Saturday, September 26, 2020

Menghidupkan Anjing Mati (2 Samuel 9:1-8)

Rancangan Khotbah Minggu, 27 September 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


1 Berkatalah Daud: “Masih adakah orang yang tinggal dari keluarga Saul? Maka aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan.”
2 Adapun keluarga Saul mempunyai seorang hamba, yang bernama Ziba. Ia dipanggil menghadap Daud, lalu raja bertanya kepadanya: “Engkaukah Ziba?” Jawabnya: “Hamba tuanku.”
3 Kemudian berkatalah raja: “Tidak adakah lagi orang yang tinggal dari keluarga Saul? Aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah.” Lalu berkatalah Ziba kepada raja: “Masih ada seorang anak laki-laki Yonatan, yang cacat kakinya.”
4 Tanya raja kepadanya: “Di manakah ia?” Jawab Ziba kepada raja: “Dia ada di rumah Makhir bin Amiel, di Lodebar.”
5 Sesudah itu raja Daud menyuruh mengambil dia dari rumah Makhir bin Amiel, dari Lodebar.
6 Dan Mefiboset bin Yonatan bin Saul masuk menghadap Daud, ia sujud dan menyembah. Kata Daud: “Mefiboset!” Jawabnya: “Inilah hamba tuanku.”
7 Kemudian berkatalah Daud kepadanya: “Janganlah takut, sebab aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan, ayahmu; aku akan mengembalikan kepadamu segala ladang Saul, nenekmu, dan engkau akan tetap makan sehidangan dengan aku.”
8 Lalu sujudlah Mefiboset dan berkata: “Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?”


Teks ini berbicara tentang kebaikan Daud kepada keturunan Saul, bekas musuh besarnya. Dalam tradisi kerajaan kuno, membinasakan seluruh keturunan, keluarga, dan pendukung raja sebelumnya, apalagi kalau sempat bermusuhan, merupakan hal yang wajar, bahkan “wajib” dilakukan untuk “menyelamatkan” kekuasaannya. Mengapa? Karena ada saja kemungkinan kelompok raja sebelumnya membangun kekuatan untuk menjatuhkan raja yang sedang berkuasa. (catatan: itu juga sebenarnya yang dilakukan oleh raja Salomo ketika dia berkuasa, mencari lawan-lawan politiknya, termasuk mantan panglima tentara ayahnya, lalu menempatkan mereka pada situasi yang dilematis, hingga pada akhirnya mereka “dihukum mati” alias dibunuh). Tetapi, raja Daud melakukan hal yang berlawanan dengan hukum alam kerajaan kuno, dia memang mencari tahu sisa-sisa keturunan Saul, tetapi bukan untuk dibunuh (seperti yang umum dilakukan oleh para raja di sekitarnya), melainkan untuk “diselamatkan”, untuk dikasihani, dengan alasan dia sudah berjanji dengan sahabat dekatnya Yonatan.

Tampaknya, Daud begitu hati-hati ketika mencari orang dari keluarga Saul, untuk menghindari kesalahpahaman yang bisa menciptakan ketakutan bagi mereka. Perhatikan perkataan Daud di ayat 1, khususnya setelah dia bertanya apakah masih ada orang yang tinggal dari keturunan Saul. Dengan segera, Daud memberitahukan maksud pencariannya: “… aku akan menunjukkan kasihku kepadanya oleh karena Yonatan” (ay. 1b). perkataan ini diulang kembali ketika sudah bertemu dengan Ziba, hamba keluarga Saul, raja Daud berkata tentang maksud pencariannya, “aku hendak menunjukkan kepadanya kasih yang dari Allah” (ay. 3b), dan dipertegas ketika sudah bertemu dengan Mefiboset (anak laki-laki Yonatan yang cacat kakinya), “… aku pasti akan menunjukkan kasihku kepadamu oleh karena Yonatan …” (ay. 7). Pernyataan ini jelas memberi kelegaan bagi keluarga Saul, dicari dan dipanggil bukan untuk dibinasakan, melainkan untuk dikasihani, untuk diselamatkan.

Daud tidak mengada-ada, dia tidak sedang melakukan politik tipu muslihat, dia memang sungguh-sungguh menunjukkan kebaikan hatinya kepada anggota keluarga Daud dengan alasan yang logis, yaitu perjanjiannya dengan sahabat karibnya Yonatan. Kisah persahabatan mereka ini dapat dibaca di kitab 1 Samuel 18 dan 1 Samuel 20 secara khusus ayat 42, yaitu bahwa keduanya (Daud dan Yonatan) akan tetap menjadi sahabat hingga keturunan mereka, walaupun raja Saul pada waktu itu berusaha membunuh Daud.

Di ayat 7, Daud meminta Mefiboset untuk tidak takut. Mefiboset mungkin saja takut kalau Daud hanya mencarinya untuk memperlakukan dia seperti cara umum para perampas kekuasaan Timur, yang sering kali membunuh semua keluarga raja pendahulunya. Mefiboset juga tampaknya tinggal dalam persembunyian di Lodebar (ay. 4). Namun, Daud meyakinkan dia bahwa hidupnya terjamin, tidak akan dibunuh, oleh karena perjanjian raja Daud dengan ayahnya Yonatan.

Daud tidak sekadar menyampaikan janji manis kepada Mefiboset, dia sungguh-sungguh melakukannya dengan mengembalikan segala ladang Saul (yang sempat “dirampas” sebagaimana lazimnya ketika raja sebelumnya jatuh atau turun takhta). Ketika raja baru naik takhta, dan raja lama tersingkir, maka sudah lazim segala milik raja lama tersebut akan menjadi milik raja baru tersebut (bnd. 2 Sam. 12:8). Nah, Daud berjanji (dan melakukannya) bahwa dia akan mengembalikan ladang Saul tersebut kepada keluarga Saul, yaitu Mefiboset.

Selain itu, raja Daud juga memberi kesempatan kepada Mefiboset untuk makan sehidangan dengan raja. Makan sehidangan dengan raja, atau makan di meja raja, merupakan suatu tanda kehormatan umum di negara-negara Timur (lih. 1Raj. 2:7; 2Raj. 25:29), dan malah jauh lebih terhormat, jauh lebih berharga dari tanah milik yang dikembalikan itu. Walaupun mungkin Ziba (hamba keluarga Saul, ay. 2) harus “kehilangan penguasaannya” atas sebagian tanah milik bekas tuannya Saul, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa. Mefiboset, yang cacat kakinya, secara fisik lemah, kini mendapatkan hak istimewa dengan menjadi teman raja, dan makan di mejanya.

