Saturday, May 15, 2021

Kebahagiaan Sejati (Mazmur 1:1-6)

Rancangan Khotbah Minggu, 16 Mei 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


1 Berbahagialah orang yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, dan yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh,
2 tetapi yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam.
3 Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil.
4 Bukan demikian orang fasik: mereka seperti sekam yang ditiupkan angin.
5 Sebab itu orang fasik tidak akan tahan dalam penghakiman, begitu pula orang berdosa dalam perkumpulan orang benar;
6 sebab TUHAN mengenal jalan orang benar, tetapi jalan orang fasik menuju kebinasaan.


Ada berbagai ukuran kebahagiaan di dunia ini. Setiap orang memiliki ukuran kebahagiannya sendiri; setiap budaya pun memiliki ukuran untuk kebahagiaan.

Ada yang menilai kebahagiaan dari segi materi (uang, harta, kekayaan, dan sejenisnya), sehingga apa pun yang dia lakukan selalu berorientasi pada pemenuhan keinginan materi tersebut. Menurut orang-orang yang menempatkan materi sebagai ukuran kebahagiaan “semakin banyak materi semakin bahagia, demikian sebaliknya”.

Ada juga yang menganggap kebahagiaan terletak pada berapa banyak anak (terutama anak laki-laki) yang dia miliki. Itulah sebabnya di banyak tempat, tujuan pernikahan seringkali direduksi hanya sekadar melahirkan anak (prokreasi). Sebaliknya, suatu keluarga yang tidak memiliki anak akan mengalami tekanan psiko-sosial yang luar biasa, baik dari keluarganya sendiri, maupun dari masyarakat sekitar.

Bagi sebagian orang, kebahagiannya adalah apabila dia memiliki pekerjaan yang (dianggap) bergengsi (terutama PNS/ASN), apalagi kalau menduduki jabatan yang cukup tinggi. Itulah sebabnya banyak orang yang melakukan berbagai cara untuk memiliki pekerjaan dan jabatan yang menurutnya dapat membahagiakannya itu.

Adalah suatu kebahagiaan yang tak terhingga apabila orang memiliki harta yang banyak, memiliki anak laki-laki dan perempuan, serta menduduki suatu jabatan tertentu. Lengkaplah kebahagiaannya, demikian anggapan banyak orang.

Apakah ukuran kebahagiaan tersebut di atas salah? Tidak! Tetapi, apakah dengan memiliki salah satu atau semuanya itu dapat menjamin kebahagiaan sampai selama-lamanya? Tidak! Dalam faktanya, materi, keturunan, dan pekerjaan/jabatan tersebut seringkali menjadi jerat bagi manusia yang membuatnya lupa diri, dan kadang-kadang menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus).

Hari ini, pemazmur memberikan kita dua gambaran tentang kunci kebahagiaan yang sejati. Gambaran yang pertama adalah tentang jalan yang ditempuh, dan gambaran yang kedua adalah tentang analogi sehubungan dengan jalan yang ditempuh tersebut.

Menurut pemazmur, ukuran kebahagiaan yang sejati terletak pada jalan yang ditempuh oleh setiap orang, bukan pada apa yang dia miliki. Disebutkan bahwa orang yang berbahagia adalah mereka yang tidak berjalan menurut nasihat orang fasik, yang tidak berdiri di jalan orang berdosa, yang tidak duduk dalam kumpulan pencemooh, yang kesukaannya ialah Taurat TUHAN, dan yang merenungkan Taurat itu siang dan malam (ay. 1-2). Dengan kata lain, apa pun yang dimiliki oleh seseorang, sebanyak apa pun yang dia miliki, sebanyak apa pun keturunannya, dan setinggi apa pun jabatannya, dapat memberikan kebahagiaan baginya hanya apabila dia hidup menurut kehendak Allah. Kita dapat menemukan banyak contoh tentang orang-orang yang memiliki segalanya tetapi hidup jauh dari Tuhan, pada akhirnya terbukti bahwa mereka tidak menikmati kebahagiaan. Ada orang yang memiliki harta berlimpah, fasilitas yang amat memadai, memiliki suami yang kelihatan sehat dan cakep atau memiliki istri yang kelihatan sehat dan cantik, tetapi ternyata selama puluhan tahun tidak menikmati kebahagiaan yang sejati. Sebaliknya, banyak orang yang hidupnya sederhana, bahkan amat sederhana, tetapi menikmati kehidupan dalam damai dan rasa bahagia, sebab kunci kebahagiaannya adalah hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, tidak ikut-ikutan dalam gaya hidup duniawi yang tidak benar.

Lalu, seperti apakah kehidupan orang yang hidupnya tidak seperti orang fasik dan yang kesukaannya Firman Tuhan? Pemazmur menyebutkan gambaran yang kedua dengan analogi pohon. “Ia seperti pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (ay. 3). Sangat jelas, bahwa kehidupannya tidak mengalami kelayuan, sebab kebutuhan utamanya selalu tersedia, air kehidupan yang dari Tuhan. Alhasil, orang yang seperti pohon di tepi aliran air tersebut akan menghasilkan buah, dan buahnya itu dapat dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya. Singkatnya, dia menjadi berkat bagi sesamanya. Pemazmur mengatakan: “apa pun yang diperbuatnya berhasil”, artinya setiap kebaikan yang dia lakukan selalu berhasil.

Hal ini berbeda dengan orang-orang fasik. Menurut pemazmur, hidup orang fasik seperti sekam yang ditiupkan angin, tidak akan tahan dalam penghakiman, bahkan tidak bertahan dalam perkumpulan orang benar (ay. 4-5). Hidup orang fasik kelihatan hebat, kelihatan baik-baik saja, tetapi sesungguhnya tidak kokoh, dengan mudah dapat tertiup angin. Hidup orang fasik kelihatan kuat di permukaan, tetapi sesungguhnya keropos di dalamnya. Ini mirip dengan ungkapan Nias: “hulö manu safusi, atambö mbu ba angao nösi”. Ini juga menjadi pembelajaran bagi kita, untuk tidak tertarik dengan kehidupan orang fasik yang sepertinya enak itu, sebab sesungguhnya hidup mereka tidak berarti, mereka hidup dalam kebahagiaan yang semu.

Kita, orang-orang yang percaya kepada Tuhan, tentu saja merindukan kebahagiaan yang sejati. Tidak salah bekerja atau berupaya memiliki berbagai hal tadi, entah materi, keturunan, atau pun pekerjaan/jabatan tertentu. Namun, kita harus tetap menyadari bahwa kunci kebahagiaan terletak pada jalan hidup yang kita tempuh, jalan orang benar, jalan Tuhan, bukan jalan orang fasik. Percayalah, dengan berjalan pada jalan Tuhan dan tidak kompromi dengan kefasikan, kita akan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya.

--- selamat berefleksi, selamat berbahagia ---

4 comments:

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...