Saturday, December 26, 2020

Seruan Pujian kepada TUHAN (Mazmur 148:1-14)

Tafsiran dan Pokok Pikiran Khotbah Minggu, 27 Desember 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1Haleluya! Pujilah TUHAN di sorga, pujilah Dia di tempat tinggi! 2Pujilah Dia, hai segala malaikat-Nya, pujilah Dia, hai segala tentara-Nya! 3Pujilah Dia, hai matahari dan bulan, pujilah Dia, hai segala bintang terang! 4Pujilah Dia, hai langit yang mengatasi segala langit, hai air yang di atas langit! 5Baiklah semuanya memuji nama TUHAN, sebab Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta. 6Dia mendirikan semuanya untuk seterusnya dan selamanya, dan memberi ketetapan yang tidak dapat dilanggar. 7Pujilah TUHAN di bumi, hai ular-ular naga dan segenap samudera raya; 8hai api dan hujan es, salju dan kabut, angin badai yang melakukan firman-Nya; 9hai gunung-gunung dan segala bukit, pohon buah-buahan dan segala pohon aras: 10hai binatang-binatang liar dan segala hewan, binatang melata dan burung-burung yang bersayap; 11hai raja-raja di bumi dan segala bangsa, pembesar-pembesar dan semua pemerintah dunia; 12hai teruna dan anak-anak dara, orang tua dan orang muda! 13Biarlah semuanya memuji-muji TUHAN, sebab hanya nama-Nya saja yang tinggi luhur, keagungan-Nya mengatasi bumi dan langit. 14Ia telah meninggikan tanduk umat-Nya, menjadi puji-pujian bagi semua orang yang dikasihi-Nya, bagi orang Israel, umat yang dekat pada-Nya. Haleluya!

Mazmur 148 adalah bagian penutup dari Mazmur yang menawarkan dan menyerukan pujian kepada Tuhan. Mazmur ini berada dalam konteks pasal 146-150. Mazmur 146-150 dihubungkan dengan kata “puji Tuhan” yang muncul di ayat pertama dan terakhir dari setiap mazmur. Mazmur 148 berfokus pada kendali Tuhan atas tatanan ciptaan sebagai alasan untuk memuji Dia. Tetapi ayat 14 juga mengisyaratkan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan atas Israel, dan atas dasar keselamtan itulah bangsa Israel merayakan kekuatan Tuhan.

Dengan penekanan pada kedaulatan Tuhan, Mazmur 148 menyimpulkan salah satu inti teologi dari Kitab Mazmur: “Tuhan memerintah”, atau “Tuhan Raja” Penekanan ini penting karena diucapkan dan ditulis dalam dan oleh pemazmur di tengah-tengah krisis yang dialami oleh umat Tuhan selama berada di pembuangan dan pasca-pembuangan. Selama masa pembuangan (587-539 SM) dan periode pasca-pembuangan, umat Allah dikalahkan dan didominasi oleh kerajaan besar pada zaman mereka. Tampaknya kadang-kadang Tuhan tidak memegang kendali. Banyak keluhan di seluruh Mazmur dengan tepat mengungkapkan keraguan tersebut (Mazmur 44, 74, 88, 89). Tetapi kata terakhir pemazmur tidak diragukan lagi, suatu harapan: “Puji Tuhan”. Kelahiran Mesias adalah sumber pengharapan dan kegembiraan di tengah kesusahan dan tekanan hidup, bahwa Tuhan tetap patut dipuji.

Mazmur 148 dimulai dengan menyerukan pujian dari alam surgawi, dari tempat Tuhan ditahbiskan sebagai Raja atas alam semesta (ayat 1; lihat Mazmur 115:3, 16). Enam ayat pertama kemudian menjelaskan tentang panggilan awal untuk memuji. Semua yang tinggal di surga - makhluk dan benda mati - dipanggil untuk memuji. Kata yang diterjemahkan “malaikat” juga bisa diterjemahkan “utusan” (ayat 2). Makhluk semacam itu memiliki peran dasar untuk mengkomunikasikan maksud Tuhan kepada manusia. Bala tentara surgawi memiliki konotasi militer (kata tersebut muncul dalam 2 Samuel 3:23 misalnya dengan jelas mengacu pada tentara). Ayat tersebut mengasumsikan bahwa Tuhan memiliki di sekitar takhta surgawi banyak makhluk yang siap untuk diutus dengan misi ilahi.

Ayat 3-4 membuat daftar benda mati di langit yang memanggil mereka untuk memuji Tuhan. “Langit tertinggi” (langit yang mengatasi segala langit) di ayat 4 memberikan ungkapan yang tidak biasa dalam bahasa Ibrani yang secara kaku berbunyi “langit dari langit”. Ini mungkin merujuk pada titik tertinggi di atas bumi. Atau, ungkapan itu mungkin berkonotasi dengan keseluruhan alam surgawi. “Air di atas langit” mengacu pada air yang dipercaya pemazmur menyediakan hujan bagi bumi. Air seperti itu tertahan oleh kubah yang bisa dibuka untuk menyediakan hujan (bnd. Kej. 1: 6-8; 7:11).

Seperti yang dinyatakan pada ayat 5-6, Tuhan menciptakan dan membagi semua elemen ini sebagai bagian dari kedaulatan Tuhan dalam penciptaan. Poin utama di sini, seperti dalam Kejadian 1:6-8, adalah bahwa Tuhan membuat batasan yang tidak bisa dilewati air. Jadi, Tuhan menciptakan alam semesta yang memungkinkan adanya kehidupan di bumi bagi manusia dan hewan darat.