Menarik memang pendekatan yang dipakai oleh Daud di sini, bertolak belakang dengan kebiasaan raja-raja pada umumnya pada waktu itu yang membinasakan keluarga/kerabat/pendukung raja sebelumnya, bertolak belakang dengan tradisi raja-raja pada waktu itu yang suka menghabisi lawan-lawan politiknya. Daud sadar bahwa keluarga Saul dapat saja menjadi ancaman baginya dan keturunannya ke depan, tetapi boro-boro membungkam atau menghabisi mereka, dia malah “merangkul” mereka. Ini merupakan strategi yang luar biasa, walaupun juga sangat riskan, sebab bisa saja “lawan” yang dirangkul tersebut menjadi “musuh dalam selimut”. Tetapi, dalam pengasihannya itu, raja Daud tentu berusaha mengantisipasinya, dia meminta Mefiboset makan sehidangan dengan dia, memperlakukannya layaknya anak raja, tetapi mungkin saja “mengawasi” gerak-geriknya. Bagaimana pun juga, Daud menunjukkan kasih Allah kepada Mefiboset, walaupun dia disebut cacat kakinya. Sangat mudah bagi Daud untuk membunuhnya, tetapi hal itu tidak dilakukannya, sebab kasihnya dan perjanjiannya dengan Yonatan jauh lebih penting daripada meneruskan tradisi raja-raja kuno di sekitarnya. Lagi pula, raja Daud, melalui strategi ini, hendak menyelamatkan masa depan kerajaannya, dengan menyudahi permusuhan itu, dan yang jauh lebih penting adalah membangun kekuasaan dan tentunya kerajaan Israel yang kuat. Dan, kita tahu, puncak kejayaan Israel terjadi pada zaman Daud, hingga kemudian namanya yang lebih dikenang sampai saat di Israel sebagai raja yang luar biasa.

Bagaimana respons Mefiboset? Ayat 8 dengan singkat menyebutkan bahwa Mefiboset sujud di hadapan raja Daud dan berkata: “Apakah hambamu ini, sehingga engkau menghiraukan anjing mati seperti aku?” Dia “menghina” diri sendiri sebagai “anjing mati”, dan itu cukup ekstrem, paling tidak untuk orang seperti Mefiboset. Bagaimana mungkin anak seorang pangeran (Yonatan), atau cucu seorang raja (Saul) menjelekkan diri sendiri dengan sebutan “anjing mati?” Mefiboset tahu bagaimana permusuhan antara Saul, leluhurnya, dengan Daud yang kini telah menjadi raja, dia tahu bagaimana perlakukan leluhurnya Saul ketika masih menjadi raja Israel kepada Daud, diperlakukan seperti buron kelas wahid. Mefiboset mungkin merasa “bersalah” atas perlakuan keluarga Saul atas Daud, dan kini menyadari ketidakberdayaannya di hadapan Daud, apalagi dengan kondisinya yang cacat kakinya. Anjing mati layak dibuang, dan Mefiboset menyadarinya, dia pada dasarnya adalah orang yang terbuang seiring dengan kejatuhan keluarga Saul. Dia sungguh tahu diri bahwa Daud yang ada di hadapannya sekarang adalah raja, bukan lagi rakyat biasa yang dulu diburu oleh Saul.

Penyebutan diri sebagai “anjing mati” juga merupakan bahasa hiperbola yang sudah biasa di dunia timur. Mefiboset tahu bahwa mestinya dia membalas kebaikan hati Daud itu dua kali lipat dari apa yang diterimanya, tetapi dengan segera dia sadar bahwa dia tidak mampu melakukannya. Maksud Mefiboset di sini sebenarnya tidak lebih dari ungkapan terima kasih yang besar, sekaligus mengakui adanya perbedaan derajatnya (yang kini sudah menjadi rakyat biasa) dengan Daud (yang kini sudah menjadi raja). Perkataan Mefiboset ini juga mengingatkan kita pada perkataan serupa yang dulu pernah disampaikan oleh Daud kepada raja Saul (lih. 1 Samuel 24:14).

Seperti yang disampaikan oleh Daud kepada Ziba, bahwa dia hendak menunjukkan kasih yang dari Allah kepada keluarga Saul, dalam hal ini kepada Mefiboset. Jadi, terlepas dari dimensi politis yang memang tak terhindarkan, Daud menempatkan kebaikan hatinya itu dalam kerangka “kasih Tuhan”, yakni kasih kepada orang yang menurut hukum umum “layak dibunuh”, paling tidak “layak dibuang”.

Dari perspektif Mefiboset, kita pun sebenarnya “layak dibuang” dari hadapan Allah, tetapi Dia tidak melakukannya. Tuhan malah menunjukkan kasih-Nya yang begitu besar bagi kita, walaupun penuh dengan risiko. Allah mencari manusia, bukan untuk dibinasakan melainkan untuk diselamatkan, dan hal itulah yang telah dilakukan-Nya bagi kita, termasuk di Nias. Denninger, misionaris dari RMG Jerman, pada awalnya diutus ke Borneo (Kalimantan) untuk memberitakan Injil. Beliau kemudian ikut melarikan diri ke Jawa dan Sumatera ketika terjadi perang saudara di Borneo. Denninger mestinya meneruskan perjalanan ke tanah Batak untuk memberitakan Injil, tetapi oleh karena istrinya sakit, dia harus berhenti di Padang. Siapa yang menduga bahwa selama perhentian sementaranya di Padang itu, ternyata dia bertemu dengan banyak orang Nias di sana. Niat awal untuk melanjutkan perjalan ke tanah Batak dialihkan dengan melanjutkan perjalanan ke tanah Nias, walaupun belum mendapatkan izin dari badan misi RMG. Akhirnya, beliau tiba di Gunungsitoli pada tanggal 27 September 1865. Sejak itulah berita Injil yang menyelamatkan dan membebaskan masyarakat Nias disampaikan dan sampai saat ini kita masih menikmatinya. Oleh sebab itu, dengan penuh kerendahan hati, kita sujud di hadapan Tuhan sambil berkata: “siapakah aku ini Tuhan, anjing mati yang mestinya dibuang, tetapi telah engkau hidupkan, telah engkau layakkan?” Dalam rangka perayaan misi di Nias, bukankah dulu Nias begitu menyeramkan, tetapi kemudian tangan pengasihan Tuhan telah menjangkau kita?

