Saturday, August 28, 2021

Tuhan Mengetahui Isi Hatimu / I’ila Nösi Dödöu So’aya (Markus 7:17-23)

Bahan Khotbah Minggu, 29 Agustus 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

17 Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu.
18 Maka jawab-Nya: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya,
19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal.
20 Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya,
21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan,
22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.
23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”

Teks ini merupakan respons lanjutan Yesus atas sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang memperlakukan adat istiadat manusia lebih istimewa daripada perintah Allah sendiri. Sebelumnya, Yesus berdebat dengan mereka sehubungan dengan hal membasuh tangan sebelum makan, dan beberapa tradisi lainnya juga disebut, seperti mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga (lih. Mrk. 7:1-15; bnd. Kel. 30:18; 40:31-32 // Kel. 29:4-9; 40:12-15; Imamat 8:6, 7). Bagi orang Yahudi, tradisi-tradisi tersebut merupakan tolok ukur untuk menilai kesucian atau kenajisan seseorang (ay. 3-4; bnd. Mzm. 26:6). Ketika murid-murid Yesus makan dengan tidak mencuci tangan, mereka mempersoalkannya, mereka keberatan kepada Yesus (ay. 2).

Kalau kita membaca dengan cermat respons Yesus, maka akan terlihat bahwa Dia tidak menghilangkan tradisi adat istiadat tersebut atas nama Firman Tuhan. Yesus berfokus pada kemunafikan mereka, yang seolah-olah memuliakan Tuhan (dengan melaksanakan segala tradisi itu), sementara dalam hidup sehari-hari mereka tidak taat pada perintah Tuhan. Banyak hal dalam perintah Tuhan yang mereka abaikan demi untuk memelihara tradisi adat istiadat tersebut, antara lain perihal menghormati orangtua (Mrk. 7:10-12), atau perihal keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (lih. Mat. 23:23). Sekali lagi, Yesus tidak membatalkan tradisi adat istiadat manusia tersebut, Dia hanya meluruskan pola pikir, sikap, dan cara memperlakukan tradisi tersebut supaya tidak mengalahkan ketaatan manusia atas perintah Tuhan sendiri. Yesus hendak menegaskan bahwa ukuran suci atau najis tidak ditentukan oleh ketaatan pada tradisi adat istiadat yang kelihatan itu, tetapi lebih pada isi hati manusia yang tidak kelihatan. Kesalehan manusia tidak ditentukan oleh penampakan di luar, tetapi pada isi hati yang umumnya tersembunyi bagi orang lain. Itulah sebabnya Yesus berkata: “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mrk. 7:15).

Pada teks khotbah hari ini, Yesus menjelaskan apa maksud dari perkataan-Nya itu, sebab murid-murid-Nya pun tidak dapat memahaminya (Mrk. 7:17-23). Perhatikan secara khusus perkataan Yesus di ayat 18-19: “… segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya …” Orang-orang Farisi dan ahli Taurat berfokus pada soal makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut, sementara Yesus melihat lebih pada hati manusia itu. Alasan Yesus jelas, yaitu bahwa isi hati manusialah yang lebih menentukan sikap dan perbuatan manusia, bukan apa yang masuk ke dalam perutnya. Dengan kata lain, kesucian atau kenajisan seseorang sangat ditentukan oleh kesucian atau kenajisan isi hatinya, bukan soal makanan dan seperti apa seseorang makan. Melalui perkataan ini Yesus juga, sebagaimana dicatat oleh Markus, hendak menegaskan bahwa ‘semua makanan halal’ (ay. 19b). Seseorang boleh saja mengonsumsi makanan atau minuman yang, menurut ukuran tradisi Yahudi, halal, tetapi itu tidak ada artinya kalau hatinya penuh dengan “pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (ay. 21-22). Seseorang boleh saja makan atau minum dengan cara yang, menurut ukuran Yahudi, suci (membasuh tangan), tetapi itu tidak ada artinya kalau dari dalam hatinya keluar berbagai bentuk kejahatan. Sikap sok suci tersebut merupakan sikap yang penuh dengan kemunafikan, penuh dengan kepalsuan, dan Yesus mengecamnya. Silakan saja ikuti tradisimu itu, tetapi jangan lupa untuk membersihkan hatimu.

