Saturday, June 20, 2020

Tahun Sabat dan Tahun Yobel: Pembebasan bagi Semua (Imamat 25:1-13)


Rancangan Khotbah Minggu, 21 Juni 2020

Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1    TUHAN berfirman kepada Musa di gunung Sinai:
2   “Berbicaralah kepada orang Israel dan katakan kepada mereka: Apabila kamu telah masuk ke negeri yang akan Kuberikan kepadamu, maka tanah itu harus mendapat perhentian sebagai sabat bagi TUHAN.
3   Enam tahun lamanya engkau harus menaburi ladangmu, dan enam tahun lamanya engkau harus merantingi kebun anggurmu dan mengumpulkan hasil tanah itu,
4   tetapi pada tahun yang ketujuh haruslah ada bagi tanah itu suatu sabat, masa perhentian penuh, suatu sabat bagi TUHAN. Ladangmu janganlah kautaburi dan kebun anggurmu janganlah kaurantingi.
5   Dan apa yang tumbuh sendiri dari penuaianmu itu, janganlah kautuai dan buah anggur dari pokok anggurmu yang tidak dirantingi, janganlah kaupetik. Tahun itu harus menjadi tahun perhentian penuh bagi tanah itu.
6   Hasil tanah selama sabat itu haruslah menjadi makanan bagimu, yakni bagimu sendiri, bagi budakmu laki-laki, bagi budakmu perempuan, bagi orang upahan dan bagi orang asing di antaramu, yang semuanya tinggal padamu.
7   Juga bagi ternakmu, dan bagi binatang liar yang ada di tanahmu, segala hasil tanah itu menjadi makanannya.
8   Selanjutnya engkau harus menghitung tujuh tahun sabat, yakni tujuh kali tujuh tahun; sehingga masa tujuh tahun sabat itu sama dengan empat puluh sembilan tahun.
9   Lalu engkau harus memperdengarkan bunyi sangkakala di mana-mana dalam bulan yang ketujuh pada tanggal sepuluh bulan itu; pada hari raya Pendamaian kamu harus memperdengarkan bunyi sangkakala itu di mana-mana di seluruh negerimu.
10 Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.
11 Tahun yang kelima puluh itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, jangan kamu menabur, dan apa yang tumbuh sendiri dalam tahun itu jangan kamu tuai, dan pokok anggur yang tidak dirantingi jangan kamu petik buahnya.
12 Karena tahun itu adalah tahun Yobel, haruslah itu kudus bagimu; hasil tahun itu yang hendak kamu makan harus diambil dari ladang.
13  Dalam tahun Yobel itu kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya.

Ada tiga hukum Sabat dalam PL, yaitu hari Sabat (siklus mingguan), tahun Sabat (siklus tahunan), dan tahun Yobel (siklus generasi).

Walaupun puncak dari ketiga siklus ini (hari Sabat, tahun Sabat, dan tahun Yobel) memiliki penekanan yang khas masing-masing, tetapi maknanya sama, yaitu “berhenti”, “beristirahat”, atau “pembebasan”. Tampaknya, ketiga hukum Sabat ini muncul, atau digaungkan kembali pada masa pembuangan dan sesudahnya. Artinya, hukum Sabat ini sebenarnya merupakan tradisi kuno yang sudah ada pada zaman para leluhur nomaden orang-orang Ibrani dan Kanaan, tetapi mendapat tempat penting dalam tradisi Israel sejak mereka dibuang ke Babel, dan semakin “dipentingkan” setelah mereka kembali ke tanah mereka. Ketiganya bukan lagi sekadar tradisi, melainkan suatu hukum yang harus ditaati.

