Rancangan Khotbah Minggu, 10 Juli 2016
Pdt. Alokasih Gulo[1]
Banyak orang yang beranggapan bahwa kita tidak mungkin taat sepenuhnya pada hukum Allah; malah ada guyonan yang mengatakan bahwa hukum/peraturan dibuat untuk dilanggar. Ini menunjukkan betapa sulitnya taat pada hukum yang berlaku, baik hukum “dunia” maupun hukum Allah. Hal ini juga yang sering membuat manusia menyerah dan pada akhirnya tidak taat pada hukum Allah, dan kadang-kadang mencoba “meringankan” ketidaktaatannya itu dengan mengatakan bahwa Yesus telah memenuhi semua hukum Allah itu, dan kita tidak perlu lagi mengikuti semua hukum tersebut, percaya saja kepada Yesus, maka itu sudah sangat cukup. Tidak sedikit orang Kristen yang memiliki pemahaman sempit seperti ini, hukum Allah itu (apalagi di dalam PL) tidak lagi penting, sebab Yesus sudah mati untuk semuanya itu, dan yang kita butuhkan sekarang adalah percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.
Teks renungan kita pada hari ini justru menantang anggapan manusia bahwa kita tidak mungkin taat sepenuhnya pada hukum Allah. Teks ini justru mendorong umat Tuhan, dalam hal ini bangsa Israel, untuk memelihara hukum Allah, untuk taat pada perintah-perintah-Nya. Dorongan untuk taat pada hukum atau perintah-perintah Tuhan menurut teks ini akan berdampak positif dalam kehidupan umat Tuhan itu sendiri yaitu: “TUHAN, Allahmu, akan melimpahi engkau dengan kebaikan dalam segala pekerjaanmu, dalam buah kandunganmu, dalam hasil ternakmu dan dalam hasil bumimu ...” (ay. 9).
Jadi, percaya kepada Yesus, menjadi orang Kristen, tidak menjadi alasan untuk tidak taat pada perintah-perintah Tuhan, termasuk yang tertulis dalam PL, dan tidak menjadi alasan untuk hidup menurut keinginan hatinya, hidup di luar hukum Allah. Status kita sebagai orang Kristen yang telah dimerdekakan oleh Kristus, tidak boleh disalahartikan dan disalahgunakan, tidak boleh dipergunakan sebagai kesempatan untuk berbuat dosa. Lagi pula, memelihara hukum-hukum Tuhan itu akan membawa dampak positif bagi kita sendiri, taat pada perintah Tuhan bukanlah suatu kerugian melainkan keuntungan. Memelihara firman Tuhan berarti memelihara berkat-berkat Tuhan tetap mengalir di dalam kehidupan kita, dan hal ini kiranya menjadi penyemangat kita untuk tetap hidup menurut firman Tuhan.
Pengaitan antara “ketaatan” pada firman Tuhan dengan “berkat” Tuhan yang melimpah Ini bukan sekadar janji di bibir saja (PHP). TUHAN Allah sendiri telah memberikan kelimpahan kepada nenek moyang Israel dulu, dan kelimpahan yang sama juga akan diberikan kepada bangsa Israel apabila mereka berpegang teguh pada hukum atau perintah Allah (ay. 10). Janji Allah akan kelimpahan yang akan diberikan-Nya kepada bangsa Israel ini sekaligus menjawab kecemasan mereka yang tidak lama lagi memasuki tanah Kanaan, tanah yang belum pernah mereka injak, belum pernah mereka diami, belum pernah mereka olah, dan hasil tanahnya masih belum mereka nikmati. Apalagi Musa, pemimpin mereka dari tanah Mesir dikabarkan tidak akan bersama-sama dengan mereka ke tanah Kanaan, karena Tuhan memiliki rencana/kehendak lain tehadap Musa. Hal ini tentu menambah “kecemasan/kekuatiran” bangsa itu, sehingga mereka perlu dikuatkan, atau diyakinkan bahwa TUHAN Allah pasti menyertai mereka dan memenuhi segala kebutuhan mereka hingga berlimpah, namun bangsa Israel juga harus tetap taat kepada-Nya dengan memelihara hukum-hukum-Nya. Ini bukan berarti bahwa ketaatan kepada hukum-hukum TUHAN menjadi prasyarat akan berkat yang berlimpah-limpah. Janji berkat itu justru memberi kepastian bagi bangsa Israel akan kehidupan mereka di masa depan, dan ketaatan mereka lebih sebagai respon mereka akan berkat-berkat TUHAN yang telah mereka terima, sedang diterima, dan akan diterima.
