Sunday, February 25, 2024

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”
19 Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.
20 Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah,
21 dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
22 Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran.
23 Kata-kata ini, yaitu “hal ini diperhitungkan kepadanya,” tidak ditulis untuk Abraham saja,
24 tetapi ditulis juga untuk kita; sebab kepada kitapun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati,
25 yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita.

Di bagian pertama Roma 4, Paulus menggunakan Abraham sebagai ilustrasi tertinggi tentang bagaimana seseorang dibenarkan (dinyatakan benar) di hadapan Allah yang kudus. Abraham dibenarkan oleh kasih karunia melalui iman. Sebenarnya, Abraham tidak melakukan sesuatu yang amat spektakuler, yang dia lakukan hanyalah mempercayai janji Tuhan untuknya. Tuhan berjanji kepadanya bahwa ia akan memiliki anak laki-laki, dan dari anak itu akan muncul bangsa besar yang akan memiliki tanah Kanaan untuk selama-lamanya (Kej. 12:7; 15:5; 15:18). Persoalannya ialah Abraham tidak memiliki anak pada saat janji itu diberikan, sementara umurnya sekitar tujuh puluh tahun. Namun demikian, dia percaya janji Tuhan, dan imannya dihitung sebagai kebenaran (Kej. 15:6).

Abraham menjadi bapa dari bangsa Yahudi. Tetapi karena dia adalah teladan utama dari orang yang dibenarkan oleh iman, dia menjadi bapa dari semua bangsa, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi. Jadi, Abraham adalah bapa dari semua orang yang beriman.

Iman: Allah sebagai Pusat (Rm. 4:17)
Sekitar empat belas tahun sebelum namanya diubah, Abraham telah dibenarkan ketika dia mempercayai janji Tuhan. Pada saat namanya diubah, Tuhan menegaskan kembali perjanjian-Nya bahwa Abraham akan menjadi bapa dari banyak bangsa. Bertahun-tahun telah berlalu sejak Tuhan membuat janji, tetapi Abraham masih belum memiliki ahli waris. Ismael adalah anak Abraham, tetapi dia bukanlah ahli waris, sebab dia bukan anak perjanjian Allah dengan Abraham. Ishaklah yang kemudian menjadi ahli waris Abraham, dia adalah anak yang dijanjikan oleh Tuhan. Sebenarnya, pengalaman Abraham ini merupakan situasi yang mustahil. Abraham mau berusia 100 tahun, melewati usia prokreasi, dan Sarah berusia sekitar sembilan puluh tahun, secara fisik tidak dapat memiliki anak. Tetapi Abraham memiliki iman kepada Tuhan untuk melakukan hal yang tidak mungkin. Dia percaya pada Tuhan yang Mahakuasa dan Pembuat mukjizat. Iman tidak lebih dari percaya pada kesetiaan Tuhan. Setelah janji itu ditegaskan kembali, hingga terwujud melalui kelahiran Ishak, iman Abraham semakin kuat. Abraham telah menempatkan Allah sebagai pusat dari kehidupannya. Iman Abraham dibangun dan berorientasi pada Tuhan saja.

Iman: Percaya pada Sesuatu yang Tidak Mungkin (Rm. 4:18)
Situasi yang dihadapi Abraham sebenarnya tentu saja situasi yang mustahil secara manusiawi. Dia percaya pada Tuhan ketika sama sekali tidak ada harapan untuk pemenuhannya. Abraham tidak menemukan dasar pengharapan atau kepercayaannya itu, tetapi dia melihat melampaui dirinya sendiri, dan menerima Firman Tuhan (janji) sebagai dasar pengharapan. Iman adalah mempercayai Tuhan yang menggenapi Firman-Nya, bahkan ketika kita tidak melihat bukti lahiriah (bnd. Ibr. 11:1; 2Kor. 5:7).

Iman: Melihat Melampaui Situasi Biasa (Rm. 4:19-21)
Sebenarnya, Abraham dan istrinya sudah mati dalam hal menghasilkan seorang anak. Keadaan dan hukum alam tidak bersama mereka, tetapi imannya tidak lemah. Dia percaya pada Tuhan yang mengerjakan keajaiban, Tuhan yang untuknya tidak ada yang terlalu sulit untuk dicapai. Dia menghadapi rintangan dengan jujur, dan dengan iman mempercayai Tuhan untuk mengatasi keadaan itu. Imannya melampaui situasi alamiah yang sudah biasa itu. Dia melihat kehidupannya (yang tampaknya sulit) melalui Tuhan, bukan melalui keadaan manusia yang biasa-biasa saja. Itulah sebabnya dia bertahan menantikan janji Tuhan, sekalipun itu bukan situasi yang mudah diterima akal sehat. Dia percaya bahwa, jika Tuhan berjanji, dia pasti memenuhinya. Mengapa? Karena Allah tidak bisa berdusta dan Dia tidak bisa menarik kembali Firman-Nya.

Iman: Teruji oleh Semua (Rm. 4:22-25)
Ketika Tuhan pertama kali memanggil Abraham dan Abraham mempercayai janji Tuhan, Tuhan menyatakan Abraham benar di hadapan-Nya. Tetapi Abraham tidak memiliki sedikit pun bukti fisik bahwa janji ini akan digenapi; dia hanya memiliki janji Tuhan. Setelah 14 tahun imannya dihidupkan kembali ketika Tuhan menegaskan kembali perjanjian-Nya. Ini menunjukkan bahwa iman yang semula dia jalankan adalah iman yang tulus.

Sebagai teladan bagi kita, Abraham percaya pada Tuhan, dan oleh imannya itu Abraham dinyatakan benar. Abraham tidak perlu menghalalkan segala cara supaya dia dinyatakan benar, dia pun tidak perlu menyuap Tuhan. Abraham tidak perlu membangun opini publik supaya dia dianggap benar. Dia pun tidak perlu merasa benar. Dengan imannya, Tuhan menyatakan Abraham sebagai orang benar.

Demikianlah dengan kita, dinyatakan benar oleh Tuhan oleh karena iman. Kita tidak perlu melakukan lobi-lobi atau negosiasi khusus dengan Tuhan supaya kita dibenarkan. Kita pun tidak perlu merasa benar seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang. Kita dibenarkan oleh Tuhan karena iman. Dan itu adalah anugerah Tuhan saja. Kita percaya bahwa melalui kematian dan kebangkitan Kristus, janji Allah tetap hadir dalam kehidupan kita. Hal itulah yang kemudian memberikan semangat baru dan ketulusan dalam berbagai gerak hidup kita. Kristus sendiri rela menderita dan mati supaya kita dinyatakan benar oleh Allah, walaupun sebenarnya kita patut mendapat hukuman yang setimpal atas dosa-dosa kita. Tetapi, oleh kasih karunia Tuhan, kita dibenarkan di dalam iman. Ingat, kita ini dibenarkan, jadi bukan benar dengan sendirinya. Allah yang membenarkan kita, dan pembenaran itu bekerja di dalam iman. Abraham adalah teladan bagi kita tentang kehidupan beriman.

