Tuesday, September 29, 2015

UPAYA PENANGGULANGAN BAHAYA NARKOBA: PERSPEKTIF KRISTEN



UPAYA PENANGGULANGAN BAHAYA NARKOBA: PERSPEKTIF KRISTEN[1]
(Oleh: Pdt. Alokasih Gulö, S.Th., M.Si)[2]


Pengantar: Realitas Bahaya Narkoba
Kita sedang berada di era globalisasi, suatu masa dimana dunia kita semakin terbuka sehingga semakin lama semakin menjadi seperti sebuah “desa kecil” (small village) atau “desa global” (global village). Pada satu sisi perkembangan yang seperti ini menjadi peluang bagi kita, khususnya di bidang pendidikan, untuk memanfaatkan segala sumber daya, potensi dan kemudahan yang ada untuk kemajuan bersama, namun pada sisi lain dunia yang seperti ini akan menjadi ancaman serius karena persoalan yang kita hadapi akan menjadi lebih luas dan kompleks/rumit. Salah satu ancaman serius dimaksud adalah semakin meningkatnya peredaran dan penyalahgunaan Narkotika dan Obat-obat Terlarang (NARKOBA). Hasil Survei Badan Narkotika Nasional (BNN) yang dipublikasikan pada bulan Pebruari 2015 menunjukkan perkiraan jumlah penyalahgunaan Narkoba di Indonesia tahun 2015, lebih dari 4 (empat) juta, sebagian besar berada pada usia 10-59 tahun (siswa/i SMP berada pada usia ini).[3]Kondisi ini berpotensi merusak generasi muda bangsa kita, sehingga sangat dipahami kalau Presiden RI menegaskan bahwa Indonesia saat ini berada dalam keadaan “Darurat Narkoba”.

Saya tidak akan mengulas banyak data dan ancaman/dampak buruk dari Narkoba, termasuk konsekuensi hukum pidana terhadap pengedaran dan pernyalahgunaannya, sebab hal itu lebih tepat dikaji secara mendalam di bidang medis dan penegakan hukum (kepolisian). Pertanyaan yang mau saya ajukan sekarang adalah bagaimana kekristenan menanggapi ancaman serius Narkoba ini? Apakah cukup hanya berdoa saja sambil berharap Tuhan sendiri datang untuk mengatasinya? Apakah cukup dengan hanya mengkritik pemerintah karena dianggap belum bekerja maksimal untuk mengatasinya? Saya kira tidak cukup kalau hanya dengan cara yang seperti itu! Kita harus berbuat sesuatu yang lebih real untuk menyelamatkan generasi muda bangsa ini dari kehancuran karena penyalahgunaan Narkoba.

Apa Kata Alkitab tentang Narkoba?
Apabila kita membaca seluruh isi Alkitab, maka kita tidak akan menemukan satu ayat pun yang menjelaskan secara eksplisit tentang penyalahgunaan Narkoba. Itulah sebabnya saya tidak serta merta mengacu hanya pada satu kitab/pasal/ayat tertentu dalam Alkitab untuk membahas secara langsung Narkoba ini. Terlalu naif juga apabila mengaitkan secara langsung isu tentang Narkoba ini dengan “dosa” seperti biasa dilakukan oleh beberapa orang tertentu, sebab tidak ada tulisan dalam Alkitab yang menyebutkan secara gamblang masalah Narkoba sebagai dosa. Namun secara implisit ada beberapa bagian dalam Alkitab yang dapat menolong kita untuk memahami dan mengatasi persoalan sehubungan dengan Narkoba ini. Beberapa bagian Alkitab berikut mencoba menyoroti masalah Narkoba sebagai sesuatu yang merusak – merusak diri sendiri, merusak keluarga, merusak sekolah, merusak masyarakat, merusak bangsa dan negara, menghancurkan generasi muda kita. Poin 1 – 3 lebih fokus pada siswa/i, dan poin 4 – 5 lebih fokus pada penyelenggara pendidikan termasuk orangtua siswa.