Ayat 7-12 melanjutkan seruan untuk memuji ke bawah dari langit ke bumi dan laut. Bentuk ayat 7a identik dengan ayat 1a: “puji Tuhan dari bumi” (ayat 1, “dari surga”). Kemudian ayat 7b-8 menyerukan laut dan makhluknya untuk memuji Tuhan dengan cara yang komprehensif, seperti ayat 2-6 termasuk makhluk surgawi dan elemen langit. “Monster laut” (ular-ular naga) mengacu pada makhluk misterius yang besar yang dalam beberapa teks lain dipandang sebagai simbol kekacauan dan dengan demikian merupakan ancaman terhadap tatanan yang hendak dibangun oleh Tuhan (Mazmur 74:13). Namun, dalam Mazmur 148, mereka hanyalah makhluk ciptaan Tuhan, seperti dalam Kejadian 1:21. Karena ayat 8 menyebutkan benda mati di bawah kendali Tuhan, ia menggemakan Mazmur 147: 15-18 baik dalam daftar benda maupun dalam penekanannya pada firman Tuhan.

Inklusivitas pujian dalam Mazmur 148 memiliki implikasi penting bagi pemahaman kita tentang hubungan kita dengan ciptaan lainnya. Seperti dijelaskan dalam ayat 9-12, manusia berdiri di samping hewan lain dan benda mati di bumi untuk memuji Tuhan. Ini menunjukkan bahwa pelaksanaan kekuasaan manusia atas bumi (Kej. 1:26, 28) dimaksudkan sebagai persekutuan untuk kebaikan ciptaan dan pada akhirnya untuk memuliakan Tuhan.

Francis dari Assisi menyusun Canticle of the Sun dengan pemikiran ini. Dalam lagu yang didasarkan pada Mazmur 148 ini, Fransiskus memanggil matahari, angin, dan api sebagai saudara (laki-laki), dan bulan, air, dan bumi sebagai saudari (perempuan). Meskipun manusia memiliki tanggung jawab unik untuk mengawasi ciptaan lainnya, mereka pada akhirnya dipanggil untuk memuji Tuhan, seperti semua ciptaan Tuhan lainnya.

Akhir dari Mazmur 148 juga penting untuk memahami sifat pujian yang dipanggil untuk bersuara. Ayat 14 berbalik dari pujian kepada Tuhan di seluruh alam semesta, dari semua ciptaan Tuhan dan karena penguasaan Tuhan atas kosmos, untuk memuji Tuhan atas tindakan penyelamatan Tuhan atas nama Israel. Memang, Mazmur 148 tidak mengizinkan pujian kepada Tuhan yang berubah menjadi pujian diri. Itu juga tidak akan memungkinkan umat Tuhan untuk melepaskan diri dari ciptaan lainnya. Perbuatan penyelamatan Tuhan atas nama mereka dimaksudkan untuk memberikan ekspresi khusus pada pekerjaan Tuhan dalam penciptaan.

Jadi, kalau benda mati ciptaan Tuhan diajak untuk memuji TUHAN, tentu saja manusia (mestinya) jauh melebihi benda-benda tersebut. Ibarat slogan motor Yamaha, selalu di depan; mestinya manusia, apalagi orang yang percaya kepada Kristus, selalu di depan dalam memuji dan memuliakan Tuhan. Kesulitan-kesulitan yang dialami, tidak boleh menjadi alasan untuk tidak memuji TUHAN. Kesulitan tersebut mesti menjadi cambuk bagi kita untuk terus memuji Tuhan.

--- selamat berefleksi ---


Friday, December 25, 2020

Percaya dan Hidup dalam Cinta-Kasih atau Tidak Sama Sekali (Yohanes 3:14-21)

Rancangan Khotbah Natal II, Sabtu, 26 Desember 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


14Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, 15supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal. 16Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. 17Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. 18Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. 19Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan dari pada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. 20Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak nampak; 21tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.

Teks khotbah ini merupakan bagian dari percakapan Yesus dengan Nikodemus (lih. ay. 1). Bacaan hari ini dimulai dengan permainan kata “meninggikan” (lift up). Ini menggambarkan perintah Tuhan kepada Musa untuk mengangkat ular tedung pada sebuah tiang di padang gurun, dan kini kata yang sama diterapkan untuk Yesus. Bagian ini harus dipahami dalam konteks dan latar belakang kisah di Bilangan 21:4-9. Dalam penuturan itu, orang-orang Israel menjadi “tidak sabar” (tidak dapat lagi menahan hati) dalam perjalanannya. Setelah kepergian mereka dari Mesir, mereka berjalan di padang gurun, dan menjadi putus asa karena tidak memiliki makanan dan air. Mereka pun mengeluh bahkan melawan Tuhan dan Musa.

Akibatnya, ular-ular tedung yang mengerikan muncul, menggigit orang, dan membunuh mereka. Ketika mereka menyesal, Tuhan menyuruh Musa untuk membuat ular tedung dan menaruhnya pada sebuah tiang sehingga siapa pun yang telah terpagut dapat melihatnya dan tetap hidup. Ular itu pada satu sisi merupakan tanda kemarahan Tuhan, tetapi pada sisi lain menandakan belas kasihan Tuhan. Tuhan pernah menyelamatkan orang-orang dengan memanggil mereka untuk menatap ular itu. Sekarang, Tuhan akan menyelamatkan orang-orang dengan membuat mereka memandang dan percaya kepada Anak, yang ditinggikan.

