Saturday, September 30, 2023

Tekun Melakukan Kehendak Allah – Odödögö Wamalua Somasi Lowalangi (Yakobus 5:7-11)

Khotbah Minggu, 1 Oktober 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.
8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!
9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.
10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.
11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.


Salah satu pokok keprihatinan Yakobus dalam suratnya ini adalah adanya semacam perpecahan di dalam jemaat, terutama antara jemaat Kristen yang kaya dan yang miskin. Ancaman perpecahan ini dipicu oleh adanya sikap pilih kasih terhadap anggota jemaat yang kaya (2:1-9), fitnah (3:1-12), keserakahan, kekerasan dan penipuan (4:1-3; 5:1-5). Semua peringatan ini, ditujukan kepada semua orang dalam jemaat, dan secara khusus ditujukan kepada orang “kaya” yang mengandalkan kekayaannya dan dengan kekayaannya itu menindas orang lain (5:1-6). Sekarang, Yakobus beralih secara khusus kepada mereka yang “miskin” (jemaat biasa) untuk “bersabar” menghadapi dan menjalani situasi yang untuk sementara waktu tidak berpihak kepada mereka (5:7).

Dengan kata lain, Yakobus, pada satu sisi menyampaikan peringatan kepada orang-orang kaya (yang menyalahgunakan kekayaannya), dan pada sisi lain mendorong kelompok yang miskin untuk bersabar (moguna so wanaha tödö). Nasihat Yakobus ini, dapat saja disalahartikan seolah-olah membiarkan penindasan yang kaya atas yang miskin berkelanjutan, sebab orang miskin hanya didorong bersabar tanpa berbuat apa-apa. Sebenarnya, Yakobus tidak bermaksud seperti itu; Yakobus sendiri “mengecam” kelompok yang kaya itu, dan terlebih dahulu dia menyatakan penghakiman Allah atas keserakahan dan penghisapan yang mereka lakukan. Setelah itu, Yakobus menyemangati mereka yang menderita, dengan janji bahwa “hari Tuhan sudah dekat” (5:8), penghakiman itu pasti datang, dan tidak akan ada seorang pun yang dapat menghindar dari Hakim yang telah berdiri di ambang pintu (5:9). Maka, senjata ampuh untuk menghadapi kelompok kaya yang menindas adalah kesabaran (fanaha tödö).

Apa itu “kesabaran?” Ini merupakan sebuah alternatif terhadap kehidupan yang penuh nafsu dan eksploitasi yang dikecam oleh Yakobus dalam 5:1-6. Kesabaran memungkinkan kita mampu hidup dalam “kepuasan yang tertunda,” sama seperti petani yang (dengan sabar) menantikan buah tanamannya matang sebelum dipanen. Harus diakui bahwa “kesabaran” yang diminta oleh Yakobus di sini memang sulit diterapkan dalam masyarakat kita yang sudah hidup dalam budaya yang materialistis dan serba cepat. Kita masih mengingat, misalnya, berapa banyak jemaat kita yang terjebak dalam judi online, atau investasi yang katanya dapat melipatgandakan dana kita sebanyak mungkin dalam waktu yang relatif singkat, pokoknya cepat kaya. Hasilnya? Silakan ditanya mereka yang terlibat dalam “investasi bodong” itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya adalah karena semakin banyak orang yang “tidak sabar” menjalani proses kehidupan yang kadang-kadang sulit, dan ingin mendapatkan hasil yang banyak dengan cara yang serba cepat (instant). Kesabaran menuntut adanya kesediaan dan kerelaan menanti hasil yang baik dalam proses yang mungkin saja panjang.

Persoalannya ialah kita hidup, bahkan mungkin sedang menjalani kehidupan yang “serba tidak sabar, serba instant”. Dampak dari ketidaksabaran kita sangat besar, mulai dari kerakusan dan keserakahan kita terhadap sumber daya alam, bahkan sampai merusak lingkungan hidup, hingga terjadinya kesenjangan radikal antara yang kaya dan miskin. Ketidaksabaran kita membuat kita “saling memangsa”, hidup dalam “kompetisi yang saling menelan”; orang kuat/kaya memangsa yang lemah/miskin (i’a nawönia, ibali’ö femangamangania nawönia), bahkan mungkin ada orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya (i’a zi tenga önia). Hari ini, Yakobus menasihati kita untuk “bersabar”, jangan kemudian malah mempersulit diri sendiri dengan ketidaksabaran kita. Yakobus begitu peduli kepada jemaat Tuhan yang hidup dalam kekurangan dengan menyemangati kita untuk “bertahan” dalam situasi sulit itu.

