Saturday, September 25, 2021

Terimalah Orang yang pernah Melakukan Kesalahan kepadamu (Filemon 1:8-17)

Khotbah Minggu, 26 September 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

8 Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan,
9 tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagipula sekarang dipenjarakan karena Kristus Yesus,
10 mengajukan permintaan kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara, yakni Onesimus
11 --dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku.
12 Dia kusuruh kembali kepadamu--dia, yaitu buah hatiku--.
13 Sebenarnya aku mau menahan dia di sini sebagai gantimu untuk melayani aku selama aku dipenjarakan karena Injil,
14 tetapi tanpa persetujuanmu, aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, melainkan dengan sukarela.
15 Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya,
16 bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan.
17 Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri.

Di dunia Yunani-Romawi kuno, banyak orang yang menjadi budak, antara 35-40% dari keseluruhan penduduk. Pada zaman itu, budak merupakan milik tuan atau majikannya, dapat dibeli dan dijual sesuai kebebasan majikannya. Dalam faktanya, budak sering diperlakukan semena-mena, yang paling sering adalah diusir dari rumah tuannya ketika budak tersebut sudah tua atau sakit. Tidak ada BPJS-TK, tidak ada BPJS Kesehatan seperti dewasa ini. Hal yang cukup mengerikan adalah bahwa seorang majikan memiliki hak untuk membunuh budaknya ketika dia melarikan diri. Itulah ancaman yang mesti dihadapi oleh Onesimus, budak Filemon yang melarikan diri dari tuannya. Jadi, nasihat atau permintaan Paulus kepada Filemon di sini ada hubungannya dengan hidup atau mati Onesimus.

Disebutkan bahwa Paulus berada di penjara ketika dia menulis surat atau menyampaikan permohonannya kepada Filemon. Walaupun Paulus mestinya memikirkan dirinya yang dipenjara, tetapi hal itu tidak menghalangi dia untuk memikirkan bahkna memperjuangkan hidup-mati Onesimus. Satu hal yang mungkin membuat Paulus optimis adalah bahwa Filemon, (mantan) majikan Onesimus, merupakan orang baik. Paulus mengenal Filemon dengan baik, kemungkinan dia merupakan seorang pemimpin di gereja Kolose. Paulus memanggilnya sebagai “saudara dan teman sekerja” (Fil. 1:1). Ini mengindikasikan adanya ikatan pribadi antara Paulus dan Filemon. Sebagai seorang rasul, Paulus menggunakan posisi dan otoritasnya untuk memediasi Filemon dan Onesimus supaya hubungan keduanya menjadi harmonis kembali, tanpa mengganggu atau membatalkan hubungan tuan-budak. Paulus meminta Filemon untuk menerima kembali Onesimus yang sempat melarikan diri itu, sama seperti Filemon menerima diri Paulus.

Paulus amat mengapresiasi kebaikan, iman, dan kasih Filemon, itulah sebabnya Paulus begitu semangat mengajukan permintaannya atas nama Onesimus (1:8-22). Dengan kata-kata yang penih simpati dan kasih, Paulus memohon Filemon untuk menerima kembali Onesimus bahkan untuk selama-lamanya (ay. 15). Paulus tidak memerintahkan Filemon, Walaupun Paulus sebenarnya dapat memberi perintah kepada Filemon, tetapi dia justru memilih pendekatan yang simpatik, dia “mengajukan permintaan” (ay. 10) kepada Filemon, “atas dasar kasih” (ay. 9). Paulus pun meminta Filemon untuk melakukan perbuatan baik (untuk menerima Onesimus) secara sukarela dan karena paksaan (ay. 14).

