Friday, November 10, 2017

BERJAGA-JAGALAH ... BERJAGA-JAGALAH (MATIUS 25:1-13)



Pokok-pokok Pikiran dan Renungan Khotbah Minggu, 12-11-2017

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo



Ada beberapa hal penting yang harus kita tegaskan dalam nas khotbah hari ini:
1.  Teks ini merupakan “perumpamaan” Tuhan Yesus untuk mengajarkan gambaran Kerajaan Surga terhadap murid-murid-Nya (24:3). Yesus memanfaatkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam masyarakat Yahudi sebagai bahan perumpamaan-Nya untuk menggambarkan Kerajaan Surga; jadi Yesus tidak sedang berada di tengah-tengah atau sedang melihat para pelaku yang terlibat dalam perumpamaan ini. Sebagai suatu perumpamaan, maka pesan yang hendak disampaikan tidak terletak pada ayat per ayat, tetapi pada makna cerita secara keseluruhan sebagai satu kesatuan.
2.  Dalam perumpamaan ini Yesus tidak sedang mendiskreditkan atau menyudutkan para perempuan, baik kesepuluh perempuan tersebut maupun mereka yang disebut “bodoh”. Yesus juga tidak sedang menciptakan konflik di antara kedua kelompok perempuan dalam perumpaan ini. Seperti penjelasan sebelumnya, Yesus hanya memanfaatkan situasi sosial yang ada dalam masyarakat Yahudi menjadi bahan pengajaran-Nya untuk menggambarkan Kerajaan Surga. Jadi, teks ini kurang tepat kalau dipakai oleh orang-orang tertentu untuk membahas masalah keadilan atau kesetaraan gender. Yesus tidak sedang membahas isu gender di sini.
3. Perumpamaan ini tidak sedang membicarakan masalah solidaritas atau hidup berbagi. Ada orang Kristen, bahkan ada rohaniawan yang mengatakan teks ini tidak relevan pada zaman sekarang dan tidak perlu diikuti karena secara tidak langsung memberikan contoh lima perempuan yang tidak mau berbagi minyak dengan lima perempuan lainnya. Bisa saja juga ada orang Kristen yang menggunakan perumpamaan ini untuk membenarkan ketidakpeduliaannya terhadap kekurangan atau penderitaan sesamanya, dengan dalih toh lima perempuan bijaksana juga tidak mau membagi minyak mereka kepada lima perempuan bodoh, jadi “ya’ugö ba ya’o ...”.

Semoga ketiga poin penegasan ini dapat menolong kita untuk memahami perumpamaan ini dengan lebih baik.

Kalau begitu, apa yang hendak disampaikan oleh teks ini? Apa pesan yang hendak disampaikan oleh Yesus melalui perumpamaan ini?

Perumpamaan ini, dan dua yang mengikutinya, mengalir langsung dari penutupan pasal24 (wacana terusmelalui pasal 25). Ketiga perumpamaan tersebut menggambarkan krisis yang dipicu oleh Kembalinya Yesus, dan pemisahan yang terjadi pada Penghakiman di manadia memimpin.

Para pembaca Matius tentu tahu bagaimana orang-orang pada zaman itu seringkali terlena atau mabuk dalam berbagai kemewahan (kenikmatan) dunia, termasuk para keturunan Yahudi yang lalai mempersiapkan diri karena memahami “selamat” otomatis karena keturunan Yahudi.

Kita juga sering melihat orang-orang (atau mungkin termasuk di dalamnya) yang sering mengabaikan, menganggap sepele, menganggap remeh sesuatu yang sebenarnya penting. No so nemali ba mbagi nora awena idalidali mbalatunia. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan kita dalam menghadapi berbagai ancaman yang bisa datang setiap saat.

Lalu, siap sedia dan berjaga-jaga seperti apa yang dimaksudkan oleh Yesus dalam menyongsong kedatangan KA? Apa yang harus dilakukan untuk menyambut kedatangan Tuhan yang kedua?
Apakah dengan mengumpulkan harta sebanyak mungkin? Apakah dengan melakukan penimbunan BBM sebelum kenaikan harga, sebelum pengalihan subsidi BBM oleh pemerintah?; Apakah dengan berlomba-lomba membeli tanah untuk kemudian dijual lagi beberapa tahun kemudian dengan harga yang jauh lebih mahal sehingga mendapatkan keuntungan yang besar? Apakah dengan mulai memesan baju Natal sejak sekarang? Apakah hanya berdoa terus? Apakah cukup dengan ikut berbagai program jaminan sosial, jaminan hari tua, dan sejenisnya? Ikut asuransi? Bagaimana pola hidup pada zaman Matius? à terlena dengan hiruk pikuk dunia, terhanyut dalam arus dunia yang penuh dengan glamor.

