Friday, June 26, 2020

Bersikap dan Berelasi sebagaimana mestinya di dalam Tuhan (Kolose 3:18-21)


Rancangan Khotbah Minggu, 28 Juni 2020
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo

18  Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.
19  Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.
20  Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan.
21  Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya.

Catatan khusus bagi para bapak/ibu pengkhotbah:
Ada satu hal penting yang mesti diperhatikan dengan cermat sebelum mengkhotbahkan teks khotbah ini. Kita jangan terjebak dengan hanya membaca dan berfokus saja pada teks ini, terutama ketika memberitakannya pada kebaktian minggu. Ada empat sikap dan relasi yang disinggung dalam teks ini, yaitu istri-suami (ay. 18), suami-istri (ay. 19), anak-orangtua (ay. 20), orangtua-anak (ay. 21). Persoalannya ialah bagaimana kalau ada warga jemaat yang kebetulan belum mempunyai istri dan atau suami? Bagaimana juga dengan pasangan suami-istri yang masih belum mempunyai anak? Bagaimana dengan warga jemaat yang mungkin saja tidak mempunyai orangtua karena misalnya telah meninggal dunia? Nah, pertanyaan-pertanyaan ini kiranya dapat membantu kita supaya cermat dalam menyampaikan firman Tuhan berdasarkan teks ini. Di sinilah pentingnya semacam sensitivitas sosial, atau empati sosial, dimana kita harus peka terhadap situasi jemaat supaya sebisa mungkin khotbah kita tidak mendiskreditkan mereka yang kebetulan belum memiliki anak misalnya, atau telah kehilangan orangtua, dll.

Oleh sebab itu, kita sebaiknya memahami nas khotbah ini dalam konteks tema besar surat Kolose tentang “Keutamaan Kristus”, yang kemudian berimplikasi pada sikap dan relasi orang-orang Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Tentang ini, ada beberapa contoh lain yang sebenarnya terungkap dalam surat Kolose, tetapi untuk hari ini contoh yang diberikan adalah sikap dan relasi dalam kehidupan keluarga. Dengan demikian, kita tentu mengkhotbahkan bagian ini, tetapi kita juga bisa memperluas implikasi praksisnya dengan penekanan pada “keutamaan Kristus” dalam kehidupan kita.



Keutamaan Kristus sebagai Dasar Kesetaraan
Ajaran tentang “keutamaan Kristus” dalam surat Kolose ini muncul sebagai tanggapan atas menjamurnya pengajar-pengajar palsu yang hendak menggantikan Yesus Kristus sebagai inti kepercayaan Kristen. Dalam upaya mereka memengaruhi jemaat untuk beralih dari Kristus, para pengajar palsu ini mencampuradukkan ajaran Kristen dengan tradisi-tradisi Yahudi tertentu serta filsafat gnostik. Dengan kata lain, para pengajar palsu ini hendak mereduksi ke-Tuhan-an Kristus menjadi setara dengan tradisi Yudaisme dan filsafat gnostik tersebut. Salah satu implikasi dari pengajaran palsu ini adalah adanya kelompok yang memandang dirinya sebagai kelompok dengan kelas yang lebih tinggi dari yang lain, sebab pengetahuan mereka akan Allah lebih tinggi dan lebih dalam dari orang biasa. Tentu, pandangan ini akan terus berimplikasi dalam kehidupan sehari-hari, salah satunya adalah dalam kehidupan keluarga, dimana akan berkembang sikap dan relasi dengan pola “superior-inferior”.

Oleh sebab itu, jemaat dihimbau untuk hidup dengan tetap menempatkan Kristus sebagai yang “Sulung” atau yang “Utama” dalam kehidupannya, yang kemudian harus tampak dalam sikap dan relasi mereka satu dengan yang lain, yaitu bahwa pada prinsipnya semua orang setara di dalam Kristus, satu-satunya yang “sulung” dan atau yang “utama” adalah Kristus sendiri. Hal ini tidak serta merta menafikan adanya perbedaan; setiap orang memiliki peran yang khas yang mesti dijalani dengan penuh tanggung jawab di dalam Kristus, tetapi peran-peran tersebut tidak boleh dipahami dalam paradigma “superior-inferior”. Hal itulah yang mendapat penekanan penting dalam kehidupan keluarga, bahwa masing-masing anggota keluarga mempunyai peran/fungsi yang harus dijalankan dalam kerangka saling melayani (Kol. 3:18 – 4:1).