Paulus sendiri mengakui bahwa dia sudah menerima Onesimus dan bahkan menganggapnya sebagai anaknya yang didapatkannya ketika dia di penjara (ay. 10), menyebutnya sebagai buah hatinya (ay. 12), dan saudara yang kekasih (ay. 16). Apa maksud dari kata-kata Paulus ini semua? Tentu saja Paulus bermaksud mengajak secara simpatik Filemon untuk menerima Onesimus kembali, sama seperti Paulus telah menerimanya ketika dia berada di penjara. Lebih jauh, Paulus meyakinkan Filemon bahwa berdasarkan pengamatannya, Onesimus sudah berubah menjadi lebih baik. Pada ayat 11 Paulus berkata: “dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku”. Jadi, Onesimus tidak lagi sekadar budak (yang dianggap tidak berguna), tetapi sebagai sesama manusia (yang berguna).

Apa saja refleksi kita dari teks ini?
Pertama, kita belajar dari sikap Paulus yang simpatik dan rendah hati, seperti ditunjukkannya kepada Filemon. Teks ini mengingatkan kita untuk bersikap seperti Paulus dalam hubungan kita dengan sesama. Walaupun praktik perbudakan tidak lagi seperti pada zaman dulu di dunia Yunani-Romawi kuno, tetapi sikap Paulus ini tetap menjadi pedoman bagi kita supaya tidak menggunakan posisi dan otoritas yang kita miliki untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Seorang pemimpin yang baik dan rendah hati akan mampu memengaruhi bawahannya dengan pendekatan dan kata-kata yang simpatik. Di sini kita diajak untuk menjadi sahabat yang baik kepada sesama tanpa pengecualian.

Kedua, kita belajar dari sikap Paulus yang menunjukkan kewibawaannya dengan cara dan bahasa yang lembut dan penuh kasih. Kewibawaan seseorang tidak terletak pada cara dan bahasanya yang keras dan kasar dengan dalih tegas, tetapi justru pada pendekatannya yang humanis yang dicirikan, antara lain, dengan cara dan bahasa yang lembut dan penuh kasih. Kewibawaan seseorang tidak terletak pada intimidasi dan kesulitan yang dia ciptakan bagi orang lain, tetapi pada jalan keluar yang memberi kemudahan kepada sesama tanpa mengabaikan kualitas hidup. Cara dan bahasa yang keras, kasar, mengintimidasi, dan menyulitkan, sesungguhnya cerminan dari diri kita yang belum sepenuhnya bebas dari gaya dan pendekatan kolonialis. Apakah gaya dan pendekatan itu ada sampai sekarang? Mungkin saja!

Ketiga, kita belajar dari Paulus, sebagaimana dia teruskan kepada Filemon, untuk menerima orang lain yang pernah melakukan kesalahan. Onesimus telah melarikan diri dari majikannya, Filemon, seharusnya dihukum keras. Paulus tahu apa konsekuensi yang harus diterima oleh Onesimus, tetapi dia melihat bahwa ada perubahan signifikan dalam diri Onesimus tersebut. Oleh sebab itu, dia meminta Filemon untuk memaafkan atau mengampuni Onesimus, dan menerimanya kembali. Ajaran penting di sini adalah TIDAK ADA DOSA YANG TERLALU BESAR UNTUK TIDAK DIAMPUNI, dan TIDAK ADA SEORANG PUN YANG BEGITU HINA UNTUK TIDAK DICINTAI. Kita mestinya mampu dengan rendah hati menerima mereka yang pernah berbuat salah kepada kita, itulah salah satu ciri khas pengikut Kristus.

Dari perkataan-perkataan Paulus dalam teks ini, kita belajar bahwa orang (Kristen) yang baik mestinya mampu mengampuni dan menerima orang lain sekalipun sudah pernah berbuat salah kepadanya. Inilah juga salah satu maksud dari perumpamaan Yesus tentang pengampunan sebagaimana tertulis pada Matius 18:21-35. Pada perumpaan tersebut Yesus memberikan contoh pengampunan dengan ilustrasi orang yang berutang. Ada orang yang punya utang kepada sang raja, tetapi kemudian raja mengasihani dia sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Sayang sekali, orang tersebut tidak melanjutkan belas kasihan yang telah diterimanya itu kepada kawannya yang berutang kepadanya, dan malah menjebloskan kawannya tersebut ke dalam penjara. Akhirnya, sang raja tadi mendengar kasu tersebut dan marah, dan menghukumnya. Dalam pandangan sang raja, setiap orang yang sudah merasakan belas kasihan, mestinya meneruskan belas kasihan tersebut kepada sesamanya. Setiap orang yang sudah merasakan pengampunan dan kasih Tuhan, merstinya mampu juga meneruskan pengampuan dan kasih tersebut kepada sesamanya. Kata sang raja: “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat. 18:33).

