Rancangan Khotbah Minggu, 14 Juni 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
13 Seorang dari orang banyak itu berkata kepada
Yesus: “Guru, katakanlah kepada saudaraku supaya ia berbagi warisan dengan aku.”
14 Tetapi Yesus berkata kepadanya: “Saudara,
siapakah yang telah mengangkat Aku menjadi hakim atau pengantara atas kamu?”
15 Kata-Nya lagi kepada mereka: “Berjaga-jagalah
dan waspadalah terhadap segala ketamakan, sebab walaupun seorang berlimpah-limpah
hartanya, hidupnya tidaklah tergantung dari pada kekayaannya itu.”
16 Kemudian Ia mengatakan kepada mereka suatu
perumpamaan, kata-Nya: “Ada seorang kaya, tanahnya berlimpah-limpah hasilnya.
17 Ia bertanya dalam hatinya: Apakah yang harus
aku perbuat, sebab aku tidak mempunyai tempat di mana aku dapat menyimpan hasil
tanahku.
18 Lalu katanya: Inilah yang akan aku perbuat;
aku akan merombak lumbung-lumbungku dan aku akan mendirikan yang lebih besar
dan aku akan menyimpan di dalamnya segala gandum dan barang-barangku.
19 Sesudah itu aku akan berkata kepada jiwaku:
Jiwaku, ada padamu banyak barang, tertimbun untuk bertahun-tahun lamanya;
beristirahatlah, makanlah, minumlah dan bersenang-senanglah!
20 Tetapi firman Allah kepadanya: Hai engkau
orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan diambil dari padamu, dan apa yang
telah kausediakan, untuk siapakah itu nanti?
21 Demikianlah jadinya dengan orang yang
mengumpulkan harta bagi dirinya sendiri, jikalau ia tidak kaya di hadapan
Allah.”
Kita harus membaca dan
memaknai dengan cermat “kritikan atau kecaman” terhadap orang-orang kaya di Injil
Lukas ini, sebab dapat menggiring kita pada pemahaman yang ekstrem, memandang
negatif kekayaan dan orang-orang kaya. Kesan awal yang mungkin saja muncul dalam
pikiran kita adalah kekayaan itu dosa, kekayaan itu buruk, kekayaan harus
dijauhi, orang-orang kaya adalah musuh Allah, atau orang-orang kaya tidak
mendapat tempat dalam kerajaan surga. Kesan ini semakin mengkristal ketika kita
berhadapan dengan orang-orang yang antipati terhadap kekayaan dan atau
orang-orang kaya. Alhasil, muncul stigma negatif bahkan penghakiman terhadap
kekayaan dan orang-orang kaya.
Kesan seperti ini dapat muncul
ketika kita membaca nas khotbah pada hari ini, bahkan LAI sendiri memberi judul
yang cukup sadis dan kontras: “orang kaya yang bodoh”. Judul ini tampaknya dimunculkan
dari dalam teks ini sendiri ketika firman Allah datang kepada orang kaya
tersebut: Hai engkau orang bodoh … (ay. 20). Kalau berpatokan pada prolognya
(ay. 13-14), maka kalimat yang lebih memungkinkan adalah “orang kaya yang
cerdik/licik”, sebab dia memanfaatkan Yesus untuk mendapatkan warisan yang
lebih banyak dibanding saudaranya dengan dalih membagi warisan. Tetapi, kalau
membaca seluruh perumpamaan ini dengan utuh maka pokok penting dalam teks ini
bukanlah pada kebodohan orang kaya tersebut, melainkan pada SIKAP ATAS KEKAYAAN
YANG DIMILIKINYA.
Seperti apakah sikap orang
kaya tersebut atas kekayaan yang dimilikinya? Kita dapat menemukan jawaban atas
pertanyaan ini di ayat 15, yaitu SIKAP YANG TAMAK DAN MENGGANTUNGKAN HIDUP PADA
KEKAYAAN YANG DIMILIKINYA. Karena sikap seperti inilah maka muncul orang yang
kemudian begitu licik dan lancang meminta Yesus menjadi hakim atau pengantara
atas warisan yang mereka miliki, dengan misi tersembunyi yaitu dia akan
mendapatkan bagian yang lebih banyak (ay. 13-14). Karena sikap seperti inilah
maka muncul orang seperti dalam perumpamaan Yesus tersebut, yaitu mengumpulkan
kekayaan hanya untuk dirinya sendiri, dan menganggap kekayaan tersebut sebagai “segala-galanya”,
sebagai ukuran keberhasilan dan kebahagiannya, dan atau sebagai pusat
kehidupannya. Jadi, cukup jelas bahwa Injil Lukas tidak membangun sikap
antipati terhadap kekayaan dan orang-orang kaya, tetapi mempertanyakan sikap
manusia atas kekayaan yang membuatnya lupa diri dan lupa sesama.