1.      Halal belum tentu Berguna (1 Korintus 6:12)
Mencari-cari alasan untuk membenarkan kebiasaan atau tindakan tertentu terjadi sejak zaman dulu sampai sekarang. Kecenderungan ini semakin menguat seiring dengan era globalisasi yang memberi kebebasan yang lebih luas bagi manusia, termasuk kebebasan untuk melakukan tindakan yang dapat mendatangkan kesenangan bagi dirinya sendiri. Perhatikan misalnya anak-anak sekolah yang tidak mau terikat dengan suatu peraturan tertentu, karena dianggap membatasi kebebasan mereka. Ternyata, Rasul Paulus memahami kecenderungan manusia untuk berbuat menurut kehendak hatinya tersebut. Oleh sebab itu, Paulus memberikan nasihat bagi kita dalam 1 Korintus 6:12, “Segala sesuatu halal bagiku, tetapi bukan semuanya berguna. Segala sesuatu halal bagiku, tetapi aku tidak membiarkan diriku diperhamba oleh suatu apapun”. Manusia, terutama siswa/i SMP, sah-sah saja melakukan segala sesuatu yang dianggap halal, termasuk terlibat dalam kasus Narkoba; namun pertanyaannya ialah apakah gunanya bagi kita untuk berbuat seperti itu? Benar bahwa manusia berusaha hidup dalam kebebasan, tetapi ketika manusia itu berbuat sesuatu yang tidak berguna, apalagi hal-hal yang merusak diri sendiri dengan Narkoba, maka sesungguhnya manusia itu sedang menjadikan dirinya sebagai hamba/budak dari Narkoba itu. Betapa menyedihkan kehidupan manusia yang seperti itu!

2.      Perlunya Menjaga Pergaulan (1 Korintus 15:33)
Mengacu pada Laporan Survei BNN seperti disebutkan sebelumnya, maka salah satu tempat yang paling sering dipakai untuk menggunakan Narkoba adalah di rumah teman (63%).[4] Data ini mengindikasikan bahwa peredaran dan penyalahgunaan Narkoba paling sering terjadi melalui jalur “pergaulan/persahabatan”. Generasi sekarang memang “takut” dianggap “kuper” (kurang pergaulan), seterusnya “takut” dianggap tidak “gaul” apabila tidak mencoba sesuatu yang baru, termasuk mengkonsumsi Narkoba. Karena itu, kita belajar lagi dari nasihat Rasul Paulus dalam 1 Korintus 15:33, “Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik”. Boleh-boleh saja siswa bergaul dengan siapa pun dan dengan banyak orang, namun harus diikuti pula dengan upaya untuk menyaring (filter) cara pergaulan itu sendiri, termasuk menyaring orang-orang (teman-teman) yang dianggap sebagai sahabat. Ada ungkapan terkenal orang tua kita di Nias, “Fao ita ba zatuatua ba atuatua ita, fao ita ba zowöhöwöhö ba owöhöwöhö göi ita”. Kalau teman atau sesama kita sudah mulai mengajak kita untuk melakukan sesuatu yang dapat merusak diri sendiri dengan mencoba-coba “Narkoba”, maka lebih baik “putus hubungan” dengan dia. Adalah lebih baik dianggap “kuper” namun selamat, daripada dianggap “gaul” tetapi hancur-hancuran.

3.      Pegang yang Baik – Jauhi Kejahatan (1 Tesalonika 5:21-22)
Melanjutkan poin 2 di atas, salah satu kecenderungan generasi muda sekarang ialah mencoba segala sesuatu yang dianggap baru, mencoba sesuatu yang dianggap “menantang”, apalagi kalau diilhami dengan filosofi “trial and error”. Itulah sebabnya banyak siswa/i yang terjerumus dalam penyalahgunaan Narkoba ini pada awalnya hanya “mencoba-coba”, mencoba satu kali, dua kali, tiga kali, lagi ... lagi ... lagi ... ..., akhirnya menjadi “gila” kalau tidak mengkonsumsinya; itulah yang disebut dengan “kecanduan Narkoba”. Maka, penting sekali merenungkan wejangan orang tua kita dengan ungkapan: “Ha Fangago Mböröta Wamelai”. Wejangan ini sejalan dengan perkataan Rasul Paulus dalam 1 Tesalonika 5:21-22, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik. Jauhkanlah dirimu dari segala jenis kejahatan”. Lebih baik mencoba sesuatu yang baik daripada mencoba yang jahat/buruk, sebab “seburuk-buruknya yang baik tetap baik, dan sebaik-baiknya yang jahat/buruk tetap jahat/buruk”.