Kalau orang-orang Yahudi dulu sibuk dengan urusan tradisi manusia, seolah-olah lebih penting daripada firman Tuhan, kita pun dewasa ini seringkali lebih banyak mengurus hal-hal yang remeh-temeh, tidak begitu penting, tidak begitu menentukan kualitas iman kita. Kita seringkali banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkan hal-hal yang sekunder, dan, entah disadari atau tidak, kita pun pada akhirnya mengabaikan atau tidak mengerjakan hal-hal yang lebih penting bagi pertumbuhan iman kita.

Namun demikian, sama seperti Yesus tadi, hal-hal di atas tidak serta merta berarti bahwa semua tradisi atau kebiasaan yang sekunder itu dihilangkan sama sekali. Yesus tidak mengarah ke situ, Dia hanya prihatin atas sikap manusia (orang-orang Yahudi dan kita sekarang) yang begitu munafik, tampil seolah-olah takut akan Tuhan, padahal sesungguhnya hati dan seluruh kehidupannya jauh dari Tuhan. Orang-orang munafik seperti ini terus bermunculan di sepanjang zaman, apalagi di Indonesia yang akhir-akhir ini tampil seolah-olah lebih saleh dari orang lain yang dianggap kafir. Banyak orang yang tampil lebih Arab dari Arab, sementara orang Kristen sendiri semakin lama lebih Yahudi dari Yahudi.

Keanehan lain adalah begitu banyaknya orang Kristen, termasuk para hamba Tuhan, yang begitu berapi-api di gereja, penampilannya tampak begitu saleh, tetapi di luar gereja, dalam kehidupannya sehari-hari di rumah, atau di tempat kerja, tidak mencerminkan sikap orang yang takut akan Tuhan.

Manusia mungkin tidak mengenal isi hati kita, tetapi sadarlah bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan, Dia mengetahui isi hati kita. Ada sebuah ungkapan klasik: “Dalamnya lautan bisa diduga, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu”. Ungkapan ini hendak menegaskan bahwa isi hati seseorang tidak ditebak dengan pasti. Namun demikian, firman Tuhan pada hari ini menyadarkan kita bahwa Tuhan tahu segalanya, Tuhan tahu apa pun yang tidak terlihat oleh mata manusia, Tuhan tahu apa pun yang tidak bisa ditebak oleh manusia, Tuhan tahu isi hati kita masing-masing.

Seseorang boleh saja tampil bermanis muka kepada orang lain, tetapi kita tidak bisa melakukan itu kepada Tuhan. Manusia boleh saja tampil menyenangkan bosnya (ABS, AIS), tetapi hal itu tidak bisa dilakukan di hadapan Tuhan. Manusia boleh saja bermain sandiwara ketika berada dalam situasi tertentu untuk menutupi kebobrokannya, tetapi ingatlah bahwa Tuhan tahu situasi yang sebenarnya. Benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, seperti dinyanyikan oleh Nicky Astria, tetapi Tuhan tahu sandiwara apa yang sedang kita lakonkan masing-masing. Penulis surat Ibrani mengingatkan kita bahwa tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (4:13).

Saturday, August 21, 2021

Berjalanlah dalam Jalan Tuhan – Mitörö Lala khö Yehowa (Mazmur 34:12-18)

Khotbah Minggu, 22 Agustus 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

12 Marilah anak-anak, dengarkanlah aku, takut akan TUHAN akan kuajarkan kepadamu!
13 Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik?
14 Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu;
15 jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya!
16 Mata TUHAN tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada teriak mereka minta tolong;
17 wajah TUHAN menentang orang-orang yang berbuat jahat untuk melenyapkan ingatan kepada mereka dari muka bumi.
18 Apabila orang-orang benar itu berseru-seru, maka TUHAN mendengar, dan melepaskan mereka dari segala kesesakannya.