Berikutnya adalah Yohanes 3:16, ayat yang sangat populer, dan tetap disebutkan ketika perayaan Natal. Sayangnya, ayat ini sering disalahpahami. Kata Yunani houtos berarti “begitu”, atau “dengan cara ini”, atau yang lebih kuno, “demikianlah”. Kita dapat menerjemahkan bagian awal dari ayat 16 tersebut: “Dengan cara inilah Tuhan mengasihi dunia …” Jadi, Yohanes 3:16 tidak berbicara tentang betapa Tuhan mengasihi dunia (TB LAI: karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini), tetapi tentang bagaimana Tuhan mengasihi dunia (terjemahan yang lebih tepat: dengan cara inilah Tuhan mengasihi dunia). Tidak perlu dibantah lagi bahwa bahwa Tuhan memang mengasihi dunia. Tuhan sangat mengasihi dunia yang diciptakan-Nya, dan Tuhan merindukan ciptaan-Nya itu tetap hidup. Dalam cerita di kitab Bilangan hanya umat Tuhan sendiri yang akan diselamatkan. Tetapi, dalam narasi Yohanes 'alam semesta' yang dikasihi Tuhan pun diselamatkan. Dalam rangka itulah Allah memberikan anak-Nya satu-satunya.

Tujuan Tuhan mengutus Anak-Nya yang tunggal adalah untuk menyelamatkan dunia, sama seperti tujuan memerintahkan Musa untuk mengangkat ular tedung di tiang dimaksudkan untuk menyelamatkan orang-orang dari kematian. Putra Allah datang untuk menyelamatkan, untuk memberikan hidup yang kekal karena Tuhan mengasihi dunia. Dalam rangka itulah Yesus datang ke dunia. Kita ada di sini karena Tuhan yang dulu mengasihi umat-Nya di padang gurun, masih tetap mengasihi kita sampai sekarang.

Kedatangan Yesus seperti membawa terang ke ruang gelap. Kontras terang dan gelap sangat kuat. Hal yang berlawanan ini mengungkapkan perbedaan tajam yang tercipta ketika pada satu sisi kosmos atau alam semesta gelap dan pada sisi lain kita diterangi oleh cahaya Tuhan. Seperti orang-orang dalam cerita di Bilangan, kita telah dipagut atau berada dalam bahaya pagutan ular. Kematian tidak bisa dihindari. Ketika ular tedung diangkat oleh Musa, kita melihat dan hidup, atau sebaliknya tidak sama sekali. Saat Yesus datang ke dunia, kita percaya akan adanya kasih karunia Tuhan, atau sebaliknya kita tidak percaya sama sekali. Kita menerima kehidupan kekal atau sebaliknya kita terus hidup terpisah dari Tuhan, terkutuk dan mati.

Perkataan Yesus dalam ayat-ayat ini muncul ketika Dia terus terlibat, berdebat, dan membujuk orang-orang yang perlahan-lahan berubah menjadi percaya kepada-Nya. Dalam Yohanes 3, Nikodemus adalah pencari pada malam hari yang dibiarkan dalam kebingungan, dan dia muncul kembali pada Yohanes 19:39 untuk membantu merawat tubuh Yesus. Dia telah muncul dari kegelapan malam, dan kini menjadi terang selama pelayanan Yesus.

Begitu juga dengan perempuan Samaria di Yohanes 4. Awalnya perempuan Samaria itu tidak percaya, tetapi perjumpaannya dengan Yesus secara perlahan mengubahnya menjadi percaya kepada-Nya, karena itu dia diselamatkan. Hal yang berbeda dengan orang buta yang disembuhkan seperti dikisahkan dalam Yohanes 9. Secara fisik, orang buta tersebut mengalami perubahan yang begitu cepat, dari kegelapan (karena buta) menjadi terang (karena sudah disembuhkan). Tetapi orang buta ini jauh lebih lambat mengidentifikasi Yesus yang telah menyembuhkannya. Kontras yang intens antara percaya dan tidak percaya, kegelapan dan terang, dan kejahatan dan kebenaran dapat terlihat dalam teks khotbah hari ini.

Akhirnya, ayat 18-21 mengikuti kontras sebelumnya. Cara Tuhan mengasihi dunia adalah dengan mengirim Putra-Nya yang tunggal ke dunia untuk menyelamatkan dunia yang dikasihi-Nya itu. Yesus adalah ekspresi cinta-kasih dan kerinduan Tuhan. Cahaya datang untuk menemukan kita, untuk menerangi jalan kita, karena Tuhan mengasihi kita. Allah menjangkau kita melalui Putra-Nya dengan tujuan untuk berbagi kehidupan kekal dengan kita.