Sikap dan Relasi yang Patut di dalam Kristus
Sekarang, kita akan melihat bagaimana implikasi praktis dari keutamaan Kristus ini dalam kehidupan keluarga, dengan catatan bahwa implikasi ini dapat juga diterapkan dalam kehidupan yang lebih luas, misalnya kehidupan bergereja dan bermasyarakat.

Pada bagian sebelumnya telah disebutkan bahwa ada empat sikap dan relasi yang disinggung dalam teks khotbah ini, yaitu istri-suami (ay. 18), suami-istri (ay. 19), anak-orangtua (ay. 20), orangtua-anak (ay. 21).

“Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan” (ay. 18). Kata “tunduk” di sini dalam bahasa Yunani adalah “hupatassō”, yang berarti “penyerahan diri” (submit). Pada satu sisi, kata ini menunjukkan hubungan “superior-inferior”, atau hubungan “atasan-bawahan”, tetapi pada sisi lain muncul kata-kata berikutnya pada ayat ini “sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan”. Artinya, patokan “ketundukan” istri di sini adalah Tuhan, bukan suami; istri “tunduk” kepada suaminya sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan, bukan sebagaimana seharusnya di dalam suami. Jadi, ayat ini tidak bisa dipakai oleh para suami untuk “menjajah” istrinya; sebaliknya para istri juga jangan menyalahgunakan apalagi memutarbalikkan teks ini, dari “tunduk” kepada suami menjadi “tanduk” suami. Teks ini (dalam bahasa Indonesia) dengan jelas mengatakan “hai isteri-isteri, TUNDUKLAH kepada suamimu …”, bukan “hai isteri-isteri, TANDUKLAH suamimu …”. Para istri yang berjalan bersama Kristus, atau menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya, akan lebih mudah untuk “tunduk” kepada suaminya, tentu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.

“Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia” (ay. 19). Melalui kata-kata ini, para suami dinasihati untuk “mengasihi”, itu sikap yang seharusnya dimiliki oleh suami terhadap istrinya, dan berdasarkan sikap itu suami membangun relasinya kepada istrinya. Kata “mengasihi” (Yun. agapaō) di sini sebenarnya masih abstrak, maka disusul kemudian dengan konkretisasinya, yaitu “janganlah berlaku kasar terhadap istri” (Yun. pikrainō). Artinya, suami yang sungguh-sungguh mengasihi istrinya tidak boleh menyakiti istrinya dengan alasan apa pun, baik secara verbal maupun non-verbal; suami tidak boleh menyakiti hati istrinya misalnya dengan sindiran-sindiran tertentu (embitter) atau lelucon-lelucon tertentu yang sebenarnya lebih sebagai sindirian yang menyakitkan atau sindirian yang melecehkan; atau secara harfiah suami tidak boleh memberi “kepahitan” kepada istrinya, tidak boleh berlaku kasar kepada istrinya. Para suami yang berjalan bersama Kristus, atau menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya, akan lebih mudah untuk “mengasihi” dan tidak berlaku kasar kepada istrinya.

