Sunday, November 27, 2016

Janji akan Ke-Hidup-an yang Amat Baik (Yesaya 2:1-5)



Khotbah Minggu Adven I, 27 Nopember 2016

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]

2:1  Firman yang dinyatakan kepada Yesaya bin Amos tentang Yehuda dan Yerusalem.
2:2  Akan terjadi pada hari-hari yang terakhir: gunung tempat rumah TUHAN akan berdiri tegak di hulu gunung-gunung dan menjulang tinggi di atas bukit-bukit; segala bangsa akan berduyun-duyun ke sana,
2:3  dan banyak suku bangsa akan pergi serta berkata: “Mari, kita naik ke gunung TUHAN, ke rumah Allah Yakub, supaya Ia mengajar kita tentang jalan-jalan-Nya, dan supaya kita berjalan menempuhnya; sebab dari Sion akan keluar pengajaran dan firman TUHAN dari Yerusalem.”
2:4  Ia akan menjadi hakim antara bangsa-bangsa dan akan menjadi wasit bagi banyak suku bangsa; maka mereka akan menempa pedang-pedangnya menjadi mata bajak dan tombak-tombaknya menjadi pisau pemangkas; bangsa tidak akan lagi mengangkat pedang terhadap bangsa, dan mereka tidak akan lagi belajar perang.
2:5  Hai kaum keturunan Yakub, mari kita berjalan di dalam terang TUHAN!


Berbagai cara biasanya dilakukan oleh orangtua untuk mendidik anak-anaknya menjadi anak yang baik. Ketika anak-anak misalnya nakal, kadang-kadang orangtua membimbing mereka dengan marah, tujuannya supaya mereka takut dan kemudian berhenti dari kenakalannya. Namun, kadang-kadang juga orangtua memakai pendekatan lain, membimbing anaknya yang nakal itu dengan cara menjanjikan sesuatu yang menyenangkan, tujuannya adalah supaya anak tersebut berkenan meninggalkan kenakalannya karena berharap akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan sesuai dengan janji orangtuanya itu. Saya kira mendidik anak dengan pendekatan-pendekatan seperti ini sama-sama benar, dalam dunia pendidikan dikenal dengan istilah “punishment and reward”.

Hal yang kurang lebih sama juga dilakukan oleh Allah kepada bangsa Israel pada zaman nabi Yesaya. Allah mendidik mereka dengan berbagai cara, supaya mereka menjadi baik sebagai umat pilihan TUHAN. Pada zaman nabi Yesaya ini tingkah laku bangsa Israel sebenarnya sangat menyusahkan hati TUHAN. Dalam pasal 1 kitab Yesaya ini misalnya, disebutkan dengan sangat jelas bagaimana perbuatan mereka yang sangat bobrok itu. Mereka melakukan berbagai tindakan ketidakadilan (bnd. Yes. 1:15-17, 21-23), dan melakukan ibadah yang palsu (Yes. 1:11-14). Saking jahatnya, bangsa Israel ini digambarkan lebih buruk dari binatang, “Lembu mengenal pemiliknya, tetapi Israel tidak; keledai mengenal palungan yang disediakan tuannya, tetapi umat-Ku tidak memahaminya” (Yes. 1:3). Itulah sebabnya Yesaya memberitakan amarah dan kecaman TUHAN atas mereka, supaya bangsa itu bertobat dan kembali ke jalan TUHAN. Sama seperti yang kadang-kadang dilakukan orangtua tadi kepada anaknya yang nakal, TUHAN pun sangat marah ketika umat pilihan-Nya, anak kesayangan-Nya bertingkah laku jahat.

Namun, cara kedua pun dipakai oleh TUHAN untuk membimbing umat-Nya yang “nakal” itu, yaitu menjanjikan sesuatu yang sangat baik di masa depan, namun dengan ajakan mereka mau berjalan di dalam terang TUHAN (2:5). Itulah yang tergambar dalam teks renungan kita pada hari ini (2:1-5). Setelah TUHAN marah, sekarang Dia mengajak umat-Nya untuk melihat bahwa di masa yang akan datang tanah tempat mereka berada, secara khusus gunung tempat rumah TUHAN mereka akan menjadi semacam “pusat dunia”, dan mereka akan menikmati itu semua kalau mereka bertobat, kalau mereka berjalan di dalam terang TUHAN.