Saturday, January 13, 2024

Yesus Anak Allah dan Raja – Yesu Ono Lowalangi ba Razo (Yohanes 1:43-51 [Yohane 1:44-52])

Telaah atas Khotbah Minggu, 14 Januari 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

43 Pada keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea. Ia bertemu dengan Filipus, dan berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!”
44 Filipus itu berasal dari Betsaida, kota Andreas dan Petrus.
45 Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.”
46 Kata Natanael kepadanya: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”
47 Kata Filipus kepadanya: “Mari dan lihatlah!” Yesus melihat Natanael datang kepada-Nya, lalu berkata tentang dia: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!”
48 Kata Natanael kepada-Nya: “Bagaimana Engkau mengenal aku?” Jawab Yesus kepadanya: “Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara.”
49 Kata Natanael kepada-Nya: “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!”
50 Yesus menjawab, kata-Nya: “Karena Aku berkata kepadamu: Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka engkau percaya? Engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar dari pada itu.”
51 Lalu kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.”

Kita sebaiknya memahami teks ini dengan cermat, sebab, bisa saja muncul khotbah yang mengintimidasi jemaat kalau hanya berfokus pada tema “Tuhan mengenalmu”, yang sepintas sesuai dengan perkataan Yesus di ayat 48. Ada godaan besar untuk ‘mengintimidasi’ jemaat bahwa Tuhan mengenal apa pun yang dia lakukan, biasanya dihubungkan dengan perbuatan jahat.

Benar bahwa Tuhan mengenal setiap jemaat, mengenal apa pun yang kita lakukan. Saya percaya dengan kemahatahuan Allah, tidak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Tetapi, kalau pun teks khotbah hari ini digiring hanya pada tema “Tuhan mengenalmu”, maka dari perkataan Yesus di ayat 48, tidak ada indikasi bahwa yang dikenal oleh Tuhan pada diri Natanael adalah perbuatan jahatnya. Dengan jelas tampak bahwa Yesus melihat Natanael di bawah pohon ara. Perkataan ini pun memiliki korelasi dengan perkataan Yesus sebelumnya tentang Natanael di ayat 47: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” Jadi, justru amat positif. Itulah sebabnya, kita mesti hati-hati memahami teks ini, supaya kita jangan terjebak dalam khotbah yang justru mengintimidasi warga jemaat. Secara teologis, Allah memang mengenal segala perbuatan yang kita lakukan, termasuk perbuatan jahat, tetapi teks ini tidak berbicara tentang itu.

Ucapan-ucapan Yesus kepada Natanael dalam teks ini merupakan kelanjutan dari sikapnya yang skeptis atas informasi yang disampaikan oleh Filipus kepadanya, yaitu bahwa mereka telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret (ay. 45). Alih-alih percaya, Natanael malah bertanya: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (ay. 46). Pertanyaan Natanael ini cukup menohok, mengindikasikan ketidakmungkinan munculnya yang baik dari Nazaret. Kita tidak tahu persis apa maksud Natanael dengan pertanyaannya ini. Ada yang beranggapan bahwa pada zaman itu ada semacam persaingan antar kota atau antar wilayah, sehingga orang yang berasal dari satu kota/wilayah tidak akan memuji kota/wilayah lainnya. Kebetulan, Natanael berasal dari kota Kana, dan sekarang dia berbicara tentang Nazaret, dan dia tidak bisa memujinya. Ada juga anggapan yang mengatakan bahwa pada waktu itu secara umum hampir semua kota/wilayah di daerah Yudea cukup bobrok, termasuk Nazaret. Anggapan lain yang tampaknya lebih mudah diterima adalah bahwa pada waktu itu kota Nazaret merupakan kota kecil yang terpinggirkan, sehingga kesan orang tentang kota ini cukup negatif. Ada semacam pelabelan negatif (stigma negatif) atas kota ini, dan stigma itu sudah menjadi konsumsi publik, termasuk Natanael. Jadi, Natanael merasa heran atau merasa aneh saja kalau Yesus yang telah dinubuatkan dalam kita PL berasal dari Nazaret. Sebenarnya, dalam kata-kata Natanael ini tersirat pengakuan bahwa Yesus adalah sesuatu atau seseorang yang baik, dan menurut pemahaman Natanael yang dipengaruhi oleh stigma negatif tadi, tidak mungkin yang baik itu berasal dari Nazaret.

Filipus pun tidak berdebat panjang dengan Natanael, mungkin dia menganggap bahwa pertanyaan tersebut wajar saja. Sebaliknya, dia mengajak Natanael untuk melihat sendiri Yesus yang berasal dari Nazaret tersebut. William Barclay pernah mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk meyakinkan seseorang tentang supremasi Kristus adalah dengan menghadapkan dia dengan Kristus. Alhasil, Natanael berjumpa dengan Yesus, dan malah Yesus memberikan semacam pujian tentang dia: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (ay. 47). Yesus mengakui kejujuran Natanael yang mengakui langsung kondisi riil umat Israel secara umum pada waktu itu, sulit menemukan hal yang baik dalam diri mereka. Selain itu, Yesus mengapresiasi kejujuran Natanael yang sebenarnya secara tersirat mengakui bahwa Yesus itu baik, dan “tidak mungkin ‘Yesus yang baik’ itu berasal dari Nazaret” (yang pada waktu itu dianggap tidak baik).

Nah, menanggapi parkataan Yesus di ayat 47 tadi, Natanael pun penasaran. Dia ingin tahu dan bertanya kepada Yesus: “Bagaimana Engkau mengenal aku?” (ay. 48a). Lihatlah, perjumpaan dengan Yesus mengubahkan hidup Natanael, mengubah menjadi lebih baik. Tadinya, Natanael bersikap skeptis ketika mendengar informasi tentang Yesus dari Filipus, tetapi sekarang, setelah berjumpa dengan Yesus, sikapnya berubah, dari sikap yang tidak peduli (skeptis) menjadi sikap yang ingin tahu, dan ini merupakan tanda awal kepercayaannya kepada Yesus. Lalu, Yesus pun memberitahu bagaimana Dia mengenal Natanael, bahwa “sebelum Filipus memanggil dia, Yesus telah melihatnya di bawah pohon ara” (ay. 48b). Kata-kata Yesus ini merupakan pengantar pada hal besar yang hendak Dia sampaikan nanti kepada Natanael di ayat 51. Yesus telah melihat Natanael sebelum Filipus memanggil dia, padahal Natanael merasa belum pernah bertemu dengan Yesus sebelumnya. Ini sungguh luar biasa, suatu kemampuan supernatural yang (dalam pandangan Natanael) tidak mungkin dimiliki oleh manusia biasa. Tetapi, inti perkataan Yesus bukan di sini; pesan pentingnya bukan pada tema tentang Yesus (telah) melihat/mengenal Natanael (sebelum Filipus memanggilnya). Sekali lagi, kata-kata Yesus ini merupakan pengantar kepada berita eskatologis yang amat besar di ayat 51 nanti.

