Saturday, February 29, 2020

Ya Tuhan, kami percaya: Kuasa Tuhan yang Bekerja di dalam Iman (Matius 9:27-31)


Rancangan Khotbah Minggu, 01-03-2020
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo[1]

9:27   Ketika Yesus meneruskan perjalanan-Nya dari sana, dua orang buta mengikuti-Nya sambil berseru-seru dan berkata: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud.
9:28   Setelah Yesus masuk ke dalam sebuah rumah, datanglah kedua orang buta itu kepada-Nya dan Yesus berkata kepada mereka: Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?Mereka menjawab: Ya Tuhan, kami percaya.”
9:29   Lalu Yesus menjamah mata mereka sambil berkata: Jadilah kepadamu menurut imanmu.”
9:30  Maka meleklah mata mereka. Dan Yesuspun dengan tegas berpesan kepada mereka, kata-Nya: Jagalah supaya jangan seorangpun mengetahui hal ini.”
9:31   Tetapi mereka keluar dan memasyhurkan Dia ke seluruh daerah itu.

Teks khotbah pada hari ini sebaiknya dibaca paling tidak mulai dari ayat 1 sampai 38. Isu penting yang hendak diangkat adalah soal iman, yaitu percaya bahwa Yesus berasal dari Allah, percaya bahwa Yesus mampu mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi oleh umat manusia.

Pada ayat-ayat sebelumnya diceritakan bagaimana pertentangan Yesus dengan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus datang dengan membawa otoritas ilahi, tetapi ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi tidak percaya kepada-Nya, malah selalu mempersoalkan apa pun yang dikatakan dan dilakukan oleh Yesus. Pada ayat 3 mereka menuduh Yesus telah menghujat Allah (penista agama) karena sebelumnya Yesus mengatakan kepada orang yang lumpuh bahwa dosanya sudah diampuni (ay. 2). Pada ayat 11 mereka mempersoalkan kebersamaan Yesus dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa (ay. 10). Menurut mereka, Yesus tidak patut berkata, berbuat, dan bertindak seperti itu semua. Yesus, dalam pandangan mereka, adalah penista agama dan pendosa seperti para pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya tersebut. Jadi, jangankan untuk percaya kepada Yesus, ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi ini malah nyinyir kepada Yesus dan orang-orang yang percaya kepada-Nya. Orang-orang terpandang dalam masyarakat Yahudi pada waktu itu seperti ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi, justru tidak percaya kepada Yesus. Mereka adalah orang-orang beragama, sangat taat terhadap berbagai peraturan agama Yahudi, tetapi kesombongan dan kekerasan hati membuat mereka tidak mau percaya kepada Yesus.

Lalu, siapa yang kemudian percaya kepada Yesus? Justru orang-orang yang tidak terpandang dalam masyarakat, orang-orang pinggiran, itulah yang lebih percaya kepada Yesus, dan orang-orang ini pun mendapatkan buah dari iman mereka tersebut. Pada ayat 1-8 diceritakan bagaimana orang yang lumpuh disembuhkan oleh Yesus oleh karena iman mereka yang membawanya kepada Yesus. Orang ini boleh lumpuh, dan yang membawanya boleh capek, tetapi iman mereka kepada Yesus tidak lumpuh dan tidak mengenal lelah. Hasilnya, orang yang lumpuh menjadi sembuh.

Dengan siapakah Yesus makan bersama? Ya, dengan para pemungut cukai dan orang-orang berdosa lainnya (ay.10), mereka ini justru membuka diri dan menyambut kedatangan Yesus tanpa menyembunyikan dosa-dosa mereka. Mereka percaya bahwa di dalam Yesus ada pengampuna dosa, dan hasilnya Yesus pun makan bersama mereka, sungguh suatu kebanggaan dan sukacita yang luar biasa.