Dalam konteks itu, Yakobus menasihati kita untuk tidak “bersungut-sungut dan saling mempersalahkan,” sebab hal itu justru akan membuat kita “dihukum” oleh Hakim Agung (5:9). Jangan membiarkan diri hidup dalam “sungut-sungut” yang tidak henti dan tanpa arti, lebih baik melakukan sesuatu yang bermakna dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari usaha kita tersebut. Ketika kita sedang mengalami masa-masa sulit, kita bisa saja menjadi getir dan saling menghakimi, atau bahkan berhenti datang ke persekutuan gereja. Ada orang yang semakin lama menjauhkan diri dari persekutuan dengan Tuhan dan sesama, oleh karena berbagai beban hidup yang menghimpit. Mestinya, dalam segala situasi, entah kaya atau pun miskin, entah kemarau atau pun hujan, entah panas atau pun dingin, entah berkecukupan atau pun berkekurangan, kita tetap tekun melakukan kehendak Allah.

Untuk meyakinkan kita tentang betapa pentingnya “bersabar” menjalan hidup ini, Yakobus mengajak kita meneladani para nabi, juga Ayub, yang rela menderita, dengan tekun tekun dalam melakukan kehendak Allah, dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari Tuhan. Dengan menyinggung para nabi dan Ayub, Yakobus hendak mengatakan bahwa perihal “sabar” menjalani kehidupan yang serba sulit, sebenarnya bukan sesuatu yang baru, sudah ada para pendahulu kita yang telah memberikan contoh yang baik. Para nabi, termasuk Yesaya, berhadapan dengan para penguasa dan orang-orang “besar” yang tegar tengkuk, tetapi dia dengan sabar menjalaninya, dan dengan penuh keyakinan dia menjawab panggilan Tuhan: “Ini aku, utuslah aku.” Demikian dengan Ayub, tokoh terkenal yang seringkali kita jadikan contoh dalam kisah hidup yang penuh penderitaan, tetapi kemudian menerima hasil yang luar biasa setelah dia memilih untuk “bertahan dalam situasi sulit”, itulah buah dari kesabarannya. Kalau mereka bisa “bersabar”, mengapa kita tidak?

Saturday, September 23, 2023

Tuhan Memulihkan Kehidupan Umat-Nya – Ibohouni Mbanua-Nia Yehowa (Kejadian 8:15-22)

Khotbah Minggu, 24 September 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

15 Lalu berfirmanlah Allah kepada Nuh:
16 “Keluarlah dari bahtera itu, engkau bersama-sama dengan isterimu serta anak-anakmu dan isteri anak-anakmu;
17 segala binatang yang bersama-sama dengan engkau, segala yang hidup: burung-burung, hewan dan segala binatang melata yang merayap di bumi, suruhlah keluar bersama-sama dengan engkau, supaya semuanya itu berkeriapan di bumi serta berkembang biak dan bertambah banyak di bumi.”
18 Lalu keluarlah Nuh bersama-sama dengan anak-anaknya dan isterinya dan isteri anak-anaknya.
19 Segala binatang liar, segala binatang melata dan segala burung, semuanya yang bergerak di bumi, masing-masing menurut jenisnya, keluarlah juga dari bahtera itu.
20 Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu.
21 Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.
22 Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.”


Teks khotbah hari ini merupakan kelanjutan dari narasi tentang air bah. Dalam narasi air bah itu diceritakan suatu peristiwa besar dimana TUHAN Allah menghukum manusia karena: “kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5), “penuh dengan kekerasan dan menjalankan kehidupan yang rusak di bumi” (Kej. 6:11-12). Allah pun menghukum makhluk hidup itu dengan air bah, kecuali Nuh dan keluarganya, yang di antara orang-orang sezamannya, “hidup dengan benar dan tidak bercela serta bergaul dengan Allah.” Ketika Allah memberi perintah untuk membuat sebuah bahtera dengan segala persyaratannya itu (Kej. 6:13-21), Nuh pun tanpa basa-basi dan tanpa membantah: “melakukan semua perintah TUHAN itu, tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya” (Kej. 6:22). Pada pasal 7 kitab Kejadian dikisahkanlah peristiwa air bah itu, suatu peristiwa yang menghancurkan seluruh makhluk hidup, kecuali Nuh dan keluarganya, beserta makhluk hidup lainnya yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu.

