Saturday, February 23, 2019

Ibadah yang Benar – Fasumangeta Satulö (Maleakhi 3:13-18)



Khotbah Minggu, 24 Februari 2019
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo[1]

3:13  Bicaramu kurang ajar tentang Aku, firman TUHAN. Tetapi kamu berkata: Apakah kami bicarakan di antara kami tentang Engkau?”
3:14  Kamu berkata: Adalah sia-sia beribadah kepada Allah. Apakah untungnya kita memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam?
3:15  Oleh sebab itu kita ini menyebut berbahagia orang-orang yang gegabah: bukan saja mujur orang-orang yang berbuat fasik itu, tetapi dengan mencobai Allahpun, mereka luput juga.”
3:16  Beginilah berbicara satu sama lain orang-orang yang takut akan TUHAN: TUHAN memperhatikan dan mendengarnya; sebuah kitab peringatan ditulis di hadapan-Nya bagi orang-orang yang takut akan TUHAN dan bagi orang-orang yang menghormati nama-Nya.”
3:17  Mereka akan menjadi milik kesayangan-Ku sendiri, firman TUHAN semesta alam, pada hari yang Kusiapkan. Aku akan mengasihani mereka sama seperti seseorang menyayangi anaknya yang melayani dia.
3:18  Maka kamu akan melihat kembali perbedaan antara orang benar dan orang fasik, antara orang yang beribadah kepada Allah dan orang yang tidak beribadah kepada-Nya.

Tema ibadah kita minggu ini adalah ibadah yang benar (fasumangeta satulö). Saya pikir kita tentu mau beribadah kepada Tuhan, itu sebabnya kita ada di sini, di rumah Tuhan, untuk bersekutu dan beribadah kepada Tuhan. Kita bernyanyi, kita berdoa, kita memberi persembahan, ada yang membawa puji-pujian (a.l. kor dan vokal grup), untuk menyembah Tuhan, dan itulah salah satu bentuk ibadah kita kepada-Nya. Namun demikian, dalam faktanya selain ibadah yang benar, ada juga ibadah yang tidak benar, ibadah yang jahat, ibadah manipulatif. Dalam sejarahnya, ibadah kepada Tuhan pun seringkali dilakukan dengan motif dan dengan maksud yang jahat, bahkan akhir-akhir ini pun Tuhan diancam dalam doa hanya demi ambisi kekuasaan yang tak tertahankan. Orang-orang yang beribadah dengan motif dan maksud yang jahat dan salah terjadi di berbagai tempat, termasuk di antara orang-orang Kristen, terjadi di berbagai kalangan, baik warga jemaat biasa maupun para pelayan gereja.

Sementara itu, ada juga orang yang malah mengolok-olok Tuhan, baik dalam tindakan maupun dalam kata-kata, ada yang melakukannya secara langsung, ada pula yang melakukannya secara tidak langsung. Secara langsung, misalnya, mereka menghina Tuhan, menjadikannya sebagai bahan tertawaan dengan maksud mengejek, dan melakukan tindakan-tindakan yang merendahkan Tuhan. Secara tidak langsung, misalnya, mengolok-olok orang yang beribadah dengan tulus kepada Tuhan, menganggap orang beriman sebagai orang yang tidak berakal sehat, dan memperlakukan orang-orang beriman dengan cara-cara yang merendahkan.

Kita tidak perlu terkejut dengan fenomena ini, sebab hal seperti itu telah terjadi sejak dulu, bahkan di Israel sendiri, bangsa yang adalah umat pilihan Allah. Pada zaman nabi Maleakhi, pasca pembuangan dari Babel, bangsa Israel sebenarnya telah diperlakukan istimewa oleh Allah, sayang sekali ada saja orang yang menyalahgunakan keistimewaan tersebut untuk kepuasan duniawinya, ada yang menyalahgunakan dan mengabaikan ibadah yang tulus kepada Tuhan, ada yang tampak beribadah kepada Tuhan tetapi melakukan korupsi, termasuk korupsi persepuluhan dan persembahan lainnya kepada Tuhan. Lebih berani lagi, di antara orang Israel ada yang malah bicara kurang ajar tentang Tuhan, seperti disebutkan di ayat 14 dan 15. Mereka pun berani membantah Tuhan ketika nabi Maleakhi memperingatkan mereka (ay. 2). Mereka menganggap ibadah kepada Tuhan sebagai suatu kesia-siaan, tidak ada artinya, jadi tidak perlu beribadah kepada-Nya.