Sementara dari perspektif Daud, kita mesti meneruskan kasih Allah yang telah kita terima kepada siapa pun, bahkan kepada orang-orang yang menurut ukuran dunia tidak patut diperhitungkan. Kita belajar dari tindakan Daud, bahwa demi meneruskan kasih Tuhan, demi rekonsiliasi, demi kebaikan bersama, maka ego personal mesti dikesampingkan, harus ditundukkan, dan mari nyatakanlah kebaikan kepada siapa pun, bahkan kepada musuh sekalipun. Kita terpanggil untuk memberitakan kabar baik, berita kehidupan kepada siapa pun, bahkan kepada mereka yang "terbuang" di tengah-tengah masyarakat, kita terpanggil untuk menyatakan kasih kemurahan Tuhan kepada setiap orang, termasuk kepada orang-orang yang selama ini tidak dianggap oleh masyarakat dunia. Hal ini memang berat, tetapi dapat dilakukan!

Saturday, September 19, 2020

Dibawa atau Ditinggalkan? (Lukas 17:26-37)

 Rancangan Khotbah Minggu, 20 September 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
 
26 Dan sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia:
27 mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua.
28 Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun.
29 Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua.
30 Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya.
31 Barangsiapa pada hari itu sedang di peranginan di atas rumah dan barang-barangnya ada di dalam rumah, janganlah ia turun untuk mengambilnya, dan demikian juga orang yang sedang di ladang, janganlah ia kembali.
32 Ingatlah akan isteri Lot!
33 Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya.
34 Aku berkata kepadamu: Pada malam itu ada dua orang di atas satu tempat tidur, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.
35 Ada dua orang perempuan bersama-sama mengilang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan."
36 (Kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan.)
37 Kata mereka kepada Yesus: “Di mana, Tuhan?” Kata-Nya kepada mereka: “Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar.”

Pada teks khotbah ini, Yesus berbicara tentang kedatangan Anak Manusia kelak, dengan maksud supaya para pendengar-Nya tidak terjebak dalam berbagai tanda yang dianggap sebagai tanda kedatangan-Nya. Hal ini jelas terlihat pada perkataan Yesus di ayat 20, “… Kerajaan Allah datang tanpa tanda-tanda lahiriah”. Yesus mengingatkan para pendengar-Nya, dulu dan kini, bahwa kedatangan Anak Manusia tidak ditentukan oleh tanda apa pun, termasuk tanda-tanda yang tampaknya mengerikan, di luar akal manusia dan atau menakjubkan. Untuk mendukung peringatan-Nya ini, Yesus membandingkannya dengan dua peristiwa populer dalam perjanjian lama, yaitu Air Bah pada zaman Nuh (Kej. 6-7), dan kehancuran Sodom dan Gomora (Kej. 19).

Sama Seperti pada Zaman Nuh dan Lot (17:26-30)

Dengan sangat jelas, Yesus menceritakan bagaimana peristiwa Air Bah terjadi pada zaman Nuh. Cerita Air Bah ini sendiri selengkapnya dapat dibaca di kitab Kejadian 6-7. Yesus tidak menuturkan seluruh cerita Air Bah itu, Dia hanya menyebutkan bagian penting dari peristiwa tersebut yang relevan dengan pengajaran-Nya tentang kedatangan Anak Manusia. Dia meringkas seluruh cerita Air Bah tersebut dalam satu kalimat panjang, “sama seperti terjadi pada zaman Nuh, demikian pulalah halnya kelak pada hari-hari Anak Manusia: mereka makan dan minum, mereka kawin dan dikawinkan, sampai kepada hari Nuh masuk ke dalam bahtera, lalu datanglah air bah dan membinasakan mereka semua” (Luk. 17:26-27).

Tidak cukup hanya dengan satu contoh saja, Yesus pun kemudian melengkapi komparasi atas kedatangan-Nya tersebut dengan cerita tentang kehancuran Sodom dan Gomora. Cerita lengkap tentang Sodom dan Gomora ini dapat dibaca di kitab Kejadian 18:16 – pasal 19. Untuk keperluan pengajaran-Nya tentang kedatangan Anak Manusia kelak, Yesus pun meringkas seluruh peristiwa kehancuran Sodom dan Gomora tersebut dalam dua kalimat, “Demikian juga seperti yang terjadi di zaman Lot: mereka makan dan minum, mereka membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun. Tetapi pada hari Lot pergi keluar dari Sodom turunlah hujan api dan hujan belerang dari langit dan membinasakan mereka semua” (Luk. 17:28-29).

Walaupun Yesus menggunakan dua cerita di sini, tetapi isi dari keduanya sama, kedua peristiwa tersebut memiliki dua elemen yang sama yang dapat dijadikan sebagai pembanding penting bagi kedatangan Anak Manusia kelak. Kedua elemen dimaksud adalah: (1) orang-orang (baik pada zaman Nuh maupun pada zaman Lot) menjalani kehidupan normal mereka, seolah-olah tidak ada yang akan terjadi, seolah-olah tidak akan ada peristiwa yang luar biasa; (2) dalam situasi normal tersebut, kehancuran dari Tuhan terjadi secara tiba-tiba tanpa didahului dan atau diikuti oleh tanda peringatan khusus.

Lalu, Yesus pun menyimpulkan bahwa kedatangan-Nya kelak sama seperti kedua peristiwa tersebut, “Demikianlah halnya kelak pada hari, di mana Anak Manusia menyatakan diri-Nya” (Luk. 17:30). Di sini, Yesus menegaskan bahwa Dia datang atau Dia menyatakan diri kelak pada situasi dimana manusia sedang menjalani kehidupan normal mereka, berbagai kegiatan manusia tetap berjalan seperti biasa, tidak ada pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti dilakukan pada masa Pandemi Covid-19 ini, tidak ada penyekatan apalagi isolasi wilayah tertentu, tidak ada lockdown seperti dilakukan oleh beberapa negara karena penyebaran virus corona yang semakin masif. Semua berjalan normal, manusia masih makan dan minum, bekerja (membeli dan menjual, mereka menanam dan membangun), bahkan kegiatan kawin dan dikawinkan tetap berjalan seperti biasa, tidak ada perlakuan istimewa pada masa-masa menjelang kedatangan Anak Manusia tersebut.

