Sunday, June 28, 2015

Berpengharapan di Dalam Tuhan yang Penuh dengan Kasih Setia dan Pertolongan (Ratapan 3:22-33)



Bahan Khotbah Minggu, 28 Juni 2015

Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

3:22   Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
3:23   selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
3:24   “TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
3:25   TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.
3:26   Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.
3:27   Adalah baik bagi seorang pria memikul kuk pada masa mudanya.
3:28   Biarlah ia duduk sendirian dan berdiam diri kalau TUHAN membebankannya.
3:29   Biarlah ia merebahkan diri dengan mukanya dalam debu, mungkin ada harapan.
3:30   Biarlah ia memberikan pipi kepada yang menamparnya, biarlah ia kenyang dengan cercaan.
3:31   Karena tidak untuk selama-lamanya Tuhan mengucilkan.
3:32   Karena walau Ia mendatangkan susah, Ia juga menyayangi menurut kebesaran kasih setia-Nya.
3:33   Karena tidak dengan rela hati Ia menindas dan merisaukan anak-anak manusia.

Sama seperti kitab Yeremia,kitab Ratapan ini juga fokus pada kejatuhan Yerusalem dan pembuangan di Babel. Kalau kitab Yeremia memberi penekanan lebih pada peringatan-peringatan bahwa Tuhan akan mendatangkan hukuman atas ketidaksetiaan umat-Nya, maka kitab Ratapan ini lebih pada perkabungan atas hukuman Allah yang telah ditimpakan atas umat Tuhan tersebut, terutama kehancuran Yerusalem dan Bait Allah sebagai simbol kebanggaan dan kebesaran bangsa Israel. Kehancuran ini mendatangkan kesedihan yang mendalam bagi Yeremia dkk, sehingga mereka berkabung atas kejatuhan Yerusalem dan bait Allah tersebut. Dalam kesedihan dan perkabungan itu, mereka menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami adalah akibat ketidaksetiaan mereka pada Tuhan, sekaligus mengakui bahwa selalu ada harapan baru di dalam Tuhan, bahkan di dalam kehancuran pun kasih setia Tuhan tidak pernah berkesudahan.

Di seputar teks renungan kita pada hari ini, penulis mengungkapkan apa saja prinsip hidup sehubungan dengan penderitaan:
(1)  Penderitaan haruslah ditanggung dengan harapan akan adanya keselamatan dari Allah, yaitu bahwa Allah pada akhirnya akan mendatangkan pemulihan (3:25-30).Bagaimana mungkin tidak marah atau kecewa terhadap Allah dalam penderitaan? Bagaimana mungkin Allah dianggap baik di tengah-tengah penderitaan manusia? Jawabannya adalah bahwadi tengah-tengah penderitaan manusia itu, Allah tetap setia, murah hati, dan selalu siap menerima setiap orang yang datang kepada-Nya.

Selain itu, ada unsur pendisiplinan di balik penderitaan yang kita alami.Suatu hari anak saya bertanya: “Pa, seperti apa rasanya digigit lebah?” Saya tidak bisa memberi jawaban yang pasti baginya, sebab saya tidak pernah digigit lebah, yang saya dengar rasanya sakit sekali, dan tentunya saya tidak siap menghadapi situasi sulit apabila digigit lebah. Demikianlah penderitaan atau kesusahan itu, akan dapat menolong kita untuk lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam hidup ini. Saya tidak bermaksud supaya kita mencari “gara-gara” untuk mengalami penderitaan atau kesusahan atau masalah, tidak! Tetapi, siapakah yang bisa menjamin bahwa perjalanan hidup ini akan mulus tanpa masalah? Tidak ada bukan? Karena itu, ketika kita mengalami suatu penderitaan atau kesusahan hidup, maka ingatlah bahwa itu merupakan salah satu cara yang dapat dipakai oleh Tuhan untuk mendisiplinkan kita untuk kemudian menjadi lebih dewasa, bukan semakin cengeng; penderitaan dan kesusahan juga dapat menolong kita untuk semakin rendah hati, bahkan kita pun harus menjadi lebih siap dan lebih dewasa menanggapi setiap penderitaan itu (bnd. ay. 29-30).Bagaimanakah kita menjadi orang yang sabar kalau tidak pernah mengalami kesulitan hidup? Bagaimanakah kita menguji kesabaran seseorang? Dengan memberinya kesulitan atau tantangan, bukan? Lagipula, bukankah Allah telah menyediakan pertolongan bagi orang-orang yang berharap kepada-Nya?