Yohanes juga memberi tahu kita bahwa ada konsekuensi nyata dalam kehidupan kita sehari-hari dalam hubungan kekal kita dengan Tuhan. Dia mengajak kita untuk melihat dengan jelas kehidupan kita, menghargai anugerah Tuhan sebagai anugerah cinta-kasih. Cinta-kasih itulah yang (mestinya) menolong kita untuk berani menjalani kehidupan kita, walaupun kita sadar bahwa bahaya virus Corona belum berakhir. Cinta-kasih itulah yang (mestinya) menguatkan kita untuk melangkah dengan pasti dalam era adaptasi baru (new normal), sekalipun kita juga sadar bahwa tantangan dan ancaman masih menghadang kita. Cinta-kasih itulah yang terus mengingatkan kita bahwa “Tuhan beserta dengan kita”.

Yesus datang ke dunia sebagai bukti bahwa pada prinsipnya Allah memiliki kerinduan atau keinginan untuk menyelamatkan dunia, bukan untuk menghakiminya (ay. 17). Tetapi, tentu saja dunia diberi kebebasan untuk memilih: menyambut Yesus atau tidak sama sekali; menyambut keselamatan atau tidak sama sekali; menyambut cinta-kasih Tuhan atau tidak sama sekali; melihat atau memandang pada Yesus yang ditinggikan untuk tetap hidup atau tidak sama sekali.


--- selamat berefleksi ---



Thursday, December 24, 2020

Jangan Takut ... Allah Datang Menyertaimu (Yesaya 9:1-6)

Rancangan Khotbah Natal Umum (Malam Kudus), 25 Desember 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar. 2Engkau telah menimbulkan banyak sorak-sorak, dan sukacita yang besar; mereka telah bersukacita di hadapan-Mu, seperti sukacita di waktu panen, seperti orang bersorak-sorak di waktu membagi-bagi jarahan. 3Sebab kuk yang menekannya dan gandar yang di atas bahunya serta tongkat si penindas telah Kaupatahkan seperti pada hari kekalahan Midian. 4Sebab setiap sepatu tentara yang berderap-derap dan setiap jubah yang berlumuran darah akan menjadi umpan api. 5Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai. 6Besar kekuasaannya, dan damai sejahtera tidak akan berkesudahan di atas takhta Daud dan di dalam kerajaannya, karena ia mendasarkan dan mengokohkannya dengan keadilan dan kebenaran dari sekarang sampai selama-lamanya. Kecemburuan TUHAN semesta alam akan melakukan hal ini.

Mari kita memahami Yesaya pasal 9 dalam konteks pasal 7 sampai pasal 12. Sejak tahun 745 SZB (SM) hingga beberapa tahun ke depannya, raja Asyur Tiglat-Pileser mengancam kedaulatan bangsa-bangsa di daerah Palestina, karena ia ingin memperkuat kerajaannya. Rezin raja Aram, dan Pekah raja Israel (utara), mengadakan suatu persekutuan yang pada awalnya ditujukan untuk menangkal ancaman Tiglat-Pileser itu. Mereka mengajak Ahas raja Yehuda (Israel Selatan) untuk masuk ke dalam persekutuan itu, tetapi Ahas menolaknya. Akibatnya, kedua kerajaan ini (Aram dan Isrut) berbalik mengancam Yehuda, menyerangnya dan mempersiapkan seorang raja boneka, yaitu anak Tebeel (7:6).

Banyak kota Yehuda hancur dan ratusan ribu orang tewas (2 Taw. 28:5-8), tetapi Yerusalem belum dapat dikuasai. Ancaman dan serangan dari persekutuan raja Aram dan raja Israel Utara ini membuat Ahas dan penduduk Yerusalem gemetar (7:2). Raja Ahas bukannya memohon pertolongan dari Tuhan, dia justru meminta pertolongan kepada raja Asyur tadi (2 Taw. 28:16), dan malah memberikan banyak upeti kepada raja Asyur tersebut (2 Taw. 28:21). Apakah permasalahan Ahas dan Yehuda selesai? Tidak! Karena ternyata raja Asyur yang telah dibayarnya itu datang bukan untuk menolong dia, melainkan menyesakkannya (2 Taw. 28:20). Ternyata “bayaran” tidak menjamin datangnya pembebasan, kedamaian, dan keberhasilan, malah sering menjadi “bumerang” bagi pemberi dan penerimanya.

Dalam situasi genting seperti inilah Yesaya tampil sebagai nabi Tuhan untuk mengajak raja Ahas dan segenap rakyatnya agar merendahkan diri di hadapan Tuhan, dan Yesaya juga sekaligus menyampaikan berita pengharapan keselamatan. Yesaya meyakinkan raja Ahas bahwa rencana raja Aram dan raja Israel Utara itu tidak akan berhasil, termasuk ancaman besar dari Asyur, sebab Allah telah berjanji kepada raja Daud bahwa tahta kerajaannya hanya akan diduduki oleh keturunannya saja (2 Sam. 7:12-16). Raja Ahas sudah terlanjur takut pada waktu itu, dan hal itu membuat dia tidak percaya akan perkataan Yesaya, sehingga Allah, melalui Yesaya, memberikan dia tanda. Tanda itu diungkapkan oleh Yesaya (baca Yes. 7:14-17).