Berjaga-jaga:
1.    Bijak membaca tanda-tanda zaman, bijak menyikapinya!
2.    Cermat memahami situasi yang terjadi di sekitarnya, dan bijak menyiasatinya!
3.    Bukan aji mumpung, bukan sporadis, tenga modesao, tenga mo’inötö
4.   Para perempuan yang disajikan dalam perumpamaan ini sebenarnya tahu bahwa ada kemungkinan pengantin laki-laki akan datang terlambat, tetapi lima orang mengabaikannya, pura-pura tidak tahu, atau mungkin juga tidak mau tahu! Mereka acuh tak acuh, tidak peduli, mungkin juga terlalu PD, menganggap sepele/remeh (masalah setia dalam perkara kecil, perumpamaan tentang talenta di ayat berikutnya); sedangkan lima orang lainnya menyiapkan diri dengan baik.

Kita berada di kelompok mana?
Selamat meneruskan pokok-pokok pikiran dan renungannya masing-masing

Saturday, November 4, 2017

Lawanlah Ketidakadilan! (Mikha 3:5-12)



Rancangan Khotbah Minggu, 05 November 2017

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

Ketidakadilan, kekerasan, radikalisme dan atau kejahatan semakin merajalela, karena orang-orang baik memilih untuk diam, apalagi kalau disirami dengan teks-teks kitab suci terutama yang berbicara tentang “kasih”, sehingga seolah-olah kata “kasih” berarti membiarkan ketidakadilan atau kejahatan terus terjadi.

Namun, Uskup Agung Desmond Tutu pernah mengatakan, “Jika Anda bersikap netral dalam situasi ketidakadilan, berarti Anda memilih berpihak pada para penindas”. Jadi, sebenarnya lebih baik memilih untuk berbicara menentang ketidakadilan daripada tetap diam. Itulah yang dilakukan oleh nabi Mikha pada zamannya, dia berbicara dengan keras menentang ketidakadilan, walaupun dia harus berhadapan dengan para penguasa dan masyarakat yang tidak setuju dengan kritikannya itu. Kecamannya itulah yang terungkap dalam teks khotbah hari ini (Mikha 3:5-12).

Mikha 3:5-12 ini dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah kecaman yang amat keras terhadap para nabi (ayat 5-8), sedangkan bagian kedua adalah kecaman dan hukuman kepada para penguasa, imam, dan nabi yang telah menindas orang yang tidak bersalah (ayat 9-12).

Pada bagian pertama, Mikha menyampaikan kecaman keras khususnya kepada para nabi yang lebih menyukai orang kaya daripada orang miskin. Orang-orang kaya diperlakukan istimewa, sebab mereka mampu membayar para nabi tersebut. Akibatnya, pesan-pesan yang disampaikan oleh para nabi tersebut selalu menyenangkan hati orang-orang yang mampu membayar tersebut, walaupun sebenarnya mereka telah melakukan ketidakadilan. Jadi, para nabi bayaran itu berbicara hanya untuk menyenangkan orang, dan bukan menyampaikan pesan yang sesungguhnya dari Tuhan.

Praktik kelaliman, ketidakadilan, dan kekerasan di mana-mana, tetapi para nabi dan hakim tidak peduli, seolah-oleh tidak ada masalah, sebab mereka telah dibungkam dengan bayaran yang besar. Para nabi dan para pengambil keputusan dalam masyarakat menyalahgunakan jabatan mereka untuk memenuhi keinginan mereka, sehingga suara kenabian yang sesungguhnya tidak lagi terdengar, dan keadilan tidak lagi berpihak kepada kebenaran yang sesungguhnya. Seharusnya, para nabi itu berbicara menentang ketidakadilan yang terjadi, sayang sekali mereka tidak melakukannya, sebab takut kehilangan popularitas, dan takut kehilangan bayaran. Maka, dengan amat tegas, Mikha memberitahukan akibat yang harus ditanggung oleh para nabi bayaran tersebut di ayat 6-7. Jadi, mereka akan menerima hukuman atas kepalsuan pemberitaan yang mereka sampaikan.

