Saturday, July 23, 2016

Menjadi Berkat bahkan bagi Kota yang Durjana (Kejadian 18:20-32)


Pokok-Pokok Pikiran dan Renungan terkait Khotbah Minggu, 24 Juli 2016

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo


Dosa-Dosa Sodom dan Gomora (Kej. 18:16 – 19:29)
Walaupun teks dan konteks khotbah hari ini tidak berfokus pada dosa-dosa Sodom dan Gomora, namun pertanyaan seputar dosa kota itu terus muncul dari waktu ke waktu. Apa sesungguhnya dosa Sodom dan Gomora sehingga TUHAN Allah membinasakannya?
1.     Anggapan yang pertama: homoseksualitas (gay). Anggapan ini bukan tanpa alasan, sebab dari nama kota “Sodom” ini kemudian lahirlah kata “sodomi” yang berarti percabulan tidak wajar, yang biasanya dilakukan melalui hubungan sesama jenis (homoseksual atau gay), namun dapat juga dilakukan melalui hubungan berbeda jenis (heteroseksual). Anggapan ini kemudian seperti dikonfirmasi oleh bunyi teks Kej. 19:4-5, dimana orang-orang lelaki dari kota itu hendak “memakai” tamu Lot (yang adalah laki-laki).
2.   Sekarang, mari kita lihat dari sisi Lot. Lot adalah penduduk negeri itu, dan ia tentunya sangat mengerti warga kota tersebut. Jika orang-orang itu semua gay, dia pasti tahu itu, dan dia tidak akan repot-repot menawarkan kedua anaknya perempuan kepada mereka sebagai pengganti (Kej. 19:8), lebih memungkinkan kalau dia menawarkan kedua bakal menantunya (ay. 14). Sayang sekali, Lot tidak melakukan itu, dia tidak menawarkan laki-laki (bakal menantunya) kepada penduduk kota itu, sebaliknya dia menawarkan kedua anak perempuannya kepada para lelaki kota Sodom tersebut.
3.     Di Kej. 19, disebutkan bahwa semua laki-laki, tanpa kecuali, muda dan tua, datang mengepung rumah tempat tamu Lot menginap (Kej. 19:4). Jadi, semua laki-laki di kota itu adalah gay? Kalau itu benar, maka tentulah mereka tidak punya anak-cucu, tidak mempunyai keturunan dan akhirnya penduduknya tidak ada. Tetapi, tidak demikian bukan? Penduduk kota ini masih ada, keturunan mereka tetap ada sampai TUHAN sendiri membinasakannya. Jadi, bagaimana mungkin kota ini tetap memiliki keturunan (penduduk) kalau semua laki-lakinya gay? Lalu, bagaimana Lot dan keluarganya yang katakanlah “normal” (non-gay) bisa bertahan tinggal di kota “gay” itu, sampai TUHAN sendiri yang memaksanya keluar dari kota tersebut?
4.     Mari kita lihat perkataan para lelaki kota itu di Kej. 19:9 “... Orang ini datang ke sini sebagai orang asing dan dia mau menjadi hakim atas kita! Sekarang kami akan menganiaya engkau lebih dari pada kedua orang itu!”. Mereka hendak melakukan kejahatan kepada tamu Lot itu dengan alasan bahwa tamu itu adalah “orang asing”, dan mereka dianggap menjadi hakim atas kota itu. Alasan ini sepertinya mengindikasikan bahwa penduduk setempat tidak suka dengan kedatangan orang asing, apalagi kalau orang asing itu datang untuk menjadi hakim. Sebelum orang asing itu “menghakimi” kota Sodom dan Gomora, terlebih dahulu penduduknya datang ke rumah Lot untuk “menghakimi” orang asing dimaksud, tentu dengan cara-cara yang sangat jahat sampai kota itu dianggap durjana (lih. 19:15). Hal ini diperkuat dengan ancaman mereka kepada Lot “...Sekarang kami akan menganiaya engkau lebih dari pada kedua orang itu! (Kej. 19:9c). Ini adalah rencana penganiayaan yang luar biasa! padahal, di Timur Tengah, keberlangsungan hidup seseorang bergantung pada  kebaikan hati orang asing. Karena itu, menolong orang asing merupakan kewajiban agama yang terpenting. Bagi orang Israel sendiri, ada perintah untuk tidak menindas orang asing (lih. Imamat 19:33-34). Sayang sekali, penduduk kota Sodom dan Gomora telah melanggar “tradisi” Timur Tengah itu, dan pelanggaran ini berakibat bagi terancamnya keberlangsungan hidup mereka, dan kita tahu bersama bahwa kota itu kemudian dihancurleburkan oleh TUHAN setelah kedua malaikat-Nya (orang asing) hampir saja diperlakukan dengan sangat durjana oleh penduduk kota itu.