Pada nas khotbah hari ini, ada dua jenis tahun penting yang diungkapkan, yaitu Tahun Sabat dan Tahun Yobel, dengan makna yang sama, yakni beristirahat atau pembebasan. Ayat 1-7 berbicara tentang tahun Sabat, dan ayat 8-13 berbicara tentang tahun Yobel (baiknya dibaca sampai ayat 17). Keduanya sama-sama memberi pedoman legal bagi bangsa Israel yang sedang dan atau baru saja mengalami pembuangan/perbudakan di negeri orang, bahwa di tanah perjanjian, mereka tidak boleh saling menerkam/memakan, tidak boleh saling mematikan, tidak boleh saling merugikan, tidak boleh memperbudak sesama bangsa mereka, tidak boleh lagi melakukan tindakan ketidakadilan, dan tidak boleh ada pihak-pihak tertentu yang menguasai hayat orang banyak. Tanah harus mendapat perhentian pada tahun ke-7, dan masing-masing harus pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya pada tahun ke-50. Apa artinya? Yaitu bahwa sebagai bangsa yang sudah menerima pembebasan, maka mereka pun harus melakukan restorasi dan keadilan, dan itulah inti dari beristirahat atau berhenti.

Pada tahun Sabat, yaitu tahun ke-7, tanah harus mendapat perhentian setelah enam tahun dikelola dengan berbagai jenis tanaman yang hasil-hasilnya dinikmati bersama oleh semua orang dan binatang yang ada pada mereka (lih. ay. 6-7). Sementara, pada tahun Yobel, yaitu tahun ke-50, jauh lebih radikal, semua tanah yang disewa atau pun digadaikan, harus dikembalikan kepada pemilik aslinya, dan semua budak atau pekerja harus dibebaskan (ay. 10). Maksud  dari hukum ini sama seperti pada hukum  pemungutan hasil tanah (lih. Im. 19:9-10), yaitu untuk memastikan bahwa setiap orang memiliki akses yang adil ke sumber-sumber kehidupan, dalam hal ini kehidupan pertanian, tidak boleh ada orang yang secara permanen dan terus menerus mendominasi sesamanya. Oleh sebab itu, harus ada kesempatan untuk membebaskan budak dan orang-orang yang terlilit utang yang sulit dibayar kembali, harus ada kesempatan untuk menebus kembali tanah yang telah tergadaikan. Apabila tidak ada orang yang mampu menebusnya, maka pilihan terakhir adalah pembebasan pada tahun Yobel, pembebasan tanpa syarat, sebagaimana Tuhan Allah sendiri telah membebaskan umat itu dari perbudakan.

Hukum ini sebenarnya, baik pada zaman dulu apalagi pada zaman sekarang, akan sangat mengganggu kenyamanan dan keamanan kaum borjuis dan kapitalis. Tetapi, itulah hukum Sabat (tahun Sabat dan tahun Yobel) yang harus dipatuhi oleh bangsa Israel, toh hukum ini diberikan untuk kebaikan mereka semua, yaitu untuk mempertahankan eksistensi mereka di tanah perjanjian, di tanah yang dikelilingi oleh musuh-musuh besar. Kalau tidak, maka akan ada keluarga, klan, dan suku yang akan “binasa” karena tanah leluhurnya dikuasai oleh orang, keluarga, klan, dan suku lain yang lebih kuat. Akibatnya, suatu saat bangsa Israel akan punah, dan itu tidak boleh terjadi, maka hukum Sabat menjadi penting bagi mereka. Tanpa mengabaikan kehidupan privasi setiap orang, hukum ini hendak mengingatkan setiap orang bahwa kehidupan bersama dalam suatu komunitas menjadi amat penting, yaitu kehidupan yang berkeadilan. Prinsip ini, menurut saya, amat penting juga diterapkan dalam kehidupan modern yang hanya didominasi oleh orang-orang atau pihak-pihak yang kuat, penting diterapkan dalam kehidupan modern yang semakin tidak berkeadilan. Gereja harus menjadi agen utama dalam menyuarakan dan menghidupi tahun perhentian dan pembebasan  ini, jangan sampai gereja sendiri terkontaminasi dengan virus kapitalisme, di mana hanya segelintir orang saja yang menguasai berbagai aspek kehidupan jemaat dan masyarakat, jangan sampai gereja lebih memprioritaskan mereka yang memiliki kuasa karena jabatan dan modal yang mereka miliki.