Disebutkan bahwa pada hari-hari terakhir, tanah Yehuda dan Yerusalem akan mengalami masa-masa keemasan, dimana semua orang dari berbagai belahan dunia akan mengarahkan dirinya ke tanah TUHAN itu, sebab mereka percaya bahwa dari TUHAN sajalah sumber pengajaran/hikmat yang benar (2:3), kebalikan dari perlakuan manusia yang suka membodoh-bodohi sesamanya terutama membodoh-bodohi yang lemah; sumber pengadilan yang sangat adil (hakim dan wasit, 2:4), menggantikan sistem pengadilan Israel yang pada zaman itu sangat tidak adil; dan sumber damai sejahtera yang abadi sampai-sampai alat-alat perang pun berubah fungsi menjadi alat-alat pertanian, menggambarkan kehidupan yang tenang, damai dan sejahtera (2:4). Diharapkan, dengan janji-janji yang sangat menggiurkan ini, umat Israel akan berjalan di dalam terang TUHAN, dan tidak lagi hidup dalam kebejatan mereka.

Penggenapan dari janji TUHAN ini masih belum terpenuhi pada zaman Yesaya, bahkan mungkin sampai sekarang; orang Yehuda pada masa Yesaya ini masih jauh dari zaman itu. Yerusalem sama sekali masih belum ditinggikan, malah tenggelam dan dikuasai oleh bangsa asing. Mengapa? Karena mereka tidak menjadi keturunan Yakub sebagaimana mestinya, tidak berjalan dalam terang TUHAN (bnd. ay. 5). Pada masa ini, mereka malah tetap pada kekerasan hatinya, memperlakukan diri dan bangsa mereka sebagai “keturunan yang jahat-jahat” (1:4). Walaupun demikian, Yesaya tetap semangat meyampaikan nubuat ini untuk memotivasi bangsanya supaya mereka hidup dalam terang TUHAN.

Firman Tuhan pada hari ini merupakan nubuatan tentang kehidupan yang sangat baik di masa yang akan datang, dengan harapan bahwa melalui janji kehidupan yang lebih baik ini kita pun segera berbenah, melakukan perbaikan diri, sehingga pada akhirnya kita dilayakkan menikmati kehidupan yang amat baik itu.

Kita pun akan menikmati kehidupan yang amat baik itu, akan menikmati “masa-masa kejayaan” itu kalau kita hidup di dalam terang TUHAN. Analoginya sederhana, kita hanya dapat menikmati terang listrik kalau kita berada di tempat yang ada aliran listriknya. Jadi, kalau ada pertanyaan kapan dan di mana kita dapat menikmati kehidupan yang amat baik seperti dijanjikan TUHAN itu? Jawabannya sederhana, kapan saja dan di mana saja, yang penting kita tetap hidup dan berjalan di dalam terang TUHAN. Jangan pernah bermimpi akan kehidupan yang lebih baik kalau kita sendiri justru sering menciptakan kehidupan yang buruk, buruk bagi diri sendiri, buruk juga bagi sesama. Jangan pernah bermimpi negeri ini atau daerah kita akan maju kalau kita sendiri pun malah menjadi “serigala” bagi sesama.

Hari ini, TUHAN mengajak kita dengan cara yang baik-baik, dengan pendekatan yang lembut, sama seperti orangtua yang “merayu” atau “membujuk” anaknya untuk berhenti dari kenakalannya, dengan menjanjikan sesuatu yang menyenangkan baginya. Anak yang tahu diri tentu akan segera meresponi ajakan/bujukan orangtuanya itu dengan berbuat baik, dan orangtuanya pun pasti memenuhi janjinya.

Maka, jangan tunggu TUHAN memakai cara “keras” untuk mengajak/membujuk kita ke jalan yang benar. Sekali lagi, hari ini Tuhan mengajak kita dengan cara yang lembut, membujuk kita dengan baik-baik, supaya menjalani kehidupan kita dengan cara yang benar, dan pada akhirnya pun kita akan menikmati kehidupan yang amat baik, jauh dari kepalsuan, jauh dari pembodohan, jauh dari ketidaknyamanan, dan jauh dari ancaman perang. Karena itu, selagi baik-baik, kita tidak perlu “jual mahal”, jangan seperti “kucing, semakin dielus semakin menjadi”. Mari kita sambut janji dan ajakan Tuhan yang amat baik itu dengan “berjalan di dalam terang TUHAN” (Yes. 2:5).