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang lebih baik. Berbagai cara dilakukan untuk mencapainya, entah dengan cara yang baik ataupun dengan cara yang tidak baik. Ada orang yang menjalani kehidupannya dengan jujur dan mengisinya dengan segala kebaikan; ada juga orang yang demi menikmati kehidupan yang dianggapnya baik untuk dirinya, menempuh jalan yang tidak benar, berjudi, menipu, mencuri, korupsi, menyalahgunakan jabatan, dll. Ada orang yang berupaya mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan cara-cara yang benar, tetapi ada juga orang yang menempuh jalan yang menyimpang dari kebenaran, dan tidak sedikit orang yang malah menempuh jalan yang amat memalukan. Itu semua dilakukan untuk mendapatkan, mencapai, atau menikmati hal-hal yang baik dalam hidup. Kita masuk di kelompok orang yang seperti apa?

Firman Tuhan pada hari ini berbicara tentang jalan yang sebaiknya kita tempuh untuk mendapatkan, mencapai, atau menikmati hal-hal yang baik dalam hidup ini. Setelah memberi tahu kita di ayat 12 bahwa dia akan mengajari kita tentang takut akan TUHAN, Daud kemudian mengajukan pertanyaan ajakan pada ayat 13: “Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik?” Pertanyaan ini dimaksudkan untuk mengajak kita untuk menempuh jalan TUHAN kalau mau menikmati kehidupan yang lebih baik. Itulah yang diuraikan oleh Daud pada ayat 14, 15, 16, dan 18.

Sebelum memahami lebih jauh jalan seperti apa yang kita tempuh, penting juga untuk memperjelas “hidup yang baik” seperti apa yang Daud (pemazmur) maksudkan dalam teks ini? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan berfokus sejenak pada pertanyaan Daud tadi: “Siapakah orang yang menyukai hidup, yang mengingini umur panjang untuk menikmati yang baik?” (ay. 13). Dalam PL, termasuk Daud sendiri, hidup yang baik itu ditandai dengan umur yang panjang, hidup yang makmur dan sejahtera. Ini bisa saja menimbulkan kesalahpahaman soal “hidup yang baik”. Apakah mereka yang mati pada usia muda dapat dianggap sebagai hidup yang tidak baik? Apakah mereka yang tidak makmur dan sejahtera (dalam kehidupan ekonomi) dapat dianggap sebagai hidup yang tidak baik? Yesus itu mati pada usia muda dengan cara yang amat tragis, kehidupan ekonomi-Nya selama di dunia pun jauh dari makmur dan sejahtera. Apakah dengan demikian hidup Yesus bukan hidup yang baik sebagaimana disebutkan oleh Daud? Kalau kata-kata pemazmur ini dipahami secara harfiah, tentu saja akan menimbulkan kesalahpahaman dan bahkan kesalahan arah kehidupan kita.

Sekali lagi, dalam PL, hidup yang baik itu ditandai dengan umur yang panjang, hidup yang makmur dan sejahtera. Namun demikian, apabila kita membaca lebih luas konteks Mazmur ini, maka akan terlihat bahwa Daud sebenarnya tidak hanya menghubungkan hidup yang baik dengan umur yang panjang, hidup yang makmur dan sejahtera. Itu bukan inti dari “hidup yang baik” yang hendak disampaikan oleh Daud. Perhatikanlah ayat-ayat sebelumnya (ay. 9-11), dan ayat 16, 18 pada nas renungan kita pada hari ini. Daud hendak menegaskan bahwa “hidup yang baik” itu adalah hidup yang selalu berada dalam pemeliharaan Allah. Hidup itu sendiri adalah suatu kebaikan, entah berumur panjang ataupun mati di usia muda. Hidup itu sendiri adalah suatu anugerah yang amat baik dari TUHAN, entah makmur ataupun miskin, entah sejahtera ataupun pra-sejahtera. Hal yang paling penting di sini adalah bahwa hidup ini berada di bawah naungan pemeliharaan Allah dalam situasi apa pun; itulah hidup yang baik!

