Sunday, February 25, 2024

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”
19 Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup.
20 Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan, malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah,
21 dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.
22 Karena itu hal ini diperhitungkan kepadanya sebagai kebenaran.
23 Kata-kata ini, yaitu “hal ini diperhitungkan kepadanya,” tidak ditulis untuk Abraham saja,
24 tetapi ditulis juga untuk kita; sebab kepada kitapun Allah memperhitungkannya, karena kita percaya kepada Dia, yang telah membangkitkan Yesus, Tuhan kita, dari antara orang mati,
25 yaitu Yesus, yang telah diserahkan karena pelanggaran kita dan dibangkitkan karena pembenaran kita.

Di bagian pertama Roma 4, Paulus menggunakan Abraham sebagai ilustrasi tertinggi tentang bagaimana seseorang dibenarkan (dinyatakan benar) di hadapan Allah yang kudus. Abraham dibenarkan oleh kasih karunia melalui iman. Sebenarnya, Abraham tidak melakukan sesuatu yang amat spektakuler, yang dia lakukan hanyalah mempercayai janji Tuhan untuknya. Tuhan berjanji kepadanya bahwa ia akan memiliki anak laki-laki, dan dari anak itu akan muncul bangsa besar yang akan memiliki tanah Kanaan untuk selama-lamanya (Kej. 12:7; 15:5; 15:18). Persoalannya ialah Abraham tidak memiliki anak pada saat janji itu diberikan, sementara umurnya sekitar tujuh puluh tahun. Namun demikian, dia percaya janji Tuhan, dan imannya dihitung sebagai kebenaran (Kej. 15:6).

Abraham menjadi bapa dari bangsa Yahudi. Tetapi karena dia adalah teladan utama dari orang yang dibenarkan oleh iman, dia menjadi bapa dari semua bangsa, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi. Jadi, Abraham adalah bapa dari semua orang yang beriman.

Iman: Allah sebagai Pusat (Rm. 4:17)
Sekitar empat belas tahun sebelum namanya diubah, Abraham telah dibenarkan ketika dia mempercayai janji Tuhan. Pada saat namanya diubah, Tuhan menegaskan kembali perjanjian-Nya bahwa Abraham akan menjadi bapa dari banyak bangsa. Bertahun-tahun telah berlalu sejak Tuhan membuat janji, tetapi Abraham masih belum memiliki ahli waris. Ismael adalah anak Abraham, tetapi dia bukanlah ahli waris, sebab dia bukan anak perjanjian Allah dengan Abraham. Ishaklah yang kemudian menjadi ahli waris Abraham, dia adalah anak yang dijanjikan oleh Tuhan. Sebenarnya, pengalaman Abraham ini merupakan situasi yang mustahil. Abraham mau berusia 100 tahun, melewati usia prokreasi, dan Sarah berusia sekitar sembilan puluh tahun, secara fisik tidak dapat memiliki anak. Tetapi Abraham memiliki iman kepada Tuhan untuk melakukan hal yang tidak mungkin. Dia percaya pada Tuhan yang Mahakuasa dan Pembuat mukjizat. Iman tidak lebih dari percaya pada kesetiaan Tuhan. Setelah janji itu ditegaskan kembali, hingga terwujud melalui kelahiran Ishak, iman Abraham semakin kuat. Abraham telah menempatkan Allah sebagai pusat dari kehidupannya. Iman Abraham dibangun dan berorientasi pada Tuhan saja.

Iman: Percaya pada Sesuatu yang Tidak Mungkin (Rm. 4:18)
Situasi yang dihadapi Abraham sebenarnya tentu saja situasi yang mustahil secara manusiawi. Dia percaya pada Tuhan ketika sama sekali tidak ada harapan untuk pemenuhannya. Abraham tidak menemukan dasar pengharapan atau kepercayaannya itu, tetapi dia melihat melampaui dirinya sendiri, dan menerima Firman Tuhan (janji) sebagai dasar pengharapan. Iman adalah mempercayai Tuhan yang menggenapi Firman-Nya, bahkan ketika kita tidak melihat bukti lahiriah (bnd. Ibr. 11:1; 2Kor. 5:7).

Iman: Melihat Melampaui Situasi Biasa (Rm. 4:19-21)
Sebenarnya, Abraham dan istrinya sudah mati dalam hal menghasilkan seorang anak. Keadaan dan hukum alam tidak bersama mereka, tetapi imannya tidak lemah. Dia percaya pada Tuhan yang mengerjakan keajaiban, Tuhan yang untuknya tidak ada yang terlalu sulit untuk dicapai. Dia menghadapi rintangan dengan jujur, dan dengan iman mempercayai Tuhan untuk mengatasi keadaan itu. Imannya melampaui situasi alamiah yang sudah biasa itu. Dia melihat kehidupannya (yang tampaknya sulit) melalui Tuhan, bukan melalui keadaan manusia yang biasa-biasa saja. Itulah sebabnya dia bertahan menantikan janji Tuhan, sekalipun itu bukan situasi yang mudah diterima akal sehat. Dia percaya bahwa, jika Tuhan berjanji, dia pasti memenuhinya. Mengapa? Karena Allah tidak bisa berdusta dan Dia tidak bisa menarik kembali Firman-Nya.

Iman: Teruji oleh Semua (Rm. 4:22-25)
Ketika Tuhan pertama kali memanggil Abraham dan Abraham mempercayai janji Tuhan, Tuhan menyatakan Abraham benar di hadapan-Nya. Tetapi Abraham tidak memiliki sedikit pun bukti fisik bahwa janji ini akan digenapi; dia hanya memiliki janji Tuhan. Setelah 14 tahun imannya dihidupkan kembali ketika Tuhan menegaskan kembali perjanjian-Nya. Ini menunjukkan bahwa iman yang semula dia jalankan adalah iman yang tulus.

Sebagai teladan bagi kita, Abraham percaya pada Tuhan, dan oleh imannya itu Abraham dinyatakan benar. Abraham tidak perlu menghalalkan segala cara supaya dia dinyatakan benar, dia pun tidak perlu menyuap Tuhan. Abraham tidak perlu membangun opini publik supaya dia dianggap benar. Dia pun tidak perlu merasa benar. Dengan imannya, Tuhan menyatakan Abraham sebagai orang benar.

Demikianlah dengan kita, dinyatakan benar oleh Tuhan oleh karena iman. Kita tidak perlu melakukan lobi-lobi atau negosiasi khusus dengan Tuhan supaya kita dibenarkan. Kita pun tidak perlu merasa benar seperti yang sering dilakukan oleh banyak orang. Kita dibenarkan oleh Tuhan karena iman. Dan itu adalah anugerah Tuhan saja. Kita percaya bahwa melalui kematian dan kebangkitan Kristus, janji Allah tetap hadir dalam kehidupan kita. Hal itulah yang kemudian memberikan semangat baru dan ketulusan dalam berbagai gerak hidup kita. Kristus sendiri rela menderita dan mati supaya kita dinyatakan benar oleh Allah, walaupun sebenarnya kita patut mendapat hukuman yang setimpal atas dosa-dosa kita. Tetapi, oleh kasih karunia Tuhan, kita dibenarkan di dalam iman. Ingat, kita ini dibenarkan, jadi bukan benar dengan sendirinya. Allah yang membenarkan kita, dan pembenaran itu bekerja di dalam iman. Abraham adalah teladan bagi kita tentang kehidupan beriman.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...