Sunday, February 22, 2015

MENCARI TUHAN DI SAAT-SAAT SULIT (Mazmur 25:1-10)



Khotbah Minggu, 22 Pebruari 2015
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]


25:1   Dari Daud. Kepada-Mu, ya TUHAN, kuangkat jiwaku;
25:2   Allahku, kepada-Mu aku percaya; janganlah kiranya aku mendapat malu; janganlah musuh-musuhku beria-ria atas aku.
25:3   Ya, semua orang yang menantikan Engkau takkan mendapat malu; yang mendapat malu ialah mereka yang berbuat khianat dengan tidak ada alasannya.
25:4   Beritahukanlah jalan-jalan-Mu kepadaku, ya TUHAN, tunjukkanlah itu kepadaku.
25:5   Bawalah aku berjalan dalam kebenaran-Mu dan ajarlah aku, sebab Engkaulah Allah yang menyelamatkan aku, Engkau kunanti-nantikan sepanjang hari.
25:6   Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala.
25:7   Dosa-dosaku pada waktu muda dan pelanggaran-pelanggaranku janganlah Kauingat, tetapi ingatlah kepadaku sesuai dengan kasih setia-Mu, oleh karena kebaikan-Mu, ya TUHAN.
25:8   TUHAN itu baik dan benar; sebab itu Ia menunjukkan jalan kepada orang yang sesat.
25:9   Ia membimbing orang-orang yang rendah hati menurut hukum, dan Ia mengajarkan jalan-Nya kepada orang-orang yang rendah hati.
25:10 Segala jalan TUHAN adalah kasih setia dan kebenaran bagi orang yang berpegang pada perjanjian-Nya dan peringatan-peringatan-Nya.

Saudara/i yang dikasihi Tuhan, pernahkah kita berada dalam situasi yang sulit? Kalau pernah, karena apa? Adakah di antara kita yang merasa senang berada terus menerus dalam situasi sulit? Atau, adakah di antara kita yang berdoa kepada Tuhan supaya diberi kesulitan hidup? Apa yang biasanya kita lakukan ketika berada dalam situasi yang sulit? Apa yang harus kita perbuat ketika nampaknya tidak ada jalan keluar dari persoalan yang kita hadapi?

Saudara/i, saya tidak meminta kita untuk menjawab seluruh pertanyaan tadi saat ini; saya hanya mengajak kita untuk menyadari dan mengakui bahwa sebagai manusia, kita pasti pernah mengalami kesulitan karena berbagai alasan, dan kita mau segera bebas dari kesulitan itu, serta berupaya semaksimal mungkin (halal atau haram) untuk terbebas dari situasi yang menyulitkan itu.

Situasi sulit yang pernah dan sering kita alami itu juga dialami oleh raja besar Israel, yaitu Daud. Situasi sulit itu diungkapkan oleh Daud dalam mazmurnya di pasal 25 ini, bahkan dia sekaligus mengungkapkan sumber kesulitannya itu, dan apa yang harus dia lakukan dalam situasi tersebut.

Pertama-tama Daud “curhat” kepada Tuhan bahwa dia sedang berada dalam situasi sulit, keadaan yang bisa saja membawa dia dalam situasi terburuk dalam hidupnya. Dengan penuh kejujuran, Daud menyadari bahwa situasi sulitnya itu terutama disebabkan oleh tindakannya sejak masa mudanya yang tidak terlepas dari dosa dan pelanggaran (lih. ay. 7, 8, 11). Kita memang tidak tahu pasti situasi apa yang sedang mempengaruhi teks ini, namun ayat 7 mengindikasikan suatu situasi ketika Daud masih muda, yaitu ketika dia berbuat dosa dan melakukan pelanggaran tertentu. Alkitab mencatat beberapa dosa, kesalahan, atau pelanggaran Daud, tetapi kalau dikaitkan dengan usia mudanya maka yang lebih memungkinkan adalah dosanya ketika “berzinah” dengan Betseba sekaligus membunuh suami Betseba tersebut dengan pedang musuhnya.

Berikutnya, Daud mengekspresikan perasaan-perasaannya berada dalam situasi sulit itu, yakni: rasa bersalah, tidak nyaman, tidak tenteram, rasa malu, merasa terpojok/terhina karena musuh beria-ria, kebingunan, merasa sengsara, menderita dan tersesak (ay. 17), merasa sulit luar biasa, kesulitan yang menakutkan.