Atas dasar itulah penderitaan harus ditanggung oleh umat Tuhan, sebab pada akhirnya Allah akan mendatangkan pemulihan. Di sinilah terletak pengharapan umat Tuhan yang menderita, pengharapan akan datangnya keselamatan yang dari Allah. Itulah bagian kita, demikian diakui oleh penulis kitab ini di ayat 24. Apa artinya? Yaitu bahwa pengharapan kita hanya di dalam Tuhan saja, menantikan pertolongan-Nya saja, hanya mencari Tuhan ketika kita berada dalam kesusahan, dan mengungkapkan keluh kesah hidup kita kepada-Nya, sebab segala beban hidup hanya dapat ditanggung di dalam Tuhan saja. Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat. 11:28-30). Kiranya janji kasih setia Tuhan ini menjadi sumber semangat baru bagi kita untuk tetap hidup dalam pengharapan.

(2)  Penderitaan itu hanyalah sementara dan dalam penderitaan itu pun Allah selalumenunjukkan rasa sayang dan kasih setia-Nya (3:31-32).Ada sebuah ungkapan klasik: “Sejahat-jahatnya harimau, tidak akan memakan anaknya sendiri.” Atau ungkapan lain yang tidak kalah puitisnya, “Di balik awan yang gelap, selalu ada matahari yang siap menerangi bumi.” Benar bahwa kehancuran Yerusalem, kesusahan dan penderitaan yang dialami oleh umat Tuhan berasal dari Allah sebagai hukuman atas ketidaksetiaan mereka terhadap Tuhan. Tetapi, pemazmur mengatakan: “TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam” (Mzm. 103:8-9). Apa artinya? Yaitu bahwa penderitaan atau kesusahan hidup, apapun sumbernya, tidak pernah berlangsung sepanjang hidup kita, kalaupun kita harus menanggung suatu penderitaan maka Allah selalu menyatakan kasih setia-Nya pada kita.Atau, adakah di antara kita hari ini orangtua yang setiap detik selalu marah dan menghukum anak-anaknya? Adakah anak-anak di tempat ini yang sepanjang hidupnya selalu dimarahi dan dihukum oleh orangtuanya? Tidak ada, bukan?Sebab, orangtua selalu menunjukkan kasihnya terhadap anak-anaknya sekalipun kadang-kadang memarahi dan menghukum mereka. Tuhan Allah jauh melebihi orangtua, yaitu bahwa Dia selalu, dan akan selalu menyayangi umat yang telah dihukum-Nya itu. Atas dasar inilah kita harus tetap memiliki pengharapan di dalam Tuhan, dan karena pengharapan itulah kita harus tetap semangat menjalani kehidupan kita dalam takut akan Tuhan.

(3)  Allah tidak pernah bersukacita atau merasa senang atas penderitaan umat-Nya (3:33). Saya kembali memberi contoh orangtua dan anak-anaknya. Adakah orangtua yang merasa senang karena melihat anak-anaknya hidup dalam kesusahan? Adakah orangtua yang merasa bahagia karena anaknya berada dalam kesakitan? Tidak ada, bukan? Secara umum, orangtua justru akan sedih kalau anaknya berada dalam kesusahan, kesulitan, atau mengalami suatu sakit penyakit, karena itu orangtua berusahamenolong anak-anaknya. Tuhan tentunya jauh melebihi hati dan tindakan orangtua tersebut. Allah pun sedih kalau umat-Nya jatuh dalam kesulitan. Bahkan, ketika Allah sendiri menghukum umat-Nya, Dia sebenarnya melakukan itu dengan “berat hati”, Dia “terpaksa” memberikan pembelajaran “tegas” bagi umat-Nya, supaya mereka tidak jatuh terlalu jauh dalam kehancuran. Tuhan Allah tidak pernah berusaha dengan sengaja mempersulit hidup kita, Dia justru menawarkan pertolongan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya.Jadi, jangan pernah beranggapan bahwa “berurusan” dengan Tuhan itu selalu sulit, tidak! Berurusan dengan Tuhan justru menolong kita untuk keluar dari situasi sulit. Karena itu, kita harus tetap berharap pada Tuhan, bahwa dalam kesulitan apa pun, Dia tetap menolong, Dia tetap menyayangi dan mengasihi kita.