Tidak ada yang salah dengan
kekayaan dan atau menjadi orang kaya. Nas khotbah pada hari ini, dan seluruh Injil
Lukas, tidak mendorong kita untuk membenci kekayaan dan orang-orang kaya. Penulis
Injil Lukas tidak sedang menghakimi orang-orang kaya sebagai musuh Allah dan tidak
akan masuk ke dalam kerajaan surga. Teks khotbah hari ini justru menantang kita
dengan suatu pertanyaan penting, yaitu seperti apakah sikap kita terhadap
kekayaan tersebut? Pertanyaan ini harus direfleksikan secara mendalam, sebab
sikap atas kekayaan akan menentukan cara kita mendapatkan dan memperlakukan kekayaan.
Orang-orang yang bersikap
antipati terhadap kekayaan, akan membangun permusuhan dengan orang-orang kaya,
tidak peduli apakah orang-orang kaya tersebut baik atau tidak. Sikap antipati
terhadap kekayaan akan memunculkan orang-orang yang bekerja ala kadarnya,
orang-orang yang hanya pasrah begitu saja pada “nasib”, orang-orang yang tidak
mau memanfaatkan berbagai potensi yang ada untuk kehidupan yang lebih baik.
Sebaliknya, sikap yang
mengagungkan kekayaan, yaitu sikap yang tamak dan menggantungkan kehidupan pada
kekayaan tersebut akan memunculkan orang-orang yang menghalalkan segala cara
untuk memperoleh kekayaan, termasuk menyalahgunakan dan memanfaatkan segala
kesempatan (mis. kesempatan bertemu dengan Yesus, ay. 13-14), untuk meraup
warisan (keuntungan) sebanyak-banyaknya. Sikap yang mengagungkan kekayaan, yang
menganggap kekayaan sebagai segala-galanya dalam hidup, sebagai sumber nilai hidup
dan kebahagian, sebagai ukuran kesuksesan, akan membuat manusia lupa diri, lupa
sesamanya, dan lupa Tuhan. Itulah sebabnya, banyak orang yang mencari kekayaan
dengan cara yang salah; banyak orang yang mencari keuntungan sebanyak-banyaknya
dengan cara apapun, termasuk dengan cara yang manipulatif. Banyak orang yang
bertengkar, berkelahi, bahkan saling membunuh hanya karena memperebutkan harta
warisan, hanya karena memperebutkan proyek tertentu, hanya karena memperebutkan
wilayah ekonomi tertentu, hanya karena memperebutkan bansos (bantuan sosial)
apalagi di era pandemi Covid-19 ini. Banyak orang yang lupa diri bahwa dia
sebenarnya tidak patut mendapatkan bantuan sosial, mereka berjuang untuk menumpuk
bantuan bagi dirinya sendiri, mereka berjuang untuk memperkaya diri sendiri. Banyak
orang yang melupakan sesamanya, bahkan melupakan saudaranya dalam keluarga
hanya karena bantuan sosial dan atau keuntungan yang banyak. Maka, bantuan sosial,
dengan motivasi dan tujuan sosial, telah berubah menjadi ketidakadilan sosial. Sementara
itu, banyak orang yang hanya bekerja atau pun melayani dengan motivasi ekonomi
(uang), banyak orang yang menilai kualitas dirinya (dan orang lain) dengan
kekayaan/uang. Banyak orang yang merasa kurang bahagia hanya karena tidak
memiliki banyak harta, hanya karena tidak memiliki banyak jabatan, hanya karena
tidak memiliki gelar yang banyak, dlsbg. Di sinilah kemudian kekayaan (dan yang
sejajar dengannya) berubah menjadi sesuatu yang berbahaya bagi manusia. Lagi
pula, seandainya pun kita memiliki seluruh dunia ini, tetapi kita tidak mau
berbagi kepada sesama, untuk apa?
Apakah kekayaan itu menjamin
kebahagiaan kita? Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kekayaan bukanlah ukuran
kebahagiaan yang sejati. Apakah kekayaan merupakan ukuran tertinggi dari suatu
kesuksesan? Apakah kekayaan merupakan pusat dari kehidupan kita? Kalau iya,
maka kita sudah menempatkan kekayaan sebagai idol (ilah, berhala) dalam kehidupan kita, dan hal itu amat
berbahaya.
Kekayaan itu penting, tetapi
bukan segala-galanya. Kekayaan itu penting, tetapi harus dicari dan
dipergunakan dengan benar, dalam kerangka keadilan sosial. Kekayaan itu
penting, tetapi ingatlah, dan itulah yang diungkapkan juga dalam perumpamaan
ini, bahwa kita tidak akan membawa semua kekayaan itu ketika kita mati. Oleh sebab
itu, sikapilah, carilah, dan pergunakanlah kekayaan yang dimiliki dengan
cara-cara dan tujuan yang benar. Dengan demikian, seperti kata Yesus, kita akan
kaya di hadapan Allah.
Selamat mempersiapkan khotbah sesuai dengan konteks masing-masing
Saohagolo nua.....
ReplyDelete👍👍👍mantap pak Pdt, semoga jadi berkat.
ReplyDeleteThank you pastor Alokasih gulo
ReplyDeleteYou're all welcome, have a blessed Sunday
ReplyDelete