[1] Khotbah Minggu Adven 1, 27/11/2016, Jemaat BNKP Lowalangida Zatulo

Sunday, November 20, 2016

Kepenuhan Allah ada di dalam Yesus (Kolose 1:11-20)



Bahan Khotbah Minggu, 20 Nopember 2016

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]



1:11  dan dikuatkan dengan segala kekuatan oleh kuasa kemuliaan-Nya untuk menanggung segala sesuatu dengan tekun dan sabar,
1:12 dan mengucap syukur dengan sukacita kepada Bapa, yang melayakkan kamu untuk mendapat bagian dalam apa yang ditentukan untuk orang-orang kudus di dalam kerajaan terang.
1:13 Ia telah melepaskan kita dari kuasa kegelapan dan memindahkan kita ke dalam Kerajaan Anak-Nya yang kekasih;
1:14 di dalam Dia kita memiliki penebusan kita, yaitu pengampunan dosa.
1:15 Ia adalah gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung, lebih utama dari segala yang diciptakan,
1:16 karena di dalam Dialah telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia.
1:17 Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia.
1:18 Ialah kepala tubuh, yaitu jemaat. Ialah yang sulung, yang pertama bangkit dari antara orang mati, sehingga Ia yang lebih utama dalam segala sesuatu.
1:19 Karena seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia,
1:20 dan oleh Dialah Ia memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di sorga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus.

Teks ini merupakan rangkaian doa Paulus atas jemaat Kristen di Kolose karena iman mereka dalam Kristus Yesus dan kasih mereka terhadap semua orang kudus (1:1-4, 9). Melalui doanya tersebut, terungkaplah harapan-harapan Paulus bagi jemaat yang pada zaman itu sedang menghadapi berbagai gempuran ajaran “sesat”, terutama pengaruh ajaran gnostik yang mengatakan bahwa keselamatan manusia itu ditentukan oleh tingkat pengetahuan (intelektual) yang dimilikinya. Di sini jelas terlihat upaya untuk membelokkan dasar/sumber dan tujuan keselamatan. Bahayanya adalah para pengikutnya berpikir bahwa keselamatan itu diperoleh sebagai usaha sendiri dengan cara memiliki pengetahuan yang tinggi. Pikiran seperti ini tentu bertentangan dengan ajaran dasar kekristenan bahwa keselamatan yang kita dapatkan merupakan kasih karunia Tuhan (sola gracia). Dengan ajaran ini juga timbullah pengotak-ngotakan dalam jemaat, ada kelompok yang merasa diri lebih rohani karena memiliki pengetahuan yang tinggi, sementara yang lain dianggap tidak rohani karena tingkat pengetahuan yang rendah. Tentu, hal ini merusak persekutuan jemaat sebagai tubuh Kristus.

Menanggapi ajaran ini, Paulus membuktikan sekaligus mengarahkan kembali jemaat bahwa Yesus Kristus yang selama ini mereka imani adalah Yang Sulung, Yang Terutama, Yang Istimewa dari segala sesuatu, melebihi/melampaui segala sesuatu, termasuk pengetahuan yang diagung-agungkan dalam ajaran gnostik tadi. Paulus menegaskan bahwa Yesus yang kita imani itu “menaungi” segala sesuatu, baik mereka yang (merasa) bijak dan terpelajar, maupun mereka yang (dianggap) sederhana dan bodoh.

Menurut Paulus, kepenuhan diri Allah (gambar Allah, ay. 15), kepenuhan karya penciptaan-Nya (ay. 16), dan kepenuhan keselamatan (penebusan, pengampunan dosa, dan pendamaian, ay. 14, 20) terwujud hanya di dalam Yesus Kristus. Kita dapat melihat diri Allah dengan sempurna di dalam Yesus, kita dapat melihat kesempurnaan karya Allah akan penciptaan di dalam Yesus, dan kita dapat mengalami keselamatan yang sempurna juga di dalam Yesus saja, tidak ada yang lain. Dengan kata lain, apabila ingin melihat seperti apakah Allah, maka pandanglah Yesus yang telah mati dan bangkit itu.