Seperti kebanyakan nubuatan PL, nubuatan ini terpenuhi dalam waktu yang dekat dan di kemudian hari. Dalam waktu dekat, tanda itu terjadi, dan itulah yang diungkapkan di pasal 9:1-7. Munculnya raja Hizkia, anak Ahas, membawa harapan baru. Pada zaman Hizkia ini keadaan Yehuda jauh lebih baik, karena dia melakukan pembaharuan dalam banyak bidang kehidupan, dan memilih untuk lebih takut akan Tuhan (lih. 2 Taw. 29 dst). Ucapan Allah tentang penghancuran musuh-musuh umat Allah juga dibuktikan-Nya dengan kekalahan Aram dan Israel Utara yang tadinya menjadi ancaman serius bagi bangsa Yehuda. Kerajaan Asyur yang pada zaman Hizkia berada di bawah kekuasaan raja Sanherib masih mengancam Yehuda dan Yerusalem, dibuat jatuh oleh kekuasaan Tuhan, dan malah raja Sanherib itu dibunuh oleh anak kandungnya sendiri (lih. 2 Taw. 32:20-23). Itulah maksudnya “Imanuel”, Tuhan menyertai umat-Nya. Dan, itulah maksud dari perkataan Yesaya 9:1-6 [2-7], dengan penekanan utama pada datangnya sukacita, dan kelahiran raja dari keturunan Daud yang memerintah umat Tuhan.

Namun, Yesaya tidak berhenti sampai di situ. Dia memperkirakan bahwa anak itu akan lahir pada masa yang akan datang, yang akan memerintah dalam tahta Daud selamanya (Matius 1:18-25, menegaskan bahwa penggenapan nubuatan ini terjadi melalui Maria dan Yusuf dengan kelahiran Yesus).

Tuhan tahu bahwa dalam situasi yang sangat tidak kondusif itu, situasi genting, penuh ancaman dan ketidakpastian, dibutuhkan suatu penguatan, penghiburan, dan pengharapan yang baru. Itulah sebabnya melalui Yesaya, Tuhan memastikan kelahiran seorang anak dengan lima gelar, yaitu: Sang Ajaib – Sahölihöli dödö (Ibr. Pele), Sang Penasihat – Samolala tödö (Ibr. Yoets), Allah yang perkasa – Lowalangi Sabölö (Ibr. El gibbor), Bapa yang Kekal – Ama zi lö aetu (Ibr. Abi-ad), dan Raja Damai – Salawa wa’atulö (Ibr. Sar-syalom).

Secara singkat gelar-gelar tersebut dapat dipahami sebagai berikut:
(1) Gelar pertama: Sang Ajaib – Sahölihöli dödö
Istilah ini biasanya dipakai dalam konteks perbuatan TUHAN, khususnya dalam hal keselamatan, atau hal-hal yang dalam pemikiran dan perkiraan manusia mustahil terjadi. Di pasal 7:14 Yesaya menubuatkan kelahiran anak dari “seorang perawan”. Kelahiran anak dari “seorang perawan” merupakan hal yang mustahil dalam pemikiran dan perkiraan manusia. Selain kelahirannya yang “ajaib”, gelar ini juga mengarah pada ke-ajaib-an lain yang sangat penting, yaitu pengampunan dosa dan keselamatan yang datang bersamanya.

(2) Gelar kedua: Sang Penasihat – Samolala tödö
Di tengah-tengah situasi yang genting tadi di Yehuda, di saat-saat hampir tidak ada jalan keluar karena pengepungan atau ancaman dari segala arah, ketika tidak ada seorang pun yang dapat memberikan petunjuk dan arah langkah yang mendatangkan keselamatan, dirindukan dan atau dibutuhkanlah “Sang Penasihat”. Itulah anak yang lahir itu. Sang Penasihat ini akan mampu memberi jawaban atau tanggapan yang tepat terhadap setiap pertanyaan dan persoalan yang tengah dihadapi oleh umat Tuhan. Menarik sekali syair sebuah nyanyian berjudul “Hanya Yesus Jawaban Hidupku”, atau “Kutahu Tuhan pasti buka jalan”.

(3) Gelar ketiga: Allah yang perkasa – Lowalangi Sabölö
Ternyata anak yang dilahirkan dari seorang perawan ini (Sang Ajaib) merupakan Allah yang perkasa. Dia akan mengalahkan semua musuh umat Tuhan, seperti diungkapkan dalam Yesaya 11:4d “... dengan nafas mulutnya ia akan membunuh orang fasik”. Hanya dengan perkataan sang anak itu saja, musuh dapat dikalahkan, ancaman dapat dienyahkan. Karena keperkasaannya itulah dia dapat melindungi dan menyertai umat Tuhan. Jadi, dia pantas disebut sebagai Imanuel, Tuhan yang selalu menyertai umat-Nya.

(4) Gelar keempat: Bapa yang kekal – Ama zi lö aetu
Tentu ke-kekal-an hanya dapat dialamatkan kepada Tuhan Allah saja. Dengan demikian, gelar ini mengarah kepada Tuhan saja, yang dalam kekristenan dihubungkan dengan Mesias yang tergenapi di dalam Kristus Yesus. Dalam perspektif eskatologi, gelar ini menekankan bahwa sesungguhnya “anak” itu telah ada dari kekal hingga kekal. Dengan demikian, keselamatan yang datang bersama dengan dia, tidak akan pernah berakhir dari selama-lamanya hingga selama-lamanya. Dalam Yohanes 14:6 ditegaskan bahwa Yesus adalah kehidupan.