Sekarang, jalan seperti apa yang mesti kita tempuh untuk mendapatkan, mencapai, atau menikmati “hidup yang baik” itu? Dengan gamblang Daud menuturkannya pada ayat 14 dan 15: “Jagalah lidahmu terhadap yang jahat dan bibirmu terhadap ucapan-ucapan yang menipu; jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik, carilah perdamaian dan berusahalah mendapatkannya! Teks ini nanti yang dikutip langsung oleh Petrus ketika dia menasihati jemaat Kristen di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia jalan yang harus ditempuh kalau mereka mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik (lih. 1 Ptr. 3:10-12).

Kita mesti menjaga lidah dari apa pun yang jahat, menjaga lidah dari kata-kata yang jahat (bnd. Yak. 3:6). Kata-kata kita dapat membantu orang lain, dapat juga menyakiti mereka; dapat menyembuhkan dan dapat juga melukai; dapat memberikan dorongan (semangat) tetapi dapat juga mematahkan semangat. Oleh sebab itu, kita harus berhati-hati dengan “lidah” atau dengan kata-kata yang kita gunakan. Parker mengatakan: “Jangan sekali-kali membuang lumpur. Anda boleh saja melemparnya kepada sasaran tertentu, tetapi tangan Anda tetap akan kotor oleh lumpur itu”.

Tetapi, itu bukan berarti, kita berbicara hal-hal yang enak didengar walaupun harus berbohong, hanya untuk menyenangkan orang lain. Ingat, kebohongan yang satu akan melahirkan kebohongan lainnya. Kita harus menjaga lidah atau ucapan kita supaya tidak menipu. Ucapan-ucapan yang benar mungkin saja terasa/terdengar menyakitkan, tetapi jauh lebih mengerikan ucapan yang menipu atau kebohongan, karena dapat mematikan orang lain, yaitu mematikan kepercayaan dan relasi kita satu terhadap yang lain. Yesus sendiri mengatakan: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat” (Mat. 5:37).

Jalan yang mesti kita tempuh selanjutnya untuk mendapatkan, mencapai, dan menikmati “hidup yang baik” adalah dengan menjauhkan diri dari apa pun yang jahat, dan sebaliknya melakukan yang baik, serta mencari perdamaian (ay. 15). Jauhilah kejahatan, karena satu kejahatan dapat menyebabkan banyak kejahatan lainnya. Tidak ada kebaikan yang lahir dari kejahatan. Jahat ya tetap jahat, buruk ya tetap buruk. Menipu ya tetap menipu, korupsi ya tetap korupsi, iri hati ya tetap iri hati. Tidak ada menipu yang baik, tidak ada korupsi yang baik, dan tidak ada iri hati yang baik. Kita diajak untuk menempuh jalan kebaikan, kalau kita ingin menikmati hidup dan hari-hari yang baik. Caranya? Ya, berbuat baiklah bahkan ketika orang lain berbuat jahat kepadamu! Ingat: tidak ada kebaikan dalam kejahatan!

Apa lagi? Hiduplah dalam perdamaian! Kita dapat hidup dalam damai kalau kita mencari kedamaian. Berdamailah dengan dirimu sendiri, berdamailah dengan orang lain, berdamailah dengan alam sekitarmu, berdamailah dengan Tuhan. Rasul Paulus mengatakan: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang! (Rm. 12:18).

Apakah kita menginginkan “hidup yang baik”, yaitu hidup yang selalu dinaungi oleh pemeliharaan Allah? Kalau mau, maka berjalanlah dalam jalan Tuhan. Tuhan senantiasa berjaga-jaga untuk memelihara orang-orang yang berjalan dalam jalan-Nya, sebaliknya Dia akan menentang dan melenyapkan orang-orang yang hidup jauh dari jalan Tuhan. Mau berjalan di jalan seperti apa?

Saturday, August 14, 2021

Allah yang Memerdekakan – Lowalangi Zangefa’ö (Yohanes 8:30-36)

Bahan Khotbah Minggu, 15 Agustus 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


8:30 Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya.
8:31 Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku
8:32 dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”
8:33 Jawab mereka: “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?”
8:34 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa.
8:35 Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah.
8:36 Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka.”

