Saturday, September 30, 2017

Tunduk di bawah Otoritas Allah dengan Percaya dan Melakukan Kehendak-Nya (Matius 21:23-32)



Bahan Khotbah Minggu, 1 Oktober 2017

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

Konteks dari cerita ini adalah bahwa imam-imam kepala dan tua-tuaYahudi marah kepada Yesus karena tindakan kenabiannya dalam membersihkan Bait Allah (Mat. 21:12-13). Jadi mereka bertanya tentang otoritas. Sumber pertanyaan mereka adalah bahwa Yesus menurut mereka tidak memiliki kewenangan resmi (otoritas), dan itulah maksud dari pertanyaan mereka: “Dengan kuasa manakah Engkaumelakukan hal-hal ini?”

Pertanyaan mereka ini merupakan semacam jebakan “batman”. Seperti pertanyaan mereka kemudian tentang membayar pajak kepada kaisar (Mat. 22:15, dab), mereka mencoba menggiring Yesus dalam kesulitan. Perhatikanlah pertanyaan mereka yang sangat menjebak itu: “Guru, kami tahu, Engkau adalah seorang yang jujur dan dengan jujur mengajar jalan Allah dan Engkau tidak takut kepada siapapun juga, sebab Engkau tidak mencari muka. Katakanlah kepada kami pendapat-Mu: Apakah diperbolehkan membayar pajak kepada Kaisar atau tidak?” (Mat. 22:16-17). Jika Yesus berkata, “dari Allah,” maka Ia akan dituduh telah menghujat Allah, sebaliknya jika Ia mengatakan, “dari manusia,” maka Ia dianggap sebagai musuh pemerintah (kaisar) dan malah orang banyak akan mencemooh dia. Sungguh dilematis! Pertanyaan mereka merupakan respon terhadap tindakan Yesus di Bait Allah yang sangat kritis terhadap imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi yang mengelola kompleks bait suci.

Sehubungan dengan pertanyaan mereka akan otoritas Yesus dalam teks renungan kita pada hari ini, Yesus
menanggapi imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi tersebut dengan kembali mengajukan pertanyaan kepada mereka: “Dari manakah baptisan Yohanes? Dari surga atau dari manusia?” Mereka mati kutu! Mereka pura-pura tidak tahu, pura-pura bodoh, sebab orang banyak percaya bahwa otoritas Yohanes datang dari Allah, namun mereka sendiri tidak mau mengakuinya (Mat. 21:25b-26). Implikasi dari pertanyaan Yesus ini sebenarnya adalah sebuah pemberitahuan tersirat bahwa otoritas Yesus itu berasal dari Allah (sama seperti Yohanes Pembaptis). Tetapi Yesus tidak ingin mengatakan hal itu secara langsung karena mereka akan dengan mudah mendakwa-Nya sebagai penghujat Allah, penista agama Yahudi.

Sayang sekali, para pemimpin Yahudi, yang notabenenya orang-orang pilihan Allah, justru tidak percaya kepada Yesus (dan Yohanes) yang keduanya berasal dari Allah. Jadi, mereka seolah-olah takut akan Tuhan, namun dalam faktanya mereka tidak mau melakukan kehendak Tuhan. Itulah yang digambarkan oleh Yesus melalui perumpamaan tentang dua orang anak dalam teks ini (ay. 28-32). Jelas sekali dalam perumpamaan ini bahwa imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi itu sama seperti anak pertama yang sepertinya melakukan kehendak ayahnyatetapi kemudian tidak. Sebaliknya, para pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal (pelacur) ibarat anak kedua, yang pada awalnya melawan perintah ayahnya, tetapi kemudian mereka melakukannya.Tanpa rasa malu, para pemimpin Yahudi itu mengakui bahwa anak yang kedualah yang melakukan kehendak ayahnya, dan itulah para pemungut cukai dan perempuan sundal yang pada waktu itu dianggap orang paling berdosa. Sebaliknya, para pemimpin Yahudi yang selalu menganggap diri saleh dan umat pilihan Allah, justru menunjukkan pemberontakan mereka kepada Allah dengan tidak melakukan kehendak-Nya.

