkitan dan hidup itu (Yoh. 11:24, 27). Dan dengan membangkitkan Lazarus, Yesus membuktikan bahwa Dia adalah kebangkitan dan hidup: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (ay. 25-26). Kata-kata dan tindakan Yesus tentang kebangkitan dan hidup ini sebenarnya mengkritik para kaum Saduki yang tidak percaya akan kebangkitan orang mati dan kehidupan sesudah kematian, sekaligus meneguhkan iman kepercayaan sebagian besar orang Israel dan Yahudi sejak zaman PL bahwa memang ada dan kebangkitan orang mati dan kehidupan sesudah kematian itu. Pada saat kematian – menurut kepercayaan mereka – dunia fana dan dunia kekal akan bertemu dan berciuman, dan pada saat itulah mereka melihat Tuhan, melihat kehidupan, bukan kematian. Jadi, melalui kata-kata-Nya ini, dan nanti ditindaklanjuti dengan membangkitkan kembali Lazarus, Yesus menegaskan apa yang sudah ada dalam iman kepercayaan bangsa Israel dan Yahudi, yaitu bahwa kematian bukanlah babak/fase terakhir dari drama atau selingkaran hidup manusia. Doktrin inilah yang (seharusnya) telah mendorong orang-orang Yahudi, mendorong orang-orang percaya di segala zaman dan tempat, untuk mempunyai harapan dan keyakinan akan hidup yang akan datang. Kematian bukanlah akhir segala-galanya, bukanlah akhir segala sesuatu!

Pesan Yesus dalam teks ini sangat tegas; bahwa di balik kematian ada kebangkitan dan hidup, bahwa kematian bukanlah akhir segala-galanya dari kehidupan ini. Gaung pesan ini dapat terus terdengar hingga hari ini, yaitu bahwa kegagalan yang kita alami tidak berarti semua kehidupan kita berakhir sama sekali, naiknya harga BBM tidak serta merta bahwa kita mati kelaparan semua, sebab justru hal itu memberi kita kesempatan untuk hidup sederhana, dlsb. Di tengah himpitan beban hidup yang rasanya seperti membawa kematian, Yesus justru membawa kita kepada kehidupan yang sejati, kehidupan yang kekal.

Teks ini juga merupakan kritik bagi pemahaman yang mengatakan bahwa hidup berakhir pada saat kematian, jadi lakukanlah keinginan hatimu, ikutilah seleramu, nikmatilah nafsu duniamu, hanya selagi hidup engkau menikmatinya, toh semua orang akan mati, dan setelah itu tidak ada lagi. Yesus – oleh penulis Injil Yohanes – justru menegaskan bahwa ada kehidupan setelah kematian, dan karenanya setiap orang tidak boleh dikalahkan oleh segala sesuatu yang mendatangkan kematian, penderitaan, kesedihan, kekecewaan, kengerian, dlsbg, selama hidup ini. Kalau Yesus mendatangkan kehidupan, justru banyak orang sekarang yang secara sadar maupun tidak sadar, sengaja maupun tidak sengaja, menggiring kehidupannya dan bahkan sesamanya kepada kematian, ke arah kehancuran, ke arah kesengsaraan, dll. Banyak orang yang hanya memikirkan dan mengusahakan kebutuhan dan keinginannya sendiri dengan tidak peduli akan kebutuhan orang lain (mis. mobil dinas tanpa memikirkan pembangunan untuk kepentingan masyarakat). Banyak orang yang “mati” terhadap perasaan sesamanya, sehingga memperlakukan orang lain menurut seleranya seolah-olah orang lain itu bukan manusia, bahkan merasa bangga dengan hidup dalam ketidakjujuran, ketidaksetiaan, ketidakbenaran dan ketidakadilan. Banyak yang kehilangan harapan dan pegangan hidup, kehilangan arah dan tujuan hidup sehingga terombang-ambing ke sana ke mari, dan tidak sedikit yang mengambil jalan pintas dengan mendatangkan kerusakan, kehancuran bahkan kematian atas diri sendiri, sesama dan lingkungannya. Bagi mereka Yesus berkata: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya” (11:25-26).

Setiap orang tidak boleh mendatangkan kematian bagi dirinya sendiri, bagi sesamanya, bagi lingkungan kehidupan di mana dia berada, sebab pada akhirnya setiap orang harus mempertanggungjawabkan kehidupan yang telah dijalaninya, apakah lebih mendatangkan kehidupan yang berkualitas, atau justru lebih banyak mendatangkan kematian. Setiap orang dapat merenunginya! Yesus mendatangkan kehidupan kekal, dan kita harus menyambutnya dengan sukacita, dan itulah harapan setiap orang percaya kepada Kristus.



[1] Bahan Khotbah Minggu, 23-11-2014, di Jemaat BNKP Hebron Lölömoyo.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...