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan” (ay. 20). Di sini anak-anak diminta untuk taat kepada orangtuanya, mematuhi orangtua, mendengarkan dan mengikuti sepenuh hati nasihat dan atau “perintah” orangtuanya, bahkan dalam segala hal. Jadi, tidak boleh ada alasan bagi anak-anak untuk tidak taat kepada orangtuanya, dengan sendirinya anak-anak tidak boleh memperlakukan orangtuanya dengan cara-cara yang tidak baik. Nasihat ketaatan anak-anak kepada orangtuanya di sini, apalagi dalam segala hal, dapat menimbulkan persoalan, apalagi dalam masyarakat modern dewasa ini. Para pegiat HAM akan mempersoalkan nasihat ini, karena terkesan tidak memberi ruang atau kebebasan bagi anak-anak untuk menikmati masa kanak-kanak mereka, dan terkesan orangtua dapat bertindak otoriter terhadap anak-anaknya. Tetapi, perhatikanlah kata-kata berikutnya “karena itulah yang indah di dalam Tuhan”. Sama seperti “ketundukan” istri tadi kepada suaminya (ay. 18), ketaatan anak-anak kepada orangtua di sini juga harus dalam kerangka “menyenangkan/memuaskan” Tuhan, bukan sekadar menyenangkan/memuaskan orangtua. Bahasa Yunani yang dipakai adalah “euarestos”, yang dapat diartikan menyenangkan, memuaskan, atau berterima/disetujui. Nah, ukurannya di sini adalah Tuhan sebagai yang Utama, bukan orangtua. Jadi, orangtua tidak boleh menyalahgunakan teks ini untuk menyenangkan atau memuaskan keinginannya dengan bersikap dan berlaku otoriter terhadap anak-anaknya. Hal ini lebih jelas nanti pada ayat berikutnya (ay. 21). Anak-anak yang berjalan bersama Kristus, atau menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya, akan lebih mudah untuk “taat” kepada orangtuanya dalam segala hal, tentu untuk menyenangkan hati Tuhan.

“Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” (ay. 21). Setelah menasihati anak-anak untuk taat dalam segala hal kepada orangtuanya, dan supaya orangtua tidak menyalahgunakan posisinya terhadap anak-anaknya, maka langsung saja penulis surat Kolose ini meminta “bapa-bapa” untuk tidak menyakiti hati anak-anaknya. Kita kurang tahu mengapa dalam nasihat ini hanya disebutkan “bapa-bapa”, seolah-olah “ibu-ibu” tidak termasuk di dalamnya. Tampaknya, hal ini ada kaitannya dengan budaya patriarkat, dimana bapa-bapa lebih dominan ketimbang ibu-ibu. Tetapi, hal ini tidak berarti para ibu boleh bebas menyakiti anak-anaknya, menurut saya, nasihat ini juga berlaku untuk para ibu, kecuali ibu-ibu tidak mengakui kalau anak tersebut sebagai anaknya. Lalu, apa maksudnya “janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya” dalam teks ini? Kata Yunani yang dipakai untuk “menyakiti hati” di sini adalah erethizō, yang secara harfiah berarti memprovokasi, membangkitkan amarah, menghasut, memancing supaya marah atau memberontak, atau dalam bahasa Nias “böi mi’andrö wönu ndraonomi”. Mengapa orangtua tidak boleh “menyakiti” hati anak-anaknya, dalam pengertian tidak boleh “memancing amarah” anak-anaknya? “Supaya jangan tawar hatinya”, “fa böi ada’uda’u ira”. Kata Yunani yang dipakai adalah athumeō, yang berarti patah semangat, tidak bersemangat, berkecil hati, kecut hatinya. Nah, berapa kali kita, orangtua, menyakiti hati anak-anak kita dengan nasihat atau teguran yang sebenarnya justru kasar, keras, dan mematahkan semangat anak-anak kita? Kalau kita jujur, kita akan mengakui bahwa – sadar atau tidak sadar – kita seringkali tidak mendengarkan anak-anak, kita menasihati atau menegur mereka dengan cara dan dengan kata-kata yang justru memancing pemberontakan mereka, atau yang justru membuat mereka menjadi anak-anak yang kehilangan rasa percaya dirinya. Bapa-bapa, orangtua yang berjalan bersama Kristus, atau yang menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupannya, tidak akan menyakiti hati anak-anaknya, sebaliknya dia akan menjadi pemberi semangat hidup bagi anak-anaknya, meluangkan waktu untuk mendengarkan anak-anaknya, berdoa bersama mereka, membantu mereka mengembangkan keterampilan atau potensi mereka dan menjadikan rumah sebagai tempat paling bahagia dan terbaik di dunia.