5.  Bagaimana mungkin penduduk Sodom dan Gomora berani melanggar tradisi menghormati tamu yang datang? Alasannya tidak jelas, namun pada zaman kuno, ada praktik seks suci (seks bakti/sakral), termasuk dengan “makhluk ilahi” (mis. malaikat). Orang-orang akan melakukan hubungan seksual dengan para pelacur kuil yang menurut mereka mewakili dewa-dewi. Dengan melakukan seks suci itu, orang-orang percaya bahwa mereka akan menerima berkat yang luar biasa dari dewa. Jika orang-orang Sodom menyadari bahwa malaikat yang datang ke kota mereka dikirim oleh Tuhan, mereka mungkin berpikir dan menyimpulkan bahwa “memperkosa” para malaikat itu dapat memberi mereka kekuatan supranatural yang luar biasa. Apakah praktik kuno ini telah membutakan mata, hati atau pikiran penduduk kota Sodom dan Gomora sehingga hendak memperlakukan tamu itu dengan sangat jahat? Belum ada jawaban yang pasti!
6.     Sekarang kita membaca surat Yudas 1: 7 (Alkitab TB LAI), “sama seperti Sodom dan Gomora dan kota-kota sekitarnya, yang dengan cara yang sama melakukan percabulan dan mengejar kepuasan-kepuasan yang tak wajar, telah menanggung siksaan api kekal sebagai peringatan kepada semua orang”. Dengan teks terjemahan baru LAI ini maka nampaknya dosa Sodom dan Gomora terkait “homoseksualitas” ada benarnya. Namun apabila kita mengkaji lebih jauh lagi dalam bahasa Yunani, maka sedikit ada perbedaan. Bahasa Yunani yang dipakai untuk kata “percabulan dan kepuasan-kepuasan tak wajar” adalah “SARKOS HETERAS”, yang secara harfiah dapat diterjemahkan “kedagingan lainnya” (Ingg. “other flesh”). Jika kata ini (other flesh) dikaitkan dengan kebiasaan kuno, maka ada kedekatannya dengan praktik “KANIBALISME” dalam budaya Kanaan kuno. Selain itu, dari kata “Sarkos Heteras” ini lahirlah kata “heteroseksual”, jadi bukan homoseksual.
7.     Seluruh pasal pertama kitab Yesaya memuat kecaman keras atas Yehuda. Kejahatan dan kebejatan mereka dibandingkan dengan Sodom dan Gomora. Mereka memberontak melawan Allah, kurang pengetahuan, berbalik dari pada TUHAN, penyembahan berhala, terlibat dalam ritual keagamaan yang tidak berarti, menjadi tidak adil dan menindas orang lain, tidak peka terhadap kebutuhan janda dan anak yatim, melakukan pembunuhan, menerima suap, dll. Persoalan utama di sini adalah kehidupan peribadatan/keagamaan yang tidak diikuti dengan tindakan keadilan sosial. Hal yang sama juga kita temukan dalam kitab Yehezkiel 16:49-50 “Lihat, inilah kesalahan Sodom, kakakmu yang termuda itu: kecongkakan, makanan yang berlimpah-limpah dan kesenangan hidup ada padanya dan pada anak-anaknya perempuan, tetapi ia tidak menolong orang-orang sengsara dan miskin. Mereka menjadi tinggi hati dan melakukan kekejian di hadapan-Ku; maka Aku menjauhkan mereka sesudah Aku melihat itu”. Jadi, dari kedua kitab ini (Yesaya 1 & Yehezkiel 16:49-50) tidak ada sama sekali referensi tentang homoseksualitas atau penyimpangan seksual lainnya di kota Sodom dan Gomora.
8.    Jadi, walaupun belum ada kesimpulan yang pasti tentang dosa-dosa Sodom dan Gomora, namun dapat dikatakan bahwa kota Sodom dan Gomora memang diwarnai oleh berbagai praktik kehidupan yang penuh dengan kedurjanaan, yang telah membuat orang-orang di sekitar mereka berkeluh kesah, dan karena itu menurut TUHAN Allah mereka patut mendapatkan hukuman yang setimpal.