Mengapa muncul anggapan seperti ini? Ada dua penyebabnya menurut teks khotbah pada hari ini:
Pertama, masalah untung-rugi (ay. 14). Bangsa Israel ternyata memperhitungkan untung-rugi ketika beribadah kepada Tuhan. Ketika mendatangkan keuntungan, ibadah dilakukan, tetapi ketika tidak mendatangkan keuntungan, ibadah dianggap sia-sia, maka tidak perlu diteruskan lagi beribadah kepada Tuhan, bikin rugi. Jadi, ibadah kepada Tuhan dikelola dan dianggap seperti suatu perusahaan atau suatu bisnis yang berorientasi pada upaya memperoleh keuntungan, sama seperti prinsip ekonomi konvensional: “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Fenomena seperti ini pun terjadi saat ini, gereja dan ibadah kepada Tuhan dikelola dengan prinsip dan cara-cara bisnis duniawi, selalu memperhitungkan untung-rugi menurut ukuran dunia, terutama ukuran ekonomi (profit). Di beberapa tempat, agama/gereja malah menjadi lahan bisnis para pelayan dan orang-orang tertentu, itulah sebabnya ada beberapa gereja melakukan pemasaran (marketing) di berbagai media, termasuk mengobral mukjizat Tuhan. Pada zaman ini pula ada para pelayan gereja yang cenderung memperhitungkan untung-rugi dalam pelayanan, lebih memilih pelayanan di tempat yang lebih menguntungkan dari berbagai aspek.

Kedua, persoalan terkait orang-orang gegabah di sekitar mereka (ay. 15). Mereka melihat orang-orang gegabah tersebut tampaknya berbahagia daripada orang-orang yang beribadah tulus kepada Tuhan. Mereka mengamati orang-orang fasik di sekitar mereka sepertinya mujur, beruntung terus, bahkan orang-orang yang mencobai Allah pun sepertinya tidak dihukum oleh Allah, biasa saja, demikian pengamatan mereka. Maka, untuk apa menyusahkan diri beribadah kepada Tuhan, untuk apa memelihara apa yang harus dilakukan terhadap-Nya dan berjalan dengan pakaian berkabung di hadapan TUHAN semesta alam? Lihat tuh orang-orang gegabah, hidup mereka baik-baik saja, tidak ada bedanya dengan orang-orang yang beribadah dengan tulus kepada Tuhan, malah orang-orang fasik itu lebih sukses, jadi buat apa takut akan Tuhan? Bukankah fenomena seperti ini terjadi juga saat ini? Banyak orang menjadi apatis atau acuh tak acuh terhadap kegiatan keagamaan, ibadah kepada Tuhan tidak dipedulikan. Mengapa? Karena kita melihat bagaimana orang-orang fasik sepertinya lebih sukses daripada orang-orang yang takut akan Tuhan. Banyak loh contohnya di sekitar kita. Apakah semua para koruptor dihukum? Tidak! Ada juga yang lolos, bahkan sampai akhir hidupnya. Apakah semua pelaku kejahatan tertangkap dan dihukum? Tidak! Ada saja yang lolos, bahkan kini sedang menikmati hasil-hasil kejahatannya. Bagaimana dengan orang-orang yang dengan tulus beribadah kepada Tuhan, orang-orang yang takut akan Tuhan? Sepertinya, biasa-biasa saja, malah sebagian hidupnya lebih menyedihkan. Orang-orang yang bekerja dengan baik, selalu mengandalkan Tuhan dalam hidupnya, seringkali kalah bersaing dengan orang-orang yang melakukan kejahatan, kalah bersaing dengan orang-orang yang menghalalkan segala cara dalam mendapatkan keinginannya. Siapa yang imannya tidak goyah melihat beberapa fakta seperti ini? Itulah sebabnya semakin banyak orang yang meninggalkan Tuhan, malah menertawakan-Nya, dan merendahkan orang-orang yang takut akan Tuhan.