4.      Mendidik Orang Muda – Menyelamatkan Generasi Berikutnya (Amsal 22:6)
Mendidik memiliki makna yang sangat dalam, bukan sekadar mengajar. Mengajar seringkali hanya sampai pada level kognitif, sedangkan mendidik dapat mencapai level afektif bahkan psikomotorik. Kalau kita mau menyelamatkan generasi berikutnya, maka kita harus mendidik mereka dengan baik, apalagi siswa/i berada pada masa-masa pencarian identitas diri, masih labil, sehingga membutuhkan pendampingan serius dari pihak-pihak terkait. Karena itu, penulis kitab amsal berkata: “Didiklah orang muda menurut jalan yang patut baginya, maka pada masa tuanya pun ia tidak akan menyimpang dari pada jalan itu” (Amsal 22:6). Ini adalah tugas dan tanggung jawab pengelola dan penyelenggara pendidikan, mendidik siswa/i bukan sekadar mengajar, mendidik mereka dengan memberikan teladan yang baik. Ungkapan Nias berkata: “Mamahaö Daromali, Mango’ou Dumaduma”. Tentu, pekerjaan “mendidik” ini bukan hanya tugas dan tanggung jawab Bapak/Ibu Guru di sekolah ini, namun terutama tugas dan tanggung jawab orangtua dalam keluarga. Pendidikan yang baik dalam keluarga sangat ampuh dalam membentengi siswa/i dari pengaruh Narkoba. Oleh karena itu, sekolah ini sebaiknya melaksanakan diskusi rutin dengan orangtua siswa dalam upaya menanggulangi bahaya Narkoba, apalagi masih banyak orangtua siswa yang tidak memahami masalah Narkoba ini.

5.      Abölö Sökhi Tarörö Ira ba Zi Sökhi moroi Arörö Ira ba Zi Lö Sökhi
Dalam faktanya, banyak juga orang terjerumus dalam penyalahgunaan Narkoba ini karena memiliki kesempatan untuk itu. Saya teringat dengan “Pesan Bang Napi” di acara salah satu TV swasta di Indonesia, bahwa kejahatan itu terjadi bukan hanya karena niat penjahatnya, melainkan juga karena ada kesempatan untuk berbuat jahat. Seperti disebutkan sebelumnya bahwa siswa/i berada pada masa-masa pencarian identitas diri, cenderung mencoba sesuatu yang baru, tidak mau dibatasi dengan suatu aturan tertentu, menginginkan kebebasan, suka dengan pergerakan yang dinamis (mobile-generation), maka strategi pembelajaran pun harus berubah dari model tradisional ke model yang lebih melibatkan siswa, atau biasa disebut dengan istilah SCL (Student Center Learning). Kita harus berupaya menjauhkan siswa dari kesempatan berbuat yang salah, meminimalkan kesempatan mereka untuk terlibat dalam pengedaran dan penyalahgunaan Narkoba, dengan cara misalnya pembelajaran yang lebih kreatif, kegiatan-kegiatan yang lebih positif, baik selama berada di sekolah maupun ketika mereka dalam perjalanan pulang, bahkan ketika mereka berada di tempat masing-masing. Ada ungkapan yang sering saya sampaikan dalam bahasa Nias: “Abölö sökhi tarörö ira ba zi sökhi moroi arörö ira ba zi lö sökhi”. Ungkapan ini sangatlah Alkitabiah, sebab mendorong kita untuk mengajak orang lain, dalam hal ini mengajak siswa/i ke hal-hal yang lebih konstruktif, sekaligus menjauhkan mereka dari tindakan yang destruktif.

Penutup: Jadilah Pembawa Berkat!
Dalam pandangan kekristenan, upaya penanggulangan bahaya Narkoba merupakan tugas dan tanggung jawab bersama. Kita tentu sangat membutuhkan doa, namun perlu diingat bahwa Tuhan mau mendatangkan mukjizat-Nya atas orang-orang yang telah berusaha dan bekerja keras. Tokoh reformasi gereja, Martin Luther, dengan penuh semangat menyerukan “Ora et Labora”, bekerja sambil berdoa. Artinya, doa dan kerja harus berjalan bersama. Dalam semangat doa, kita bekerja bersama-sama, bergandengan tangan untuk menanggulangi bahaya Narkoba tersebut, seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Semangat ini didorong oleh pemahaman teologis bahwa kekristenan hadir di dunia ini untuk menjadi berkat, yaitu membebaskan manusia dari segala sesuatu yang dapat merusak kehidupan. Jadilah Pembawa Berkat!


