Sunday, June 25, 2017

Dari Kematian Menuju Kehidupan (Roma 6:1-11)



Rancangan Khotbah Minggu, 25 Juni 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

6:1    Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?
6:2    Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?
6:3    Atau tidak tahukah kamu, bahwa kita semua yang telah dibaptis dalam Kristus, telah dibaptis dalam kematian-Nya?
6:4  Dengan demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru.
6:5    Sebab jika kita telah menjadi satu dengan apa yang sama dengan kematian-Nya, kita juga akan menjadi satu dengan apa yang sama dengan kebangkitan-Nya.
6:6    Karena kita tahu, bahwa manusia lama kita telah turut disalibkan, supaya tubuh dosa kita hilang kuasanya, agar jangan kita menghambakan diri lagi kepada dosa.
6:7    Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa.
6:8    Jadi jika kita telah mati dengan Kristus, kita percaya, bahwa kita akan hidup juga dengan Dia.
6:9    Karena kita tahu, bahwa Kristus, sesudah Ia bangkit dari antara orang mati, tidak mati lagi: maut tidak berkuasa lagi atas Dia.
6:10   Sebab kematian-Nya adalah kematian terhadap dosa, satu kali dan untuk selama-lamanya, dan kehidupan-Nya adalah kehidupan bagi Allah.
6:11   Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus.

Na dalida goroisa ba oi si mate ita
Lö tesöndra zamösa zi lö mo’olalöwa
Yesu no möi salahi, Itehe ni’elifi
Teks di atas adalah syair nyanyian dalam Buku Zinunö BNKP No. 209:3 “Yesu Gumbu Wa’auri”. Dari syair nyanyian tersebut jelas bahwa tidak ada seorang pun dari kita yang selamat kalau hanya berpedoman pada tuntutan hukum taurat, sebab kita semua telah berbuat dosa (lih. Rom. 3:10-12). Artinya, kita semua patut mati karena dosa-dosa kita, sebab upah dari dosa kita adalah maut (Rom. 6:23). Namun, syukur kepada Allah, karena kasih karunia Tuhan jauh lebih besar dari dosa kita. Sesungguhnya, dosa memisahkan kita dengan Tuhan, tetapi kasih karunia-Nya telah memulihkan hubungan kita dengan-Nya.

Apa buktinya bahwa kita telah mendapat kasih karunia tersebut?  Sederhana saja, seandainya kita belum mendapatkan kasih karunia tersebut, maka sesungguhnya kita semua sudah mati karena dosa-dosa kita. Namun, faktanya adalah bahwa kita masih hidup sampai saat ini, dan malah masih dapat beraktivitas dan bersekut di rumah Tuhan. Itulah bukti dasar bahwa kita telah mendapatkan kasih karunia Tuhan. Dia telah mengubah “kematian” yang seharusnya kita terima menjadi “kehidupan” yang tidak bisa direbut oleh si-apa pun. Inilah yang kita sebut sebagai pengampunan dosa, pembebasan dari kuasa maut.

Namun, kita harus ingat bahwa “pengampunan dan pembebasan” dari dosa dengan upah “mautnya” itu telah mengalami proses yang amat panjang dan amat sulit, tidak diturunkan begitu saja dari surga. Ada harga yang harus dibayar untuk pembebasan tersebut! Itulah penderitaan, penyaliban dan kematian yang dialami oleh Yesus Kristus, dan kemudian diikuti dengan kebangkitan-Nya dari antara orang mati. Semuanya ini – kematian dan kebangkitan Kristus – telah menjadi bukti pembebasan dari kematian yang seharusnya kita tanggung karena dosa, menuju kehidupan yang merupakan anugerah Allah bagi manusia.

Itulah yang diuraikan oleh Paulus dalam teks khotbah hari ini, arti penting dari kematian dan kebangkitan Kristus. Melalui kematian Yesus Kristus, kita juga dikuburkan bersama-sama dengan Dia, dan melalui kebangkitan-Nya dari antara orang mati, kita pun memperoleh kehidupan dalam hidup yang baru (ay. 4). Artinya, kita dipersatukan dengan Kristus melalui peristiwa salib – kematian dan kebangkitan Kristus – sehingga kita juga dapat dibebaskan dari kuasa dosa dan maut.