Sunday, September 12, 2021

Berhikmat dalam Yesus / Fa’atuatua ba khö Yesus (Markus 8:31-38)

Rancangan Khotbah Minggu, 12 September 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


31 Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.
32 Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia.
33 Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
34 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.
35 Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.
36 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.
37 Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?
38 Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.”

Teks ini berbicara tentang beberapa paradoks yang ditampilkan oleh Yesus sehubungan dengan hal mengikut Dia. Paradoks-paradoks tersebut dimulai dengan teguran kerasnya kepada Petrus yang tidak menerima pernyataan Yesus bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan penolakan. Pada awalnya Petrus dengan tepat mengidentifikasi Yesus sebagai Mesias (8:29), suatu hal yang juga diperkenalkan oleh Markus sejak awal tulisannya(1:1). Yesus memang tidak langsung mengonfirmasi pengenalan Petrus akan Mesias itu, Dia malah melarang mereka dengan keras untuk tidak memberitahukan hal tersebut kepada siapapun (8:30). Mengapa? Entahlah!

Kalau membaca dengan cermat teks khotbah hari ini, tampaknya larangan Yesus tersebut dapat diartikan sebagai cara-Nya untuk mengajar para murid dan pengikut-Nya untuk tidak terburu-buru menghubungkan-Nya dengan pemahaman politis Yahudi tetang Mesias. Yesus adalah Mesias, tetapi kemesiasan-Nya tidak untuk memenuhi hasrat politis bangsa Yahudi, tetapi untuk menggenapi nubuat tentang Mesias yang harus menderita. Paradoks sebenarnya sudah mulai dari pernyataan Yesus ini: pada satu sisi Dia menegaskan bahwa diri-Nya adalah Anak Manusia, yang dalam pemahaman PL (secara khusus kitab Daniel 7:13-14) disebut memiliki kemuliaan dan kekuasaan, tetapi pada sisi lain Yesus memberitahukan penderitaan dan penolakan yang harus dialami oleh Anak Manusia tersebut.

Pernyataan Yesus tersebut sulit dipahami dan diterima oleh akal sehat manusia. Bagaimana mungkin Anak Manusia yang mulia dan berkuasa akan mengalami penderitaan dan penolakan seperti itu? Kebingungan seperti inilah yang dialami oleh Petrus sehingga dia ‘menarik Yesus ke samping dan menegor Dia’ (8:32). Sama seperti kita, Petrus ternyata sulit memahami dan menerima pernyataan Yesus itu, sebab berfokus pada hal-hal yang dipikirkan oleh (akal) manusia. Dalam kemarahan Yesus kepada Petrus tersirat pesan bahwa hanya pikiran yang ilahi yang mampu memahami dan menerima pernyataan Yesus tentang Mesias yang menderita. Hikmat manusia terbatas, tetapi hikmat Tuhan mampu membimbing manusia untuk memahami dan menerima hal-hal yang kadang-kadang membuat kita bingung.