Ketakjuban Natanael atas ‘kemampuan supernatural’ Yesus yang telah melihatnya di bawah pohon ara, semakin menguatkan sikapnya yang sudah berubah tadi, dan kini dia sampai pada pengakuan atas diri Yesus: “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!” (ay. 49). Di sini, Natanael menyebutkan tiga gelar Yesus sekaligus: Rabi, Anak Allah, dan Raja. Sebelumnya, Andreas telah menyebutkan gelar Yesus sebagai Mesias (Yoh. 1:41). Gelar-gelar Yesus ini memiliki sejarah dan dimensi teologis yang amat panjang, dan sulit untuk menguraikannya di sini. Intinya adalah bahwa perjumpaan dengan Yesus telah mengubahkan sikap Natanael, dan perubahan sikap itu telah menggiringnya pada kepercayaan dan pengakuan akan Yesus berasal dari Allah.

Yesus pun ‘mengoreksi’ dasar kepercayaan Natanael, yang tampaknya masih ‘terpesona’ atas kemampuan supernatural Yesus yang telah melihatnya di bawah pohon ara (lih. ay. 50a). Menurut Yesus, tidaklah baik kalau percaya kepada-Nya karena sesuatu yang tampaknya ‘menakjubkan’ (mukjizat). Itu bukanlah inti dari iman, itu bukan ukuran iman, dan itu bukan orientasi iman. Maka, Yesus mengatakan bahwa akan ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar hal-hal supernatural tadi. Itulah yang Dia tegaskan di ayat 51: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.” Kata-kata Yesus ini ada hubungannya dengan mimpi Yakub, yang melihat sebuah tangga yang didirikan di bumi dan ujungnya sampai di langit, dan tampak malaikat-malaikat Allah turun naik di tangga itu (Kej. 28:12). Yesus memaknai baru mimpi Yakub tersebut, dan mengarahkannya secara eskatologis kepada diri-Nya. Di sini pun Yesus menyebut gelar “Anak Manusia”, yang dapat dibaca dalam Daniel 7:13-14, di mana Anak Manusia diberikan “kekuasaan dan kemuliaan dan kerajaan” dan “suatu kekuasaan yang kekal yang tidak akan berlalu.” Artinya, hal yang terpenting adalah bahwa dengan iman kita akan melihat pemuliaan Yesus sendiri, para malaikat pun melayani Dia. Pada satu sisi, Yesus adalah sosok yang rendah hati sampai mati di kayu salib, tetapi pada sisi lain Dia kemudian dimuliakan, dan makhluk-makhluk surgawi pun menyembah Dia.

Jadi, perjumpaan dengan Yesus sesungguhnya dapat mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik; lebih percaya pada hal-hal yang jauh lebih substansial. Kita berjumpa dengan Yesus, bahkan Dia selalu menyertai kita. Kita pun percaya kepada-Nya, yakin akan hal-hal besar yang akan kita lihat menuju pada pemuliaan Yesus.

Sunday, December 24, 2023

Segala Bangsa Memuji dan Memuliakan Allah – Fefu Soi Lasuno ba Lafolakhömi Lowalangi (Lukas 2:15-20)

Khotbah Natal I, Senin, 25 Desember 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

15 Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke sorga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.”
16 Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan.
17 Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu.
18 Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.
19 Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.
20 Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.

Kisah kelahiran Yesus menurut Lukas sangatlah indah karena kesederhanaan dan sifatnya yang begitu manusiawi. Meski sederhana dan manusiawi, kisah kelahiran Yesus ini memiliki kedalaman teologis yang seringkali tersembunyi di bawah permukaan. Kegiatan/peristiwa sekuler, yakni pelaksanaan sensus yang merupakan perintah dari Kaisar Agustus ketika Kirenius menjadi wali negeri di Siria (Luk. 2:1-3), justru telah menjadi suatu momen bagi kelahiran Yesus. Bagi orang Kristen mula-mula, kelahiran Yesus di “kota Daud” dipandang sebagai penggenapan nubuatan (lih. Mat. 2:5-6; Yoh. 7:42).

Lukas memberi tahu kita bahwa Yesus dilahirkan di bawah pemerintahan Kaisar Augustus, atau bahwa keputusannya berlaku untuk “seluruh dunia.” Hal ini hendak menyatakan betapa pentingnya (makna) kelahiran Yesus bagi seluruh dunia. Presiden RI ke-4, Gus Dur, pernah mengatakan bahwa Yesus Kristus itu bukan hanya Juruselamat orang Kristen, melainkan Juruselamat dunia. Jadi, walaupun Yesus lahir di suatu tempat yang amat sederhana, dan dikelilingi oleh orang-orang yang juga amat sederhana, tetapi makna dan gema kelahiran-Nya itu meliputi seluruh dunia. Sukacita Natal bukan hanya sukacita orang Kristen, bukan hanya sukacita gereja, melainkan sukacita bagi dunia, sukacita bagi semua orang. Karena itu, bagikanlah sukacita Natal itu bagi dunia, bukan hanya untuk dirimu sendiri, bukan hanya untuk kelompok atau gerejamu sendiri. Nyatakanlah sukacita Natal dalam tindakan nyata kepada semua orang, sehingga segala bangsa pun memuji dan memuliakan Allah.

Pada waktu itu, Kaisar Agustus disebut sebagai “anak tuhan”, kelahiran dan kebradaannya dianggap sebagai anugerah pemeliharaan ilahi, yang mengutusnya sebagai “penyelamat,” untuk membawa perdamaian. Namun demikian, kelahiran Yesus (ketika Kaisar Agustus memberi perintah sensus) membantah anggapan bahwa harapan dunia ada di tangan para penguasa zaman ini. Harapan dunia ada pada diri-Nya. Sepanjang sejarah, selalu saja ada penguasa yang menganggap diri sebagai sosok yang dipuja; anehnya banyak orang yang juga terjebak dalam pemujaan terhadap orang-orang tertentu, kadang-kadang memuja secara buta. Apalagi menjelang pileg dan pilpres mendatang, banyak orang yang membela mati-matian calon pujaannya, kadang-kadang sampai kehilangan akal sehat. Apakah para tokoh itu dapat memberikan jaminan akan kehidupan yang jauh lebih baik? Tentu tidak! Harapan yang sesungguhnya hanya ada pada Yesus yang lahir dalam segala kesederhanaan itu, bukan pada sosok yang muncul dalam segala keperkasaan dan kemudahan. Ketika dunia semakin tidak baik-baik oleh karena ulah manusia sendiri, maka harapan kita hanya ada pada Yesus. Ketika para penguasa dan pengusaha menjadikan isu kemanusiaan sebagai shortcut (jalan pintas) bagi mereka untuk meraih kekuasaan dan meraup keuntungan yang besar, Yesus Kristus justru lahir dalam kemanusiaan dan kesederhanan-Nya. Ketika pada penguasa menjadikan isu tentang orang-orang miskin sebagai proyek untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan, Yesus Kristus justru lahir dalam kemiskinan dan hidup bersama dengan orang miskin. Jadi, natal adalah berita sukacita bagi orang-orang sederhana, orang-orang terpinggirkan, dan orang-orang miskin.