Saudara/i yang dikasihi Tuhan, rasa bersalah Daud yang cukup menyakitkan bahkan aneka perasaan lainnya tercermin dalam teks ini. Di ayat 8 dia menganggap dirinya sebagai orang yang sesat. Di ayat 11 dia kembali berseru, “Oleh karena nama-Mu, ya TUHAN, ampunilah kesalahanku, sebab besar kesalahan itu”. Dan di ayat 18, dia kembali memohon kepada Tuhan “Tiliklah sengsaraku dan kesukaranku, dan ampunilah segala dosaku”. Sekali lagi, Daud menyadari bahwa situasi sulit yang dihadapinya itu ada hubungannya dengan dosa, kesalahan, pelanggaran, kebodohan, dan atau kekurangannya sejak masa muda; dan dia merasa tidak nyaman dengan situasi itu, namun seluruh keluh kesahnya, seluruh kegelisahannya, seluruh kegalauannya tersebut dicurahkan sepenuhnya hanya kepada Tuhan. Situasi sulit, entah karena apa, justru telah mendorong Daud untuk mencari Tuhan, mencari hikmat-Nya, dan bukan mencari yang lain. Mencari Tuhan dalam situasi sulit, di saat-saat memprihatinkan. Luar biasa!

Seperti telah kita catat tadi, walaupun menyakitkan, Daud tetap mengakui dosa-dosanya, tidak hanya dosa-dosa saat ini, tetapi juga dosa-dosa pada masa mudanya. Dia tidak menganggap enteng dosa-dosanya dengan berkata: “Ah, dosaku tidak seberapa, saya masih anak-anak waktu itu, belum disidikan”. Dia juga tidak membandingkan dirinya dengan musuh-musuhnya dengan berkata misalnya, “Saya memang bersalah, tetapi dosa-dosa mereka juga jauh lebih banyak daripada saya, jadi yawara mofönu sibai Lowalangi khögu ba da’ö sa’ae”. Intinya, Daud tidak mencari-cari alasan untuk membela kesalahannya, tidak mencari kambing hitam atas dosa-dosa yang diperbuatnya; dia mengakui dosa-dosanya itu, dan memohon pengampunan Tuhan. Daud tahu bahwa Tuhan adalah Mahapengasih dan penyayang, kasih setia-Nya tidak berkesudahan. Jadi, langkah penting yang harus dilakukan untuk mencari Tuhan pada saat-saat sulit adalah memeriksa hati dan mengakui dosa-dosa kita, serta bersandar hanya pada anugerah Tuhan.

Saudara/i yang terkasih, kembali ke pertanyaan saya di awal khotbah tadi, pernahkah kita berada dalam situasi sulit? Saya yakin, kita semua menjawabnya: “pernah”. Mengapa? Ada banyak alasannya! Dan ternyata menjadi orang Kristen, menjadi hamba Tuhan, bahkan menjadi orang yang dekat dengan Tuhan, tidak memberikan jaminan bahwa kita terbebas dari situasi sulit. Tentu, kesulitan yang kita alami berbeda-beda jenisnya, berbeda-beda dosisnya, dan berbeda-beda penyebabnya; tidak tertutup kemungkinan bahwa situasi sulit kita tercipta karena dosa, kesalahan, pelanggaran, kelalaian, atau pun tindakan-tindakan bodoh yang kita lakukan. Saya juga yakin bahwa tidak ada seorang pun di antara kita pada hari ini yang merasa nyaman dan tenteram dengan dosa-dosanya ..., kita tentu mau mendapatkan pengampunan, rasa damai karena terbebas dari belenggu dosa. Tidak ada seorang pun di antara kita hari ini yang mau hidup terus menerus dalam kesulitan, itulah sebabnya segala upaya kita mau lakukan agar kesulitan itu sebisa mungkin menjauh dari kita. Dan, hari ini, kita belajar dari pengalaman dan mazmur Daud, bahwa “sesulit apa pun situasi kita, sebesar apa pun dosa-dosa kita, Tuhan pasti mampu melepaskan kita dari kesulitan itu, pasti mau mengampuni dosa-dosa kita, semuaya demi kemuliaan-Nya dan kebaikan kita. Tuhan di atas segalanya, kasih-Nya melebihi kesulitan dan dosa-dosa kita. Dia mau menunjukkan kasih setia-Nya itu, agar kita juga berjalan dalam terang kasih-Nya, berjalan di langkah-langkah Tuhan saja”.  

Karena itu, dengan penuh kerendahan hati, mari kita datang kepada Tuhan, curhat kepada-Nya, ungkapkan semua kesulitan yang sedang kita alami, akui dosa/kesalahan/pelanggaran/kelalaian/tindakan bodoh kita ..., dan percayalah Tuhan tidak akan membuat kita malu, tidak akan membiarkan musuh-musuh bersuka cita atas situasi sulit itu itu. Tuhan pasti menolong dan bahkan membawa kita ke jalan-Nya, jalan kebenaran dan kehidupan.