Demikian juga halnya dengan kehidupan kita di bidang yang lain, kalau Kristus yang utama dalam kehidupan kita, maka akan lebih mudah bagi kita untuk saling melayani, bukan saling mendominasi atau saling menguasai. Memang, keegoisan kita seringkali membawa perpecahan dan atau konflik di dalam keluarga, di gereja, di tempat kerja, dan di mana saja. Dengan menjadikan Kristus sebagai yang utama dalam kehidupan kita, maka akan lebih mudah bagi kita untuk bersikap dan berelasi dengan siapa pun sebagaimana layaknya di dalam Tuhan.

 

Wednesday, June 24, 2020

Butuh Iman dan Imun? Refleksi seputar Pandemi Covid-19 dan New Normal

Saya masih ingat perdebatan pada masa-masa awal diterapkannya kebijakan beribadah dari rumah karena pandemi Covid-19 di Indonesia, begitu keras, kadang-kadang saling menghakimi, mungkin lebih mengerikan dari virus Corona itu sendiri. Pada waktu itu, ada kubu yang tidak setuju dengan kebijakan pengalihan ibadah gereja ke rumah, dengan alasan yang paling banyak adalah bahwa dengan "iman" kita bisa mengalahkan virus Corona, hanya orang yang imannya lemah yang takut beribadah di gedung gereja. Sementara, ada juga kubu yang setuju dengan pengalihan ibadah gereja ke rumah, dengan alasan yang paling banyak adalah bahwa beriman saja tidak cukup, tetapi harus diiringi dengan sikap yang bijak. Dan, kita tahu bersama, perang ayat pun terjadi, masing-masing kubu mengutip (dan mencomot) ayat-ayat Alkitab untuk membenarkan sikap dan pandangannya, sekaligus menyerang dan atau melemahkan sikap dan pandangan orang lain. Bagi saya, perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang lumrah, hal yang justru perlu dipelihara dengan baik, sehingga melaluinya kita dapat saling belajar dan saling menghargai. Pertanyaan penting yang perlu kita renungkan dari dinamika seperti itu adalah apakah sikap dan pandangan saya sungguh-sungguh lahir dari refleksi mendalam akan nilai-nilai kehidupan yang mestinya diwartakan dan dihidupi oleh gereja di dunia ini? Apakah perbedaan dan bahkan pertentangan seperti itu dapat menolong saya dan sesama saya untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik di dunia ini?

Kita sudah mengalami dan melewati masa-masa sulit karena pandemi Covid-19 ini selama beberapa bulan. Begitu banyak kisah yang mau kita bagikan, kisah yang akan kita ceritakan bagi anak-cucu kita, bahwa kita pernah mengalami masa-masa "menggelisahkan" itu, bahwa si kecil "Corona" telah menghantui kehidupan kita selama beberapa bulan, dan mungkin saja selama beberapa tahun ke depan. Pandemi ini belum selesai, sampai hari ini belum ditemukan vaksin yang cocok untuk meredam virus Corona, tetapi tidak mungkin kita berada di rumah untuk waktu yang lebih lama lagi, tidak mungkin kita tidak beraktivitas kembali, tidak mungkin negara (dan gereja) membiayai secara gratis kehidupan seluruh warganya ... kita harus realistis ... kalau tidak, bukan virus Corona yang akan membunuh kita, melainkan kelaparan. Itulah sebabnya kita - mau tidak mau - harus menjalani kehidupan kita kembali, harus beraktivitas kembali, tentu dengan tatanan kehidupan yang baru, atau dikenal dengan istilah asing "the new normal".