Tetapi, di sinilah sering muncul persoalan, manusia tidak siap menyongsong kedatangan Yesus kelak karena tidak ada peringatan dini atas kedatangan-Nya tersebut. Sama seperti pada zaman Nuh atau Lot, kebanyakan orang “mengolok-olok” Nuh atau Lot yang pada waktu itu mungkin terlihat cukup sibuk dengan kegiatan atau persiapan yang dianggap “lucu” oleh masyarakat banyak. Nuh yang sibuk dengan pembuatan bahteranya, dan Lot yang sibuk mengajak keluarganya pergi keluar dari Sodom, dapat saja dianggap sebagai orang yang paranoid, atau malah dianggap sebagai orang “gila”. Dalam masyarakat kita sekarang pun, orang-orang yang berusaha taat pada protokoler kesehatan karena pandemi Covid-19, sering dianggap paranoid (parno), mengada-ada, lucu, atau menggelikan. Nah, banyak orang yang “jatuh” bukan pada saat berada dalam situasi terjepit, melainkan ketika sedang menjalani dan menikmati kehidupan normalnya dengan nyaman. Demikianlah dengan kedatangan Anak Manusia kelak, terjadi secara tiba-tiba ketika manusia sedang menjalani kehidupannya secara normal, ketika kenormalan hidup itu “meninabobokan” manusia hingga jatuh ke dalam kehancuran, sama seperti orang banyak di sekitar Nuh atau Lot pada zaman dulu.

Ingatlah akan isteri Lot! (17:31-33)

Setelah membuat perbandingan kedatangan-Nya kelak dengan dua peristiwa populer dalam PL, Yesus kemudian meneruskan peringatan-Nya kepada murid-murid-Nya. Yesus mewanti-wanti para pendengar-Nya bahwa ketika Hari itu tiba-tiba muncul, mereka tidak perlu terburu-buru atau berpaling untuk mendapatkan atau membawa sesuatu. Yesus berkata: “Barangsiapa pada hari itu sedang di peranginan di atas rumah dan barang-barangnya ada di dalam rumah, janganlah ia turun untuk mengambilnya, dan demikian juga orang yang sedang di ladang, janganlah ia kembali. Ingatlah akan isteri Lot! Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya (Luk. 17:31-33).

Tidak dapat dipungkiri memang bahwa ketika suatu peristiwa besar terjadi, terutama peristiwa yang “mengerikan/menakutkan”, maka otomatis banyak orang yang panik, atau terburu-buru atau berpaling untuk mendapatkan atau membawa sesuatu yang dianggap berharga baginya. Dengan tetap berempati kepada keluarga para korban bencana alam di Nias beberapa tahun yang lalu, atau pun di tempat lain, dan tanpa bermaksud menyesali atau menyalahkan para korban tersebut, saya masih ingat bagaimana beberapa orang pada awalnya “selamat” dari peristiwa menakutkan itu, tetapi kemudian menjadi korban setelah kembali ke dalam bangunan atau masih belum keluar dari dalam bangunannya karena hendak mengambil sesuatu atau seseorang yang berharga baginya. Menurut Yesus, hal-hal seperti ini harus diperhatikan dengan cermat, supaya tidak ada penyesalan nanti, atau supaya kita tidak menjadi “korban” kecerobohan kita sendiri. Dalam perspektif yang lebih Injili, peringatan dari Yesus ini hendak mengatakan bahwa orang-orang yang hanya peduli dengan materi akan dimusnahkan, dan hanya mereka yang menantikan kedatangan Tuhan sepenuh hati yang akan diselamatkan.

Lalu, apa maksud Yesus mengaitkan peringatan-Nya tersebut dengan istri Lot? Baiknya, kita melihat bagian teks yang diacu oleh Yesus:

Sesudah kedua orang itu menuntun mereka sampai ke luar, berkatalah seorang: Larilah, selamatkanlah nyawamu; janganlah menoleh ke belakang, dan janganlah berhenti di manapun juga di Lembah Yordan, larilah ke pegunungan, supaya engkau jangan mati lenyap.” Matahari telah terbit menyinari bumi, ketika Lot tiba di Zoar. Kemudian TUHAN menurunkan hujan belerang dan api atas Sodom dan Gomora, berasal dari TUHAN, dari langit; dan ditunggangbalikkan-Nyalah kota-kota itu dan Lembah Yordan dan semua penduduk kota-kota serta tumbuh-tumbuhan di tanah. Tetapi isteri Lot, yang berjalan mengikutnya, menoleh ke belakang, lalu menjadi tiang garam (Kej. 19:17, 23-26).

Jadi, apa yang terjadi dengan istri Lot? Dia berhenti dan berbalik, terpaku oleh kehancuran yang menghujani kota kelahirannya. Kita memang tidak tahu berapa lama dia berhenti memandang kembali kota “kesayangannya” itu, kota dengan ribuan kesan bagi dirinya. Lot dan kedua anak perempuannya berangkat dengan cepat, tetapi istri Lot sendiri berhenti dan melihat ke belakang ke arah kota yang penuh kenangan itu baginya, rasanya sulit untuk melupakannya, sulit untuk meninggalkannya, tetapi tindakannya itu jelas melanggar perintah malaikat. Apakah tubuh istri Lot, karena berhenti melihat ke arah kota Sodom dan Gomora, menjadi berlapis dengan garam kimia yang biasanya turun ketika terjadi bencana alam seperti letusan gunung berapi? Bisa saja, tetapi penulis Alkitab memahaminya sebagai bagian dari hukuman Allah atas kota/orang yang tidak rela melepaskan kenikmatan duniawinya. Yesus pun mengingatkan para pendengar-Nya, bahwa setiap orang yang lebih “mencintai” atau lebih menautkan dirinya dengan materi, akan mengalami kebinasaan, dan hanya mereka yang lebih berfokus pada penantian kedatangan Tuhan yang akan diselamatkan. Bagi penulis injil Lukas sendiri, peringatan Yesus ini dianggap penting untuk memperingatkan orang-orang pada zamannya yang terlalu nyaman bahkan tenggelam dalam kenikmatan kekayaan dunia tanpa memedulikan orang-orang miskin di sekitar mereka. Ketidakrelaan mereka membebaskan diri dari “kenangan/kenikmatan” duniawi (seperti istri Lot) justru telah menjadi jerat yang tidak menyelamatkan mereka. Demikianlah hidup ini, apalagi menjelang kedatangan Yesus kembali, akan binasa kalau tidak ditautkan seutuhnya dengan Yesus. “Barangsiapa berusaha memelihara nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, dan barangsiapa kehilangan nyawanya, ia akan menyelamatkannya” (Luk. 17:33).