(5) Gelar kelima: Raja Damai – Salawa wa’atulö
Kita tentunya sudah dapat membayangkan bagaimana situasi kehidupan di Yehuda ketika mereka sedang dikepung dari segala arah oleh raja Aram, raja Israel Utara, dan raja Asyur sendiri. Mereka tidak dapat berbuat banyak, tidak menikmati kebebasan di dalam maupun di luar negeri mereka, pasokan kebutuhan sehari-hari sulit didapatkan, sementara itu ancaman raja-raja besar dari luar tersebut setiap saat dapat masuk dan menghancurkan kehidupan mereka. Siapa yang dapat diandalkan? Raja mereka sendiri Ahas memilih untuk “menyerah” dengan segala konsekuensinya. Dalam situasi yang seperti itulah dibutuhkan seorang raja yang dapat mendatangkan damai bagi umat Tuhan. Dan, ke-ajaib-an itu datang dengan kelahiran seorang anak dari keturunan Daud, raja Hizkia dalam arti tertentu, tetapi dalam kekristenan dipahami bahwa anak yang lahir itu adalah Yesus, Sang Mesias, Raja Damai yang sesungguhnya, Pendamai bagi semua makhluk (bnd. Yes. 11).

Anak dengan kelima gelar seperti inilah yang lahir itu, yang memerintah umat Tuhan. Disebutkan di awal ayat ini “lambang pemerintahan ada di atas bahunya”. Konteksnya jelas memperlihatkan pewarisan kerajaan Daud sebagaimana telah dijanjikan kepada raja Daud dulunya (lih. 2 Sam. 7:12-16). Raja dari keturunan Daud inilah yang dapat mendatangkan damai bagi semua.

Tadinya, bangsa Israel berada dalam kesengsaraan yang luar biasa karena situasi sosial-politik dan ekonomi yang mencekam, tetapi kini mereka dapat merasakan kehidupan yang “nikmat”, kehidupan yang jauh lebih baik, kehidupan yang mendatangkan sukacita yang besar, karena kegelapan digantikan dengan terang, kaum penindas dikalahkan, ketidakadilan digantikan dengan keadilan, ketidakbenaran digantikan dengan kebenaran, dan kehidupan mereka dipulihkan seutuhnya oleh Tuhan. Ini semua menggambarkan kedamaian yang akan dinikmati oleh umat Tuhan ketika Sang Anak itu datang, Raja Damai.

Tema Natal tahun ini adalah: “Mereka akan menamakan-Nya Imanuel” (Mat. 1:23). Dalam bahasa Nias: “Ba labe’e töi Nono andrö Emanu’eli, eluahania awöda Lowalangi” (Mat. 1:23). Tema ini dimunculkan berangkat dari situasi dunia yang amat memprihatinkan karena pandemi Covid-19. Walaupun ukurannya amat kecil, virus Corona telah merusak berbagai sendi kehidupan manusia. Banyak keluarga berduka karena kehilangan sanak saudara. Banyak pula yang kehilangan pekerjaan karena usaha yang bangkrut. Anak-anak harus belajar di rumah sehingga kehilangan kesempatan untuk bergaul dengan teman-temannya. Berbagai persoalan muncul, bencana demi bencana datang silih berganti, kehidupan semakin sulit diperbaiki, dan tidak ada seorang pun yang dapat menjamin bahwa dia atau keluarganya dapat terbebas dari berbagai masalah tersebut. Hidup kita ini amat rapuh, seringkali tidak berdaya menghadapi kesulitan, tantangan, dan ancaman. Tuhan tahu situasi kita, Tuhan tahu kerapuhan kita, dan Tuhan tahu ketidakberdayaan kita tersebut, dan cara terbaik untuk menolong kita adalah dengan datang sendiri ke dunia melalui kelahiran Yesus Kristus.

Kelahiran dan kedatangan Yesus ke dunia bukan sekadar menebus dosa-dosa kita sebagaimana pemahaman umum selama ini. Sebab, kalau hanya untuk menebus dosa dunia, seperti pemahaman kita selama ini, maka Allah tidak harus datang ke dunia; dari surga pun Dia bisa memproklamasikan pengampunan dosa tersebut. Tetapi Allah tahu situasi kita yang serba sulit dan serba salah, Allah tahu bahwa kita membutuhkan penyertaan-Nya. Oleh sebab itu, Dia hadir di dunia untuk menyatakan secara langsung bahwa “Allah menyertai kita”. Raja Daud, yang adalah leluhur Yesus, pernah berada dalam masa-masa sulit dan pernah mengalami penyertaan Tuhan. Daud mengekspresikan pengalaman imannya itu dalam lantunan mazmur: “Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku” (Mzm. 23:4a).

Kadang-kadang muncul pertanyaan klasik: “Kalau Allah memang menyertai kita, mengapa Dia membiarkan berbagai masalah bahkan kejahatan terus muncul?” Saya pun kadang mengajukan pertanyaan tersebut. Tetapi begini, Allah berjanji, dan telah menggenapinya, dan akan terus menyatakannya, bahwa Dia senantiasa beserta dengan kita. Dalam Matius 28:20b, penulis Injil Matius menegaskan penyertaan Tuhan tersebut: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Untuk maksud itulah Tuhan Yesus lahir, sebagaimana diungkapkan dalam tema Natal tahun ini, yang dikutip dari kitab Injil Matius: “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" --yang berarti: Allah menyertai kita” (Mat. 1:23).