Setelah itu, muncullah semacam syarat mengikut Yesus yang juga membingungkan, yaitu menyangkal diri dan memikul salib. Menyangkal diri (Yun. aparneomai) berarti melupakan diri sendiri, kehilangan pandangan terhadap diri dan kepentingannya sendiri. Ini jelas sulit, bertentangan dengan permintaan dua murid Yesus (Yohanes dan Yakobus) yang berorientasi pada kesenangan, kenyamanan, hormat, dan kemuliaan bagi diri mereka (duduk di sebelah Yesus). Memikul salib berarti siap menanggung apa yang seharusnya tidak ditanggungnya, dan Yesus sudah memberikan teladan dengan melakukan itu. Yesus pun menegaskan konsekuensi dari keputusan manusia untuk mengikut Dia. Kehilangan nyawa dapat saja menjadi konsekuensi dari mengikut Yesus, tetapi justru dengan kehilangan nyawa seperti itulah seseorang beroleh keselamatan. Sama seperti pernyataan sebelumnya, pernyataan Yesus tentang hal mengikut Dia ini masih sukar dipahami, dan semakin sulit dengan pernyataan-Nya di ayat 36-37 “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Kata-kata ini justru mendorong kita untuk ‘mementingkan’ nyawa daripada memperoleh seluruh dunia, tetapi pada pernyataan sebelumnya Yesus malah menegaskan bahwa “siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” (8:35). Kalau melihat teks ini dari persepsi manusia, maka ada kesan Yesus menyampaikan pesan yang plin plan, tidak jelas, dan membingungkan. Tetapi sekarang mari kita pahami secara sederhana pernyataan Yesus yang agak pardoks ini. Memperoleh seluruh dunia itu hebat, tetapi jangan sampai kehilangan nyawa hanya untuk memperolehnya. Nyawa lebih penting daripada memperoleh seluruh dunia. Namun demikian, nyawa pun bukanlah segala-galanya, keselamatanlah yang lebih utama, dan itu hanya ada di dalam Yesus. Kalau pada akhirnya kita kehilangan nyawa (dan karenanya kehilangan seluruh dunia) karena Yesus dan Injil, kita justru telah menyelamatkan nyawa kita (dan dunia). Yesus sudah melakukan-Nya, walaupun harus mengalami penderitaan dan penolakan. Masih sulit memahami maksud perkataan Yesus? Mintalah hikmat-Nya, sebab akal manusia saja tidak akan mampu memahami dan menerimanya.

Pernyataan-pernyataan Yesus pada teks khotbah ini tentu saja kontras dengan pemahaman dan nilai-nilai yang dianut oleh manusia. Para murid pernah berdebat tentang siapa yang terbesar di antara mereka, tetapi sebaliknya Yesus meminta mereka untuk menjadi yang terkecil menurut ukuran dunia (lih. 9:35-36). Ketika Yakobus dan Yohanes meminta tempat di sebelah Yesus (kehormatan dan kemuliaan), Dia justru meminta mereka mereka untuk ambil bagian dalam penderitaan dan penolakan yang dialami-Nya.

Tentu saja nilai-nilai ilahi yang ditawarkan oleh Yesus seringkali sulit kita pahami dan terima. Bukankah kita bekerja untuk kelangsungan hidup di dunia ini? Bukankah perjuangan kita mendapatkan kehormatan dan kemuliaan merupakan sesuatu yang lumrah? Bukankah persaingan kita di dunia ini merupakan sesuatu yang harus terjadi apalagi di era digital ini? Lalu, mengapa Yesus seolah-olah mengabaikan semua itu?

Sebenarnya, Yesus mau kalau kita hidup di dunia ini tidak hanya membawa dan menghadirkan nilai-nilai yang manusiawi tersebut. Dia mau kita menghadirkan nilai-nilai ilahi, sama seperti yang pernah Dia tunjukkan selama berada di dunia. Dengan hikmat Tuhan, kita harus memahami nilai-nilai ilahi itu, bahwa kita siap mempertaruhkan nyawa sendiri demi orang lain. Yesus tidak menganjurkan penderitaan yang tidak jelas, Yesus mengaitkannya dengan Injil.

Harus kita akui bahwa banyak hal, banyak situasi, dan banyak peristiwa yang sulit kita pahami dalam hidup ini. Kita mungkin saja mempertanyakan maksud Allah atas berbagai bencana yang kita alami sampai hari ini, secara khusus pendemi Covid-19 yang terus menghantui hidup kita. Hanya hikmat yang dari Tuhan yang dapat menolong kita untuk memahami dan menerima situasi seperti ini. Oleh sebab itu, tetaplah di dalam hikmat Tuhan, sebab dengan hikmat-Nya kita dapat menjalani kehidupan kita dengan bijaksana, sehingga kita dapat tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka (Amsal 1:33).

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...