[1] Bahan khotbah Minggu, 22 Pebruari 2015, Jemaat BNKP Hebron Lölömoyo, Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

Sunday, February 15, 2015

Terbuka dan Tertutup bagi Manusia (2 Korintus 4:3-6)



Bahan Khotbah Minggu, 15 Pebruari 2015
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

4:3  Jika Injil yang kami beritakan masih tertutup juga, maka ia tertutup untuk mereka, yang akan binasa,
4:4  yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini, sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah.
4:5  Sebab bukan diri kami yang kami beritakan, tetapi Yesus Kristus sebagai Tuhan, dan diri kami sebagai hambamu karena kehendak Yesus.
4:6  Sebab Allah yang telah berfirman: “Dari dalam gelap akan terbit terang!”, Ia juga yang membuat terang-Nya bercahaya di dalam hati kita, supaya kita beroleh terang dari pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus.

Tidak semua yang baik dan benar dapat diterima dengan baik oleh setiap orang; nasihat orangtua misalnya, belum tentu diterima dengan baik oleh anak-anaknya; petunjuk guru/dosen, belum tentu diikuti dengan baik oleh siswa/mahasiswanya; arahan pimpinan, belum tentu dilakukan dengan tulus oleh bawahan; pemberitaan firman Tuhan oleh para pelayan, belum tentu direnungkan dengan baik oleh semua warga jemaat.

Fenomena seperti ini juga terjadi kepada Paulus, rasul Kristus yang mendirikan dan memberitakan Injil di Korintus. Setelah dia merasa bahwa jemaat itu sudah mandiri, dia pun meninggalkan mereka dan mendatangi daerah-daerah lain untuk memberitakan Injil. Sayang sekali, tidak semua orang di jemaat Korintus itu menerima dengan baik pengajaran Paulus, tidak semua merenungkan dengan baik Injil Kristus itu. Hal ini terlihat ketika Paulus sudah pergi ke daerah lain, jemaat Korintus yang ditinggalkannya itu mengalami semacam kekacauan. Di sekitar dan di tengah-tengah jemaat muncul sejumlah pengacau Yahudi, yang memprovokasi jemaat untuk melawan Paulus (2 Kor. 11:22-23). Para provokator itu ternyata berhasil, dan hal ini terdengar oleh Paulus yang pada saat itu sedang berada di Efesus. Mendengar itu, Paulus berangkat dari Efesus ke Korintus (2 Kor. 2:1; 12:14; 13:1), tetapi dia tidak diterima dengan baik oleh jemaat, malah ada di antara mereka yang menghina dia (2 Kor. 2:5; 7:12). Dan orang-orang Korintus memang terkenal sebagai orang-orang yang rewel dan keras kepala.

Kerasulannya dipertanyakan bahkan tidak diakui oleh orang-orang atau pihak-pihak yang memiliki agenda tersembunyi di balik kritikan mereka tersebut. Bahkan, lebih keras dan lebih kasar lagi, Paulus malah dituduh dan diserang secara membabi buta oleh orang-orang dan pihak-pihak tertentu dalam jemaat Korintus atas pemberitaan Injil yang telah dilakukannya. Ada banyak alasan yang mereka sampaikan untuk menentang Paulus, namun sumber utama dari semua permusuhan yang mereka bangun adalah bahwa pemberitaan Injil oleh Paulus telah mengganggu kepentingan dan hasrat duniawi mereka.

Lalu, apakah serangan terhadap kerasulan Paulus itu menyurutkan semangat dan langkahnya dalam pemberitaan Injil Kristus? Apakah serangan membabi buta itu dijadikan alasan oleh Paulus untuk berhenti memberitakan kabar baik, firman Tuhan itu? Tidak! Lalu apa yang dilakukan Paulus menanggapi serangan itu? Berdiam diri saja, menggerutu, atau malah berdoa saja? Tidak juga!

Walaupun sedikit emosional dan kecewa dengan mengirim surat yang bernada tegas dan keras, Paulus berusaha menangkis serangan-serangan para provokator itu dengan berdasar pada kebenaran firman Tuhan, dan bukan pada keinginan sendiri seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang memusuhinya itu. Dalam teks seputar khotbah hari ini, Paulus mengawali pembelaannya itu dengan menegaskan bahwa pelayanan yang dia lakukan itu berasal dari Allah sendiri (4:1), dan karena Allah adalah sumber pelayanannya, maka dia tidak tawar hati apa pun yang terjadi. Paulus mengaku bahwa segala pelayanan yang telah dilakukannya itu adalah demi kemuliaan Allah dan bukan kemuliaan manusia. Kristus yang telah menang, yang telah membawa suatu perjanjian dari Roh yang bukan karena usaha manusia, telah mendorong Paulus untuk memberitakan firman, dengan suatu harapan akan harta yang berlimpah-limpah di dalam Yesus Kristus (4:7-12).