Siapa lagi yang memiliki iman yang luar biasa kepada Yesus dalam perikop ini? Kepala rumah ibadat, dia tidak mengambil posisi seperti para ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Dia memilih untuk percaya kepada Yesus (ay. 18), dan hasilnya anaknya yang telah meninggal dunia dibangkitkan oleh Yesus (ay. 25). Demikian juga dengan seorang perempuan yang sakit pendarahan selama 12 tahun (ay. 20), dalam hatinya berkata: “asal kujamah saja jubah-Nya (Yesus), aku akan sembuh” (ay. 21), dan terjadilah demikian, dia sembuh. Dan pada hari ini, diberitakan tentang dua orang buta yang dengan penuh kepercayaan datang kepada Yesus memohon penyembuhan atas sakit mereka dengan berseru: “Kasihanilah kami, hai Anak Daud” (ay. 27). Perhatikanlah, mereka memang buta, mata fisik mereka buta, tidak bisa melihat, berbeda dengan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang sehat-sehat saja. Tetapi, kebutaan mereka tidak menghalangi mereka untuk mengenal siapakah Yesus yang sesungguhnya, Anak Daud, keturunan Daud yang telah lama dinanti-nantikan itu. Ironis memang, para pemimpin agama Yahudi yang notabenenya menguasai ilmu agama dan secara fisik terlihat sehat, tetapi tidak mengenal siapakah Yesus itu. Mata fisik boleh buta, tetapi mata hati mereka justru mampu mengenal Yesus, dan hal itu hanya terjadi karena mereka beriman, percaya sepenuhnya kepada Yesus. Ketika Yesus menantang mereka melalui pertanyaan di ayat 28: “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?”, mereka dengan penuh keyakinan menjawab: “Ya Tuhan, kami percaya”. Sungguh suatu ekspresi iman yang luar biasa. Hasilnya, keduanya sembuh, mereka dapat melihat karena Yesus telah menyembuhkan mereka.

Teks khotbah pada hari ini memberi penekanan pada pentingnya memiliki iman kepada Yesus, percaya sepenuhnya pada kuasa-Nya, dan Tuhan tidak pernah menyia-nyiakan iman setiap orang yang percaya kepada-Nya. Tuhan selalu memiliki banyak cara untuk menjawab setiap doa permohonan orang-orang yang percaya kepada-Nya, Tuhan Yesus selalu memiliki banyak cara untuk membuktikan bahwa kuasa-Nya dapat nyata di dalam iman.

Apakah iman kepada Yesus masih relevan saat ini di tengah-tengah dunia yang digempur oleh berbagai kemajuan juga persoalan yang begitu kompleks? Sangat relevan!

Dunia kita saat ini sedang mengalami berbagai ancaman mematikan, yang masih belum tertangani adalah virus corona. Ini bukan sekadar masalah virus atau masalah kesehatannya, walaupun itu yang paling utama. Masalah virus ini justru memengaruhi kehidupan ekonomi global, investasi terganggu karena para pengusaha tidak mau bertindak gegabah karena wabah virus korona, dunia pariwisata anjlok karena banyak orang tidak mau bepergian takut virus korona, dan semalam nilai tukar rupiah terhadap dola Amerika sudah mencapai angka 14.500, angka yang cukup tinggi. Ancaman ini sangat menggelisahkan, belum lagi fenomena alam dengan panasnya yang luar biasa ditambah dengan angin puting beliung. Jadi, situasi dunia kita semakin sulit, walaupun di sana-sini juga ada berbagai kemajuan dan kemudahan yang kita dapatkan. Dalam beberapa minggu terakhir kita mendengar berita sakit dan dukacita yang kadang-kadang sulit dipercaya, sulit diterima: sakit parah dan meninggal pada usia muda, mati tiba-tiba, dll. Lalu, siapakah yang dapat menolong kita melewati masa-masa sulit ini semua? Orang percaya akan berkata “hanya Tuhan Yesus yang memampukan kami untuk menghadapi semuanya itu, dan oleh kuasa Yesus kami dapat melewati kesulitan atau persoalan apa pun dalam hidup ini”. Lalu Yesus bertanya kepada kita, “Percayakah kamu, bahwa Aku dapat melakukannya?”. Apa jawaban kita semua?