Sebagaimana Yesus dilahirkan dalam keadaan yang sederhana, maka orang pertama yang mendengar kabar baik tentang kelahiran-Nya adalah para gembala yang sangat sederhana: Yesus datang untuk orang-orang yang miskin seperti mereka (Lukas 4:18). Malaikat memberi tahu para gembala bahwa mereka akan melihat tanda yang menegaskan kelahiran Mesias: seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di palungan. Penyebutan “tanda” ini merupakan suatu pengumuman yang akan meneguhkan kebenaran suatu tindakan atau janji Allah sejak zaman Perjanjian Lama. Tanda tersebut menunjuk pada fakta yang luar biasa bahwa Anak ini, yang terbaring di palungan, sudah menjadi “Tuhan/Mesias.” Mesias Israel tidak menampakkan diri-Nya dalam bentuk keperkasaan yang terlihat, namun dalam wujud seorang bayi yang rendah hati dan rentan. Fakta bahwa Anak ini adalah Mesias tentu saja menimbulkan keheranan (Lukas 2:18). Siapa yang tidak merasa heran kalau berita kelahiran Yesus Kristus pertama kali disampaikan kepada mereka yang tidak dianggap oleh dunia ini? Siapa yang tidak heran kalau ternyata Sang Mesias yang dinantikan itu adalah seorang bayi yang begitu lemah dan lahir bukan dalam istana, juga bukan di sebuah rumah sakit mewah, melainkan di tempat yang begitu sederhana, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan?

Mesias yang sederhana ini akan menjadi sahabat orang miskin (Luk. 4:18; 6:20; 7:22). Hal ini telah diperlihatkan ketika berita kelahiran-Nya pertama kali disampaikan kepada orang-orang miskin, orang-orang yang sangat sederhana, itulah para gembala. Jadi, kisah Natal adalah kisah tentang Tuhan yang berkenan dilahirkan di antara orang-orang yang sederhana, di antara orang-orang miskin, sekaligus Sang Mesias adalah sosok yang rendah hati dan memberkati orang-orang yang rendah hati. Dengan adanya Allah yang demikian di pihak kita, kita tidak perlu takut. Bersama para gembala kita boleh memuji dan memuliakan Tuhan atas karunia Anak-Nya (Lukas 2:20).

Segala bangsa yang Kaujadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu (Mazmur 86:9).

Dozi soi, niwõwõimõ andrõ, ba mõi dania mangalulu khõu, yaʼugõ Soʼaya, awõ wamosumange tõimõ andrõ (Sinunö 86:9).

Saturday, November 18, 2023

Jangan Melupakan TUHAN – Böi Olifu’ö Yehowa (Ulangan 8:7-18)

Bahan Khotbah Minggu, 19 November 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Sebab TUHAN, Allahmu, membawa engkau masuk ke dalam negeri yang baik, suatu negeri dengan sungai, mata air dan danau, yang keluar dari lembah-lembah dan gunung-gunung;
8 suatu negeri dengan gandum dan jelainya, dengan pohon anggur, pohon ara dan pohon delimanya; suatu negeri dengan pohon zaitun dan madunya;
9 suatu negeri, di mana engkau akan makan roti dengan tidak usah berhemat, di mana engkau tidak akan kekurangan apapun; suatu negeri, yang batunya mengandung besi dan dari gunungnya akan kaugali tembaga.
10 Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu, karena negeri yang baik yang diberikan-Nya kepadamu itu.
11 Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini;
12 dan supaya, apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya,
13 dan apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak,
14 jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan,
15 dan yang memimpin engkau melalui padang gurun yang besar dan dahsyat itu, dengan ular-ular yang ganas serta kalajengkingnya dan tanahnya yang gersang, yang tidak ada air. Dia yang membuat air keluar bagimu dari gunung batu yang keras,
16 dan yang di padang gurun memberi engkau makan manna, yang tidak dikenal oleh nenek moyangmu, supaya direndahkan-Nya hatimu dan dicobai-Nya engkau, hanya untuk berbuat baik kepadamu akhirnya.
17 Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.
18 Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini.

Kita sering mendengar bahkan menyebutkan ungkapan “JAS MERAH”. Ungkapan ini sering dipahami sebagai singkatan dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Apabila mengacu pada pidato Presiden Soekarno (17 Agustus 1966), maka sebenarnya JAS MERAH merupakan singkatan dari “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Ungkapan JAS MERAH (… melupakan … atau pun … meninggalkan …) hendak menyadarkan kita bahwa hidup atau keberadaan kita, baik secara personal maupun secara komunal, memiliki sejarah yang tidak boleh dilupakan/ditinggalkan begitu saja. Penting untuk selalu mengingat sejarah perjalanan hidup kita dengan segala dinamikanya itu, supaya kita tidak bersikap dan bertindak gegabah dalam menjalani hari ini dan menghadapi hari esok. Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris: “All my yesterdays have brought me to this day, and all my tomorrows begin now” (Seluruh hari-hari kemarin saya telah membawaku ke hari ini, dan seluruh hari esokku dimulai sekarang). Hal ini mendorong kita untuk senantiasa berefleksi secara mendalam bahwa eksistensi kita hari ini tidak terlepas dari perjalanan dan pengalaman hari-hari kemarin, dan bahwa hari-hari esok kita dimulai sekarang. Refleksi yang baik akan membuat kita sadar bahwa selalu ada orang-orang yang telah menolong kita dalam perjalanan sebelumnya hingga hari ini, dan kita percaya bahwa akan ada orang-orang yang juga menolong kita menghadapi hari-hari berikutnya.

Demikianlah gambaran pesan yang hendak disampaikan dalam teks khotbah hari ini; pesan yang mengingatkan bangsa Israel bahwa keberadaan mereka pada saat Musa berpidato kepada mereka tidak terlepas dari perjalanan dan pengalaman sebelumnya, baik perjalanan dan pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Dalam teks ini, Musa memberi penekanan secara khusus pada pertolongan dan penyertaan TUHAN dalam perjalanan bangsa Israel sebelumnya, mulai dari Mesir hingga sebentar lagi mereka akan memasuki tanah Kanaan dengan menyeberangi sungai Yordan. Itulah juga maksud dari penulisan kitab Ulangan ini, mengulangi atau mengingatkan generasi baru dari bangsa Israel akan pengalaman mereka dalam perjalanan di padang gurun, baik kasih karunia yang telah mereka terima maupun hukum-hukum Allah, yang pada intinya menuntut bangsa itu senatiasa taat kepada-Nya. Pasal 8 ini dimulai dengan seruan untuk menaati perintah-perintah TUHAN dan mengingat sejarah mereka—sejarah di mana Allah pernah “merendahkan” (menghukum) Israel di padang gurun—dan sejarah di mana Dia pernah memberi makan manna kepada bangsa Israel dan menjaga agar pakaian mereka tidak rusak. Pada ayat 6 Musa berkata, “Oleh sebab itu haruslah engkau berpegang pada perintah TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan dengan takut akan Dia.”