Yang seorang akan diambil, yang lain akan ditinggalkan (17:34-36)

Setelah itu, Yesus menyajikan sesuatu yang yang cukup membingungkan. “Aku berkata kepadamu: Pada malam itu ada dua orang di atas satu tempat tidur, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan. Ada dua orang perempuan bersama-sama mengilang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan” (Luk. 17:34-35).

Bayangkanlah situasinya, pada malam hari, dua orang yang tidur di tempat tidur yang sama, begitu dekat dan akrab, tetapi kemudian akan “dipisahkan” ketika Anak Manusia itu datang. Demikian juga dengan dua perempuan yang sama-sama menggiling atau mengilang (mungkin biji-bijian), bekerja sambil mengobrol akrab, tetapi kemudian keduanya dipisahkan. Yang seorang akan diambil/dibawa, sedangkan yang satu lagi akan ditinggalkan. Kita tidak tahu siapa di antara mereka yang dibawa dan siapa yang ditinggalkan; keduanya pun sama-sama tidak tahu. Ketika peristiwa kedatangan Anak Manusia itu terjadi, keduanya (baik yang tidur maupun yang mengilang) sama-sama sedang melakukan kegiatan normal, sama seperti yang biasa terjadi sebelumnya. Tidak ada peringatan khusus atau pemberitahuan kepada keduanya atau salah satunya, sehingga tanpa terduga “yang seorang dibawa, dan yang lainnya ditinggalkan”. Diambil/dibawa ke mana? Lalu, ditinggalkan untuk tujuan apa? Tidak ada petunjuk yang jelas di sini, cukup membingungkan.

Namun demikian, kalau melihat konteksnya, secara khusus cerita tentang Banjir Bah dan Sodom-Gomora tadi, tampaknya yang satu dibawa ke dalam “bahtera Nuh”, atau dibawa “keluar dari kota Sodom dan Gomora”. Untuk apa? Ya, untuk menyelamatkannya, sementara yang satu tinggal dalam “kehancuran” (bnd. Mat. 24:37-41). Cukup menyedihkan kalau peristiwa itu terjadi, “yang satu dibawa (ke dalam keselamatan), sedangkan yang lain ditinggalkan (dalam kehancuran atau penghakiman ilahi)”. Pola yang sama juga terungkap di ayat 36 “(Kalau ada dua orang di ladang, yang seorang akan dibawa dan yang lain akan ditinggalkan)”, yang tampaknya teks tambahan kemudian.

Di sana Burung Nasar akan Berkerumun (17:37)

Bagian terakhir ini merupakan respons Yesus atas pertanyaan murid-murid-Nya, “Di mana, Tuhan?” Kata-Nya kepada mereka: “Di mana ada mayat, di situ berkerumun burung nasar.”

Harus diakui bahwa bagian ini sulit untuk dipahami, terutama generasi yang hidup di era kontemporer ini. Yesus tidak langsung memberi tahu “lokasi” yang ditanyakan oleh murid-murid-Nya. Yesus malah menyampaikan sebuah perumpamaan singkat tentang burung nasar, burung yang biasa terdapat di daerah Palestina dan sekitarnya pada zaman dulu. Burung ini memang terkenal sebagai burung pemakan bangkai, makanya sering disebut sebagai burung bangkai. Di Timur Dekat Kuno, burung elang dan burung nasar sama-sama memakan bangkai dan dianggap najis (lih. Imamat 11:13; Ulangan 14:12). Dalam perumpamaan singkat ini Yesus mengacu pada pola hidup burung nasar secara umum yang berputar-putar tinggi di atas bangkai. Burung-burung ini sangat besar, dengan lebar sayap enam kaki, dan terbang dengan luar biasa. Ketika satu burung nasar melihat hewan yang mati atau sekarat, dia akan terbang berputar-putar di atas tempat hewan yang mati/sekarat tersebut, dan dari jauh burung nasar yang lain akan melihatnya berputar-putar, kemudian mereka bergabung dengannya. Ketika hewan itu mati, burung nasar pun turun untuk memakannya.

Yesus memakai perumpamaan singkat tentang burung nasar ini untuk menjawab pertanyaan murid-murid-Nya. Dalam perumpamaan singkat ini, Yesus mengacu pada pengumpulan dan pengepungan burung nasar di mana mereka menemukan bangkai, menjadi tanda lokasi bangkai tersebut, tanda yang dapat dilihat dari jauh. Melalui perumpamaan ini Yesus hendak memberi tahu murid-murid-Nya bahwa kedatangan-Nya kelak pada akhirnya akan menjadi jelas, sama seperti kehadiran bangkai yang ditunjukkan oleh burung nasar yang terbang berputar-putar dan berkerumun di sekitar atau di atas bangkai tersebut. Ini agak bertentangan dengan ayat-ayat sebelumnya yang menegaskan bahwa tidak ada tanda-tanda lahiriah yang dapat dijadikan patokan dalam kedatangan Anak Manusia. Bagaimanapun juga, Yesus tidak membiarkan para pendengar-Nya tinggal dalam ketidaktahuan sama sekali, Dia masih tetap memberi sedikit petunjuk tentang kedatangan-Nya kelak, walaupun masih membingungkan.

Apa artinya bagi kita?