Pada teks khotbah hari ini, TUHAN Allah memberikan perintah lagi kepada Nuh, tetapi kali ini bukan lagi untuk membuat bahtera atau masuk ke dalam bahtera, melainkan untuk keluar dari bahtera itu, karena air sudah kering, tidak lagi mengancam kehidupan bumi. Sama seperti ketaatan (folo’ö) yang telah ditunjukkan Nuh atas perintah TUHAN sebelum air bah datang, sekarang pun Nuh mengikuti segala yang diperintahkan TUHAN kepadanya untuk keluar dari bahtera (ay. 18-19). Dia sungguh-sungguh mengikuti perintah TUHAN tanpa ragu, tanpa bantahan, bahkan mungkin tanpa pertanyaan. Dia tahu bahwa apa pun yang diperintahkan TUHAN selalu benar dan baik, dan tanggung jawabnya adalah mengikuti perintah itu. Pada ayat 20 diceritakan bagaimana Nuh menyembah TUHAN yang telah menyelamatkan dan memulihkannya dengan pendirian mezbah dan pemberian persembahan korban bakaran bagi TUHAN. Ayat 21-22 menegaskan janji TUHAN Allah untuk tidak lagi mengutuk bumi dan membinasakan segala yang hidup di atasnya.

Kalau sebelumnya Nuh digambarkan sebagai seorang yang benar dan tidak bercela serta bergaul dengan Allah, itu tidak berarti bahwa dia adalah sosok yang sempurna dan suci. Nuh sebenarnya tidak sesempurna dan sesuci yang biasa kita bayangkan, dia bukanlah manusia tanpa cacat dalam perbuatan. Sebab, pada pasal berikutnya (pasal 9), diceritakan bahwa “Nuh menjadi petani dengan membuat kebun anggur, tetapi kemudian dia mabuk sampai telanjang dalam kemahnya (Kej. 9:20-21). Namun demikian, tanggapannya atas perintah TUHAN kepadanya, baik sebelum peristiwa air bah maupun setelahnya, sungguh luar biasa, dapat menjadi contoh yang baik bagi kita tentang ketaatan pada perintah TUHAN. Tanggapan Nuh kepada TUHAN dalam teks khotbah hari ini yang patut kita tiru adalah: (1) ia menaati Allah; (2) dia menyembah Tuhan.

Dewasa ini, ketaatan merupakan sesuatu yang sulit ditemukan dalam diri manusia. Mirip dengan bangsa Israel dulu, manusia saat ini cenderung memberontak, melawan, membantah, dan atau mempertanyakan apa pun yang tidak sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu, pertanyaan releksi bagi kita adalah, antara lain: Bagaimanakah saya selama ini menanggapi perintah Tuhan? Apakah selama ini menanggapi perintah TUHAN seperti Nuh yang tidak membantah dan tidak menolak? Atau saya justru akan mengikuti perintah TUHAN kalau sesuai selera saya, sesuai keinginan saya, sesuai pemahaman saya, sesuai pengetahuan saya, sesuai pikiran dan perasaan saya? Ketika Tuhan memanggil kita untuk melakukan sesuatu, apakah kita langsung melakukan apa yang Dia katakan? Jangan-jangan kita sering lambat untuk patuh kepada Tuhan. Mungkin juga kita taat dengan mencoba membuatnya sedikit lebih mudah bagi diri kita sendiri, tidak sepenuhnya mengikuti apa yang disampaikan Tuhan dengan berbagai alasan. Bukankah Tuhan telah memulihkan kita dengan berbagai cara, tetapi mengapa kita sering tidak menanggapinya dengan ketaatan dan penyembahan yang tulus? Mengapa kita kadang-kadang hitung-hitungan dalam menaati dan menyembah Tuhan?

Kita telah dibenarkan melalui darah Yesus Kristus yang tercurah, dan sekarang kita perlu hidup dengan benar. Kita bukan lagi penguasa atas hidup kita sendiri, kita adalah utusan Tuhan di dunia ini. Dialah sang Guru, dan kita adalah hamba-hamba-Nya (khotbah Minggu lalu, kita adalah hamba-hamba Kristus). Dia adalah Bapa, kita adalah anak. Dia adalah Imam Besar, kita adalah bagian dari imamat kudus-Nya. Satu-satunya tanggapan kita terhadap perintah-Nya adalah melakukan apa yang Dia katakan, sama seperti Nuh. Ciri khas orang yang telah mengalami pemulihan dari Allah adalah dengan sepenuh dan setulus hati menunjukkan hidup yang taat kepada Allah itu sendiri.