Ingat, Tuhan berjanji bahwa Dia menyertai kita; Tuhan tidak berjanji bahwa dengan kuasa-Nya Dia akan menghilangkan begitu saja berbagai persoalan dan kejahatan di hadapan kita. Allah menyertai kita berarti Dia memberi kita kemampuan untuk menghadapi berbagai persoalan dalam hidup ini, Dia memberi kita hikmat untuk menghadapi berbagai kejahatan dengan cermat. Kita boleh saja berdoa supaya Tuhan menjauhkan berbagai masalah yang datang silih berganti, seperti yang Yesus ajarkan kepada kita: “jangan bawa kami ke dalam pencobaan”. Tetapi, yang paling penting adalah memohon kekuatan, keberanian, dan hikmat dari Tuhan agar kita mampu melewati masa-masa sulit dalam hidup ini. Kita harus percaya bahwa Tuhan pasti menyertai kita melintasi lautan kehidupan yang bergelombang ganas ini. Kita yakin akan penyertaan-Nya, sebab Dia adalah Sang Ajaib – Sahölihöli dödö, Sang Penasihat – Samolala tödö, Allah yang perkasa – Lowalangi Sabölö, Bapa yang Kekal – Ama zi lö aetu, dan Raja Damai – Salawa wa’atulö. Oleh sebab itu, kita tidak boleh kehilangan pengharapan, sebaliknya kita harus optimis bahwa penyertaan Tuhan itu abadi dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya.

Tema Natal tahun ini, sekali lagi, menegaskan penyertaan Allah bagi kita yang sedang gundah gulana menghadapi berbagai masalah kehidupan saat ini. Persoalan serius yang sedang dihadapi oleh dunia dalam waktu hampir satu tahun ini belum berakhir. Bahkan, dalam minggu-minggu terakhir, kita mendengar informasi adanya mutasi baru virus Corona di Inggris, yang menyebar dengan sangat cepat, dan kini sudah sampai di Singapura. Dunia kita ibarat “sudah jatuh ketimpa tangga”. Dunia kita sedang merintih kesakitan, sementara kejahatan dalam berbagai bentuk terjadi di mana-mana. Siapa yang tidak takut menghadapi situasi seperti itu? Siapa yang tidak takut ketika dunia saat ini sedang dilanda ‘kegelapan’ karena berbagai bencana dan kejahatan yang tiada henti? Ya, memang tidak ada jalan pintas untuk mengatasi persoalan dunia ini, kita dipaksa menempuh perjalanan atau proses yang begitu panjang dan berliku. Tetapi, kita percaya bahwa Terang Tuhan jauh lebih menjanjikan daripada kegelapan dunia. Penulis Injil Matius mengatakan bahwa: “bangsa yang diam dalam kegelapan, telah melihat Terang yang besar dan bagi mereka yang diam di negeri yang dinaungi maut, telah terbit Terang” (Mat. 4:16).

--- Selamat Merayakan Natal ---

Yang Terakhir Yang Terbaik (Ibrani 1:1-4)

Rancangan Khotbah Natal I, 25 Desember 2020
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


1Setelah pada zaman dahulu Allah berulang kali dan dalam pelbagai cara berbicara kepada nenek moyang kita dengan perantaraan nabi-nabi, 2maka pada zaman akhir ini Ia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan Anak-Nya, yang telah Ia tetapkan sebagai yang berhak menerima segala yang ada. Oleh Dia Allah telah menjadikan alam semesta. 3Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah dan menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan. Dan setelah Ia selesai mengadakan penyucian dosa, Ia duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar, di tempat yang tinggi, 4jauh lebih tinggi dari pada malaikat-malaikat, sama seperti nama yang dikaruniakan kepada-Nya jauh lebih indah dari pada nama mereka.

Penulis surat Ibrani ini memulai suratnya dengan berfokus pada ‘perubahan’ metode komunikasi Allah kepada umat-Nya supaya mereka mengenal dan memuliakan Dia dengan lebih baik. Penulis membandingkan cara Allah menyatakan diri-Nya pada zaman dulu kepada umat-Nya, secara khusus pada zaman PL, dan bagaimana Allah yang sama menyatakan diri-Nya sejak zaman PB. Allah memang tidak berubah, visi-Nya tidak berubah, tetapi cara-Nya untuk berkomunikasi dengan umat-Nya berubah secara radikal. Pada zaman PL, Allah berkomunikasi dengan umat-Nya dalam pelbagi cara, antara lain: melalui mimpi kepada orang-orang tertentu seperti Yakub, melalui peristiwa ajaib seperti semak duri berapi ketika Musa berbicara dengan Allah, melalu para nabi yang menyampaikan pesan-pesan Allah kepada para hamba dan umat-Nya, dlsbg. Mestinya, bangsa Israel sudah cukup mengenal Allah dengan baik, mengenal hukum-hukum-Nya, dan memuliakan Allah dengan sepenuh hati. Sayang sekali, bangsa Israel, baik rakyatnya maupun para pemimpinnya, justru seringkali berpaling dari pada Allah, mereka dengan mudah disesatkan untuk menyembah allah lain di sekitar mereka, dan mereka hidup seperti bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah.