Ada yang menarik di sini, Paulus mengaitkan peristiwa salib ini dengan baptisan orang-orang percaya. Bagi Paulus, baptisan orang-orang percaya berarti mati dan bangkit bersama Kristus, dan peristiwa itu terjadi hanya satu kali (lih. ay. 9). Ini menunjukkan bahwa baptisan orang-orang percaya merupakan meterai bagi pengampunan dosa, tanda dimulainya kehidupan yang baru di dalam Kristus. Melalui baptisan yang kita terima, kita dipersatukan dengan Kristus, dan jika kita bersatu dengan Kristus, artinya kita pun telah mati bagi dosa bersama dengan Kristus, dan telah dibangkitkan dalam kehidupan bersama dengan Dia. Ini adalah anugerah terbesar, mati dan bangkit bersama Kristus; kematian yang seharusnya kita terima karena dosa, diubahkan oleh Kristus menjadi kehidupan yang dianugerahkan bagi seluruh umat manusia.

Sesungguhnya, orang-orang percaya, orang-orang yang telah dibaptis, telah mati dan bangkit bersama Kristus, dan kita patut bersyukur sebab Tuhan telah mengangkat kita dari kematian dan membawa kita kepada kehidupan. Lalu, setelah kita mendapatkan kehidupan itu, apakah kita masih mau kembali kepada kematian? Atau adakah di antara kita pada hari ini yang menginginkan kematian itu? Adakah di antara kita yang merindukan maut? Kalau ada, silakan terus berbuat dosa, dan yakinlah kematian/maut menanti Anda.

Dalam faktanya, selalu saja ada orang yang menyalahartikan dan menyalahgunakan kasih karunia itu, menjadikannya kesempatan untuk tetap berbuat dosa. Itulah sebabnya di ayat 1 Paulus mengajukan pertanyaan menarik: “Lalu, apakah kita boleh bertekun dalam dosa supaya semakin bertambah kasih karunia itu?” Paulus sendiri menjawabnya: “Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih dapat hidup di dalamnya?” (ay. 2). Artinya, kita yang telah dibaptis, telah mati dan bangkit bersama Kristus, tidak mungkin lagi kembali berbuat dosa. Dalam suratnya kepada Jemaat Galatia, Paulus pun menyinggung hal ini: “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih” (Gal. 5:13).

Perkataan Paulus ini amat penting, sebab banyak orang yang memiliki kecenderungan menyalahgunakan kasih karunia yang telah diterimanya. Banyak orang yang ketika diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, termasuk memperbaiki kinerjanya, tidak memanfaatkannya dengan baik, justru menganggap kesempatan itu sebagai tanda bahwa dirinya “hebat” (pade). Banyak juga orang yang ketika dinasihati baik-baik justru menganggap diri hebat (pade), dan akhirnya tidak mau berubah, tidak mau memperbaiki diri, tidak mau bertobat. Hulö mao, itugu la’omösi itugu iböda gi’onia.

Itulah sebagian contoh orang yang sebenarnya telah mendapatkan kasih karunia, telah diberi kesempatan untuk memperbaiki diri, tetapi tidak memanfaatkannya dengan baik, justru menganggap diri hebat, dan terus menerus jatuh ke dalam dosa, terus menerus melakukan perbuatan yang tidak benar, sampai pada akhirnya dia tidak bisa bangkit kembali. Kehidupan yang sempat diberikan kepadanya, terbuang begitu saja, menjadi sia-sia, sebab ybs sulit meninggalkan kebiasaan buruknya hidup di dalam dosa. Apakah itu yang kita inginkan? Tentu tidak bukan? Kita menginginkan kehidupan di dalam Kristus Yesus.

“Demikianlah hendaknya kamu memandangnya: bahwa kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus” (Rom. 6:11).