Kita akan memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke-76 tahun, tepatnya tgl 17 Agustus 2021. Kita memang sedang berada di bawah bayang-bayang ketakutan karena pandemi covid-19, namun demikian peringatan hari kemerdekaan itu tetap dilakukan secara sederhana. Mengapa? Karena kemerdekaan merupakan kebutuhan mendasar manusia. Hal ini terungkap misalnya dalam alinea pertama pembukaan UUD 1945: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa …”.

Apakah kemerdekaan Indonesia itu merupakan suatu pemberian atau hasil perjuangan? Ada beberapa orang/pihak yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah dari Jepang, atau paling tidak merupakan dampak dari kekalahan Jepang dari sekutu pada tahun 1945. Namun, sebagian besar rakyat Indonesia percaya bahwa kemerdekaan itu lebih sebagai hasil perjuangan para pendahulu kita di negeri tercinta ini. Di atas semuanya itu, kita percaya, sebagaimana juga disebutkan dalam alinea ketiga pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan kita merupakan berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa.

Pernyataan pada aline ketiga pembukaan UUD 1945 tersebut sangatlah teologis. Kita tetap mengapresiasi perjuangan para pendahulu kita, tetapi penting disadari bahwa semuanya itu merupakan anugerah Allah. Dengan kata lain, Allah sendirilah yang menganugerahkan kemerdekaan tersebut bagi kita. Ini merupakan suatu pengakuan dan kesadaran bahwa Allah yang memerdekakan kita semua, sekaligus ajakan untuk senantiasa mensyukuri kemerdekaan tersebut. Dalam teks khotbah pada hari ini, Yesus pun menegaskan bahwa sesungguhnya Allah yang memerdekaan kita. Yesus, yang adalah Tuhan kita, mengatakan: “jadi apabila Anak [Tuhan Yesus] itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka”.

Mengapa Yesus [mesti] mempertegas bahwa Allah, di dalam Yesus Kristus, yang memerdekakan kamu (dhi orang-orang Yahudi)? Bukankah orang Yahudi merupakan bangsa yang percaya kepada Allah? Apa sebenarnya pokok persoalan mereka?

Teks ini merupakan kelanjutan dari ‘perdebatan’ dan atau ‘pertentangan’ Yesus dengan orang-orang Yahudi tentang diri Yesus (Yoh. 7-8). Yesus mempertegas bahwa Dia berasal dari Allah (yang dipercaya oleh orang-orang Yahudi), sementara orang-orang Yahudi tidak percaya kepada-Nya. Yesus mempertegas bahwa di dalam Dia ada kehidupan dan kebenaran, sedangkan orang Yahudi bangga dengan status mereka sebagai keturunan Abraham. Orang-orang Yahudi memahami bahwa, dengan status sebagai keturunan Abraham, mereka adalah orang-orang merdeka, tidak pernah menjadi hamba siapapun (ay. 33). Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang Yahudi ketika mengatakan bahwa mereka tidak pernah menjadi hamba siapapun. Dalam sejarahnya, hingga zaman Yesus, mereka sudah pernah dan sedang berada dalam penjajahan bangsa lain. Leluhur mereka pernah diperbudak di Mesir; bangsa mereka pernah dibuang ke Babel dan hidup di bawah penjajahan bangsa asing; dan pada zaman Yesus mereka sedang dikuasai oleh kekaisaran Romawi. Sepertinya, mereka menyangkal kalau pernah dan sedang dijajah oleh orang atau bangsa lain. Mereka hidup dengan khayalan seolah-olah mereka tidak diperhamba oleh pihak lain. Ini mirip dengan kita yang terus menyangkal bahwa Corona itu tidak ada, atau bahwa demam saya bukan Corona.