[1] Disampaikan pada Penyuluhan Bahaya Narkoba bagi Siswa/i SMP Negeri 1 Gido, Hiliweto, 29 September 2015.
[2] Pendeta BNKP, melayani sebagai Dosen di STT BNKP Sundermann, Gunungsitoli.
[3] Tim, Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahgunaan Narkoba Tahun Anggaran 2014(Jakarta: BNN, 2015), 16.
[4] Ibid., 23.

Sunday, September 20, 2015

Ketika Allah Membalikkan Situasi Hidup Manusia (Mazmur 107:33-43)



Bahan Khotbah Minggu, 20 September 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

107:33  Dibuat-Nya sungai-sungai menjadi padang gurun, dan pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang,
107:34  tanah yang subur menjadi padang asin, oleh sebab kejahatan orang-orang yang diam di dalamnya.
107:35  Dibuat-Nya padang gurun menjadi kolam air, dan tanah kering menjadi pancaran-pancaran air.
107:36  Ditempatkan-Nya di sana orang-orang lapar, dan mereka mendirikan kota tempat kediaman;
107:37  mereka menabur di ladang-ladang dan membuat kebun-kebun anggur, yang mengeluarkan buah-buahan sebagai hasil.
107:38  Diberkati-Nya mereka sehingga mereka bertambah banyak dengan sangat, dan hewan-hewan mereka tidak dibuat-Nya berkurang.
107:39  Tetapi mereka menjadi berkurang dan membungkuk oleh sebab tekanan celaka dan duka.
107:40  Ditumpahkan-Nya kehinaan ke atas orang-orang terkemuka, dan dibuat-Nya mereka mengembara di padang tandus yang tiada jalan;
107:41   tetapi orang miskin dibentengi-Nya terhadap penindasan, dan dibuat-Nya kaum-kaum mereka seperti kawanan domba banyaknya.
107:42  Orang-orang benar melihatnya, lalu bersukacita, tetapi segala kecurangan tutup mulut.
107:43  Siapa yang mempunyai hikmat? Biarlah ia berpegang pada semuanya ini, dan memperhatikan segala kemurahan TUHAN.

Perubahan-perubahan mengejutkan seringkali terjadi dalam kehidupan manusia.  Kita kadang-kadang melihat banyak orang yang tiba-tiba “naik daun”, tetapi tiba-tiba juga “jatuh” sedemikian rupa. Kita kadang-kadang terheran-heran melihat ada orang yang entah bagaimana “mendadak kaya” tetapi secara mengejutkan pula “jatuh miskin”. Kekayaan duniawi memang tidak pasti. Allah memiliki banyak cara untuk memiskinkan manusia, atau sebaliknya membuat orang miskin menjadi kaya. Allah memiliki banyak cara untuk membalikkan keadaan manusia, dan hal ini memberi pembelajaran bagi manusia, pembelajaran bagi orang benar untuk tetap bersukacita di dalam Tuhan, dan pembelajaran bagi orang-orang yang menyangkal Tuhan bahwa mereka tidak berdaya berhadapan dengan Allah. Allah dapat mengambil semua pemberian-Nya yang telah disalahgunakan oleh orang-orang berdosa, dan mereka tidak dapat berkata apa-apa, tidak dapat berbuat apa-apa. Hal ini kiranya mendorong kita untuk sepenuhnya percaya akan kebaikan Tuhan. Seseorang yang benar-benar bijak akan memperkaya hatinya dengan mazmur yang mencerahkan ini, dan pada akhirnya menyadari kelemahan dan kemalangan manusia, sekaligus mampu melihat adanya kekuatan dan cinta kasih Allah, dan itu semua bukan karena kebaikan manusia, melainkan karena kemurahan-Nya.