Pada ayat 7-10, Musa mengingatkan bangsa Israel bahwa TUHANlah yang telah membawa mereka ke tanah yang baik dengan segala kenikmatan dan kelimpahannya itu. Mereka perlu mengingat bahwa mereka tidak memasuki wilayah tersebut sendirian, TUHANlah yang membawa mereka ke negeri itu. Hal ini merupakan pesan jaminan bahwa TUHANlah yang akan menolong mereka untuk mengalahkan penduduk negeri itu, dan TUHANlah yang akan memenuhi kebutuhan mereka ketika tiba di negeri tersebut, TUHANlah yang akan memberkati segala usaha mereka, pertanian, peternakan, dan juga rumah-rumah mereka. Intinya, mereka tidak akan kekurangan apa pun kalau TUHAN yang menolong dan menyertai mereka. Kemakmuran, kelimpahan, dan kesuksesan adalah dari TUHAN saja, dan bangsa Israel harus terus mengingatnya.

Namun demikian, potensi untuk “terlena/terbuai” dalam kenikmatan dan keberhasilan, dapat membuat manusia melupakan sumber kenikmatan dan sumber keberhasilan itu. Oleh sebab itu, pada ayat 11-16, Musa mengingatkan bangsa Israel untuk selalu waspada untuk jangan sekali-kali melupakan TUHAN Allah yang telah membawa mereka sejauh ini menuju tanah Kanaan, tanah perjanjian yang penuh dengan madu dan susu. Mengingat perjanjian mereka dengan TUHAN akan membuat bangsa Israel tetap kokoh. Melupakan perjanjian akan membuat mereka terdampar di dunia yang berpotensi berubah menjadi pengkhianat. Mengingat tindakan perkasa TUHAN adalah jalan menuju kebijaksanaan dan kehidupan. Melupakan TUHAN adalah jalan menuju kebodohan dan kematian.

Padang gurun telah mengajarkan bangsa Israel bagaimana hidup dalam kesulitan. Di alam liar, mereka hanya mempunyai cukup makanan dan air untuk sehari. Mereka harus terus berpindah-pindah, antara lain untuk mencari makan bagi domba dan kambing mereka, dan juga karena mereka tidak mempunyai tanah air yang dapat dijadikan milik mereka. Bagi Israel, padang gurun bagaikan api di tempat pemurni, membersihkan sampah dan menyucikan keseluruhannya. Kini bangsa Israel harus mulai belajar bagaimana hidup dalam kemakmuran, suatu kondisi yang tidak mereka nikmati selama berabad-abad.

Tetapi, keadaan seperti ini harus diwaspadai, sebab banyak orang yang terbuai dengan kesuksesan, kenikmatan, dan kelimpahan yang diperoleh, sama seperti banyak orang yang terbuai dengan kedudukan dan kekuasaan yang telah didapatkan, dan akhirnya lupa diri. Bukankah banyak orang yang setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, sikap dan tindakannya berubah, dan kini menjadi “seperti kacang lupa akan kulitnya”, lupa akan masa lalunya, lupa akan perjalanan dan pengalaman sebelumnya, dan berpikir bahwa keadaannya saat ini semata-mata adalah karena kehebatannya. Hal ini harus diwaspadai. Kita mungkin akan tetap mengingat TUHAN dan tidak mengkhianati-Nya ketika berada dalam situasi sulit (walaupun banyak juga orang yang meninggalkan TUHAN ketika berada dalam kesulitan), Tetapi, seringkali kita melupakan TUHAN ketika sedang menikmati kejayaan, dan ini sangat berbahaya bagi diri kita dan bagi orang-orang di sekitar kita. Kesuksesan memang impian semua orang, tetapi harus disadari bahwa ada potensi menuju kehancuran dari kesuksesan tersebut. Thomas Burton pernah mengatakan: “Jika kesulitan telah membunuh ribuan orang, maka kemakmuran telah membunuh sepuluh ribu orang.”

Kita mungkin bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Jawabannya adalah, di tengah kemakmuran (kesuksesan dan sejenisnya), masyarakat cenderung melupakan disiplin dan nilai-nilai serta keimanan yang membuat mereka sejahtera. Di tengah kemakmuran, masyarakat menjadi bosan dengan kehidupannya yang serba ada, sehingga dengan mudah menjadi mangsa berbagai godaan duniawi: narkoba, alkohol, seks bebas, dan masih banyak lagi. Di tengah kemakmuran, manusia cenderung melupakan Tuhan.

Itulah sebabnya pada ayat 17-18, Musa mengatakan: “… janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.” Banyak orang yang jatuh justru karena terjebak dalam keangkuhan akan kesuksesan yang telah dicapai; sayang sekali banyak orang yang tidak mau diingatkan akan bahaya yang mengintai di balik keberhasilan yang telah dicapai. Ada sebuah penggalan lagu dari Mac Davis: “Ya Tuhan, sulit untuk menjadi rendah hati ketika saya sempurna dalam segala hal.” Iman kita mungkin bisa bertahan menghadapi kesulitan, tetapi bisa tidak dapat mengatasi godaan kemakmuran. Oleh sebab itu, “… haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini” (ay. 18).

Jadi:

“Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu”
(Ul. 8:11a)

Saturday, November 11, 2023

Saling Membangun dalam Menanti Kedatangan Tuhan – Faoma Mitolo Nawömi ba Wombaloi Fe’aso Zo’aya (1 Tesalonika 5:16-24)

Bahan khotbah Minggu, 12 November 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Tetapi tentang zaman dan masa, saudara-saudara, tidak perlu dituliskan kepadamu,
2 karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam.
3 Apabila mereka mengatakan: Semuanya damai dan aman--maka tiba-tiba mereka ditimpa oleh kebinasaan, seperti seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin--mereka pasti tidak akan luput.
4 Tetapi kamu, saudara-saudara, kamu tidak hidup di dalam kegelapan, sehingga hari itu tiba-tiba mendatangi kamu seperti pencuri,
5 karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan.
6 Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar.
7 Sebab mereka yang tidur, tidur waktu malam dan mereka yang mabuk, mabuk waktu malam.
8 Tetapi kita, yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan.
9 Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita,
10 yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia.
11 Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.