Cerita tentang perdebatan Yesus dengan para imam kepala dan tua-tua Yahudi dan diteruskan dengan perumpamaan tentang dua orang anak dalam teks khotbah hari ini hendak memberikan kita gambaran bagaimana orang-orang di sepanjang zaman seringkali terjebak dalam pola hidup ber-iman yang sifatnya lahiriah, dan mengabaikan tindakan nyata dari kehidupan ber-imannya itu. Banyak orang Kristen zaman sekarang yang secara lahiriah dapat disebut sebagai orang beriman atau orang yang percaya kepada Kristus, tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak mencerminkan pola hidup ber-iman; bahkan tidak sedikit orang Kristen, termasuk para pemuka/tokoh, yang justru menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Suatu keanehan misalnya seorang ayah melarang anaknya merokok dengan alasan “tidak sehat atau tidak baik” sementara sang ayah sendiri adalah perokok, namun membela diri dengan mengatakan “orangtua tidak apa-apa”. Keanehan seperti ini pada satu sisi mencerminkan ketidakmampuan sang ayah memberikan teladan bagi anaknya, sekaligus memberikan pelajaran tersirat kepada sang anak bahwa “melakukan sesuatu yang tidak sehat atau tidak baik itu tidak apa-apa kalau sudah menjadi orangtua”. Tentu kita sudah bisa membayangkan seperti apa anak tersebut ketika dia menjadi dewasa atau orangtua kelak.

Suatu keanehan juga misalnya kalau para pelayan gereja selalu memberitakan kebaikan kepada jemaat, tetapi dirinya sendiri tidak melakukan kebaikan yang diberitakannya itu. Suatu keanehan juga kalau kita mengaku sebagai orang Kristen yang mengagung-agungkan kasih kepada Allah dan sesama, tetapi dalam kehidupan nyata kadang-kadang memeras dan mempersulit sesama. Aneh juga kalau ada orang sangat kritis terhadap sesamanya, misalnya terhadap pelayan gereja, tetapi ketika dirinya sendiri menjadi pelayan, tingkah laku dan pelayanannya juga malah lebih buruk dari pendahulunya. Sedih rasanya melihat banyaknya orang Kristen yang mengaku percaya kepada Tuhan, terutama ketika ada masalah, tetapi kemudian akan berpaling pada kehendak hatinya sendiri setelah masalah terselesaikan.

Saya yakin bahwa kita mengakui bahwa Yesus memiliki otoritas ilahi atas segala sesuatu. Tetapi, pengakuan itu tidak cukup! Mengakui otoritas Yesus berarti percaya kepada-Nya sekaligus melakukan kehendak Bapa yang mengutus Dia. Tema perayaan Misi dan Reformasi tahun ini di BNKP adalah “Diselamatkan oleh Kasih Karunia Tuhan” (bnd. Rom. 3:24; 5:1; Ef. 2:8). Tema ini hendak mengingatkan kita bahwa siapa pun kita, jabatan apa pun yang kita duduki saat ini, pekerjaan apa pun dan sehebat apa pun usaha atau karir kita, semuanya diselamatkan hanya oleh kasih karunia. Keselamatan itu tidak dapat dibeli dengan harta, tidak dapat dibarter dengan apa pun juga, tidak bisa dinego dengan jabatan/pekerjaan apa pun, tidak ada lobi-lobi politik dengannya. Keselamatan adalah murni kasih karunia Tuhan, istilah Martin Luther “Sola Gratia”. Orang-orang yang telah menerima dan merasakan kasih karunia Tuhan tentu dapat menundukkan dirinya di bawah otoritas Allah, dan itu terlihat dari iman dan tindakannya setiap hari. Kalau tidak, maka dia “ibarat kacang, lupa akan kulitnya”, tidak tahu berterima kasih, tidak mensyukuri kehidupan yang telah dianugerahkan oleh Tuhan kepadanya.



[1]Bahan Khotbah Minggu Perayaan Misi dan Reformasi BNKP Jemaat Bogor Resort 45, tanggal 01 Oktober 2017, oleh Pdt. Alokasih Gulo.