Ketaatan kepada Tuhan sebagai respons kita atas kasih karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita, juga akan terlihat pada bagaimana kita menyembah Dia. Secara teologis, Tuhan sangat layak menerima ketaatan dan pujian kita. Jika kita mau beribadah kepada-Nya sambil kita taat, kita akan dipenuhi dengan sukacita luar biasa. Orang yang sudah merasakan atau mengalami pemulihan dari Allah, akan mampu menyembah Tuhan dengan apa pun yang dia miliki.

Bagaimana reaksi Tuhan saat kita menyembah Dia seperti ini? Alkitab menceritakan kepada kita bahwa persembahan Nuh berkenan kepada Tuhan dan membuat Dia berkata bahwa Dia tidak akan pernah lagi membanjiri bumi. Artinya, Tuhan pada prinsipnya merancang dan melakukan kebaikan bagi bumi dan segala makhluk yang hidup di atasnya, dan kebaikan itu akan terus dilakukan-Nya. Jadi, bukankah sesuatu yang luar biasa apabila kita bisa menyenangkan Bapa surgawi, walaupun kita sadar bahwa tidak mungkin kita menyenangkan Dia secara sempurna? Tuhan tidak membutuhkan apa pun—Dialah Tuhan! Tidak ada sesuatu pun yang dapat kita berikan kepada-Nya yang belum Dia berikan kepada kita. Namun kita mempunyai kesempatan untuk memberikan sukacita kepada-Nya! Kita dapat melakukan ini melalui ketaatan dan penyembahan.

Tidak ada alasan untuk tidak taat dan menyembah Tuhan. Tidak ada alasan juga bagi kita untuk tidak bekerja, termasuk alasan kedatangan Tuhan kembali. Tuhan berfirman: “Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam” (ay. 22). Mari kita menikmati pemulihan dari Allah sambil menunjukkan ketaatan dan penyembahan kita kepada-Nya. Mari kita menikmati pemulihan dari Kristus Yesus sambil hidup berpadanan dengan Injil Kristus.

Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus (Filipi 1:27a)

Sunday, September 17, 2023

Jangan Menghakimi – Böi Mihuku Nawömi (1 Korintus 4:1-5)

Khotbah Minggu, 17 September 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.
2 Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.
3 Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi.
4 Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan.
5 Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.


Beberapa orang Kristen di Korintus bersikap kritis terhadap Paulus, karena mereka tidak menemukan dalam dirinya kefasihan, kebijaksanaan, dan kehadiran karismatik seperti yang biasa mereka puja dalam masyarakat Korintus pada waktu itu. Kelebihan seperti itu hanya mereka temukan dalam diri Apolos. Oleh sebab itu, mereka menganggap (menghakimi) Paulus sebagai sosok yang lebih rendah dari Apolos (dan orang-orang lain yang dianggap lebih berpengetahuan), dan malah mereka menganggap (menghakimi) dia sebagai sosok yang tidak diutus oleh Tuhan, apalagi Paulus tidak termasuk di antara duabelas murid Yesus.

Sebelumnya, Paulus menyatakan bahwa Kristus telah mengutus dia “untuk memberitakan Kabar Baik—bukan dengan hikmat perkataan” (1Kor. 1:17). Oleh karena itu, ia sangat kontras dengan Apolos yang “seorang yang fasih berbicara dan datang ke Efesus, dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci” (Kis. 18:24). Itulah sebabnya Paulus membela diri dengan berkata: “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah” (1Kor. 2:4-5). Dia juga akan berkata: “Jikalau aku kurang paham dalam hal berkata-kata, tidaklah demikian dalam hal pengetahuan” (2Kor. 11:6). Dengan kata lain, Paulus menyampaikan wejangan untuk tidak saling menghakimi ini karena sebagian jemaat yang terburu-buru menilai sesamanya, termasuk menilai Paulus, hanya dari satu aspek saja yang mereka gemari. Ada bahaya yang mengintai dari sikap yang terlalu cepat menghakimi ini, yaitu bahwa dapat memunculnya beberapa kelompok dalam jemaat yang bisa mengarah pada perselisihan dan perpecahan dalam jemaat itu sendiri. Gejala itulah yang terjadi di jemaat Korintus, dimana ada jemaat yang mengatakan: “Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus” (1Kor. 1:12).