Setelah memberitahukan amarah Tuhan kepada para nabi bayaran itu, Mikha kini menyampaikan kecaman keras kepada para nabi, kepada para penguasa, kepada para imam, dan kepada setiap orang yang hidup dalam ketidakadilan (ayat 9-11). Para penguasa menerima suap dalam pemerintahannya, para imam melaksanakan tugas dengan menuntut bayaran, para nabi menyampaikan pesan-pesan moral demi mendapatkan uang, dan banyak orang yang merasa nyaman atau terbiasa dengan praktik-praktik yang tidak benar itu. Anehnya, mereka melakukan semuanya itu atas nama Tuhan (ay. 11); menjadikan nama Tuhan sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan.[2]Inilah yang dulu pernah dikatakan oleh Eka Darmaputra: “agama diekonomikan”. Namun, Mikha menegaskan bahwa ada akibat yang harus mereka tanggung akibat praktik ketidakadilan dan penyalahgunaan jabatan tersebut, itulah yang terungkap di ayat 12: “Sebab itu oleh karena kamu maka Sion akan dibajak seperti ladang, dan Yerusalem akan menjadi timbunan puing, dan gunung Bait Suci akan menjadi bukit yang berhutan”. Dalam sejarahnya, Yerusalem dan Bait Sucinya itu memang dihancurkan pada zaman Yeremia, zaman setelah Mikha, hingga banyak penduduknya yang dibuang ke Babel.

Apa arti semua ini bagi kita? Seperti yang diharapkan oleh Desmond Tutu tadi, bahwa kita tidak boleh bersikap netral ketika berhadapan dengan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Itulah yang dilakukan nabi Mikha. Dia memilih untuk mengadvokasi orang-orang yang menderita karena ketidakadilan dan penyalahgunaan jabatan oleh para nabi, para penguasa, dan para imam. Mikha memilih untuk mengkritik orang-orang yang berbuat salah, terutama mereka yang menyebabkan penderitaan atau kesulitan atas orang lain. Jadi, berbicara lebih baik daripada diam.

Kita tahu bersama pada pada zaman sekarang, ada para pemimpin, pejabat, termasuk pengurus kehidupan keagamaan, menyalahgunakan kekuasaan atau jabatan mereka untuk kepentingan mereka sendiri, dan ironisnya mereka melakukan itu atas nama Tuhan. Hukum diperjualbelikan, sehingga muncul istilah “tajam ke bawah tumpul ke atas”. Hakim dapat dibeli, bahkan penyusunan UU pun bisa dipesan oleh pihak-pihak tertentu.

Di Indonesia, korupsi menjadi masalah yang amat kronis, bahkan lembaga keagamaan pun, termasuk gereja, menjadi lahan korupsi, paling tidak menjadi semacam “tempat pencucian uang”. Namun, ada yang menarik, korupsi di Indonesia itu seperti hantu/jin, antara ada dan tiada. Kita tahu bahwa seseorang itu korupsi, tetapi sulit untuk membuktikannya, bahkan KPK saja yang memiliki peralatan canggih dan akses yang luas untuk mendeteksi kasus korupsi, beberapa kali kalah di pengadilan. Ke manakah keadilan itu? Mungkin, karena sinetron-sinetron di Indonesia banyak bertemakan hantu/jin, pemburu setan, dll, sehingga banyak masyarakatnya pun yang kesetanan.

Kita pun seringkali menyalahgunakan jabatan, posisi, relasi, fisik (cantik, cakep, dll) untuk memenuhi keinginan kita. Saya pernah menikmati ketidakadilan itu. Suatu hari saya ke sebuah rumah sakit, saya datang sekitar jam 11 menjelang siang. Di ruang tunggu sudah ada banyak pasien yang telah menunggu sejak pagi, bahkan ada yang harus berangkat jam 5 pagi dari rumahnya di kampung. Sekitar 5 menit nama saya dipanggil. Saya terkejut dan gembira juga, cepat kan? Ternyata, petugas kesehatan itu adalah teman saya waktu SMA, sehingga dia mendahulukan memanggil saya, dengan demikian urusan saya cepat selesai. Memang, bukan saya yang meminta untuk diperlakukan istimewa, tetapi bagi saya itu adalah contoh ketidakadilan. Kalau ada di antara bapak/ibu/sdr memiliki pengalaman diistimewakan dengan mengorbankan orang lain, atau mengabaikan prinsip-prinsip keadilan, bertobatlah! Tidak perlu membela diri di hadapan Tuhan, kita pun tidak bisa bersembunyi dari hadapan-Nya. Sebab, sehebat apa pun cara manusia menyembunyikan pelanggarannya, bahkan lebih hebat dari hantu/jin, yakinlah bahwa Tuhan tahu semuanya.



[1] Khotbah Minggu, 05-11-2017 di BNKP Jemaat Jakarta
[2] Di Indonesia agama seringkali dijadikan komoditas ekonomi dan politik.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...