Saturday, September 9, 2017

Mengapa Memilih Kematian kalau Ada Kehidupan? (Yehezkiel 33:7-11)



Rancangan Khotbah Minggu, 10 September 2017

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]
 
Pembuangan yang dialami oleh bangsa Yehuda keBabel disebabkan oleh dosa-dosa mereka, dan mengakibatkan mereka “kehilangan status kemerdekaan apalagi sebagai umat TUHAN, sebab di pembuangan mereka tinggal menjadi bagian dari provinsi Babilonia di sebelah utara. Selain itu, sebagian kaum buangan ini kadang-kadang dikerahkan untuk kerja rodi pada bangunan-bangunan besar yang ditangani raja Nebukadnezar.

Selama masa pembuangan orang-orang Yehuda memang diperbolehkan untuk meneruskan kebiasaan hidup masyarakatnya, tetapi sesungguhnyamereka menghadapi suatu zaman yang penuh kesukaran. Mereka tidak dapatmenyembah Tuhan sebagaimana di Yerusalem sebelumnya, dan lama kelamaan ada yang mengikuti kultus dalam agama Babel dengan segala daya tarik upacara keagamaannya itu. Daya tarik inilah yang dari waktu ke waktu semakin menggoda dan menggoncangkan keyakinan bangsa Yehuda.

Di tengah kehidupan bangsa Yehuda tersebut, Allah memanggil Yehezkiel untuk menjadi penjaga umat-Nya itu (lih. Juga Yeh. 3:16-21).Di sini Yehezkiel bernubuat tentang kehancuran Yerusalem dan bait Allah, dan nubuatannya ini ditujukan bagi bangsa Yehuda yang ada di pembuangan.

Istilah penjaga sebenarnya memiliki arti yang luas. Istilah ini dapat berarti orang yang bertugas untuk menjaga maupun orang yang meninjau seperti mata-mata atau pengintai dan terus-menerus memperhatikan atau mengamati sesuatu. Pada zaman Alkitab suatu ‘kota’ lazimnya memiliki tembok yang sekaligus berperan dalam segi pertahanan suatu kota itu, sehingga kota tersebut kadang-kadang disebut “kota berkubu” atau “kota bertembok”. Dalam kota berkubu tersebut biasanya terdapat menara penjaga yang dibuat lebih tinggi dalam sebuah benteng pertahanan. Menara penjaga disebut juga menara sudut yang merupakan bagian dari suatu tembok tempat menembak ke luar. Pada masa itu, seorang penjaga biasanya berdiri dan berjaga-jaga tanpa pernah tertidur di atas menara penjaga. Dari atas menara tersebut penjaga melihat kedatangan orang atau kelompok orang yang berkunjung dari jarak yang jauh dan ia harus memberitahukan apa yang dilihatnya (Yesaya 21:6). Bentuk peringatan yang disampaikan dapat berupa suara sangkakala (Yehezkiel 33:3), maupun seruan (2 Samuel 18:25). Penjaga inilah yang bertanggung jawab memberitahukan atau memperingatkan orang-orang di kota tersebut kalau ada orang yang menuju ke dalam kota mereka, terlebih-lebih kalau yang datang itu adalah musuh. Pekerjaan inilah yang diberikan oleh Allah kepada Yehezkiel, tetapi bukan dalam pengertian harafiah. Dia dipanggil oleh Allah menjadi penjaga yang mempunyai tugas memberitahukan dan atau memperingatkan bangsa Israel mengenai sesuatu firman dari Tuhan. Dalam konteks ini Yehezkiel berperan untuk menyampaikan apapun yang didengarnyadari Tuhan kepada bangsa Yehuda sebagai suatu peringatan. Peringatannya disampaikan kepada seluruh umat di pembuangan.