Pertanyaannya ialah bagaimana kita menjalani kehidupan dengan tatanan yang baru itu, sementara bahaya virus Corona masih terus mengancam kita? Ada berbagai hal yang perlu kita siapkan dan biasakan untuk itu, mulai dari kebersihan diri dan lingkungan, jaga jarak, dll (baca: Kita Bisa kalau Kita Disiplin). Beberapa minggu terakhir dimunculkan kembali istilah "iman" dan "imun", keduanya diklaim dapat menolong kita untuk menghadapi virus Corona sambil tetapi beraktivitas dengan tatanan yang baru. Bagi saya, ini menarik, sebab tidak ada lagi upaya mempertentangkan keduanya, justru melaluinya ada semacam kesadaran dan atau pengakuan bahwa keduanya (iman dan imun) dapat "bekerja sama" untuk melawan virus Corona. Keduanya sama-sama menyangkut diri kita dari dalam (internal), yaitu sejauh mana kekuatan internal kita dipelihara dan ditingkatkan untuk melawan virus Corona dengan tetap beraktivitas seperti biasa. Secara umum, saya setuju dengan pandangan ini, bahwa untuk menghadapi pandemi Covid-19 sambil tetap menjalani kehidupan (new) normal, dibutuhkan "iman" dan "imun" yang mumpuni. 

Dengan "iman", kita memiliki semangat "ilahi" untuk mampu menjalani kehidupan di tengah-tengah kesulitan dan ancaman karena pandemi Covid-19, dan dengan "iman" kita berani menghadapi tantangan sesulit apa pun sebab kita percaya bahwa Tuhan selalu menolong dan menyertai kita. Kita memiliki dasar alkitabiah untuk itu, Tuhan, melalui Rasul Paulus, telah berfirman bahwa "Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya" (1 Kor. 10:13). Kata-kata ini dapat menjadi penghiburan sekaligus penguatan bagi kita untuk terus menjalani kehidupan walaupun saat ini kita sedang dihantam oleh badai kehidupan yang luar biasa, pandemi Covid-19. Namun demikian, kita sebaiknya terus menerus berefleksi secara jernih dan mendalam atas kehidupan ber-iman kita, supaya "iman" kita secara "permanen" tahan banting dan terbuka bagi perubahan-perubahan yang bisa dipastikan akan terjadi dengan sangat cepat. Di sinilah dibutuhkan "iman" yang berakal sehat dan dihidupi dengan kerendahan hati. Dengan "iman" yang seperti ini, kita akan mampu bertahan hidup di tengah-tengah kesulitan dan bahaya yang setiap saat mengancam kita, dengan "iman" yang seperti ini kita lebih berhati-hati menjalani kehidupan tanpa menjadi paranoid, dan dengan "iman" yang seperti ini kita dapat membedakan mana "bahaya/ancaman" yang dapat dihindari atau dapat diantisipasi, dan mana "bahaya/ancaman" yang - mau tidak mau - harus dihadapi walaupun dengan risiko yang mungkin saja menyedihkan. Ketika Tuhan Yesus menghadapi masa-masa sulit menjelang penangkapan dan penyaliban-Nya, Dia "berupaya" untuk "menghindar" dari jalan salib itu, "... Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki" (Matius 26:39). Namun, kemudian Yesus tahu bahwa Dia tidak mungkin menghindarinya, dan Dia pun pada akhirnya berkata: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" (Matius 26:42). Jadi, kita diberi kesempatan untuk "menghindari" atau mengantisipasi bahaya/ancaman, tetapi ada saatnya juga kita tidak bisa melarikan diri dari padanya. Iman yang dibutuhkan adalah iman yang mampu membaca situasi yang dihadapinya dengan akal sehat.