Saat ini kita taat pada firman Tuhan bukan sekadar supaya kita memperoleh berkat yang melimpah. Sebelum kita berbuat banyak dalam pemeliharaan firman Tuhan pun, kita sudah diberkati-Nya, kita sudah dilimpahi-Nya dengan berbagai kebaikan. Nah, kalau sekarang kita memilih taat kepada-Nya, maka hal itu semakin memberi jaminan akan kelangsungan kehidupan kita yang lebih baik di masa yang akan datang, yaitu bahwa Tuhan Allah akan selalu menyertai orang-orang yang takut akan Dia.
Tuhan Allah meminta umat-Nya untuk taat pada hukum atau perintah-perintah-Nya, dan itu tidak memberatkan, tidak menyulitkan. Secara ringkas teks ini menegaskan bahwa perintah Tuhan yang mesti ditaati itu tidak terlalu sukar ... tidak terlalu jauh ..., tetapi sangat dekat ... yakni di dalam mulut dan hati manusia ... untuk dilakukan (ay. 11-14). Jadi, tidak ada lagi alasan bagi manusia untuk tidak taat pada perintah Tuhan, atau untuk membela diri atas ketidaktaatannya. Tuhan sudah tahu kemampuan manusia, itulah sebabnya Dia pun memberikan hukum/perintah yang dapat “terjangkau” oleh manusia itu sendiri. Ini juga menjadi jaminan bagi bangsa itu untuk tidak ragu-ragu taat pada firman Tuhan, sebab firman Tuhan itu sudah ada di tengah-tengah mereka. Hal ini juga sekaligus memberi kepastian bahwa tanah yang berlimpah dan diberikan Tuhan kepada umat Israel itu tidak terlalu jauh, sudah sangat dekat, sudah berada di hadapan mereka, sehingga mereka tidak perlu menempuh perjalanan jauh lagi (seperti sebelumnya) untuk mencapai tanah yang berlimpah berkat tersebut. Itulah maksud dari perkataan di ayat 13: “Juga tidak di seberang laut tempatnya, sehingga engkau berkata: Siapakah yang akan menyeberang ke seberang laut untuk mengambilnya bagi kita dan memperdengarkannya kepada kita, supaya kita melakukannya?”
Perkataan ini semua menjawab keraguan dan kekuatiran bangsa Israel yang tidak lama lagi memasuki tanah Kanaan, tanah perjanjian itu. Pernyataan di ayat 14 bahwa firman Tuhan itu sangat dekat dengan mereka sebenarnya menegaskan bahwa Tuhan sangat dekat dengan mereka, berada dalam diri mereka sendiri. Dengan kata lain, memelihara firman Tuhan, taat pada perintah-perintah-Nya berarti mempertahankan kehadiran Tuhan di dalam diri, dan itu dapat diartikan Tuhan selalu bersama-sama dengan dia, dan Tuhan Allah yang firman-Nya ada dalam diri manusia itulah yang melimpahi umat-Nya dengan berkat “dalam segala pekerjaan, dalam buah kandungan, dalam hasil ternak dan dalam hasil bumi”. Maka, bila di dalam mulut dan hati mereka ada firman Tuhan, apa yang tampaknya mustahil menjadi sangat mungkin terjadi. Na taroma li Lowalangi zi so ba mbeweda ba ba dödöda, na si sökhi zi so ba wa’aurida, ba tatu si sökhi göi dania mbua nitemada. TUHAN dan firman-Nya itu sangat dekat dengan kita, dan kitalah sekarang yang “mengambil keputusan” untuk hidup di dalam-Nya.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?