Tetapi, apakah Tuhan memang membiarkan orang-orang fasik tanpa dihukum? Apakah Tuhan membiarkan orang-orang yang takut akan Dia semakin direndahkan? Tidak! Orang-orang yang berbicara kurang ajar tentang Tuhan ini, lupa bahwa ada saatnya nanti Tuhan akan memperlihatkan perbedaan orang-orang yang takut akan Tuhan dengan orang-orang fasik (ay. 17, 18). Pada akhirnya, Allah akan menunjukkan kasih setia-Nya kepada mereka yang beribadah dengan tulus kepada Tuhan, yang dengan sepenuh hati telah melayani Allah. Sementara itu, Allah pun akan mendatangkan hukuman atas orang-orang fasik, seperti yang diberitakan oleh nabi Maleakhi pada pasal 4 berikutnya (Maleakhi 4:1-2, dst). Jadi, iman kita, ibadah kita, tidak boleh diombang-ambingkan oleh perhitungan untung-rugi tadi, dan tidak boleh digoyahkan oleh orang-orang fasik yang ada di sekitar kita. Takutlah akan Tuhan sepenuh hati, beribadahlah kepadanya tanpa ragu, persembahkanlah seluruh hidupmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah (bnd. Rm. 12:1b).


[1] Khotbah Minggu, 24-02-2019, Jemaat BNKP Hilina’a, Resort 1.

Sunday, February 3, 2019

Memberitakan Tahun Rahmat Tuhan (Lukas 4:16-21)


Bahan Khotbah Minggu, 03 Februari 2019
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]

4:16  Ia datang ke Nazaret tempat Ia dibesarkan, dan menurut kebiasaan-Nya pada hari Sabat Ia masuk ke rumah ibadat, lalu berdiri hendak membaca dari Alkitab.
4:17  Kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya dan setelah dibuka-Nya, Ia menemukan nas, di mana ada tertulis:
4:18  “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku
4:19  untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang.”
4:20  Kemudian Ia menutup kitab itu, memberikannya kembali kepada pejabat, lalu duduk; dan mata semua orang dalam rumah ibadat itu tertuju kepada-Nya.
4:21  Lalu Ia memulai mengajar mereka, kata-Nya: “Pada hari ini genaplah nas ini sewaktu kamu mendengarnya.”

Setelah berhasil melewati pencobaan (Luk. 4:1-13), Yesus kembali ke Galilea (Luk. 4:14-15), dan kini Dia tiba di kota asalnya, Nazaret (Luk. 4:16). Kota ini digambarkan sebagai “tempat Ia dibesarkan”, tempat dia bertumbuh dan berkembang. Ketika hari Sabat, Yesus melakukan apa yang biasa Ia lakukan, yaitu pergi ke rumah ibadat. Ketika Dia ada di sana, Dia berdiri untuk membaca Alkitab, suatu kegiatan yang sudah menjadi tradisi di Israel sejak dulu, dan kepada-Nya diberikan kitab nabi Yesaya. Dia membukanya dan memilih teks yang ingin Dia baca, dan Dia menemukan teks Yesaya 61:1-2, dan itulah yang Dia baca di ayat 18-19 tadi.