Yesus datang pada saat kehidupan sedang berjalan normal, mungkin juga ketika kita tidak “mengharapkan” Dia datang untuk saat ini. Kita sudah tahu bahwa Anak Manusia akan datang dengan tiba-tiba, tanpa pemberitahuan, tanpa peringatan dini. Tidak ada alat khusus yang mampu memberi peringatan dini kepada kita ketika Yesus datang seperti misalnya alat peringatan dini tsunami. Kenikmatan duniawi, atau apa pun yang kita miliki, tidak akan menjamin bahwa kita akan “dibawa” ke dalam keselamatan itu, bisa jadi malah menjadi “jerat” bagi kita. Kita tidak tahu kapan dan di mana lokasinya ketika Yesus datang kembali, tetapi toh kita sudah diperingatkan untuk menyiapkan diri, untuk waspada, dan jangan sampai terbuai dalam kehidupan spiritual yang semu, atau kekeringan kehidupan spiritual, apalagi di zaman yang amat maju ini. Apakah kita termasuk orang yang dibawa (ke dalam keselamatan) atau malah ditinggalkan (dalam kebinasaan)? Ah … entahlah …

 --- selamat berefleksi ---

Saturday, September 5, 2020

Yudas yang Malang dan Para Imam Kepala yang Tidak Peduli: Trik dan Intrik di balik Uang Darah (Matius 27:1-10)

Rancangan Khotbah Minggu, 06 September 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1  Ketika hari mulai siang, semua imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi berkumpul dan mengambil keputusan untuk membunuh Yesus.
2   Mereka membelenggu Dia, lalu membawa-Nya dan menyerahkan-Nya kepada Pilatus, wali negeri itu.
3   Pada waktu Yudas, yang menyerahkan Dia, melihat, bahwa Yesus telah dijatuhi hukuman mati, menyesallah ia. Lalu ia mengembalikan uang yang tiga puluh perak itu kepada imam-imam kepala dan tua-tua,
4  dan berkata: “Aku telah berdosa karena menyerahkan darah orang yang tak bersalah. Tetapi jawab mereka: Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!
5   Maka iapun melemparkan uang perak itu ke dalam Bait Suci, lalu pergi dari situ dan menggantung diri.
6   Imam-imam kepala mengambil uang perak itu dan berkata: “Tidak diperbolehkan memasukkan uang ini ke dalam peti persembahan, sebab ini uang darah.”
7   Sesudah berunding mereka membeli dengan uang itu tanah yang disebut Tanah Tukang Periuk untuk dijadikan tempat pekuburan orang asing.
8   Itulah sebabnya tanah itu sampai pada hari ini disebut Tanah Darah.
9  Dengan demikian genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yeremia: “Mereka menerima tiga puluh uang perak, yaitu harga yang ditetapkan untuk seorang menurut penilaian yang berlaku di antara orang Israel,
10 dan mereka memberikan uang itu untuk tanah tukang periuk, seperti yang dipesankan Tuhan kepadaku.”

(sumber gambar: happytobecatholic)

Kisah ini merupakan salah satu teks yang cukup populer di kalangan orang Kristen sehubungan dengan pengkhianatan Yudas kepada Yesus. Banyak orang yang menyalahkan, menghakimi, dan bahkan mengutuki Yudas karena pengkhianatannya kepada Yesus. Yudas disalahkan terus menerus, dan di-bully sampai hari ini, dan kematiannya dengan cara menggantung diri pun dianggap sepadan dengan perbuatannya. Bagaimana dengan para imam kepala yang sebenarnya diceritakan juga dalam teks ini? Hmm, seringkali terlewatkan dalam pembicaraan, sebab orang-orang sudah terlanjur “benci” dengan Yudas yang berkhianat. Kita hampir lupa bahwa peristiwa pengkhianatan dan penghukuman Yesus penuh dengan trik dan intrik politik yang dibalut dengan bungkusan agama.

Oleh sebab itu, mari kita membaca dan menelusuri teks ini secara proposional dan seobjektif mungkin. Pendekatan ini tidak dimaksudkan untuk membela Yudas secara buta, seperti yang dilakukan sebagian orang dengan mengatakan bahwa “kita mestinya bersyukur atas pengkhianatan itu, sebab tanpanya Yesus tidak akan ditangkap dan dijatuhi hukuman mati, dan dengan demikian kisah kematian dan kebangkitan Yesus tidak akan pernah terjadi”. Pandangan seperti ini terkesan menarik dan menantang, tetapi mengabaikan fakta hukum lain (yang akan kita lihat nanti di teks ini) bahwa sebenarnya Yesus dapat saja membebaskan diri dari tuntutan hukuman mati tersebut apabila Dia mau menggunakan kesaksian Yudas yang menyesal telah mengkhianatinya. Tetapi, Yesus tidak memanfaatkan kesempatan itu, sebab dengan atau tanpa Yudas pun, Dia harus menjalani semuanya itu.

Ayat 1 dan 2 memberi informasi kepada kita bagaimana pengadilan agama Yahudi, dhi para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi, mengambil keputusan untuk membunuh Yesus. Tetapi, pengadilan mereka tersebut ibarat “singa yang ompong”, galak namun tidak mampu menggigit apalagi membunuh. Mengapa? Karena keputusan mereka tersebut tidak bisa dieksekusi sebelum diputuskan oleh pengadilan pemerintahan Romawi yang masih menguasai mereka pada waktu itu. Itulah sebabnya mereka membawa Yesus kepada Pilatus, wali negeri yang membawahi daerah Palestina, di dalamnya termasuk negeri Yudea. Mereka datang kepada Pilatus, dan membawa Yesus dengan tuduhan politis bahwa Yesus hendak menjadi raja (politis), dan tuduhan ini dapat mengganggu kenyamanan para penguasa politik pada waktu itu, dan Pilatus tidak mau kalau kedudukannya digoyang walaupun dia tahu Yesus tidak bersalah. Sementara, para imam kepala dan tua-tua Yahudi merasa bahwa kehadiran Yesus telah mengganggu “kekuasaan” mereka selama ini secara khusus di tengah-tengah komunitas orang Yahudi. Dia pun dianggap telah mengolok-olok nama Tuhan, tidak menghargai tradisi agama Yahudi, dan oleh sebab itu Yesus harus disingkirkan dengan cara apa pun. Di sini bertemu dua pihak yang tidak mau terganggu dengan kehadiran Yesus, yaitu para pemimpin agama (para imam kepala dan tua-tua Yahudi), dan pemimpin pemerintahan (yang diwakili oleh Pilatus). Jadi, penuh dengan trik dan intrik politik, tetapi dibungkus dengan dalil agama.