[1] Bahan Khotbah Minggu, 28 Juni 2015, di BNKP Jemaat Hebron Lölömoyo, Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

Monday, June 15, 2015

TUHAN (mampu) Menghadirkan Kehidupan dalam Kehancuran (Yehezkiel 17:22-24)



Bahan Khotbah Minggu, 14 Juni 2015
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

17:22  Beginilah firman Tuhan ALLAH: Aku sendiri akan mengambil sebuah carang dari puncak pohon aras yang tinggi dan menanamnya; Aku mematahkannya dari pucuk yang paling ujung dan yang masih muda dan Aku sendiri akan menanamnya di atas sebuah gunung yang menjulang tinggi ke atas;
17:23  di atas gunung Israel yang tinggi akan Kutanam dia, agar ia bercabang-cabang dan berbuah dan menjadi pohon aras yang hebat; segala macam burung dan yang berbulu bersayap tinggal di bawahnya, mereka bernaung di bawah cabang-cabangnya.
17:24  Maka segala pohon di ladang akan mengetahui, bahwa Aku, TUHAN, merendahkan pohon yang tinggi dan meninggikan pohon yang rendah, membuat pohon yang tumbuh menjadi layu kering dan membuat pohon yang layu kering bertaruk kembali. Aku, TUHAN, yang mengatakannya dan akan membuatnya.”

Teks renungan kita pada hari ini (seolah-olah) membandingkan dua kekuasaan yang bertolak belakang, yaitu (1) kekuasaan raja Babel yang telah membuat bangsa Israel takluk terhadapnya; dan (2) kekuasaan TUHAN Allah yang oleh-Nya bangsa Israel diselamatkan. Dalam pasal 17 ini diumpamakan bahwa keduanya melakukan tindakan yang kurang lebih sama, yaitu mengambil pucuk pohon aras dan menanamnya dengan harapan pucuk itu dapat tumbuh, bercabang dan berbuah. Tindakan raja Babel sehubungan dengan pucuk yang diambil dan ditanam ini diberitakan pada pasal 17:3-5, dan tindakan yang sama yang dilakukan TUHAN Allah diungkapkan pada teks renungan kita pada hari ini (17:22-23). Namun, inti dari teks renungan kita pada hari ini, sekaligus inti dari seluruh pasal 17 ini sesungguhnya adalah bahwa “Ketidaksetiaan Manusia Mendatangkan Kematian bagi Dirinya sendiri, tetapi TUHAN (mampu) Menghadirkan Kehidupan dalam Kehancuran.”

(1)  Buah dari Ketidaksetiaan Manusia
Di ayat 6 disebutkan bahwa pucuk yang telah diambil, dibawa dan ditanam oleh raja Babel itu kemudian tumbuh dan menjadi pohon anggur yang rimbun yang tentunya tunduk kepada raja Babel itu sendiri, ... ia tumbuh dan menjadi pohon anggur yang rimbun, yang tumbuhnya rendah dan cabang-cabangnya melengkung menuju burung itu dan akar-akarnya tetap di bawahnya. Demikianlah ia menjadi pohon anggur dan mengeluarkan tunas-tunas dan memancarkan taruk-taruk”.  Arti dari perumpamaan ini diungkapkan di ayat 12-14, yaitu tentang bagaimana raja Babel pada masa kejayaannya menaklukkan Yerusalem, lalu mengambil dan membawa raja dan para pemuka bangsa Yahudi ke Babel, menjadikan mereka raja di bawah kekuasaannya. Tetapi kemudian raja dan para pemuka Yahudi itu hendak mencari perlindungan dari penguasa lain, yaitu Mesir (ay. 15). Mereka adalah komplotan orang-orang yang tidak setia yang hendak meminta bantuan dari Mesir untuk melawan atau memberontak terhadap raja Babel itu. Sayang sekali, pemberontakan mereka itu dengan mudah dipatahkan oleh raja Babel, dan raja Mesir sendiri tidak berkenan menolong mereka. Lihatlah, betapa ketidaksetiaan mereka itu justru mendatangkan kematian bagi mereka sendiri, mendatangkan aib dan kehancuran bagi mereka (ay. 16-21). Itulah buah dari pemberontakan manusia, buah dari ketidaksetiaan manusia atas janji dan sumpah yang telah diucapkan, baik di hadapan manusia, terlebih-lebih di hadapan TUHAN Allah.