Konsep “kedatangan Kristus” (“hari Tuhan”) telah menimbulkan beberapa kesalahpahaman yang mewujud pada perbuatan/tindakan yang keliru. Dalam beberapa kasus, perihal kedatangan Kristus ini digunakan untuk menakut-nakuti orang agar hidup dalam ketaatan, tetapi ketaatan yang salah. Ini mirip dengan cara-cara orangtua zaman dulu yang menakut-nakuti anak-anaknya bahwa pada malam hari itu ada setan supaya anaknya berhenti menangis. Dalam kasus lain, perihal kedatangan Kristus ini telah mengarah pada iman yang mementingkan diri sendiri yang berakar pada kasih karunia yang murahan, sebab setiap orang didorong untuk mengusahakan keselamatannya.

Dalam kasus komunitas kecil yang dibahas oleh Paulus di Tesalonika, kedatangan Kristus menyebabkan beberapa pengikut Yesus menjadi menganggur (1 Tesalonika 4:10; 5:14), dan secara eksplisit ditegur oleh Paulus pada suratnya yang kedua kepada jemaat di Tesalonika ini (lih. 2 Tesalonika 3:10). Jika Kristus segera datang kembali, apa perlunya bekerja? Beberapa orang berusaha untuk terus berdoa agar mereka siap ketika saatnya tiba. Berita tentang kedatangan Kristus itu telah disalahartikan dan disalahgunakan oleh beberapa orang dengan tidak bekerja, atau tidak peduli dengan persoalan-persoalan yang ada di sekitar mereka, sebab menurut mereka tidak ada artinya, toh Kristus segera datang. Itulah sebabnya Paulus merasa perlu meluruskan pemahaman yang keliru tersebut dengan tetap menekankan kepastian datangnya Kristus.

Paulus memandang kedatangan Kristus sebagai sumber pengharapan, karena pada saat itulah kita akan dibangkitkan bersama Kristus (1 Tesalonika 4:16-17). Ia juga memandang kedatangan Kristus sebagai momen pertanggungjawaban (4:1), karena pada saat itulah kita harus menghadap Tuhan dan diri kita sendiri dengan jujur. Karena kedua alasan ini, beliau mendorong kita untuk hidup penuh sukacita menantikan kedatangan Kristus. Menantikan kedatangan Kristus tidak berarti berhenti beraktivitas, bermalas-malasan, atau tidak peduli dengan dunia di mana kita berada. Menantikan kedatangan Kristus berarti menanti-Nya dalam sukacita pengharapan sambil tetap bekerja, beraktivitas, dan melayani.

Untuk menyemangati para orang-orang Kristen di Tesalonika, Paulus menggunakan cara retoris yang lazim pda waktu itu, dengan membuat semacam daftar yang kontras antara “kita” (yang sungguh-sungguh percaya pada Kristus) dan “mereka” (yang tidak hidup menurut jalan Kristus):

Kita adalah anak-anak terang dan anak-anak siang vs mereka adalah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan.
Kita hidup dalam ketenangan vs mereka hidup dalam kemabukan.
Kita tetap berjaga-jaga vs mereka tertidur (terlena).

Sebenarnya tujuan Paulus adalah memusatkan perhatian pada kita dan siapa kita sebenarnya. Jika kita adalah anak-anak terang/siang, maka kita harus tetap waspada dan berjaga-jaga sambil tetap berkativitas seperti biasa, karena kita tahu bahwa Kristus sudah dekat.

Pada ayat 3 Paulus mengingatkan jemaat untuk tidak cepat-cepat merasa “aman” dengan situasi yang ada, sebab Kristus datang “seperti pencuri di malam hari” (5:2). Perasaan “aman-aman” saja dapat menyebabkan jemaat terlena dan tidak mempersiapkan diri dengan baik, termasuk tidak siap menghadapi berbagai kemungkinan buruk yang bakal terjadi menjelang kedatangan Kristus. Itulah sebabnya Paulus menganalogikan situasi itu seperti seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin (ay. 3). Ini adalah gambaran tentang kepastian datangnya rasa sakit menjelang kedatangan Tuhan, oleh sebab itu setiap orang jangan dulu merasa “aman-aman” saja, apalagi kalau hanya mengandalkan keamanan atau rasa damai yang ditawarkan oleh pemerintah duniawi. Pada sisi lain, rasa sakit (seperti yang dialami oleh perempuan hamil) dapat memberi jalan kepada kehidupan baru, yang mungkin mengisyaratkan “perolehan keselamatan” (1 Tesalonika 5:9).

“Kedatangan Kristus” yang dinanti-nantikan ini memberikan kita sebuah batasan sementara: sebuah momen ketika kita bertatap muka dengan Kristus. Tentu saja ada cara-cara lain di mana kita bisa bertatap muka dengan Kristus: ketika kita berjumpa dengan orang asing, misalnya, atau ketika kita dengan penuh doa merenungkan kehidupan kita dalam pengakuan dosa. Namun kedatangan Kristus akan membawa kita ke suatu masa yang tidak dapat ditunda, ketika kita akan dimintai pertanggungjawaban, ketika rasa sakit bersalin menimpa kita, ketika hal-hal yang selama ini kita cari akan kedamaian dan keamanan terungkap.

Oleh sebab itu, Paulus memerintahkan jemaat untuk “berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan” (1 Tesalonika 5:8). Dengan menggunakan gambaran baju pelindung tentara Romawi, Paulus hendak menegaskan bahwa baju pelindung kita adalah: iman, kasih, dan pengharapan; itulah kekuatan kita yang sesungguhnya.

Tentu saja, iman, kasih, dan pengharapan tidak secara otomatis melindungi para pengikut Yesus dari penindasan yang berat (1 Tesalonika 1:6), tetapi paling tidak ketiganya melindungi jemaat dari ketakutan akan murka yang akan datang (5:9). Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan (ay. 11).

Saturday, October 14, 2023

BANYAK YANG DIPANGGIL TETAPI SEDIKIT YANG DIPILIH – ATO SA NIKAONI BA LÖ ATO NITUYU (MATIUS 22:1-14)

Bahan Khotbah Minggu, 15 Oktober 2023
Dipersiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

Undangan Pertama dan Kedua yang Universal
Adalah suatu adat kebiasaan pada saat itu di daerah Palestina ada undangan awal dan ada undangan kedua yang disebar kepada para tamu ketika pesta (perjamuan kawin) sudah siap. Sang raja yang menyelenggarakan pesta itu mengundang semua, bahkan menyuruh hamba-hambanya untuk pergi ke persimpangan-persimpangan jalan supaya mereka datang ke perjamuan kawin itu (ay. 9), baik orang jahat maupun orang baik (ay. 10). Ini menggambarkan undangan sang raja yang universal supaya semua orang datang dan menikmati sukacita pesta bersamanya.