[1] Khotbah Minggu, 25-06-2017, di BNKP Jemaat Denninger

Saturday, June 17, 2017

Sungguh-sungguh Mendengarkan Firman TUHAN dan Berpegang pada Perjanjian-Nya (Keluaran 19:2-8a)



Rancangan Khotbah Minggu, 18 Juni 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

19:2    Setelah mereka berangkat dari Rafidim, tibalah mereka di padang gurun Sinai, lalu mereka berkemah di padang gurun; orang Israel berkemah di sana di depan gunung itu.
19:3    Lalu naiklah Musa menghadap Allah, dan TUHAN berseru dari gunung itu kepadanya: "Beginilah kaukatakan kepada keturunan Yakub dan kauberitakan kepada orang Israel:
19:4    Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku.
19:5    Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, sebab Akulah yang empunya seluruh bumi.
19:6    Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus. Inilah semuanya firman yang harus kaukatakan kepada orang Israel."
19:7    Lalu datanglah Musa dan memanggil para tua-tua bangsa itu dan membawa ke depan mereka segala firman yang diperintahkan TUHAN kepadanya.
19:8    Seluruh bangsa itu menjawab bersama-sama: "Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan."

Setelah cukup lama (3 bulan, 19:1) berjalan keluar dari tanah Mesir, mereka pun tiba di gunung Sinai. Perjalanan mereka yang cukup panjang itu amat melelahkan, apalagi harus mencapai gunung Sinai yang secara geografis lumayan sulit. Di depan gunung itulah mereka berhenti dan berkemah, sebab tidak lama lagi TUHAN akan menyatakan hukum-hukum-Nya kepada mereka (lih. Kel. 20).

Keberhasilan mereka menempuh perjalanan 3 bulan di padang gurun yang amat sulit itu, hingga tiba di gunung Sinai memang amatlah menakjubkan. Hal itulah yang hendak disampaikan oleh TUHAN melalui Musa kepada mereka, bahwa semuanya itu adalah pertolongan dan penyertaan TUHAN saja, bukan kekuatan mereka.

Pertanyaannya ialah bagaimana Allah menolong dan menyertai mereka hingga di gunung Sinai tersebut? Menurut teks khotbah hari ini, paling tidak ada dua (2) tindakan Allah yang luar biasa sehingga orang Israel mampu menempuh perjalanan amat lama dan panjang itu hingga di gunung Sinai, yaitu dengan “menghancurkan” kekuatan Mesir yang berkuasa pada waktu itu, dan dengan menguatkan orang Israel mencapai gunung Sinai (ay. 4). Kedua tindakan Allah inilah yang harus selalu diingat oleh bangsa Israel.

Pertama,
“Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada orang Mesir” (ay. 4a). Mesir adalah salah satu kekuatan besar pada zaman dulu, dan hampir tidak ada bangsa yang mampu melawannya, termasuk Israel yang pada waktu itu masih “ngos-ngosan” memperjuangkan kebebasan dan kehidupannya. Itulah sebabnya Mesir pada zaman kejayaannya itu merasa berada di atas angin, jumawa, dan menganggap diri sebagai yang terhebat tanpa tanding, sehingga mereka pun bertindak angkuh terhadap orang lain, dalam hal ini kepada bangsa Israel (bnd. Kel. 18:11). Namun, ternyata di hadapan TUHAN Allah, bangsa besar itu, Mesir, tidak bisa berbuat banyak, mereka takluk dan tunduk.

Apa yang sudah dilakukan oleh TUHAN kepada orang Mesir? Di antaranya: memaksa Firaun dan bangsa Mesir untuk membebaskan orang Israel dari perbudakan dengan berbagai tanda/tulah dan puncaknya adalah kematian seluruh anak sulung di Mesir; menghancurkan pasukan perang Mesir ketika mereka mengejar orang Israel dengan menenggelamkan mereka di laut dekat Pi-Hahirot di depan Baal-Zefon (lih. Kel. 14). Itulah yang dilakukan oleh TUHAN Allah kepada bangsa Mesir yang menindas orang lemah dengan congkaknya.

Pada satu sisi, perkataan ini hendak menegaskan penyertaan TUHAN bagi umat-Nya, bahwa tidak ada satu bangsa pun yang dapat menghancurkan mereka, Ia selalu melindungi umat-Nya yang lemah. Pada sisi lain, perkataan ini sekaligus peringatan kepada siapa pun, termasuk bangsa Israel sendiri, agar jangan sekali-sekali berlaku seperti bangsa Mesir dalam kecongkakan mereka dan dalam penindasan yang mereka lakukan kepada kaum yang lemah. Penegasan dan peringatan ini penting bagi bangsa Israel, terutama setelah di kemudian hari mereka menjadi bangsa besar di tanah perjanjian, agar mereka tetap mengingat bahwa keberadaan, keberhasilan, dan kejayaan yang mereka capai adalah berkat pertolongan TUHAN semata, dan tidak boleh menggunakan “kejayaan dan kekuasaan” itu untuk menindas orang lain.