Percakapan Abraham dengan TUHAN tentang Sodom dan Gomora (Kej. 18:20-32)
Setelah mendiskusikan kemungkinan dosa-dosa Sodom dan Gomora, sekarang kita fokus pada teks khotbah hari ini. Teks khotbah ini sendiri berada dalam konteks pemanggilan Abraham untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa (lih. Kej. 12), dan hal ini diperkuat oleh dua ayat sebelum teks khotbah ini, yaitu ayat 18 dan 19. Memahami teks khotbah ini dalam konteks pemanggilan Abraham tersebut akan sangat menolong kita untuk memahami maksud dari percakapan Abraham dengan TUHAN menjelang penghukuman kota tersebut. Ada semacam tawar menawar di antara mereka, dimana Abraham mencoba memberi pertimbangan kepada TUHAN sebagai HAKIM supaya “tidak gegabah” mengambil keputusan menghukum kota Sodom dan Gomora, dengan dalil mungkin masih ada orang benar di kota itu, paling tidak sepuluh orang lagi. Sayang sekali, di kota Sodom dan Gomora tidak didapati jumlah minimal sepuluh orang benar tersebut, sehingga keputusan HAKIM AGUNG untuk melenyapkan kota itu beserta orang-orang yang ada di dalamnya sudah final, tidak berubah walaupun sempat ada upaya PK (Peninjauan Kembali) dari orang dekat Allah yakni Abraham.

Menarik dua ayat pertama dari teks khotbah hari ini, yaitu bahwa banyak keluh kesah orang pada kelakuan penduduk kota Sodom dan Gomora (walaupun Alkitab bahasa Nias belum memuat terjemahan "keluh kesah", namun kata ini dapat diartikan "mangarongaro niha ba gamuatara andro, turia sangarongaro ba sabu-dodo niha duriara"). Semoga uraian sebelumnya tentang kemungkinan dosa-dosa penduduk kota Sodom dan Gomora bisa memberi kita gambaran betapa durjananya orang-orang di kota tersebut. Kita tidak harus menguraikan lagi secara terperinci jenis dosa-dosa mereka, sebab apa pun dosa mereka, bagi Allah perbuatan mereka telah menimbulkan banyak keluh kesah, banyak jeritan, bahkan kegaduhan yang luar biasa, dan Allah tidak kompromi dengan tingkah laku yang seperti itu.


Abraham begitu dekat dengan Allah, dan dia beruntung sebab Allah sendiri berkenan memberitahukan kepadanya tentang rencana-Nya menghukum kota Sodom dan Gomora, bahkan Allah pun menegaskan bahwa Dia punya alasan kuat untuk melenyapkan kota itu. Dengan demikian Abraham tahu persis apa yang bakal terjadi atas kota Sodom dan Gomora, termasuk alasan Tuhan melakukan penghukuman itu. Abraham bisa saja bersyukur atau bersukacita atas rencana Allah tersebut, sebab kalau orang-orang dalam kota itu dimusnahkan maka Abraham tidak perlu bersusah payah untuk memasuki dan menguasainya, apalagi daerah itu cukup subur, sampai Lot sendiri sebelumnya memilih menetap di sana (lih. Kej. 13:12). Paling tidak, setelah mengetahui rencana Allah tersebut, Abraham lebih baik memilih diam saja, pura-pura tidak tahu, atau masa bodoh saja, toh Tuhan tidak perlu digurui, tidak perlu didikte, dan tidak perlu dipengaruhi dalam mengambil suatu keputusan. Terserah Tuhan saja deh, gue nurut aja.


Sayang sekali, pikirannya Abraham tidak sesempit pikiran kebanyakan orang. Dia tahu bahwa dia punya kesempatan emas untuk berbuat sesuka hati atas kota itu, termasuk menambah keluh kesahnya sendiri atas perbuatan orang-orang Sodom dan Gomora. Namun, Abraham tidak menggunakan kesempatan emas itu untuk kepentingan dirinya sendiri, dia tidak beria-ria atas kemusnahan yang bakal dialami oleh penduduk kota itu, dia tidak menjadi angkuh dan bersukacita karena orang-orang Sodom dan Gomora mendapat balasan yang setimpal atas kejahatan mereka, lö khönia fehede “rasoi, yagömöi öu, no göi ami dödömi mege ba mirasoi iada’e. Sebaliknya, dengan penuh kerendahan hati dan kesadaran bahwa dia sendiri berasal dari debu dan abu, Abraham memberanikan diri mengajukan PK sebanyak enam kali (50, 45, 40, 30, 20, 10), supaya Tuhan tidak melenyapkan kota itu beserta penduduknya. 