Itulah sebabnya Yesus mengajak mereka untuk lebih realistis, bahwa sesungguhnya mereka bukanlah orang-orang merdeka. Yesus tahu bahwa mereka adalah keturunan Abraham (Yoh. 8:37a), tetapi Yesus melangkah lebih jauh ke persoalan mereka yang paling dasariah, yaitu keberdosaan. Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa (ay. 34). Yesus menyadarkan mereka bahwa dosa telah memperhamba mereka, dan oleh sebab itu mereka perlu dimerdekakan. Tidak mungkin mereka (yang adalah hamba dosa) mampu memerdekakan diri mereka sendiri, mesti ada orang atau pihak lain yang melakukannya. Hanya Yesus, Sang Anak, yang dapat memerdekakan (ay. 35-36). Sayang sekali, mereka memilih untuk menolak bahkan berusaha untuk membunuh Yesus yang datang untuk memerdekakan mereka (Yoh. 8:37b).

Orang Yahudi memiliki sesuatu yang dibanggakan, yaitu status sebagai keturunan Abraham, tetapi toh Yesus mengingatkan bahwa mereka masih perlu dimerdekakan. Apalagi dengan kita yang bukan keturunan Abraham seperti orang Yahudi, tentu saja perlu dimerdekakan. Kita mesti menyadari dan mengakui hal itu, bahwa sesungguhnya Allah yang memerdekakan kita. Kesadaran dan pengakuan ini bukan sekadar kata-kata, tidak sekadar dimuat dalam alinea ke-3 pembukaan UUD 1945. Ini adalah sebuah ajakan untuk sungguh-sungguh menyadari dan mengakui bahwa kita sebenarnya tidak dapat berbuat banyak untuk membebaskan diri dari penjajahan bangsa lain kalau Tuhan tidak terlibat dalam proses sejarah bangsa ini. Usaha apa pun yang kita lakukan untuk hidup dalam kebebasan, tidak akan mendatangkan kemerdekaan yang sejati bagi kita, kecuali Tuhan sendiri terlibat dalam proses kemerdekaan itu. Hal ini mendorong kita untuk senantiasa mensyukuri anugerah Allah yang memerdekakan kita, sekaligus berkomitmen untuk mengisi kemerdekaan itu secara bertanggung jawab.

Bagaimana kita dapat memahami bahwa Yesus yang memerdekakan kita? Hanya dapat terjadi kalau kita tetap di dalam firman Tuhan (ay. 31). Artinya, orang percaya janganlah pernah menjauhkan diri dari Tuhan. Kita harus hidup terjalin terus menerus dengan Tuhan, dengan demikian kita dapat memahami kehendak Allah di dalam firman-Nya. Ikatkanlah dirimu dengan Tuhan, bukan dengan yang lain. Ketika pandemi covid-19 semakin mengganas, hiduplah dalam ikatan yang tak terputuskan dengan Tuhan, dan dengan hikmat-Nya Tuhan akan membimbing kita untuk hidup dengan bijak di tengah-tengah kesulitan kita saat ini. Kita tidak perlu menyangkal realitas hidup saat ini, seperti yang dulu dilakukan oleh orang-orang Yahudi. Semakin kita menyangkal semakin tersiksa batin kita. Semakin kita realistis semakin kita menyadari bahwa kita membutuhkan Tuhan yang memerdekakan kita.

Saturday, August 7, 2021

Lakukanlah Keadilan dan Kebenaran – Falua Wa’atulö ba Fa’aduhu (Yeremia 22:1-9)

Bahan Khotbah Minggu, 08 Agustus 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gul
o