Tetapi, iman yang biasa saja tidak cukup! Kita membutuhkan sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih "ragawi", sebab virus Corona menyerang "raga" kita, dan sesuatu itu tidak bertentangan dengan iman, inilah yang tadi disebutkan dengan istilah "imun". Kita tahu bersama, bahwa virus Corona lebih banyak dan lebih mudah menyerang serta "membunuh" orang-orang dengan imun tubuh yang lemah, walaupun dalam beberapa kasus tidak selalu begitu. Dengan kata lain, kita harus tetap menjaga supaya imun tubuh kita tetap dalam kondisi yang baik/kuat, sehingga ancaman virus Corona tidak terlalu cepat dan mudah "menyerang" serta "membunuh" kita. Pada satu sisi "imun" tubuh berkaitan dengan kekebalan tubuh kita dari dalam, tetapi pada sisi lain ada kaitannya dengan "makanan/minuman" yang kita konsumsi. Secara alamiah, masing-masing kita memiliki daya tahan tubuh (imun) yang berbeda-beda, ada yang kuat ada juga yang lemah, tetapi dapat ditingkatkan dengan berbagai makanan/minuman yang memiliki vitamin/gizi yang baik, termasuk istirahat yang cukup. Jadi, kita masing-masing sebaiknya menjaga supaya imun tubuh kita tetap terjaga dengan baik dengan mengkonsumsi makanan/minuman yang sehat serta istirahat yang cukup. Alam mampu menyediakan kita berbagai bahan yang dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk imun tubuh kita, pertanyaannya ialah apakah kita sudah mengelola alam ciptaan Tuhan ini dengan baik? Kalau kita memiliki tanah di sekitar rumah, apalagi kalau memiliki tanah yang luas, mengapa tidak dikelola dengan baik untuk berbagai jenis sayuran dan buah-buahan? Bukankah hal itu jauh lebih sehat dan menyenangkan? Dan, tentang istirahat yang cukup, tanah saja harus diistirahatkan pada tahun ke-7, demikianlah firman Allah kepada bangsa Israel (lih. Imamat 25:2). Bukankah Tuhan telah menetapkan hari ke-7 sebagai hari sabat, hari perhentian? Lalu, mengapa masih banyak orang yang kemudian "diperbudak" oleh pekerjaannya, dan di era digital ini "diperbudak" oleh misalnya media sosial serta berbagai jenis game online? Tubuh kita butuh istirahat yang cukup, dan itu akan membantu kita menjaga imun tubuh dengan baik. Bekerjalah selagi masih siang, dan ingatlah bahwa ada saatnya kita harus berhenti/beristirahat (bnd. Yoh. 9:4).

Dengan demikian, apakah iman dan imun dibutuhkan untuk menghadapi pandemi Covid-19 sambil menjalani kehidupan new normal? Ya ... tergantung refleksi kita masing-masing ... dan tulisan ini hanyalah semacam pemantik bagi kita untuk berefleksi secara jernih dan mendalam. Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Saturday, June 20, 2020

Tahun Sabat dan Tahun Yobel: Pembebasan bagi Semua (Imamat 25:1-13)


Rancangan Khotbah Minggu, 21 Juni 2020

Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1    TUHAN berfirman kepada Musa di gunung Sinai:
2   “Berbicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Apabila kamu telah masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepadamu, maka tanah itu harus mendapat perhentian sebagai sabat bagi TUHAN.
3   Enam tahun lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan enam tahun lamanya engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil tanah itu,
4   tetapi pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi TUHAN. Ladangmu janganlah kautaburi dan kebun anggurmu janganlah kaurantingi.
5   Dan apa yang tumbuh sendiri dari penuaianmu itu, janganlah kautuai dan buah anggur dari pokok anggurmu yang tidak dirantingi, janganlah kaupetik. Tahun itu harus menjadi tahun perhentian penuh bagi tanah itu.
6   Hasil tanah selama sabat itu haruslah menjadi makanan bagimu, yakni bagimu sendiri, bagi budakmu laki-laki, bagi budakmu perempuan, bagi orang upahan dan bagi orang asing di antaramu, yang semuanya tinggal padamu.
7   Juga bagi ternakmu, dan bagi binatang liar yang ada di tanahmu, segala hasil tanah itu menjadi makanannya.
8   Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun.
9   Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu.
10 Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.
11 Tahun yang kelima puluh itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, jangan kamu menabur, dan apa yang tumbuh sendiri dalam tahun itu jangan kamu tuai, dan pokok anggur yang tidak dirantingi jangan kamu petik buahnya.
12 Karena tahun itu adalah tahun Yobel, haruslah itu kudus bagimu; hasil tahun itu yang hendak kamu makan harus diambil dari ladang.
13  Dalam tahun Yobel itu kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya.