Bertahan dalam situasi sulit pun merupakan mukjizat yang luar biasa. Mengapa? Karena pada zaman sekarang banyak orang yang memilih untuk cepat menyerah ketika mereka berada dalam kesulitan: kesulitan keuangan (akhirnya mencuri, korupsi, stres, dll), kesulitan pekerjaan (pengangguran, angka kejahatan meningkat), persoalan kesehatan, persoalan keluarga, persoalan di tempat kerja, dll. Maka, orang yang beriman akan mampu bertahan dalam situasi sulit, dan itulah mukjizat. Ketika banyak orang yang mudah menyerah, dan kita memilih untuk bertahan dalam situasi yang sulit ini, itulah mukjizat, mukjizat yang bekerja di dalam iman kita, bahwa selalu ada jalan keluar terbaik dari Tuhan.


[1] Khotbah Minggu, 01-02-2020, BNKP Jemaat Hebron Lölömoyo.

Sunday, February 16, 2020

Taat pada Adat Istiadat Manusia tetapi Mengabaikan Perintah Allah? (Markus 7:1-8)


Khotbah Minggu, 16 Februari 2020
Dipersiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]

1    Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus.
2  Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh.
3   Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka;
4   dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga.
5   Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?”
6  Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.
7   Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.
8   Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”

Teks ini dengan jelas memperlihatkan “pertentangan” Yesus dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat sehubungan dengan masalah adat istiadat manusia yang seringkali diperlakukan lebih istimewa daripada perintah Allah sendiri. Tradisi adat istiadat yang menjadi pokok persoalan dalam teks ini adalah tentang hal membasuh tangan sebelum makan, dan beberapa tradisi lainnya juga disebut, seperti mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga (bnd. Kel. 30:18; 40:31-32 // Kel. 29:4-9; 40:12-15; Imamat 8:6, 7). Tradisi ini dipelihara dengan ketat oleh orang-orang Yahudi dengan menjadikannya sebagai ukuran/standar suci-najis (ay. 3-4; bnd. Mzm. 26:6). Itulah sebabnya orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ini keberatan kepada Yesus ketika murid-murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh (ay. 2).

Yesus pun merespons pertanyaan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tersebut dengan cara yang amat cerdas. Dia tidak menghilangkan tradisi adat istiadat tersebut atas nama Firman Tuhan, dan tentunya Dia tidak ikut-ikutan dengan mereka yang memperlakukan tradisi tersebut melebihi Firman Tuhan sendiri. Yesus berfokus pada kemunafikan mereka, yang seolah-olah memuliakan Tuhan, tetapi sesungguhnya hidup mereka sehari-hari tidak mencerminkan hidup orang yang sungguh-sungguh taat pada perintah Tuhan. Sebaliknya, mereka malah mengabaikan perintah Allah hanya demi adat istiadat nenek moyang mereka. Banyak hal dalam perintah Tuhan yang mereka abaikan demi untuk memelihara tradisi adat istiadat tersebut, antara lain perihal menghormati orangtua (Mrk. 7:10-12), atau perihal keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (lih. Mat. 23:23).  Sekali lagi, Yesus tidak membatalkan tradisi adat istiadat manusia tersebut, Dia hanya meluruskan pola pikir, sikap, dan cara memperlakukan tradisi tersebut supaya tidak mengalahkan ketaatan manusia atas perintah Tuhan sendiri. Melalui respons-Nya ini Yesus juga hendak menegaskan bahwa ukuran suci atau najis tidak ditentukan oleh ketaatan pada tradisi adat istiadat tersebut, tetapi lebih pada isi hati manusia, apakah manusia tersebut sungguh-sungguh taat pada perintah Tuhan atau sebaliknya tidak taat. Itulah sebabnya di ayat 15 berikutnya Yesus berkata: “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mrk. 7:15; lih. Mrk. 7:18-23).