Yesus membaca kutipan teks Yesaya yang merujuk pada Roh Allah, Roh yang sama yang membawa-Nya ke Nazaret. Kita tahu bahwa Roh Kudus dalam Lukas membimbing dan memberdayakan orang-orang untuk pelayanan kenabian. Dalam kutipan ini, Roh Tuhan mendiami pembicara dengan maksud memberitakan kabar baik kepada orang miskin - kepada mereka yang secara ekonomi kurang beruntung dan terpinggirkan. Bersama dengan orang miskin sebagai kelompok besar, kabar baik juga diberitakan kepada kelompok tertentu: para tawanan/tahanan, orang-orang buta, dan orang-orang yang tertindas. Apa maksudnya kabar baik di sini? Bagian akhir dari ayat 19 menyatakan bahwa kabar itu merupakan “tahun rahmat Tuhan”. Tahun rahmat Tuhan di sini menggambarkan tahun Yobel, yaitu tahun ketika Tuhan akan memulihkan Israel, memulihkan umat yang dikasihi-Nya.

Orang-orang miskin dalam Lukas merupakan orang-orang yang secara ekonomi kurang/tidak beruntung, mereka terpinggirkan, umumnya disebabkan oleh karena sistem yang tidak adil, sistem yang lebih banyak menguntungkan orang-orang kaya serta para pejabat pemerintah dan agama pada waktu itu. Mereka adalah orang-orang yang berada di lapisan bawah masyarakat, orang-orang yang tidak diperhitungkan sama sekali. Banyak dari antara orang miskin ini menjadi tawanan/tahanan, ada yang menjadi tawanan perang, tawanan karena utang, juga karena masalah “kriminal” demi memperjuangkan kelangsungan kehidupan, dan mereka tidak memiliki kemampuan untuk memperbaiki kehidupannya. Banyak dari mereka yang sakit secara fisik, antara lain buta, dan mereka tidak memiliki kemampuan ekonomi untuk menyembuhkan penyakitnya. Dalam arti tertentu, orang-orang buta ini juga dapat berarti mereka yang secara fisik sehat tetapi tidak dapat melihat dengan jernih dunia sekitarnya karena terlalu mementingkan diri sendiri. Banyak dari orang miskin ini yang tertindas karena kesulitan ekonomi yang tidak dapat mereka atasi, tertindas karena orang-orang kaya dan para pejabat berlaku tidak adil atas mereka, tertindas karena tidak mampu membebaskan diri dari situasi yang amat sulit itu.

Namun demikian, mereka inilah yang justru dipilih oleh Roh Allah sebagai penerima kabar baik. Kabar baik yang diberitakan oleh Yesus, dan dengan demikian kabar baik yang diproklamasikan oleh orang Kristen, adalah kabar baik bagi orang miskin, bagi mereka yang kurang beruntung secara ekonomi, bagi mereka yang “buta” dan tertindas, dan bagi mereka yang terpinggirkan dalam masyarakat kita. Itulah tugas gereja, tugas kita, memberitakan tahun yobel, tahun rahmat Tuhan. Jadi, gereja bukan sekadar persekutuan ibadah, gereja hadir untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan dalam kehidupan nyata.

Secara tradisional, tahun yobel sendiri dirayakan setiap tahun ke-50. Tahun yobel ini merupakan tahun untuk pembebasan dan pemulihan, orang-orang miskin harus dibebaskan dari utang-utang mereka, supaya mereka bisa menikmati hidup sebagai manusia; para tawanan yang menjadi budak harus dibebaskan, dan inilah tahun yang dinanti-nantikan oleh banyak orang, sebab Allah memulihkan umat-Nya.

Ketika Yesus selesai membaca, Dia duduk, dan mata semua orang tertuju kepada-Nya, dan mereka mulai mendengarkan pengajaran-Nya. Yesus mulai menjelaskan Alkitab, secara khusus teks yang tadi Dia baca, dengan memberi tahu mereka bahwa teks tersebut tergenapi melalui kehadiran-Nya. Jadi, Yesus sendiri adalah penggenapan dari nubuatan Yesaya tersebut, walaupun nanti kita lihat di ayat-ayat berikutnya, orang-orang di kampung-Nya itu tidak menerima pengajaran-Nya tersebut (lih. ay. 22-30). Dalam kuasa Roh Tuhan, Yesus adalah orang yang telah dipilih (diurapi) untuk memberitakan kabar baik dari Allah. Dalam pasal-pasal berikutnya, Yesus melakukan perjalanan dari kota ke kota, dan ke mana pun Ia pergi, Ia mengajar dan menyembuhkan, sehingga banyak orang dapat melihat keselamatan dan pemulihan yang ditawarkan Allah.

