Khotbah Minggu, 16 Februari 2020
Dipersiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]
1 Pada suatu kali serombongan orang Farisi dan beberapa ahli Taurat dari Yerusalem datang menemui Yesus.
2 Mereka melihat, bahwa beberapa orang murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh.
3 Sebab orang-orang Farisi seperti orang-orang Yahudi lainnya tidak makan kalau tidak melakukan pembasuhan tangan lebih dulu, karena mereka berpegang pada adat istiadat nenek moyang mereka;
4 dan kalau pulang dari pasar mereka juga tidak makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya. Banyak warisan lain lagi yang mereka pegang, umpamanya hal mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga.
5 Karena itu orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat itu bertanya kepada-Nya: “Mengapa murid-murid-Mu tidak hidup menurut adat istiadat nenek moyang kita, tetapi makan dengan tangan najis?”
6 Jawab-Nya kepada mereka: “Benarlah nubuat Yesaya tentang kamu, hai orang-orang munafik! Sebab ada tertulis: Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku.
7 Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.
8 Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”
Teks ini dengan jelas memperlihatkan “pertentangan” Yesus dengan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat sehubungan dengan masalah adat istiadat manusia yang seringkali diperlakukan lebih istimewa daripada perintah Allah sendiri. Tradisi adat istiadat yang menjadi pokok persoalan dalam teks ini adalah tentang hal membasuh tangan sebelum makan, dan beberapa tradisi lainnya juga disebut, seperti mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga (bnd. Kel. 30:18; 40:31-32 // Kel. 29:4-9; 40:12-15; Imamat 8:6, 7). Tradisi ini dipelihara dengan ketat oleh orang-orang Yahudi dengan menjadikannya sebagai ukuran/standar suci-najis (ay. 3-4; bnd. Mzm. 26:6). Itulah sebabnya orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat ini keberatan kepada Yesus ketika murid-murid-Nya makan dengan tangan najis, yaitu dengan tangan yang tidak dibasuh (ay. 2).
Yesus pun merespons pertanyaan orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tersebut dengan cara yang amat cerdas. Dia tidak menghilangkan tradisi adat istiadat tersebut atas nama Firman Tuhan, dan tentunya Dia tidak ikut-ikutan dengan mereka yang memperlakukan tradisi tersebut melebihi Firman Tuhan sendiri. Yesus berfokus pada kemunafikan mereka, yang seolah-olah memuliakan Tuhan, tetapi sesungguhnya hidup mereka sehari-hari tidak mencerminkan hidup orang yang sungguh-sungguh taat pada perintah Tuhan. Sebaliknya, mereka malah mengabaikan perintah Allah hanya demi adat istiadat nenek moyang mereka. Banyak hal dalam perintah Tuhan yang mereka abaikan demi untuk memelihara tradisi adat istiadat tersebut, antara lain perihal menghormati orangtua (Mrk. 7:10-12), atau perihal keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (lih. Mat. 23:23). Sekali lagi, Yesus tidak membatalkan tradisi adat istiadat manusia tersebut, Dia hanya meluruskan pola pikir, sikap, dan cara memperlakukan tradisi tersebut supaya tidak mengalahkan ketaatan manusia atas perintah Tuhan sendiri. Melalui respons-Nya ini Yesus juga hendak menegaskan bahwa ukuran suci atau najis tidak ditentukan oleh ketaatan pada tradisi adat istiadat tersebut, tetapi lebih pada isi hati manusia, apakah manusia tersebut sungguh-sungguh taat pada perintah Tuhan atau sebaliknya tidak taat. Itulah sebabnya di ayat 15 berikutnya Yesus berkata: “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mrk. 7:15; lih. Mrk. 7:18-23).
Inti dari teks khotbah ini ada di ayat 8 “perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia”. Melalui kata-kata ini, Yesus hendak mengingatkan manusia yang seringkali mengutamakan hal-hal sekunder sementara mengabaikan hal-hal yang lebih substansial dalam kehidupan ini. Fenomena ini terjadi sepanjang zaman, termasuk di dalam gereja. Lihatlah misalnya, betapa orang-orang Kristen suka memperdebatkan cara baptisan, sementara inti dari baptisan itu diabaikan. Atau, kita seringkali, dan terus menerus, memperdebatkan tradisi perayaan Natal, sebelum tgl 25 Desember ataukah setelahnya? Kita berlelah-lelah memperdebatkannya, sementara kita lupa pada inti dari perayaan Natal itu sendiri. Masih berkaitan dengan perayaan Natal, pelaksanaan undian Natal (lucky draw) semakin lama semakin mendominasi perayaan-perayaan Natal kita, seolah-olah undian itulah yang menandakan adanya perayaan Natal. Pada masa lalu, dan masih ada sampai sekarang di beberapa tempat, kita menerapkan dan juga merespons agendre baru secara emosional, kita begitu lelah untuk itu, sementara inti ibadah terlewatkan begitu saja. Ada orang yang bahkan menghakimi sesamanya hanya karena cara berdoanya yang agak berbeda dari tradisi yang sudah umum yaitu melipat tangan dan menutup mata. Di beberapa tempat, terutama di Nias, ketaatan manusia atas tradisi adat istiadatnya jauh lebih kuat dibanding ketaatannya pada perintah Tuhan. Lihat misalnya, tradisi fangotome’รถ yang sepertinya begitu mulia, sebab anak-cucu memperlihatkan betapa mereka mengasihi dan menghormati orangtua mereka. Tetapi, apakah mereka sudah menunjukkan kasih dan penghormatan kepada orangtua di sepanjang hidupnya? Perlu refleksi mendalam untuk itu!
Keanehan lain adalah begitu banyaknya orang Kristen, termasuk pada hamba Tuhan, yang begitu berapi-api di gereja, penampilannya tampak begitu saleh, tetapi di luar gereja, dalam kehidupannya sehari-hari di rumah, atau di tempat kerja, tidak mencerminkan sebagai orang yang takut akan Tuhan.
Kita memang seringkali lebih banyak mengurus hal-hal yang remeh-temeh, tidak begitu penting, tidak begitu menentukan kualitas iman kita; kita lebih banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkannya, dan, entah disadari atau tidak, kita pun pada akhirnya mengabaikan atau tidak mengerjakan hal-hal yang lebih utama untuk pertumbuhan iman kita.
Namun demikian, sama seperti Yesus tadi, hal-hal di atas tidak serta merta berarti bahwa semua tradisi atau kebiasaan yang sekunder itu dihilangkan sama sekali. Yesus tidak mengarah ke situ, Dia hanya prihatin atas sikap manusia (orang-orang Yahudi dan kita sekarang) yang begitu munafik, tampil seolah-olah takut akan Tuhan, padahal sesungguhnya hati dan seluruh kehidupannya jauh dari Tuhan. Orang-orang munafik seperti ini terus bermunculan di sepanjang zaman, apalagi di Indonesia yang akhir-akhir ini tampil seolah-olah lebih saleh dari orang lain yang dianggap kafir. Semakin banyak orang yang tampil lebih Arab dari Arab, sementara orang Kristen semakin banyak yang lebih Yahudi dari Yahudi. Kita pun baru saja merayakan Natal dengan tema yang luar biasa: "menjadi sahabat bagi semua orang". Tetapi, apakah kita sudah menghidupi tema tersebut dalam kehidupan sehari-hari?
Sangat memberkati
ReplyDelete