Dalam teks khotbah hari ini, Paulus menulis, tidak hanya untuk membela pekerjaan yang telah ia lakukan dengan orang-orang Kristen di Korintus, tetapi juga untuk mengarahkan kembali jemaat dari pengotak-ngotakan para pelayan atau hamba Kristus (menurut kekuatan dan kelemahan para hamba Kristus dimaksud) kepada salib Kristus yang menjadi pusat pemberitaan para pelayan tersebut. Dengan demikian, jemaat harus berhenti menilai atau menghakimi para pelayan gereja, atau berhenti menilai/menghakimi sesama, dan menyerahkan penilaian atau penghakiman tersebut kepada Tuhan yang Empunya gereja dan pelayanan, sebab Tuhan dapat dipercaya untuk menghakimi dengan setia.

Hal yang jauh lebih penting dari sikap saling menghakimi adalah kesadaran bahwa kita sebagai orang ​​Kristen bukan milik kita sendiri, melainkan hamba-hamba Kristus dan pelayan-pelayan Injil. Oleh sebab itu, pelayanan yang dilakukan oleh umat Tuhan haruslah muncul dari kesetiaan kepada Tuhan dan Tuhan sendirilah nanti yang akan menilai/menghakimi kesetiaan kita kepada-Nya. Kesetiaan kita kepada Tuhan akan menunjukkan apakah kita dapat dipercaya atau sebaliknya tidak dapat dipercaya. Jadi, berhentilah untuk saling menghakimi, lebih baik berfokus pada tugas masing-masing, tugas pemberitaan Injil sesuai dengan kepercayaan yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Terimalah satu dengan yang lain, dan jangan terburu-buru menilai negatif/rendah seseorang hanya karena dia tidak memiliki “kompetensi” seperti yang kita harapkan.

Menilai (secara negatif/rendah) dan atau menghakimi sesama dengan menggunakan standar/ukuran sesuai selera kita, dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan perpecahan seperti dalam jemaat Korintus. Selain itu, menghakimi sesama juga bermasalah secara teologis, sebab satu-satunya pihak yang memiliki wewenang untuk menghakimi kita adalah Tuhan. Mengapa? Karena tugas pelayanan yang kita lakukan adalah milik Tuhan, dan mestinya dinilai/dihakimi oleh yang Empunya pelayanan itu, menurut standar/ukuran Pemberi pekerjaan/pelayanan, bukan oleh dan bukan menurut standar/ukuran kita yang sama-sama bekerja/melayani.

Dalam suatu kelas belajar di sekolah/kampus misalnya, siapakah yang paling berwenang menilai atau menghakimi para siswa atau mahasiswa? Apakah siswa atau mahasiswa itu sendiri? Kita tahu bahwa yang memiliki wewenang untuk itu adalah pendidik (guru/dosen). Jadi, jangan terburu-buru menilai atau menghakimi sesama yang bukan wewenang kita, takutnya kita cepat-cepat menilai/menghakimi sesama tetapi lupa mengoreksi diri sendiri. Itulah yang dulu pernah dipertanyakan oleh Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat. 7:3). Lebih lanjut Yesus menasihati para munafikin itu dengan berkata: “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Mat. 7:5).

Atau, dalam suatu keluarga, siapakah yang paling berwenang menilai baik buruknya perbuatan anak-anak? Apakah anak-anak itu sendiri sehingga mereka bisa dengan bebas saling menyalahkan dan saling menghujat? Apakah anak-anak itu sendiri sehingga mereka bisa seenaknya menghakimi sesamanya? Bukankah mestinya orangtua yang lebih berwenang untuk itu dengan menggunakan penilaian yang lebih adil? Demikianlah juga dengan kita dalam pekerjaan dan pelayanan Tuhan, seharusnya berfokus pada penuntasan tugas dan tanggung jawab masing-masing, bukan pada penilaian dan penghakiman satu dengan yang lain. Biarlah Tuhan, yang Empunya pekerjaan dan pelayanan kita, yang menilai dan menghakimi kita menurut ukuran-Nya sendiri.

Oleh sebab itu, hati-hatilah dalam menilai/menghakimi sesama, sebab kita bisa saja salah menilai/menghakimi, apalagi kalau ada persoalan personal kita dengan pihak yang kita nilai/hakimi itu. Hati-hatilah dalam menilai atau menghakimi sesama dalam pekerjaan dan pelayanan Tuhan, sebab itu mestinya dilakukan oleh Tuhan saja. Yesus sendiri telah memperingatkan kita untuk tidak (terburu-buru) menghakimi, supaya kita pun tidak (terburu-buru) dihakimi.

“Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi”
(Luk. 6:37a)

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...