Sikap/Respons terhadap Undangan/Panggilan
Sayang sekali, undangan sang raja itu tidak ditanggapi dengan baik, tidak ditanggapi dengan sopan. Orang-orang yang diundang tersebut, baik pada undangan pertama maupun kedua, menolaknya dengan kasar. Tidak ada sedikit pun tanda kesopanan: “tetapi mereka menolak untuk datang” (ay. 3b); “tetapi mereka tidak mengindahkannya” (ay. 5a). Dengan jelas disebutkan dalam Matius: “ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya, dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya” (ay. 5b-6). Sikap dan respons orang-orang ini menggambarkan ketidakpedulian dan kesibukan mereka dengan hal-hal lain, dan sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat dan rasa takut kepada sang raja, sampai-sampai hamba-hambanya pun disiksa dan dibunuh. Kebangetan!

Asumsi awal yang mendasari perumpamaan ini adalah bahwa semua orang ingin diundang ke perjamuan kawin. Demikianlah perjamuan kawin di kota-kota Palestina serta dalam Kerajaan Surga. Idealnya, tak seorang pun pada zaman Yesus yang menolak undangan pesta pernikahan, apalagi undangan pada perjamuan eskatologis dalam Kerajaan Surga. Penolakan terhadap undangan ini berarti dengan sengaja menolak panggilan kasih karunia Allah, dan itulah yang dilakukan oleh umat Israel dan Yahudi pada zaman Yesus. Penolakan terhadap undangan untuk datang ke perjamuan kawin ini ada hubungannya dengan penolakan terhadap Yesus beserta jalan damai dari Tuhan.

Perumpamaan ini menggambarkan undangan kepada semua orang, Yahudi maupun nonYahudi, kaya dan miskin, ..., untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sayang sekali, banyak orang yang dengan sengaja menolak undangan atau panggilan itu, menolak kasih karunia Tuhan, menolak merayakan sukacita ilahi dalam Kerajaan Surga. Penolakan dengan berbagai bentuk/cara ini dapat ditemukan di segala zaman, tempat, dan konteks. Bukan hal baru lagi sekarang kalau banyak orang yang dengan sengaja, atau mencari-cari alasan untuk tidak peduli terhadap undangan atau ajakan untuk merayakan sukacita ilahi dalam Kerajaan Surga. Ada orang yang malah mengolok-olok undangan/ajakan/panggilan yang disampaikan kepadanya untuk ikut dalam pesta sukacita ilahi. Banyak orang yang memiliki 1001 macam alasan untuk tidak memenuhi undangan, ajakan, atau panggilan sang Raja kehidupan kita, dengan sengaja memilih untuk tidak mau direpotkan dengan urusan “ilahi”.

Sikap/Cara Ketika Memenuhi Undangan/Panggilan
Memenuhi undangan/panggilan sang raja ternyata tidak otomatis memberi jaminan bahwa sang raja menerimanya. Hal ini terbaca dengan jelas pada ayat 11-14, ketika ada orang yang datang ke pesta itu tetapi tidak mengenakan pakaian pesta, akhirnya dicampakkan ke luar. “Pakaian Pesta” (Yun. endyma gamou) tidak berarti “pakaian khusus, dipakai pada acara-acara perayaan, tetapi pakaian yang baru dicuci, dan sepertinya orang tersebut mengenakan baju yang kotor. Pada zaman itu, pakaian kotor dianggap sebagai penghinaan terhadap tuan rumah. Tamu tanpa pakaian pesta menerima kecaman keras. Walaupun hukuman yang diberikan tampaknya berlebihan untuk pelanggaran tersebut, tetapi penekanannya lebih pada bagaimana sikap dan cara setiap orang menghargai norma yang berlaku ketika datang memenuhi undangan/panggilan sang raja.

Norma komunitas Yahudi pada abad pertama adalah bahwa setiap orang wajib mengenakan pakaian pesta untuk perjamuan kawin. Artinya, datang pada perjamuan itu tanpa memakai pakaian pesta akan menjadi suatu penghinaan terhadap tuan rumah (fangosiwawöi, fango’aya), dan hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mengapa? Karena sikap/cara seperti itu akan menjadi tanda ketidakpedulian terhadap tradisi dan adat. Orang yang tidak memakai pakaian pesta dianggap telah menunjukkan penghinaannya terhadap tuan rumah sekaligus ketidakpedulian atau pengabaiannya akan hukum, dalam hal ini dapat dihubungkan dengan ketidakpedulian terhadap Taurat dan berbagai hukum yang terkait dengannya (ingat, pembaca awal Matius adalah keturunan Yahudi).

Tidak memakai pakaian pesta dalam perumpamaan ini ada hubungannya dengan “keangkuhan” dari setiap orang yang telah berada dalam pesta tersebut dan berpikir bahwa dirinya diterima otomatis oleh sang tuan rumah, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengusirnya. Ini adalah anggapan yang angkuh bahwa dia boleh datang untuk merayakan pesta dimaksud sesuka hatinya dengan caranya sendiri. Tetapi, tanggapan tuan rumah yang menyelenggarakan pesta kepadanya sungguh tanpa ampun. “Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (ay.13). Jadi akhir perumpamaan ini adalah panggilan kebangunan untuk siapa saja yang cukup sombong dengan berpikir bahwa toh kita telah otomatis menjadi anggota Kerajaan Surga, dan karenanya tidak perlu memedulikan keinginan tuan rumah. Harapannya adalah bahwa orang-orang yang telah dipanggil ke perjamuan juga harus memperhatikan hal-hal ini, yaitu “melakukan keadilan, belas kasih, mengasihi dan berjalan dengan rendah hati bersama Allah” sebagaimana dikatakan Yesus dalam Mat. 23:23.

Keluasan Panggilan Allah
Undangan raja dalam perumpamaan ini sungguh luas: pertama kali disampaikan di seluruh kota, kemudian di sekitarnya. Undangan atau panggilan sang raja untuk masuk dalam sukacita pestanya ditujukan bagi umat Israel (bnd. Mat. 15:24), tetapi undangan itu kemudian ditujukan juga kepada setiap orang tanpa pandang bulu dari berbagai suku bangsa (bnd. Mat. 4:23-25). Kita sudah pasti bagaimana umat Israel, orang-orang Yahudi, terutama para pemimpinnya, dengan sengaja menolak para nabi Allah sejak zaman PL, mereka bahkan menolah Putra Allah, yaitu Yesus hingga membunuh-Nya tanpa ragu. Penolakan umat Israel dan Yahudi ini justru telah membuka “jalan” yang lebih luas bagi bangsa-bangsa di segala tempat dan konteks, untuk masuk ke dalam pesta sukacita Kerajaan Surga. Hal ini merupakan anugerah Allah, diberikan dengan cuma-cuma, gratis, “murah” tetapi tidak “murahan”.

Benar bahwa ajakan untuk ikut dalam pesta surgawi telah disebar secara terbuka, setiap orang bisa mendapatkan undangan itu. Bagaimana respons kita terhadap undangan itu? Bagaimana juga sikap kita ketika datang ke pesta itu? Ingatlah kata-kata Yesus, “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih” (ay. 14).