Di sinilah kemudian Yudas melihat bahwa Yesus akan dihukum mati, dan bahwa Yesus tidak berniat membebaskan diri-Nya dengan kekuasaan yang Dia miliki. Seandainya Yesus menggunakan kekuasaan ilahi-Nya untuk membebaskan diri, maka ceritanya akan berbeda. Yesus bebas, dan uang tiga puluh perak tetap dikantongi oleh Yudas … aman deh. Tetapi, dugaan Yudas salah, ternyata Yesus “membiarkan” diri-Nya ditangkap begitu saja bahkan dijatuhi hukuman mati tanpa pembelaan diri. Muncullah penyesalan dalam diri Yudas karena telah menyerahkan orang yang tidak bersalah untuk dihukum mati. Itulah yang diungkapkan di ayat 3 dan 4, kesadaran dan penyesalan Yudas atas kesalahan yang telah dilakukannya.

Yudas sadar akan kesalahannya, tahu bahwa uang yang diterimanya merupakan uang darah orang yang tidak bersalah, lalu dia hendak mengembalikan uang itu kepada sumbernya, yaitu imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi. Sebenarnya, kesadaran Yudas bahwa Yesus tidak bersalah, apalagi dengan niatnya mengembalikan uang 30 perak tersebut, dapat menjadi kesaksian dan bukti penting di pengadilan untuk membebaskan Yesus. Dalam hukum Yahudi (dan Romawi), masih diberi kesempatan untuk mengajukan saksi dan bukti yang meringankan hukuman tersangka, apabila diajukan sebelum pengambilan keputusan di pengadilan. Para imam kepala sadar bahwa kesaksian Yudas dapat saja membebaskan Yesus dari tuntutan hukuman mati, dan mereka tidak menginginkan hal tersebut. Itulah sebabnya mereka tidak peduli dengan niat baik Yudas yang menyesal dan mengembalikan “uang darah” tersebut, dengan berkata: “Apa urusan kami dengan itu? Itu urusanmu sendiri!”

Bayangkan, tadinya mereka begitu “mesra” karena punya kepentingan yang sama walaupun dengan motif yang berbeda, kepentingan tersebut adalah menangkap Yesus. Tetapi, sekarang, setelah kepentingan tercapai, selesailah “kemesraan” tersebut, dan para pemimpin agama seakan tidak kenal dengan Yudas, tidak peduli sama sekali dengan penyesalan Yudas. Yudas, dulu disayang, kini dibenci. Mereka seolah berkata: “Urusan kami telah aman, Yesus sudah di tangan kami, tinggal menunggu keputusan akhir untuk menghukum mati Dia. Pengakuan dan penyesalanmu bahwa Yesus tidak bersalah, itu bukan urusan kami lagi, kerjasama kita sudah selesai. Urus dirimu sendiri, dan biarkan kami mengurus urusan kami dengan Yesus. Tentang uang darah tersebut, ya, terserah engkau, itu urusanmu”. Jadi, dari sini sebenarnya sudah mulai terlihat betapa para pemimpin agama tidak peduli lagi dengan fakta bahwa Yesus tidak bersalah, serta tidak peduli lagi dengan penyesalan dan niat baik Yudas. Keangkuhan dan ketidakpedulian telah menutup hati nurani mereka untuk berempati dengan orang yang sadar akan kesalahannya, dan kedengkian mereka terhadap Yesus telah membutakan mereka untuk melihat dengan jernih kebenaran yang sesungguhnya. Ironis memang!

Yudas pun mengalami tekanan yang luar biasa, penyesalan dan niat baiknya tidak disambut dengan baik oleh para pemimpin agama. Yudas dibiarkan begitu saja untuk menanggung beban psikologis yang luar biasa karena telah mengkhianati orang yang tidak bersalah. Dia pun melemparkan uang itu ke dalam Bait Suci. Tindakan Yudas ini tampaknya sengaja ditampilkan, sebab pada waktu itu tidak mudah memasuki Bait Suci, apalagi membawa uang darah. Yudas tahu bahwa uang darah itu seharusnya tidak boleh dibawa ke Bait Suci, tetapi hal itu terpaksa dilakukannya. Yudas tahu bahwa uang darah itu tidak kudus (menurut hukum agama Yahudi), sementara Bait Suci adalah kudus. Yudas mengekspresikan kekecewaannya terhadap institusi agama pada waktu itu dengan melemparkan "yang tidak kudus" (uang darah) ke Bait Suci yang kudus itu. Ini adalah tindakan perlawanan terhadap institusi keagamaan yang malah tidak peka terhadap orang-orang yang ada di sekitarnya, bentuk perlawanan terhadap para pemimpin agama yang malah menghukum mati orang yang tidak bersalah. Dalam kekecewaan, pemberontakan, dan frustrasi yang luar biasa itu, akhirnya Yudas malah menggantung diri, penyesalannya menggiring dia pada pembunuhan diri sendiri, niat baiknya setelah mengkhianati Yesus justru berakhir tragis bagi dirinya sendiri. Dan, di sepanjang abad pun, Yudas di-bully, dihakimi tanpa ampun sebagai pengkhianat yang tak tahu diri, dan dianggap patut mendapat kematian yang seperti itu. Sementara, tindakan para pemimpin agama, dhi imam-imam kepala, dianggap biasa, padahal sesungguhnya mereka adalah the men behind the gun, pihak yang berada di balik pengkhianatan yang dilakukan oleh Yudas, tetapi dengan mudahnya menganggap urusan mereka dengan Yudas telah selesai. Begitu mudah bagi mereka, tetapi menjadi ke-malang-an bagi orang lain. Ironis memang!

Para imam kepala tahu bahwa uang yang mereka berikan itu adalah uang darah, sadar bahwa mereka telah menyuap Yudas untuk mengkhianati Yesus, tetapi sama sekali tidak ada perasaan bersalah, tidak ada penyesalan, bahkan dengan angkuhnya mereka tidak peduli dengan penyesalan Yudas dengan mengatakan bahwa itu bukan urusan mereka lagi. Apakah para imam kepala ini memang tidak peduli sama sekali dengan permintaan Yudas? Tidak juga! Mereka tahu bahwa uang darah itu “salah” sehingga tidak patut dimasukkan ke dalam peti persembahan. Mereka tidak peduli dengan urusan Yudas, tetapi peduli dengan uang yang dilemparkan Yudas ke dalam Bait Suci. Orangnya ditolak, tetapi uangnya dimanfaatkan, hehehehe. Lalu, apakah mereka menyesal seperti Yudas? Tidak! Mereka menggunakan uang darah itu untuk membeli tanah tempat pekuburan orang asing. Perhatikanlah bagaimana perkataan imam-imam kepala tersebut setelah melihat Yudas melemparkan uang darah itu ke dalam Bait Suci: “Tidak diperbolehkan memasukkan uang ini ke dalam peti persembahan, sebab ini uang darah” (ay. 6). Sangat rohani! Perkataan mereka ini sebenarnya menegaskan bahwa Yesus tidak bersalah, dan uang tersebut tidak “patut” diberikan sebagai persembahan di Bait Suci, sayang sekali mereka tidak merasa bersalah atas tindakan mereka terhadap Yesus (dan Yudas). Para pemimpin agama atau rohaniwan memang terlalu sulit untuk “merasa bersalah” apalagi untuk menyesalinya, hehehehe.