Secara teologis, tahun Sabat dan Yobel menegaskan bahwa Tuhan bukan hanya sekadar Pemilik tanah Israel, melainkan Dia berdaulat atas semua waktu dan alam. Tindakan-Nya menebus bangsa Israel dari Mesir dan Babel menunjukkan bahwa mereka adalah milik-Nya, oleh sebab itu ketaatan Israel pada hari dan tahun Sabat serta tahun Yobel merupakan implikasi dari kepatuhan dan kepercayaan mereka terhadap Pemilik kehidupan mereka. Secara praktis, kedua tahun ini menegaskan bahwa Allah akan memenuhi kebutuhan umat-Nya, Allah akan memelihara dan menyediakan masa depan yang lebih baik bagi keluarga mereka. Pada saat yang sama, hukum ini menuntut orang kaya untuk lebih berempati atau berbelas kasih kepada orang-orang miskin, dan mereka harus percaya bahwa Tuhan akan memberi lebih banyak berkat lagi bagi mereka. Adakah di antara kita pada hari ini yang berani membebaskan atau menghapus hutang sesamanya pada tahun ke-50? Saya kuatir, alih-alih menghapusnya, utang yang ada pun seringkali beranak-cucu, dan tidak jarang ada warga kita yang harus merantau ke luar daerah karena seluruh tanah warisan mereka telah tereksekusi untuk pembayaran utang yang beranak-cucu tersebut.

Secara ekonomi, hukum ini mengungkapkan dua prinsip penting yang bisa kita terapkan, yaitu bahwa: (1) Tuhan menginginkan distribusi sumber daya bumi secara adil, oleh sebab itu tahun pembebasan tidak berbicara tentang redistribusi tetapi restorasi; (2) setiap orang, keluarga, klan, suku, harus memiliki akses dan kesempatan yang adil pada berbagai sumber daya yang ada untuk kehidupan yang lebih baik, sehingga setiap orang dapat mencari nafkahnya dengan bebas dan dapat keluar dari kemiskinan multi-generasi. Solusi seperti apakah yang dapat ditawarkan oleh gereja supaya restorasi dan kehidupan yang berkeadilan terwujud? Bagaimanakah gereja menyerukan dan menghadirkan pembebasan bagi semua?


... selamat berefleksi ...

8 comments:

  1. Ini analisanya sangat dalam dan bagus. Untuk tema minggu ini tentu lebih diarahkan tentang tanah yg diistirahatkan penuh dalam rangka memelihara alam agar planet bumi ini terus berlangsung dan berfungsi sebagai alam milik Tuhan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih atas komentarnya, semoga dapat membantu. Walaupun pada awalnya perintah untuk mengistirahatkan tanah sebagaimana terungkap dalam nas ini lebih bernuansa sosio-ekonomi-politis, tetapi dalam perspektif ekoteologi teks ini boleh saja dihubungkan dengan pemeliharaan alam semesta, itu akan semakin memperkaya khotbah yang akan disampaikan.

      Salam sehat

      Delete
  2. Refleksi teoligis yg sgt relevan dan aplikatif...thanks pak Dr.(cand)

    ReplyDelete
  3. Sangat memberkati. Terima kasih Pak Gulo

    ReplyDelete
  4. Selamat telah menjadi saluran berkat bagi jemaat dan alam semesta bpk/ibu, Tuhan memberkati selalu.

    ReplyDelete
  5. Tuhan Yesus memberkati pelayanan Pdt, Syalom

    ReplyDelete
  6. Ayat 4 artinya apa? Apakah selama satu tahun tidak ada pekerjaan?

    ReplyDelete

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...