(2)  TUHAN (mampu) Menghadirkan Kehidupan dalam Kehancuran
Seperti yang dilakukan raja Babel sebelumnya, setelah ternyata tindakan penguasa Babel itu ditanggapi dengan ketidaksetiaan oleh raja dan para pemuka bangsa Yahudi, yang pada akhirnya berbuahkan kematian bagi mereka sendiri, maka di ayat 22-23 disebutkan bahwa TUHAN Allah sendiri datang mengambil carang dari pohon aras yang tinggi, menanamnya di tanah Israel sendiri, bukan di negeri Babel seperti sebelumnya. Kemudian, carang itu tumbuh, bercabang-cabang, berbuah, dan menjadi pohon aras yang hebat; hasilnya pun sangat mengagumkan, dimana “segala macam burung dan yang berbulu bersayap tinggal di bawahnya, mereka bernaung di bawah cabang-cabangnya” (ay. 23). Ini adalah sebuah perumpamaan yang menggambarkan betapa Allah sendiri bertindak menyelamatkan umat-Nya, sepertinya mirip dengan cara yang dilakukan oleh raja Babel sebelumnya, tetapi sesungguhnya berbeda. Raja Babel melakukan tindakannya itu untuk memperbudak bangsa Israel dan menjadikan raja dan para pemuka bangsa mereka itu sebagai para pemimpin bonekanya, sedangkan Tuhan datang untuk mendatangkan keselamatan dan sukacita. Tindakan raja Babel pada akhirnya mendatangkan kehancuran bagi bangsa Israel karena ketidaksetiaan mereka sendiri, sedangkan tindakan TUHAN Allah mendatangkan kehidupan bahkan dalam kehancuran itu. Demikianlah kiranya kasih setia TUHAN, selalu mampu mendatangkan keselamatan di tengah-tengah malapetaka, dan menghadirkan kehidupan dalam kehancuran akibat ketidaksetiaan manusia terhadap-Nya. Pada akhirnya, tindakan TUHAN ini sekaligus membungkam mereka yang selama ini menganggap diri lebih tinggi (pohon yang tinggi) dan orang lain lebih rendah (pohon yang rendah), ay. 24.

Sdra/i yang tekasih, kita banyak menyaksikan betapa ketidaksetiaan manusia terhadap TUHAN justru telah mendatangkan kematian atau kehancuran dalam kehidupan kita. Pemberontakan manusia terhadap Allah dalam berbagai bentuk justru mendatangkan malapetaka dan aib bagi manusia itu sendiri, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengatasinya. Lihatlah betapa manusia sering berpaling dari Tuhan dan menghadap ilah-ilah lain; lihatlah betapa banyaknya orang Kristen yang mengaku percaya pada Tuhan dengan bibir dan mulutnya, tetapi hati dan perilakunya sangat jauh dari Tuhan, ilau nilau dödönia zamösana, tebai niwa’ö, tebai nitegu, oi ya’ia manö nifaluania, ba ato göi niha sifayawa ba zi lö atulö nifaluania, ganuno ba zi lö sökhi.Lihatlah betapa manusia zaman sekarang lebih takut kepada penguasa dunia (“raja-raja lokal”) walaupun salah, daripada takut pada TUHAN yang adalah jalan kebenaran dan hidup. Banyak orang Kristen yang memberontak kepada TUHAN walaupun sepertinya mereka rajin beribadah bahkan memberikan persembahan kepada Tuhan. Bagaimana mungkin ya??!! Sederhana saja, mereka tampil seperti anak-anak Tuhan ketika berada di dalam gereja, atau ketika sedang beribadah, tetapi akan tampil sebagai “monster” yang menakutkan bagi sesamanya dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah misalnya betapa semakin banyak orang Kristen yang sudah tidak setia lagi pada janji pernikahannya di hadapan Tuhan dulu, sekarang sudah memiliki pria/wanita idaman lain di berbagai tempat. Lihatlah betapa semakin banyak orang Kristen yang sepertinya sungguh-sungguh memuji dan melayani Tuhan, tetapi menjadi pelaku kekerasan dalam rumah tangga dalam kehidupan sehari-hari, menjadi sumber konflik dan masalah di tengah-tengah masyarakat. Lihatlah juga, betapa semakin banyaknya orang Kristen yang telah jatuh ke dalam kubangan dosa, jatuh ke dalam kehancuran kehidupan; banyak orang Kristen yang karena berbagai kesulitan atau kegalauan hidup, melarikan diri dalam alkoholisme, mabuk-mabukkan, judi, foya-foya ..., dan tragisnya banyak orang yang tidak menyadari situasi kehancuran itu.

Sdra/i, di sisi lain, dalam kasih setia-Nya, TUHAN berkenan hadir dalam kehidupan kita yang mungkin saja sedang porak-poranda; Tuhan berkenan hadir dalam kehidupan orang-orang yang mungkin saja sedang mengalami kekacauan dan kehancuran ... dan kehadiran Tuhan itu mendatangkan keselamatan, mendatangkan kehidupan bagi orang-orang yang percaya kepada-Nya. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Karena itu, pemazmur menasihati kita: “Lebih baik berlindung pada TUHAN daripada percaya kepada para bangsawan” (Mzm. 118:9).



[1] Bahan Khotbah Minggu, 14 Juni 2015, di BNKP Jemaat Soliga, oleh Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...