Oleh sebab itu, gereja harus tetap menempatkan Yesus sebagai dasar/sumber kehidupan dan keberadaannya, serta harus mampu menyatakan karya-karya Kristus tersebut, sehingga setiap orang dapat semakin tekun dan sabar serta bersuka cita dalam imannya kepada Yesus Kristus. Dengan iman seperti ini, maka tidak akan ada lagi orang yang mudah diombang-ambingkan oleh berbagai ajaran sesat, sebab dia sendiri telah melihat atau mengalami kesempurnaan Allah dalam dirinya melalui Yesus Kristus. Gereja harus tetap sadar bahwa Kepalanya adalah Kristus, tidak ada yang lain. Tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi kita, khususnya di Nias, yang seringkali menganggap gereja sebagai milik kita, milik leluhur kita, milik kampung kita, padahal yang sulung dan lebih utama seharusnya adalah Yesus Kristus, Dialah pemilik yang sesungguhnya, dan kita adalah anggota-anggota dari tubuh Kristus itu (jemaat). Wajah siapakah, atau seperti apakah wajah gereja dalam keberadaannya dewasa ini? Apakah wajah konflik?  Apakah wajah pengotak-ngotakan? Apakah wajah diskriminasi?  Atau wajah Allah sebagaimana Kristus adalah gambar Allah?

Sumber/dasar satu-satunya keselamatan yang kita peroleh adalah Yesus Kristus. Keselamatan itu tidak ditentukan oleh tingkat pengetahuan yang kita miliki (terpelajar atau bukan), tidak ditentukan oleh jenis pekerjaan kita, tidak ditentukan oleh jabatan kita, tidak ditentukan oleh harta yang kita miliki, ..., intinya keselamatan adalah anugerah Allah bagi kita di dalam Kristus Yesus. Yesus melakukan karya penyelamatan ini begitu sempurna melalui kematian dan kebangkitan-Nya, dan atas dasar itu pula kita yakin bahwa ada kehidupan kekal setelah kematian kita di dunia ini. Kita sedang menantikan kehidupan setelah kematian itu, sama seperti keluarga kita yang telah duluan pergi, sedang menantikan kehidupan setelah kematian mereka. Ini adalah jaminan keselamatan yang luar biasa, begitu sempurna. Tidak ada satu pun yang dapat menggantikan sumber/dasar keselamatan kita itu, dan tidak ada satu pun ajaran di dunia ini yang memberikan kita jaminan keselamatan selain di dalam Yesus Kristus. Oleh sebab itu, kita patut bersyukur dan bersukacita atas keselamatan yang dianugerahkan oleh Tuhan bagi kita, dan  kiranya iman pun semakin kokoh di dalam Dia.

Dewasa ini semakin banyak orang yang meragukan atau mempertanyakan kemahakuasaan Allah, seolah-olah Allah sudah tidak berdaya lagi menghadapi situasi dunia yang semakin “edan” ini. Kalau Tuhan memang ada, kalau Dia memang Mahakuasa, mengapa masih ada kejahatan? Mengapa terjadi kerusakan di mana-mana? Kalau Dia Tuhan yang baik, mengapa Dia menciptakan binatang-binatang buas? Mengapa Dia membiarkan orang-orang jahat itu?

Apa pun situasinya, seperti apa pun kondisi dunia saat ini, bagaimana pun keadaan hidup kita, kepenuhan dan kesempurnaan Allah tidak akan pernah berubah, hanya ada di dalam Yesus Kristus. Setinggi apa pun pengetahuan, ilmu dan jabatan manusia, sebanyak apa pun harta yang dimilikinya, sebesar apa pun kekuasaan yang ada padanya, dan sejahat apa pun dunia ini, tidak akan mengubah fakta bahwa kepenuhan Allah hanya ada di dalam Yesus. Manusia kini diberi kesempatan untuk memilih mendekat kepada Tuhan, sehingga kita pun dapat merasakan dan mengalami karya penyelamatan Allah secara utuh.


[1] Khotbah Minggu Kehidupan Kekal, 19/11/2016 di Jemaat BNKP Siona R. 26

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...