Saturday, September 30, 2023

Tekun Melakukan Kehendak Allah – Odödögö Wamalua Somasi Lowalangi (Yakobus 5:7-11)

Khotbah Minggu, 1 Oktober 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.
8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!
9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.
10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.
11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.


Salah satu pokok keprihatinan Yakobus dalam suratnya ini adalah adanya semacam perpecahan di dalam jemaat, terutama antara jemaat Kristen yang kaya dan yang miskin. Ancaman perpecahan ini dipicu oleh adanya sikap pilih kasih terhadap anggota jemaat yang kaya (2:1-9), fitnah (3:1-12), keserakahan, kekerasan dan penipuan (4:1-3; 5:1-5). Semua peringatan ini, ditujukan kepada semua orang dalam jemaat, dan secara khusus ditujukan kepada orang “kaya” yang mengandalkan kekayaannya dan dengan kekayaannya itu menindas orang lain (5:1-6). Sekarang, Yakobus beralih secara khusus kepada mereka yang “miskin” (jemaat biasa) untuk “bersabar” menghadapi dan menjalani situasi yang untuk sementara waktu tidak berpihak kepada mereka (5:7).

Dengan kata lain, Yakobus, pada satu sisi menyampaikan peringatan kepada orang-orang kaya (yang menyalahgunakan kekayaannya), dan pada sisi lain mendorong kelompok yang miskin untuk bersabar (moguna so wanaha tödö). Nasihat Yakobus ini, dapat saja disalahartikan seolah-olah membiarkan penindasan yang kaya atas yang miskin berkelanjutan, sebab orang miskin hanya didorong bersabar tanpa berbuat apa-apa. Sebenarnya, Yakobus tidak bermaksud seperti itu; Yakobus sendiri “mengecam” kelompok yang kaya itu, dan terlebih dahulu dia menyatakan penghakiman Allah atas keserakahan dan penghisapan yang mereka lakukan. Setelah itu, Yakobus menyemangati mereka yang menderita, dengan janji bahwa “hari Tuhan sudah dekat” (5:8), penghakiman itu pasti datang, dan tidak akan ada seorang pun yang dapat menghindar dari Hakim yang telah berdiri di ambang pintu (5:9). Maka, senjata ampuh untuk menghadapi kelompok kaya yang menindas adalah kesabaran (fanaha tödö).

Apa itu “kesabaran?” Ini merupakan sebuah alternatif terhadap kehidupan yang penuh nafsu dan eksploitasi yang dikecam oleh Yakobus dalam 5:1-6. Kesabaran memungkinkan kita mampu hidup dalam “kepuasan yang tertunda,” sama seperti petani yang (dengan sabar) menantikan buah tanamannya matang sebelum dipanen. Harus diakui bahwa “kesabaran” yang diminta oleh Yakobus di sini memang sulit diterapkan dalam masyarakat kita yang sudah hidup dalam budaya yang materialistis dan serba cepat. Kita masih mengingat, misalnya, berapa banyak jemaat kita yang terjebak dalam judi online, atau investasi yang katanya dapat melipatgandakan dana kita sebanyak mungkin dalam waktu yang relatif singkat, pokoknya cepat kaya. Hasilnya? Silakan ditanya mereka yang terlibat dalam “investasi bodong” itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya adalah karena semakin banyak orang yang “tidak sabar” menjalani proses kehidupan yang kadang-kadang sulit, dan ingin mendapatkan hasil yang banyak dengan cara yang serba cepat (instant). Kesabaran menuntut adanya kesediaan dan kerelaan menanti hasil yang baik dalam proses yang mungkin saja panjang.

Persoalannya ialah kita hidup, bahkan mungkin sedang menjalani kehidupan yang “serba tidak sabar, serba instant”. Dampak dari ketidaksabaran kita sangat besar, mulai dari kerakusan dan keserakahan kita terhadap sumber daya alam, bahkan sampai merusak lingkungan hidup, hingga terjadinya kesenjangan radikal antara yang kaya dan miskin. Ketidaksabaran kita membuat kita “saling memangsa”, hidup dalam “kompetisi yang saling menelan”; orang kuat/kaya memangsa yang lemah/miskin (i’a nawönia, ibali’ö femangamangania nawönia), bahkan mungkin ada orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya (i’a zi tenga önia). Hari ini, Yakobus menasihati kita untuk “bersabar”, jangan kemudian malah mempersulit diri sendiri dengan ketidaksabaran kita. Yakobus begitu peduli kepada jemaat Tuhan yang hidup dalam kekurangan dengan menyemangati kita untuk “bertahan” dalam situasi sulit itu.

Dalam konteks itu, Yakobus menasihati kita untuk tidak “bersungut-sungut dan saling mempersalahkan,” sebab hal itu justru akan membuat kita “dihukum” oleh Hakim Agung (5:9). Jangan membiarkan diri hidup dalam “sungut-sungut” yang tidak henti dan tanpa arti, lebih baik melakukan sesuatu yang bermakna dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari usaha kita tersebut. Ketika kita sedang mengalami masa-masa sulit, kita bisa saja menjadi getir dan saling menghakimi, atau bahkan berhenti datang ke persekutuan gereja. Ada orang yang semakin lama menjauhkan diri dari persekutuan dengan Tuhan dan sesama, oleh karena berbagai beban hidup yang menghimpit. Mestinya, dalam segala situasi, entah kaya atau pun miskin, entah kemarau atau pun hujan, entah panas atau pun dingin, entah berkecukupan atau pun berkekurangan, kita tetap tekun melakukan kehendak Allah.

Untuk meyakinkan kita tentang betapa pentingnya “bersabar” menjalan hidup ini, Yakobus mengajak kita meneladani para nabi, juga Ayub, yang rela menderita, dengan tekun tekun dalam melakukan kehendak Allah, dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari Tuhan. Dengan menyinggung para nabi dan Ayub, Yakobus hendak mengatakan bahwa perihal “sabar” menjalani kehidupan yang serba sulit, sebenarnya bukan sesuatu yang baru, sudah ada para pendahulu kita yang telah memberikan contoh yang baik. Para nabi, termasuk Yesaya, berhadapan dengan para penguasa dan orang-orang “besar” yang tegar tengkuk, tetapi dia dengan sabar menjalaninya, dan dengan penuh keyakinan dia menjawab panggilan Tuhan: “Ini aku, utuslah aku.” Demikian dengan Ayub, tokoh terkenal yang seringkali kita jadikan contoh dalam kisah hidup yang penuh penderitaan, tetapi kemudian menerima hasil yang luar biasa setelah dia memilih untuk “bertahan dalam situasi sulit”, itulah buah dari kesabarannya. Kalau mereka bisa “bersabar”, mengapa kita tidak?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...