1 Beginilah firman TUHAN: “Pergilah ke istana raja Yehuda dan sampaikanlah di sana firman ini!
2 Katakanlah: Dengarlah firman TUHAN, hai raja Yehuda yang duduk di atas takhta Daud, engkau, pegawai-pegawaimu dan rakyatmu yang masuk melalui pintu-pintu gerbang ini!
3 Beginilah firman TUHAN: Lakukanlah keadilan dan kebenaran, lepaskanlah dari tangan pemerasnya orang yang dirampas haknya, janganlah engkau menindas dan janganlah engkau memperlakukan orang asing, yatim dan janda dengan keras, dan janganlah engkau menumpahkan darah orang yang tak bersalah di tempat ini!
4 Sebab jika kamu sungguh-sungguh melakukan semuanya itu, maka melalui pintu-pintu gerbang istana ini akan berarak masuk raja-raja yang akan duduk di atas takhta Daud dengan mengendarai kereta dan kuda: mereka itu, pegawai-pegawainya dan rakyatnya.
5 Tetapi jika kamu tidak mendengarkan perkataan-perkataan ini, maka Aku sudah bersumpah demi diri-Ku, demikianlah firman TUHAN, bahwa istana ini akan menjadi reruntuhan.
6 Sebab beginilah firman TUHAN mengenai keluarga raja Yehuda: Engkau seperti Gilead bagi-Ku, seperti puncak gunung Libanon! Namun pastilah Aku akan membuat engkau menjadi padang gurun, menjadi kota yang tidak didiami orang.
7 Aku akan menetapkan pemusnah-pemusnah terhadap engkau, masing-masing dengan senjatanya; mereka akan menebang pohon aras pilihanmu dan mencampakkannya ke dalam api.
8 Dan apabila banyak bangsa melewati kota ini, maka mereka akan berkata seorang kepada yang lain: Mengapakah TUHAN melakukan seperti itu kepada kota yang besar ini?
9 Orang akan menjawab: Oleh karena mereka telah melupakan perjanjian TUHAN, Allah mereka, dan telah sujud menyembah kepada allah lain dan beribadah kepadanya.”

Teks khotbah ini merupakan nubuat tentang istana kerajaan Yehuda, yang masuk dalam bagian kitab Yeremia yang berbicara tentang raja, imam, dan nabi (Yeremia 21-24). Semua pemimpin ini (raja, imam, dan nabi) ternyata telah menimbulkan ketidaksenangan TUHAN. Akibatnya, setelah mereka tidak patuh pada perintah TUHAN, bangsa Yehuda dibuang ke Babilonia. Tetapi, sebelum hukuman pembuangan itu dijatuhkan atas mereka, dalam teks minggu ini, diungkapkan janji bersyarat bagi bangsa Yehuda, sekaligus penegasan masih adanya harapan bagi kelangsungan dinasti Daud pada masa depan. Artinya, peringatan-peringatan yang disampaikan oleh nabi Yeremia di sini bermaksud untuk menyadarkan bangsa Yehuda, terutama para pemimpinnya, untuk bertobat, kembali ke jalan TUHAN. Dengan demikian, mereka akan menikmati masa kejayaan kembali (ay. 4). Sebaliknya, apabila mereka tidak mendengarkan peringatan-peringatan dimaksud, maka negeri mereka akan dihancurleburkan, mereka akan dibuang ke negeri orang (ay. 5-9).

Apa saja persoalan di tengah-tengah bangsa Yehuda yang membuat TUHAN murka dan kini memperingatkan mereka dengan keras? Khusus dalam teks khotbah hari ini, persoalan utama ada kaitannya dengan ‘keadilan dan kebenaran’. Bangsa Yehuda, mulai dari raja, pegawai hingga rakyatnya, diperintahkan untuk melakukan keadilan dan kebenaran (ay. 3). Dengan jelas pada ayat 3 disebutkan persoalan seputar keadilan dan kebenaran dimaksud adalah: banyak orang yang haknya dirampas, banyak orang yang ditindas, banyak orang yang diperlakukan dengan keras (orang asing, yatim dan janda), dan orang yang tidak bersalah tertumpah darahnya (diperlakukan semena-mena). TUHAN memerintahkan bangsa Yehuda untuk menghentikan segera praktik ketidakadilan dan ketidakbenaran tersebut.

