Rancangan Khotbah Perayaan Pentakosa II, Senin, 05 Juni 2017
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]
51:12 Jadikanlah hatiku tahir, ya Allah, dan perbaharuilah batinku dengan roh yang teguh!
51:13 Janganlah membuang aku dari hadapan-Mu, dan janganlah mengambil roh-Mu yang kudus dari padaku!
51:14 Bangkitkanlah kembali padaku kegirangan karena selamat yang dari pada-Mu, dan lengkapilah aku dengan roh yang rela!
51:15 Maka aku akan mengajarkan jalan-Mu kepada orang-orang yang melakukan pelanggaran, supaya orang-orang berdosa berbalik kepada-Mu.
Siapakah manusia yang tidak pernah berbuat salah? Siapakah manusia yang tidak pernah berbuat dosa? Tidak ada! Itulah sebabnya Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat Kristen di Roma mengatakan: “Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. Semua orang telah menyeleweng, mereka semua tidak berguna, tidak ada yang berbuat baik, seorangpun tidak” (Rom. 3:10-12). Namun itu tidak berarti bahwa manusia boleh-boleh saja berbuat dosa, toh tidak ada seorang pun yang benar. Kita harus ingat bahwa selalu saja ada akibat yang harus kita tanggung akibat kesalahan dan dosa yang kita perbuat, dan bahkan Rasul Paulus juga mengatakan bahwa upah dosa ialah maut (Rom. 6:23). Jadi, siapakah orang yang merasa nyaman kalau sudah berbuat salah/dosa? Bagaimana perasaan kita kalau sudah berbuat salah misalnya kepada seseorang dan kita belum dimaafkan? Manusia normal tentu merasa tidak nyaman kalau sudah berbuat salah/dosa, ada perasaan tidak damai dalam dirinya sebab perasaan bersalah atau berdosa itu selalu saja menghantui kehidupannya.
Itulah juga yang dialami oleh raja Daud setelah dia berzinah dengan Batsyeba, istri Uria (2 Sam. 12:1-15). Tidak hanya itu, setelah melakukan perzinahan itu, raja Daud pun mengusahakan agar suami sah Batsyeba, Uria, berada di barisan terdepan dalam perang, sehingga kemudian Uria tewas dalam perang tersebut. Pada awalnya, ketika dia berbuat dosa, rasanya aman-aman saja, ami ba mböröta, tetapi kemudian muncullah perasaan tidak nyaman dan tidak bahagia itu setelah nabi Natan menegurnya (lih. ay. 1-2). Maka, raja Daud berdoa dan berpuasa, memohon belas kasihan Tuhan, memohon pengampunan Tuhan atas dosa yang telah diperbuatnya, perzinahan dan pembunuhan (hutang darah, ay. 16). Permohonan pengampunan dosa ini secara khusus terungkap di ayat 3-5, 9.
Permohonan raja Daud inilah yang terungkap dalam Mazmur 51. Permohonan ini amatlah kuat bahkan tanpa pembelaan diri sedikit pun di hadapan TUHAN Allah. Selain itu, mazmur ini juga diserukan kembali ketika bangsa Israel berada di pembuangan hingga pasca pembuangan, sebagai bentuk permohonan bangsa itu akan belas kasihan Tuhan atas dosa-dosa mereka sekaligus permohonan pertolongan TUHAN atas kegiatan mereka membangun kembali tembok Yerusalem (bnd. ay. 20). Jadi, kehidupan manusia, beserta segala kegiatan yang dia lakukan, tidak akan berjalan lancar selama manusia itu belum memperoleh pengampunan atas dosa-dosanya, dan itulah yang hendak ditegaskan dalam Mazmur 51 ini.
Namun, dalam Mazmur ini juga terungkap bahwa permohonan pengampunan dosa tidaklah sempurna apabila tidak diikuti dengan komitmen untuk bertobat. Mengapa? Karena permohonan ampun tanpa pertobatan mirip dengan seorang anak yang meminta maaf atas kesalahannya tetapi tidak berjanji untuk bertobat sehingga kemungkinan besar akan mengulanginya lagi. Itulah yang dilakukan oleh pemazmur dalam teks renungan kita pada hari ini, memohon agar TUHAN mentahirkan dia seluruhnya, membersihkan atau menyucikan kehidupannya yang telah penuh dengan dosa perzinahan dan pembunuhan (ay. 12, 16). Demikian juga dengan bangsa Israel di kemudian hari, memohon ampun atas segala dosa pemberontakan mereka kepada Tuhan, sebab dosa-dosa itu telah membuat mereka terbuang dari hadapan Tuhan (ay. 13), jauh dari kesejahteraan dan kedamaian.