Panggilan Yehezkiel sebagai penjaga menunjukkan bahwa ia mempunyai peran untuk menjaga kehidupan bangsanya dari berbagai ancaman. Ancaman besar bagi bangsa Yehuda pada masa itu adalah agama Babel yang mempunyai daya tarik tersendiri bagi bangsa Yehuda untuk ikut terlibat dalam upacara-upacara keagamaan. Kehidupan sebagai kaum buangan pasca hancurnya Yerusalem dan bait Allah sebagai identitas mereka mengakibatkan bangsa Yehuda mengalami krisis dalam kehidupan religius sehingga mereka kehilangan harapan terhadap masa depan bangsa mereka. Kehilangan harapan dan atau keputusasaan umat Tuhan itu terungkap di ayat 10. Ayat 10 ini menggambarkan keputusasaan umat Tuhan atas keberdosaan mereka, tiada lagi harapan. Mereka sadar bahwa pembuangan ke Babel merupakan akibat dari dosa-dosa mereka, sayang sekali mereka merasa jatuh sekali (feeling down), sehingga mereka berpikir bahwa tidak mungkin lagi mereka mendapatkan kehidupan. Dalam situasi seperti ini, Yehezkiel diutus agar dapat mempertahankan kehidupan mereka sebagai umat pilihan Allah yang tetap setia kepada-Nya dari ancaman kehidupan sosial bangsa Babel, terutama agama Babel.

Di ayat 11 Tuhan menegaskan bahwa dosa mereka itu bukan akhir dari segala-galanya; benar bahwa Tuhan menghukum setiap orang yang berbuat dosa, tetapi Dia sebenarnya menghendaki kehidupan/keselamatan bagi umat-Nya, sehingga Dia memberi kesempatan kepada mereka untuk bertobat. Itulah berita yang harus disampaikan oleh Yehezkiel sebagai penjaga umat Israel. Artinya, kesadaran akan keberdosaan seharusnya membimbing umat Tuhan kepada pertobatan dan kehidupan, bukan keputusasaan. Di sinilah penjaga umat Tuhan (dhi Yehezkiel) bekerja untuk memberi tanda peringatan dan memberitahu bahaya yang akan datang. Mengapa memilih kematian kalau ada kehidupan? Memilih kehidupan berarti bertobat.

Ada beberapa pesan penting kepada kita dalam teks khotbah pada hari ini:
1.     Bahwa Tuhan memberi kita kesempatan untuk memilih kehidupan, dan bukan kematian. Oleh karena itu, Tuhan berseru kepada kita: “Bertobatlah, bertobatlah dari hidupmu yang jahat itu!” Jadi, memilih kehidupan berarti berbalik ke jalan-jalan Tuhan;
2.  Bahwa apa pun kondisi kita saat ini, sudah terlalu jatuh ke dalam kubangan dosa misalnya, selagi ada kesempatan, itu bukan akhir dari segala-galanya. Kasih Allah jauh lebih besar dari kebobrokan kita, dan kasih Allah itu diberikan-Nya kepada kita supaya kita kembali ke jalan yang benar;
3.  Bahwa ketika “para penjaga” umat Tuhan memperingatkan kita akan bahaya yang mungkin saja muncul, kita harus mendengarkannya. Bayangkan misalnya kalau kita mengendarai motor/mobil, dan kita tidak memperhatikan rambu-rambu lalulintas, bahkan tidak mendengarkan peringatan dari para petugas, maka kita akan jatuh ke dalam kecelakaan. Jadi, peringatan-peringatan atau teguran-teguran dari Tuhan yang disampaikan oleh hamba-hamba-Nya sebenarnya adalah untuk kebaikan kita juga, sekali-kali bukan untuk kematian;
4.  Bahwa para penjaga umat Tuhan harus melaksanakan tugasnya dengan amat baik, tanggung jawabnya amat besar, dan konsekuensinya pun tidak main-main: “nyawa” sendiri. Karenanya, para penjaga mesti melaksanakan tugas ini dengan baik dan benar, jangan sampai mencelakai orang-orang yang dijaga itu, seperti sebuah ungkapan: “pagar makan tanaman”.

Akhirnya, marilah kita bangkit kembali, bangkit berjalan di jalan yang benar; dan marilah kita saling mengingatkan supaya tidak ada di antara kita yang jatuh terlalu dalam ke jurang dosa.

[1] Khotbah Minggu, 10-09-2017, di GKPI Jatinegara, Jakarta Timur

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...