Tampaknya, para penindas/pemeras di sini ada hubungannya dengan masalah uang atau sumber daya, mungkin utang, dan mungkin juga perbudakan. Melihat persoalan ini, TUHAN hendak mengatakan kepada mereka untuk menjalankan pengadilan dengan adil dan benar. Artinya, bangsa Yehuda, terutama para pemimpinnya harus memberikan keadilan untuk semua orang. Orang asing, anak yatim, dan janda merupakan orang-orang yang secara umum tidak memiliki relasi khusus dengan mereka yang berkuasa, teman-temannya pun paling sedikit. Itulah sebabnya, mereka ini termasuk kelompok yang paling rentan terhadap ketidakadilan, penindasan, perampasan, perlakuan semena-mena, dan kekerasan. Mereka adalah kaum lemah, dan dalam faktanya mereka seringkali diperlakukan dengan tidak manusiawi, menjadi objek yang diperas dan semacam sapi perah para penguasa. Praktik ini harus dihentikan, demikianlah kira-kira perintah TUHAN. Itulah maksud dari perkataan “lakukanlah keadilan dan kebenaran” (ay. 3). Perintah ini diikuti dengan janji pengharapan bahwa kerajaan Yehuda akan tetap langgeng apabila mereka menaatinya (ay. 4), dan peringatan akan adanya kehancuran kalau mereka tidak mengindahkannya (ay. 5-7). Bagi TUHAN, perbuatan ketidakadilan dan ketidakbenaran sama dengan penyembahan allah lain (bnd. ay. 8-9), dan itu harus dihukum keras.

Saat ini kita berada pada masa-masa sulit, terutama karena pandemi covid-19. Di tengah-tengah kesulitan ini, kita masih dapat mendengar dan melihat dengan jelas berbagai praktik ketidakadilan dan ketidakbenaran yang terjadi di mana-mana. Ada orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, yaitu memanfaatkan situasi yang serba tidak menentu ini untuk meraup keuntungan di atas penderitaan orang lain. Saya sendiri, dengan prihatin harus mengatakan bahwa negera kita, Indonesia ini, sudah menjadi negeri para mafia. Lihatlah, berbagai praktik ketidakadilan dan ketidakbenaran terjadi di berbagai tempat, tidak lagi ditutup-tutupi. Lihatlah betapa kaum lemah seringkali kalah saing dalam perebutan berbagai bantuan sosial, sementara mereka yang sebenarnya masih hidup sejahtera, dapat dengan mudah mendapatkannya, karena menghalalkan segala cara untuk itu. Lihatlah betapa para pejabat kita mempertontonkan praktik ketidakadilan dalam penegakkan hukum di negeri ini. Para pelaku korupsi, pemberi dan penerima suap, hukumannya dipangkas hingga 60%, terjadi semacam diskon dan promo gede-gedean atas penegakkan hukum. Di tengah-tengah kesulitan ini, pada saat pemerintah berjuang keras menanggulangi pandemi covid-19, eh malah ada saja orang yang malah memanfaatkannya untuk kepentingan dirinya sendiri. Ironis memang!

Pada saat-saat seperti ini, TUHAN menyerukan pertobatan bagi kita. TUHAN meminta kita untuk segera menghentikan praktik-praktik ketidakadilan dan ketidakbenaran yang mewujud dalam berbagai bentuk itu. Kita tidak boleh lagi hanya berdiam diri, kita harus berbuat sesuatu, mulai dari hal-hal sederhana, untuk melakukan keadilan dan kebenaran. Bagi bapak/ibu yang saat ini kehidupan ekonominya masih lumayan baik, misalnya suatu saat diberikan bantuan oleh pemerintah atau pihak tertentu, apakah Anda berani “mengalihkan” bantuan itu kepada mereka yang lebih membutuhkan? Ketika ada masyarakat lemah meminta bantuan bapak/ibu, sekalipun kita tidak bisa membantu dia dalam bentuk materi, apa yang bisa kita lakukan untuk menolongnya? Maukah bapak/ibu yang punya akses ke para pejabat atau donatur, menjembatani mereka ke sana supaya mereka tertolong?

Bagi bapak/ibu yang berada dalam posisi atau jabatan tertentu, apakah sudah melakukan keadilan dan kebenaran, atau malah memanfaatkan jabatan tersebut untuk meraup keuntungan bagi diri sendiri, istilah aji mumpung? Bagaimana bapak/ibu melakukan keadilan dan kebenaran, apakah berdasarkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran tersebut, atau berdasarkan nilai kekeluargaan atau nilai rupiahnya?

Mari kita berefleksi, mari kita melakukan keadilan dan kebenaran, maka kita dapat menikmati hidup dengan baik.









Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...