Setelah memohon pengampunan dosa, pemazmur juga memohon hati yang murni dan roh yang teguh (ay. 12-14). Permohanan akan hati yang murni dan roh yang teguh ini sekaligus memberi penegasan bahwa hanya Tuhan sajalah yang dapat mengubah hati manusia, dan menciptakan “suatu hati yang tahir”. Pemazmur menyadari bahwa selama dosa-dosa manusia belum diampuni, dan selama hatinya belum ditahirkan oleh Tuhan, maka manusia itu akan kehilangan kegirangan (bnd. ay. 14), akan kehilangan sukacita, kehilangan rasa damai, dan bahkan akan kehilangan keselamatan yang dari Tuhan. Na no mu’efa’ö ngawalö zalada, na no ibologö dödö-Nia Lowalangi ba ngawalö horöda, ba awena so sa’ae khöda wa’ohahau dödö, so khöda wa’ahono dödö, ba adölö dödöda sa’ae wanohugö fa’aurida, lö solohilohi ya’ita horöda. Oleh sebab itu, pemazmur memohon Tuhan memberikan pertolongan Tuhan dengan kuasa Roh-Nya yang kudus untuk membaharui kehidupannya, mentahirkan dirinya yang telah penuh dengan dosa tadi, dan memampukannya meninggalkan perbuatan jahatnya itu. Hal ini juga membuktikan bahwa manusia itu bertobat dan mengalami pembaharuan hanya karena kuasa Roh Tuhan saja; dengan demikian manusia sangat membutuhkan Roh Tuhan dalam menjalani kehidupannya.
Kembali ke pertanyaan awal tadi, siapakah di antara kita hari ini yang tidak pernah berbuat salah? Siapakah yang tidak pernah berbuat dosa? Tidak ada bukan? Lalu, siapakah yang merasa nyaman dan merasa damai apabila sudah berbuat salah dan dosa? Umumnya tidak ada bukan? Karena itu kita butuh pengampunan dosa? Memang, ada orang-orang tertentu yang sepertinya merasa baik-baik saja walaupun sudah berbuat salah/dosa, bahkan ada orang yang bangga dengan kejahatannya. Namun, apabila orang-orang tersebut sadar bahwa kehidupannya hancur karena kesalahan dan dosa-dosanya, maka dia pun merasa tidak nyaman dan tidak damai. So ni’ilagu niha khöda, hulö zi lö ata’u ira wamalua horö, kudia bareto lawa’ö, andrö wa so zi ganuno no mege ba horö nifaluania. Ba hiza, na so sa dania zalua khönia abula dödö, ma famakao, awena so wa’ata’u, awena so wangalulu no mege awena so wehede ‘ubato sa’ae’. Ini menunjukkan bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia adalah pengampunan dosa dan pembaharuan hidup.
Persoalannya adalah bahwa manusia pada zaman sekarang susah melepaskan diri dari kebiasaan buruk, merasa berat meninggalkan perbuatan jahatnya, apalagi kalau sudah lama hidup dalam kebiasaan buruk itu. Ada pula manusia yang ibarat “memelihara” si jahat dalam hidupnya, seolah-olah memberi kesempatan kepada dosa untuk menggerogoti kehidupannya, sama seperti Kain ketika dia marah kepada adiknya Habel, seolah-olah memberi kesempatan kepada si jahat untuk membawanya jatuh ke dalam dosa besar. Padahal, kita tahu bahwa sekali saja manusia memberi kesempatan kepada si jahat dalam dirinya, maka akan sulit melepaskan diri dari jeratan si jahat itu; kesalahan demi kesalahan dan dosa demi dosa terus dilakukan. Saya teringat dengan ungkapan orang Nias, “Ha fangago mböröta wamelai”. Awalnya coba-coba, lama-lama menjadi kebiasaan, dan itulah yang merusak kehidupan kita, kesalahan dan dosa itu semua yang menjauhkan kita dari hadapan Tuhan, menjauhkan kita dari kedamaian, kebahagiaan dan keselamatan. Jadi, sama seperti pemazmur, kita membutuhkan pengampunan dosa dan pembaharuan hidup.
Lalu, apa yang harus kita lakukan? Yaitu memohon dengan sangat belas kasihan Tuhan akan pengampunan dosa-dosa kita, dan sekaligus memohon Roh Tuhan mengubah dan membaharui kehidupan kita. Pengampunan dosa dan pembaharuan hidup inilah semua yang nantinya mendorong kita untuk mengajak orang lain juga mengenal jalan Tuhan. Sebab, kalau kita sendiri belum mengenal jalan Tuhan itu, bagaimana mungkin kita mengajarkannya kepada orang lain?
quidictioniProvo Maria Butler https://wakelet.com/wake/HtWpMw2OGN44jtqGayRmi
ReplyDeletesiecamtilo