Walaupun pada akhirnya Abraham tidak berhasil membatalkan rencana Allah menghukum kota itu, namun dia tidak kecewa, dia tidak menyesali keputusan Tuhan itu, dia tidak memaksakan kehendak sekali pun dia adalah orang dekat Tuhan. Walaupun keputusan Tuhan tidak bisa berubah lagi dengan permohonannya itu, namun penting dicatat bahwa Abraham sudah melaksanakan tugas panggilannya, yaitu MENJADI BERKAT BAGI BANGSA-BANGSA, berusaha semaksimal mungkin menyelamatkan bangsa-bangsa, walaupun dia sadar bahwa orang-orang yang “dibelanya” itu merupakan orang-orang durjana. Kedurjanaan orang-orang Sodom dan Gomora, tidak menghalangi niat dan usaha Abraham untuk menjadi berkat, mendoakan mereka, mungkin masih ada kesempatan untuk bertobat sehingga mereka bisa diselamatkan oleh Tuhan. Ketidakberhasilannya mempengaruhi keputusan Allah, tidak menghalangi dia untuk tetap menjadi berkat bagi orang lain, termasuk menjadi berkat bagi orang-orang yang telah menimbulkan keluh kesah, keresahan dan kegelisahan banyak orang. 

Pengalaman dan percakapan Abraham dengan Allah terkait rencana penghukuman kota Sodom dan Gomora ini mengingatkan kita akan panggilan kita sebagai umat Tuhan, yaitu menjadi berkat bagi dunia, dan hal ini terungkap dalam visi BNKP “Teguh dalam Persekutuan dan Menjadi Berkat bagi Dunia”.

Tidak bisa disangkal lagi bahwa dunia di mana kita berada saat ini dari waktu ke waktu semakin “rusak” oleh tingkah laku manusia sendiri. Saya tidak perlu menyebutkan satu persatu perbuatan manusia, atau bahkan perbuatan kita masing-masing, yang telah menimbulkan keluh kesah, jeritan, keresahan, dan kegelisahan banyak orang. Saya juga tidak harus menampilkan di layar monitor ini foto-foto atau pun video orang-orang yang menimbulkan kehebohan, irege fa’alai dödö niha, faharumani dödö niha, dan saya tidak perlu menunjuk siapa-siapa saja orang yang telah menjadi batu sandungan bagi sesamanya. Kita dapat menelusuri diri sendiri, bagaimana selama ini perbuatan kita di rumah, di kantor, di tempat kerja, di jalanan, di warung-warung, di sudut-sudut kota, di tempat-tempat rekreasi, di pasar-pasar, bahkan di dalam gereja sendiri. Daftar ini masih bisa diteruskan lagi ...

Namun, justru di tengah-tengah dunia, di tengah-tengah masyarakat yang seperti itulah kita dipanggil dan diutus oleh Tuhan untuk menjadi berkat. Surat 1 Petrus 3:9 menegaskan bahwa kita dipanggil untuk menjadi berkat di dunia yang dipenuhi oleh berbagai kedurjanaan atau kejahatan, bahkan ketika kejahatan itu terjadi atas kita, kita pun masih harus tetap menjadi berkat bagi mereka. Hanya saja, banyak orang Kristen yang tidak bisa menjadi berkat di mana dia berada, ato niha, tenga tobali ndrela howuhowu, tobali sangolotusi, memperkeruh situasi, tidak menjadi berkat malah sebaliknya menjadi sumber malapetaka, menjadi serigala bagi sesamanya (homo homini lupus). Hari ini, kita diajak untuk belajar dari Abraham yang menunaikan tugas panggilannya, menjadi berkat dengan mendoakan kota Sodom dan Gomora yang bakal hancur. Yesus sendiri pun ketika disalibkan, tetap mendoakan mereka yang menyalibkan-Nya, dan karena itu kita sebagai pengikut Kristus haruslah meneladani Kristus. Kolose 2:6 “Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia”.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...