Ada tiga hukum Sabat dalam PL, yaitu hari Sabat (siklus mingguan), tahun Sabat (siklus tahunan), dan tahun Yobel (siklus generasi).

Walaupun puncak dari ketiga siklus ini (hari Sabat, tahun Sabat, dan tahun Yobel) memiliki penekanan yang khas masing-masing, tetapi maknanya sama, yaitu “berhenti”, “beristirahat”, atau “pembebasan”. Tampaknya, ketiga hukum Sabat ini muncul, atau digaungkan kembali pada masa pembuangan dan sesudahnya. Artinya, hukum Sabat ini sebenarnya merupakan tradisi kuno yang sudah ada pada zaman para leluhur nomaden orang-orang Ibrani dan Kanaan, tetapi mendapat tempat penting dalam tradisi Israel sejak mereka dibuang ke Babel, dan semakin “dipentingkan” setelah mereka kembali ke tanah mereka. Ketiganya bukan lagi sekadar tradisi, melainkan suatu hukum yang harus ditaati.

Pada nas khotbah hari ini, ada dua jenis tahun penting yang diungkapkan, yaitu Tahun Sabat dan Tahun Yobel, dengan makna yang sama, yakni beristirahat atau pembebasan. Ayat 1-7 berbicara tentang tahun Sabat, dan ayat 8-13 berbicara tentang tahun Yobel (baiknya dibaca sampai ayat 17). Keduanya sama-sama memberi pedoman legal bagi bangsa Israel yang sedang dan atau baru saja mengalami pembuangan/perbudakan di negeri orang, bahwa di tanah perjanjian, mereka tidak boleh saling menerkam/memakan, tidak boleh saling mematikan, tidak boleh saling merugikan, tidak boleh memperbudak sesama bangsa mereka, tidak boleh lagi melakukan tindakan ketidakadilan, dan tidak boleh ada pihak-pihak tertentu yang menguasai hayat orang banyak. Tanah harus mendapat perhentian pada tahun ke-7, dan masing-masing harus pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya pada tahun ke-50. Apa artinya? Yaitu bahwa sebagai bangsa yang sudah menerima pembebasan, maka mereka pun harus melakukan restorasi dan keadilan, dan itulah inti dari beristirahat atau berhenti.

Pada tahun Sabat, yaitu tahun ke-7, tanah harus mendapat perhentian setelah enam tahun dikelola dengan berbagai jenis tanaman yang hasil-hasilnya dinikmati bersama oleh semua orang dan binatang yang ada pada mereka (lih. ay. 6-7). Sementara, pada tahun Yobel, yaitu tahun ke-50, jauh lebih radikal, semua tanah yang disewa atau pun digadaikan, harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, dan semua budak atau pekerja harus dibebaskan (ay. 10). Maksud  dari hukum ini sama seperti pada hukum  pemungutan hasil tanah (lih. Im. 19:9-10), yaitu untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses yang adil ke sumber-sumber kehidupan, dalam hal ini kehidupan pertanian, tidak boleh ada orang yang secara permanen dan terus menerus mendominasi sesamanya. Oleh sebab itu, harus ada kesempatan untuk membebaskan budak dan orang-orang yang terlilit utang yang sulit dibayar kembali, harus ada kesempatan untuk menebus kembali tanah yang telah tergadaikan. Apabila tidak ada orang yang mampu menebusnya, maka pilihan terakhir adalah pembebasan pada tahun Yobel, pembebasan tanpa syarat, sebagaimana Tuhan Allah sendiri telah membebaskan umat itu dari perbudakan.