Baiklah, Paulus yakin penuh pelayanan yang dilakukannya itu bersumber dari Allah dan ditujukan untuk kemuliaan-Nya. Dapat juga dipastikan bahwa buah dari pelayanan dimaksud, yaitu berita Injil, mendatangkan sukacita keselamatan bagi mereka yang dengan tulus percaya kepada Kristus dan mau dengan rendah hati menerima serta melaksanakan pengajaran Injil Kristus itu. Sekarang, bagaimana dengan mereka yang masih rewel, keras kepala, dan malah menjadi provokator di tengah-tengah jemaat?

Paulus, dengan tegas, mengatakan bahwa walaupun Injil itu pada prinsipnya terbuka bagi semua bangsa, baik bangsa Yahudi maupun non-Yahudi, namun bisa saja Injil dimaksud menjadi “tertutup” bagi mereka yang akan binasa (4:3). Kata “tertutup” di sini cukup menarik, karena seolah-olah Injil itu tidak diberitakan dalam situasi dan kepada orang-orang tertentu. Di beberapa bagian lain dalam PB, pemakaian kata “tertutup” ini secara umum dipahami dengan istilah “tersembunyi, disembunyikan”. Lalu, apa maksudnya Injil menjadi “tertutup” atau “tersembunyi”? Apakah Injil tidak lagi diberitakan di tempat terbuka? Tidak diberitakan kepada mereka yang jahat itu? Bukan! Paulus hendak menegaskan bahwa sekalipun Injil itu pada dasarnya menjadi berita keselamatan, berita sukacita, berita terang dalam kegelapan, dan sumber berkat bagi para pendengarnya, tetapi bisa saja tidak dinikmati karena tidak semua orang menerima dengan hati yang baik, menerima dengan penuh kerendahan hati, berita Injil itu. Paulus dengan gamblang mengatakan bahwa salah satu faktor yang membuat manusia tidak menikmatai sukacita Injil adalah karena mereka telah terjebak dan terjerat dalam lilitan ilah zaman, yaitu lilitan yang nampaknya sangat menarik, sangat menjanjikan, sangat menyenangkan, tetapi sesungguhnya dapat membutakan mata dan pikiran, bahkan dapat membawa manusia ke dalam kebinasaan. Lilitan zaman inilah juga yang menghalangi pemandangan manusia sehingga banyak yang tidak mampu lagi melihat dengan jelas cahaya kemuliaan Allah itu, dan seringkali setiap hari lebih banyak melihat cahaya malapetaka, cahaya kemunafikan, cahaya kebobrokan, cahaya kerewelan dan kekerasan kepala, cahaya kekacauan, dan mungkin saja cahaya para provokator, seperti di jemaat Korintus tadi.

“Melihatlah dengan jernih!”

Demikian juga halnya dengan berita Injil Kristus, keselamatan dan sukacita yang sesungguhnya telah dianugerahkan-Nya kepada kita. Ketika “jendela hati” kita masih “berdebu”, penuh dengan berbagai kotoran duniawi, telah ditutupi oleh berbagai ilah zaman, maka percayalah kita akan kesulitan melihat dengan jernih buah dari berita Injil itu, seolah-olah keselamatan yang dari Tuhan tersebut tersembunyi bagi kita. Tentu ada banyak bentuk dan wujud dari ilah zaman ini yang dapat membutakan mata dan pikiran kita, mulai dari keinginan individu dan golongan, kepentingan parsial, kebutuhan “ni’ila hörö ibabaya tanga”, gaya hidup glamor, pola hidup yang sangat modern, kebebasan yang kebablasan, dan berbagai keinginan duniawi lainnya. Ada banyak “new idol” dalam kehidupan kita dewasa ini! Hal inilah semua yang dapat menghalangi kita dalam penerimaan berita Injil Kristus, sehingga sukacita dan keselamatan itu menjadi tersembunyi bagi banyak orang.

Sebaliknya, ketika “jendela hati” kita sudah bersih, maka jangankan berita Injil yang menyukakan, keselamatan dalam pengertian kondisi yang menyenangkan, situasi mengerikan pun bisa berubah dalam pandangan kita menjadi keselamatan yang dari Tuhan. Amin!


[1] Bahan khotbah Minggu, 15 Pebruari 2015, Kebaktian II BNKP Jemaat Hosiana, Pdt. Alokasih Gulö.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...