Inti dari teks khotbah ini ada di ayat 8 “perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia”. Melalui kata-kata ini, Yesus hendak mengingatkan manusia yang seringkali mengutamakan hal-hal sekunder sementara mengabaikan hal-hal yang lebih substansial dalam kehidupan ini. Fenomena ini terjadi sepanjang zaman, termasuk di dalam gereja. Lihatlah misalnya, betapa orang-orang Kristen suka memperdebatkan cara baptisan, sementara inti dari baptisan itu diabaikan. Atau, kita seringkali, dan terus menerus, memperdebatkan tradisi perayaan Natal, sebelum tgl 25 Desember ataukah setelahnya? Kita berlelah-lelah memperdebatkannya, sementara kita lupa pada inti dari perayaan Natal itu sendiri. Masih berkaitan dengan perayaan Natal, pelaksanaan undian Natal (lucky draw) semakin lama semakin mendominasi perayaan-perayaan Natal kita, seolah-olah undian itulah yang menandakan adanya perayaan Natal. Pada masa lalu, dan masih ada sampai sekarang di beberapa tempat, kita menerapkan dan juga merespons agendre baru secara emosional, kita begitu lelah untuk itu, sementara inti ibadah terlewatkan begitu saja. Ada orang yang bahkan menghakimi sesamanya hanya karena cara berdoanya yang agak berbeda dari tradisi yang sudah umum yaitu melipat tangan dan menutup mata. Di beberapa tempat, terutama di Nias, ketaatan manusia atas tradisi adat istiadatnya jauh lebih kuat dibanding ketaatannya pada perintah Tuhan. Lihat misalnya, tradisi fangotome’ö yang sepertinya begitu mulia, sebab anak-cucu memperlihatkan betapa mereka mengasihi dan menghormati orangtua mereka. Tetapi, apakah mereka sudah menunjukkan kasih dan penghormatan kepada orangtua di sepanjang hidupnya? Perlu refleksi mendalam untuk itu!

Keanehan lain adalah begitu banyaknya orang Kristen, termasuk pada hamba Tuhan, yang begitu berapi-api di gereja, penampilannya tampak begitu saleh, tetapi di luar gereja, dalam kehidupannya sehari-hari di rumah, atau di tempat kerja, tidak mencerminkan sebagai orang yang takut akan Tuhan.

Kita memang seringkali lebih banyak mengurus hal-hal yang remeh-temeh, tidak begitu penting, tidak begitu menentukan kualitas iman kita; kita lebih banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkannya, dan, entah disadari atau tidak, kita pun pada akhirnya mengabaikan atau tidak mengerjakan hal-hal yang lebih utama untuk pertumbuhan iman kita.

Namun demikian, sama seperti Yesus tadi, hal-hal di atas tidak serta merta berarti bahwa semua tradisi atau kebiasaan yang sekunder itu dihilangkan sama sekali. Yesus tidak mengarah ke situ, Dia hanya prihatin atas sikap manusia (orang-orang Yahudi dan kita sekarang) yang begitu munafik, tampil seolah-olah takut akan Tuhan, padahal sesungguhnya hati dan seluruh kehidupannya jauh dari Tuhan. Orang-orang munafik seperti ini terus bermunculan di sepanjang zaman, apalagi di Indonesia yang akhir-akhir ini tampil seolah-olah lebih saleh dari orang lain yang dianggap kafir. Semakin banyak orang yang tampil lebih Arab dari Arab, sementara orang Kristen semakin banyak yang lebih Yahudi dari Yahudi. Kita pun baru saja merayakan Natal dengan tema yang luar biasa: "menjadi sahabat bagi semua orang". Tetapi, apakah kita sudah menghidupi tema tersebut dalam kehidupan sehari-hari?


[1] Khotbah Minggu, 16-02-2020, di BNKP Jemaat Betieli.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...