Hukum ini sebenarnya, baik pada zaman dulu apalagi pada zaman sekarang, akan sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan kaum borjuis dan kapitalis. Tetapi, itulah hukum Sabat (tahun Sabat dan tahun Yobel) yang harus dipatuhi oleh bangsa Israel, toh hukum ini diberikan untuk kebaikan mereka semua, yaitu untuk mempertahankan eksistensi mereka di tanah perjanjian, di tanah yang dikelilingi oleh musuh-musuh besar. Kalau tidak, maka akan ada keluarga, klan, dan suku yang akan “binasa” karena tanah leluhurnya dikuasai oleh orang, keluarga, klan, dan suku lain yang lebih kuat. Akibatnya, suatu saat bangsa Israel akan punah, dan itu tidak boleh terjadi, maka hukum Sabat menjadi penting bagi mereka. Tanpa mengabaikan kehidupan privasi setiap orang, hukum ini hendak mengingatkan setiap orang bahwa kehidupan bersama dalam suatu komunitas menjadi amat penting, yaitu kehidupan yang berkeadilan. Prinsip ini, menurut saya, amat penting juga diterapkan dalam kehidupan modern yang hanya didominasi oleh orang-orang atau pihak-pihak yang kuat, penting diterapkan dalam kehidupan modern yang semakin tidak berkeadilan. Gereja harus menjadi agen utama dalam menyuarakan dan menghidupi tahun perhentian dan pembebasan  ini, jangan sampai gereja sendiri terkontaminasi dengan virus kapitalisme, di mana hanya segelintir orang saja yang menguasai berbagai aspek kehidupan jemaat dan masyarakat, jangan sampai gereja lebih memprioritaskan mereka yang memiliki kuasa karena jabatan dan modal yang mereka miliki.

Secara teologis, tahun Sabat dan Yobel menegaskan bahwa Tuhan bukan hanya sekadar Pemilik tanah Israel, melainkan Dia berdaulat atas semua waktu dan alam. Tindakan-Nya menebus bangsa Israel dari Mesir dan Babel menunjukkan bahwa mereka adalah milik-Nya, oleh sebab itu ketaatan Israel pada hari dan tahun Sabat serta tahun Yobel merupakan implikasi dari kepatuhan dan kepercayaan mereka terhadap Pemilik kehidupan mereka. Secara praktis, kedua tahun ini menegaskan bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan umat-Nya, Allah akan memelihara dan menyediakan masa depan yang lebih baik bagi keluarga mereka. Pada saat yang sama, hukum ini menuntut orang kaya untuk lebih berempati atau berbelas kasih kepada orang-orang miskin, dan mereka harus percaya bahwa Tuhan akan memberi lebih banyak berkat lagi bagi mereka. Adakah di antara kita pada hari ini yang berani membebaskan atau menghapus hutang sesamanya pada tahun ke-50? Saya kuatir, alih-alih menghapusnya, utang yang ada pun seringkali beranak-cucu, dan tidak jarang ada warga kita yang harus merantau ke luar daerah karena seluruh tanah warisan mereka telah tereksekusi untuk pembayaran utang yang beranak-cucu tersebut.

Secara ekonomi, hukum ini mengungkapkan dua prinsip penting yang bisa kita terapkan, yaitu bahwa: (1) Tuhan menginginkan distribusi sumber daya bumi secara adil, oleh sebab itu tahun pembebasan tidak berbicara tentang redistribusi tetapi restorasi; (2) setiap orang, keluarga, klan, suku, harus memiliki akses dan kesempatan yang adil pada berbagai sumber daya yang ada untuk kehidupan yang lebih baik, sehingga setiap orang dapat mencari nafkahnya dengan bebas dan dapat keluar dari kemiskinan multi-generasi. Solusi seperti apakah yang dapat ditawarkan oleh gereja supaya restorasi dan kehidupan yang berkeadilan terwujud? Bagaimanakah gereja menyerukan dan menghadirkan pembebasan bagi semua?


... selamat berefleksi ...

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...