Sekarang, tepatnya sejak zaman PB, Allah mengubah metode berkomunikasi dengan umat-Nya, Dia tidak lagi menggunakan perantara seperti mimpi, peristiwa ajaib, dan para nabi, tetapi Dia sendiri yang datang ke dunia, menyatakan diri-Nya kepada mereka, dengan maksud supaya bangsa Israel, dan bahkan bangsa-bangsa di dunia semakin mengenal Allah dengan baik, dan “supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Inilah cara terakhir, atau puncak dari berbagai cara yang dilakukan oleh Allah untuk menyatakan diri dan keselamatan kepada umat manusia, cara yang terbaik, melalui kelahiran dan kedatangan Yesus ke dunia. Itulah yang kita rayakan pada hari ini, kelahiran Yesus Kristus, penyataan diri Allah secara langsung kepada kita, kedatangan keselamatan bagi umat manusia. Ini merupakan suatu kepastian bahwa kini Allah telah menyatakan diri-Nya secara langsung, tidak lagi melalui perantara, tanda bahwa Tuhan menyertai umat-Nya sekalipun iman mereka sering goyah karena berbagai godaan dan tantangan hidup.

Dalam Injil Yohanes 1:9 disebutkan bahwa “Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia”. Terang itulah yang dimaksudkan di ayat 3 pada nas khotbah hari ini, Yesus adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah yang sesungguhnya. Tidak perlu lagi ada keraguan di sini, sebab melalui kelahiran Yesus, Allah datang secara nyata ke dunia, Allah yang dulu tidak kelihatan, sekarang terlihat melalui Yesus Kristus. Allah yang dulu hanya bisa ‘dijangkau’ dalam mimpi, penglihatan, dan dengan perantaraan para nabi, kini telah datang sendiri menjumpai umat manusia. Allah yang dulu begitu jauh, kini begitu dekat dengan manusia, Dia adalah Imanuel, Allah yang senantiasa beserta dengan kita.

Allah sungguh-sungguh menyertai kita melalui kedatangan Yesus Kristus, Dia tidak membiarkan kita tenggelam dalam dosa-dosa kita. Tuhan Yesus memiliki kuasa untuk menyucikan kita, kuasa-Nya jauh melebihi kuasa si-apa pun, bahkan melebihi para malaikat. Ini tidak berarti bahwa kita tampil dengan polesan-polesan yang palsu seolah-olah tidak memiliki persoalan hidup. Tetapi, Firman Tuhan pada hari ini hendak meneguhkan iman kita bahwa, dalam situasi apa pun, Allah tetap beserta dengan kita. Tidak ada kuasa apa pun yang dapat menghalangi dan menghentikan kekuasaan Allah, Dia berdaulat atas segala sesuatu. Hal ini mestinya menjadi pegangan bagi kita untuk semakin berani dan kuat menghadapi kehidupan yang amat dinamis ini. Rasul Paulus mengatakan: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:35, 38-39).

Jadi, tindakan Allah yang mengubah metode komunikasi-Nya dengan manusia merupakan tindakan yang penuh dengan kebijaksanaan. Dia menyatakan diri secara langsung melalui kedatangan Yesus Kristus, hendak menegaskan penyertaan-Nya kepada kita. Allah tahu bahwa manusia seringkali goyah menghadapi gelombang kehidupan, seringkali terhanyut bahkan tenggelam dalam gelombang dunia yang semakin berbahaya ini. Oleh sebab itu, Dia datang sendiri untuk menolong kita melewati gelombang kehidupan tersebut.

Kadang-kadang muncul pertanyaan klasik: “Kalau Allah memang menyertai kita, mengapa Dia membiarkan berbagai masalah bahkan kejahatan terus muncul?” Saya pun kadang mengajukan pertanyaan tersebut. Tetapi begini, Allah berjanji, dan telah menggenapinya, dan akan terus menyatakannya, bahwa Dia senantiasa beserta dengan kita. Dalam Matius 28:20b, penulis Injil Matius menegaskan penyertaan Tuhan tersebut: “Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman”. Ingat, Tuhan berjanji bahwa Dia menyertai kita; Tuhan tidak berjanji bahwa dengan kuasa-Nya Dia akan menghilangkan begitu saja berbagai persoalan dan kejahatan di hadapan kita. Allah menyertai kita berarti Dia memberi kita kemampuan untuk menghadapi berbagai persoalan dalam hidup ini, Dia memberi kita hikmat untuk menghadapi berbagai kejahatan dengan cermat. Kita boleh saja berdoa supaya Tuhan menjauhkan berbagai masalah yang datang silih berganti, seperti yang Yesus ajarkan kepada kita: “jangan bawa kami ke dalam pencobaan”. Tetapi, yang paling penting adalah memohon kekuatan, keberanian, dan hikmat dari Tuhan agar kita mampu melewati masa-masa sulit dalam hidup ini. Kita tidak boleh kehilangan pengharapan, sebaliknya kita harus optimis bahwa penyertaan Tuhan itu abadi dan tidak ada seorang pun yang dapat menghalanginya.

Tema ibadah Natal I hari ini adalah Allah berfirman dengan perantaraan Anak-Nya. Tema ini, sekali lagi, hendak menegaskan penyertaan Allah bagi kita yang sedang gundah gulana menghadapi berbagai masalah kehidupan saat ini. Benar bahwa tidak ada seorang pun yang pernah melihat secara langsung Allah, tetapi kedatangan Yesus ke dunia merupakan cara terbaik yang dilakukan oleh Allah untuk menyatakan diri-Nya kepada kita. Dalam Yohanes 1:18 dikatakan bahwa “Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya”.

--- Selamat Natal 25 Desember 2020 ---


Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...