Kedua,
“Aku telah mendukung kamu di atas sayap rajawali” (ay. 4b). Di sini pertolongan TUHAN atas orang Israel digambaran dengan metafora yang cukup menarik. Dia membawa (mendukung) mereka di atas sayap burung rajawali. Dalam Ulangan 32:11, digambarkan bahwa burung rajawali mengajar anak-anaknya terbang dengan “melemparkan” mereka ke udara seolah-olah dibiarkan jatuh tetapi sesungguhnya dia tetap mengawasi anak-anaknya itu dan dengan cepat menangkap dan menyelamatkan mereka ketika anak-anak tersebut berada dalam bahaya. Demikianlah gambaran TUHAN itu, selalu membimbing mereka dengan segala cara-Nya, namun tetap melindungi dan menyelamatkan mereka.

Selain itu, di dunia kuno, burung rajawali dianggap memiliki kemampuan supranatural untuk terbang dengan mudah dari bumi ke langit (bnd. Ams. 23:5; 30:19), dan mampu membuat sarangnya di tempat yang amat tinggi (Ay. 39:27-30). Jadi, burung rajawali ini memang menguasai langit (raja terbang). Di dunia kuno juga, sayap burung rajawali seringkali dijadikan sebagai simbol untuk menggambarkan dewa dan manusia, entitas dan kekuasaan. Di Mesir sendiri burung rajawali ini menyimbolkan pengawasan ilahi dan perlindungannya yang supranatural atas Mesir, sementara dalam budaya Timur Tengah kuno merupakan tanda kehebatan kekuasaan, yang biasanya diberikan kepada dewa-dewi dan penguasa langit. Sehingga, gambaran ini hendak menunjukkan bahwa TUHAN dengan segala kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki-Nya, telah memberikan kemampuan dan kekuatan ekstra bagi bangsa Israel sehingga mereka dapat menempuh perjalanan panjang, lama, dan amat melelahkan itu bahkan dapat tiba di gunung Sinai. TUHAN Allah telah menunjukkan perlindungan dan bimbingan-Nya yang ajaib kepada umat kesayangan-Nya, bangsa Israel.

Berdasarkan pengalaman empiris itu, maka bangsa Israel haruslah menunjukkan ketaatan penuh kepada TUHAN Allah, dan harus tunduk di bawah bimbingan-Nya saja. Hal ini dipertegas secara eksplisit di ayat 5-6, yaitu apabila mereka ingin tetap bertahan hidup, ingin tetap menjadi harta kesayangan Allah, ingin menjadi kerajaan imam dan bangsa yang kudus bagi Allah, maka yang harus dilakukan adalah “sungguh-sungguh mendengarkan firman TUHAN dan berpegang pada perjanjian TUHAN” (ay. 5). Firman TUHAN dan perjanjian-Nya ini nanti semakin jelas di pasal 20. Pada akhirnya, bangsa itu menyatakan komitmen mereka: “Segala yang difirmankan TUHAN akan kami lakukan” (ay. 8a).

Apa kunci keberhasilan dalam hidup? Banyak sekali, tetapi kunci utama adalah bersungguh-sungguh mendengarkan firman TUHAN dan berpegang pada perjanjian-Nya. Segala kekuatan dan kekuasaan duniawi (seperti yang pernah dimiliki Mesir) tidak menjamin keberhasilan dalam hidup; sebaliknya kelemahan dan ketidakberdayaan menurut ukuran dunia ini, tidak otomatis membuat hidup kita gagal. Sikap yang mau tunduk dan taat kepada TUHAN, dengan "sungguh-sungguh mendengarkan firman-Nya dan berpegang pada perjanjian-Nya", serta menjalani kehidupan dengan penuh kerendahan hati, tidak congkak dan tidak menindas sesama, akan sangat menolong kita untuk menempuh perjalanan kehidupan ini dengan penuh kekuatan dan keberhasilan setiap saat.




[1] Khotbah Minggu, 18/06/2017, di BNKP Jemaat Fadoro Resort 1

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...