Mereka pun menggunakan uang darah (orang yang tidak bersalah) tersebut untuk membeli Tanah Tukang Periuk dengan maksud dijadikan sebagai tempat pekuburan orang asing (ay. 7). Tanah ini sebelumnya digunakan untuk pembuatan gerabah (alat-alat dapur dari tanah liat), dan sekarang nilai tanahnya tidak lagi begitu berharga, nilai jualnya kini menjadi murah. Tanah itulah yang dibeli oleh imam-imam kepala untuk dijadikan sebagai tempat pekuburan orang asing. Sebenarnya, pekuburan tersebut bukan hanya untuk orang asing, melainkan juga untuk orang miskin, dan masyarakat kelas menengah ke atas dalam masyarakat Yahudi tentu sudah memiliki kuburan sendiri. Sekilas, para imam kepala ini begitu baik membeli tanah pekuburan untuk orang asing (dan orang miskin), begitu mulia. Tetapi, tunggu dulu! Uang yang dipakai untuk membeli tanah itu sebenarnya adalah uang Yudas yang telah dilemparkannya ke dalam Bait Suci, bukan uang mereka lagi. Tindakan para imam kepala ini membeli tanah pekuburan dengan menggunakan uang Yudas sungguh-sungguh politis. Mereka mencoba menampilkan diri sebagai orang yang begitu peduli dengan orang asing dan orang miskin, padahal sesungguhnya tidak demikian. Mereka hanya memanfaatkan orang lain, termasuk memanfaatkan diri Yudas yang malang, untuk menaikkan popularitas mereka dengan membeli tanah tersebut. Lebih jauh lagi, uang itu pun sesungguhnya adalah “harga” yang dibayarkan kepada Yudas untuk mengkhianati Yesus, jadi uang darah Yesus. Jadi, tanah pekuburan yang dibeli oleh para imam kepala untuk orang asing (dan orang miskin) itu sebenarnya dibeli dengan uang darah Yesus. Sayang sekali, mereka bangga dengan uang (darah) orang lain, ah … beruntungnya menjadi pemimpin agama atau rohaniwan … ehhhhh 😆😆😇

Penegasan bahwa tanah itu dibeli dengan uang darah Yesus disebutkan di ayat 9 dan 10, dengan mengutip perkataan nabi Yeremia sebagaimana tertulis dalam kitab Zakharia 11:12-13. Selain menyerahkan diri-Nya sebagai ganti manusia dalam menanggung hukuman mati atas dosa-dosa manusia, uang darah Yesus pun masih digunakan untuk orang-orang asing dan miskin. Hal ini mungkin tidak disadari oleh para imam kepala dan tua-tua Yahudi, bahkan oleh Yudas sendiri, tetapi kita percaya bahwa proses yang penuh dengan trik dan intrik politik di balik uang darah Yesus ini merupakan bagian dari rencana besar Allah bagi keselamatan umat manusia.

Catatan akhir sebagai bahan untuk refleksi:
Kita sudah melihat bagaimana trik dan intrik politik yang terjadi di seputar pengkhianatan dan penghukuman Yesus. Benar bahwa Yudas telah mengkhianati Yesus, dan dia sudah mengambil keputusan atas dirinya sendiri walaupun sebenarnya begitu buruk, bunuh diri, mati dalam tekanan psikologis yang luar biasa, mati tanpa pendampingan para pemimpin agama atau rohaniwan pada waktu itu. Ironis memang, ketika dalam masyarakat modern masih ada peristiwa yang seperti ini, bahkan beberapa hari yang lalu ada orang yang bunuh diri di Jepang karena tidak tahan terhadap bully-an yang terus menerus dialaminya. Ini adalah era saling mem-bully, apalagi kalau kesalahan itu memang telah dilakukannya.

Tindakan Yudas yang mengkhianati Yesus, apalagi dengan menerima suap 30 perak pada waktu itu, memang patut disesali. Tetapi, marilah kita lihat sejenak bagaimana kita pun seringkali “memperjualbelikan” kebenaran hanya demi uang, atau demi popularitas, apalagi pada masa-masa menjelang pilkada ini. Yudas Iskariot memang sudah mati dengan caranya sendiri, tetapi Yudas-Yudas zaman now terus bermunculan, termasuk di dalam gereja. Lalu, bagaimana gereja menyikapi orang-orang yang – katakanlah – sudah bersalah (berdosa) tetapi kemudian menyesali kesalahannya? Apakah gereja masih menjadi komunitas bagi mereka yang hidupnya hancur (community for the broken), atau telah menjadi lembaga penghakiman atas mereka yang dianggap bersalah? Tindakan para imam kepala, yang merupakan para rohaniwan pada waktu itu, kiranya menjadi pembelajaran bagi kita supaya menunjukkan kepedulian kepada orang-orang yang mungkin saja tidak memiliki kepentingan dengan kita lagi. Ini juga merupakan kritikan bagi kita supaya kita tidak memanfaatkan orang lain demi kepentingan kita sendiri, supaya kita tidak menari-nari di atas kemalangan orang lain.

Tema minggu ini adalah “manusia tidak untuk diperjualbelikan”. Tema ini memang relevan dengan masih adanya praktik jual beli manusia dalam berbagai bentuk, atau perdagangan manusia (human trafficking). Demikian juga dengan masih adanya fenomena PSK (Pekerja Seks Komersial), memperjualbelikan diri karena berbagai faktor. Benar bahwa manusia tidak boleh diperjualbelikan, tetapi apa yang sudah kita lakukan untuk mengatasinya selain berkoar-koar di mimbar ketika khotbah, atau posting kritikan dan keprihatinan di media sosial?

... mari berefleksi ..

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...