Apakah Yesus datang memberitakan kabar baik hanya kepada orang-orang miskin dan sejenisnya? Apakah orang-orang kaya, para pejabat, atau orang-orang yang hidupnya secara ekonomi lebih baik, tidak mendapat bagian dari kabar baik itu? Kalau melihat konteks Injil Lukas sendiri, Yesus tampaknya lebih banyak memberi perhatian kepada orang-orang miskin dan sejenisnya, karena pada waktu itu kemiskinan menjadi persoalan serius, sayang sekali hampir tidak ada upaya dari para pemimpin untuk mengatasi persoalan tersebut. Jadi, Yesus datang untuk menghadirkan pengharapan yang pasti bagi mereka, bukan memberi harapan palsu seperti yang biasa dan sedang dilakukan oleh banyak para politisi kita dewasa ini. Ini bukan berarti bahwa orang-orang kaya, para pemimpin, atau orang-orang yang hidupnya lebih baik secara ekonomi dan sosial, tidak mendapatkan kabar baik sama sekali. Injil Lukas ini sendiri dialamatkan kepada seorang pejabat Romawi, yang tentunya memiliki kehidupan ekonomi yang baik, yaitu kepada Teofilus (1:1). Tidak ada persoalan sebenarnya dengan menjadi pejabat atau menjadi kaya, masalahnya adalah kalau jabatan dan kekayaan itu didapatkan dengan cara yang tidak benar, bahkan dengan mengorbankan masyarakat biasa. Masalahnya adalah semakin menipiskan kepekaan sosial manusia terhadap orang-orang di sekitarnya yang lebih membutuhkan. Itulah sebenarnya makna kedatangan Yesus ke dunia, menyatakan solidaritas ilahi atas manusia yang miskin, buta, ditawan/dipenjara, dan tertindas. Di dalam Yesus, rencana Allah untuk memulihkan umat-Nya tergenapi (ay. 21).

Apa artinya? Firman Tuhan ini pada satu sisi menjadi sumber pengharapan kita, bahwa Tuhan pasti memulihkan keadaan kita dengan segala cara yang seringkali sulit dipahami oleh manusia. Dengan pengharapan itu, muncul semangat baru bagi kita untuk bangkit dari keterpurukan, untuk semakin maju, untuk move-on bagi mereka yang sulit melangkah karena kegagalan yang dialami selama ini, dan untuk melihat bahwa kehidupan belum berakhir, masih ada kesempatan untuk bangkit dan memperbaiki diri.

Pada sisi lain, firman Tuhan ini menjadi semacam “cambuk” bagi gereja, bagi orang Kristen, untuk hadir dan memberitakan tahun rahmat Tuhan bagi dunia di mana kita berada. Memberitakan tahun rahmat Tuhan berarti membebaskan orang-orang yang selama ini mungkin terlilit utang dan tidak terus melilit mereka dengan utang-utang baru. Memberitakan tahun rahmat Tuhan berarti menolong mereka yang membutuhkan, menolong dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu membebaskan bukan membebani. Memberitakan tahun rahmat Tuhan berarti membimbing dan menunjukkan jalan keluar terbaik bagi mereka yang hampir kehilangan pegangan dan pengharapan, bukan sebaliknya memanfaatkan kekurangan, kelemahan, dan ketidakberdayaan mereka untuk kepentingan diri sendiri. Memberitakan tahun rahmat Tuhan berarti meringankan beban mereka yang tertindas, bukan sebaliknya menimpa mereka dengan beban baru seperti sebuah ungkapan: “sudah jatuh ketimpa tangga”.

Ini tidak mudah, tetapi orang-orang yang telah didiami oleh Roh Tuhan pasti mampu melakukannya.


[1] Khotbah Minggu, 03-02-2019, di Jemaat BNKP Cikarang, Resort 45.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...