Teks ini menegaskan bahwa Allah memiliki kuasa untuk membalikkan keadaan manusia bahkan keadaan alam, dan manusia sendiri yang bertanggung jawab atas pembalikkan ini. Artinya, Allah sebenarnya tidak membalikkan keadaan manusia tanpa alasan yang kuat, Allah tidak pernah semena-mena memiskinkan manusia atau mengangkat tinggi orang yang tadinya direndahkan. Pasti ada alasan kuat sehingga Tuhan berbuat seperti itu, dan alasan yang paling mendasar adalah tingkah laku manusia yang semakin tidak bertanggung jawab dalam mengelola kehidupan. Tanah “mengering” karena kejahatan manusia (ay. 33-34). Manusia sudah menjadi tidak  bertanggung jawab memelihara lingkungan, dan kita sudah menyaksikan bahkan mengalami sendiri hal ini. Satu hari kemarin (19/09/2015) kota Gunungsitoli, bahkan beberapa tempat di kepulauan Nias, diselimuti kabut asap akibat pembakaran hutan di Riau, Palembang, dan beberapa tempat lain di daratan Sumatera. Kita sudah merasakan sendiri akibat asap kabut itu kemarin, sampai tidak ada pesawat yang berani mendarat di Binaka. Menurut informasi di media massa, kebakaran hutan tersebut 99 % sengaja dilakukan oleh manusia. Demikian juga banjir yang seringkali melanda kota Gunungsitoli beberapa tahun terakhir kalau hujan deras walaupun hanya beberapa jam saja; penumpukkan sampah yang kita buang sembarangan telah membuat parit tersumbat, dan air hujan tidak bisa mengalir dengan baik, akhirnya banjir melanda kota kita. Jadi, kalau kita bertanya mengapa Allah membiarkan semua malapetaka ini terjadi? Seharusnya terlebih dahulu kita bertanya pada diri sendiri: “Mengapa saya ... tidak mengelola kehidupan ini dengan baik untuk mencegah terjadinya malapetaka?” Menurut pemazmur, kalau manusia melihat dunia ini sebagai milik Allah, maka ia pasti bijak mendiami dan memperlakukan dunia (alam) di mana dia berada; sebaliknya kalau manusia melihat dunia ini bukan sebagai milik Allah, maka dia akan mendiami dan memperlakukan alam itu tanpa rasa hormat. Orang bijak mampu menempatkan diri di dunia ini dengan lebih baik, lebih terhormat, dan mampu mengelola kehidupan dengan lebih bertanggung jawab.

Tetapi, Allah tidak hanya bisa mendatangkan malapetaka bagi manusia sebagai ganjaran atas perbuatan manusia yang tidak bijak. Pada sisi lain Allah juga dapat mencurahkan kebaikan-Nya di atas gurun sehingga ada kelimpahanair, Ia mengenyangkan orang-orang lapar, membuat tanah mereka menjadi subur, dan memberkati manusia (ay. 35-38). Namun, pertanyaannya adalah apa yang manusia lakukan dengan kekayaan atau dengan segala sesuatu yang sudah diberikan oleh Allah kepadanya? Kalau mau jujur, kita seringkali menyalahgunakan berkat-berkat Tuhan dalam kehidupan kita; kita sering menggunakan pemberian Tuhan hanya untuk kepentingan kita sendiri, dan tidak peduli dengan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kita seringkali menggunakan pemberian Tuhan untuk memuaskan keinginan daging kita, bahkan kadang-kadang menggunakan pemberian Allah itu untuk menjatuhkan sesama kita. Implikasinya adalah bahwa penindasan, bencana, dan kesedihan sesungguhnya lebih sebagai hasil dari kegagalan moral manusia.

Ayat 40 dan 41 menegaskan pembalikkan keadaan manusia tersebut oleh Allah. Orang-orang yang tadinya terkemuka kini dibuat-Nya hina dan mengembara di padang tandus yang tiada jalan; sebaliknya orang-orang yang tadinya miskin kini dibentengi-Nya terhadap penindasan dan dibuat-Nya mereka seperti kawanan domba banyaknya. Kepada jemaat di Korintus Paulus berkata: “Sebab yang bodoh dari Allah lebih besar hikmatnya dari pada manusia dan yang lemah dari Allah lebih kuat dari pada manusia” (1 Kor. 1:25). Menurut ukuran manusia, tidak banyak orang yang bijak, tidak banyak juga orang yang berpengaruh, dan tidak banyak orang yang terpandang. Tetapi Tuhan justru memilih orang-orang yang dianggap bodoh oleh dunia untuk membuat malu mereka yang tadinya dianggap hebat oleh dunia ini; Allah memilih orang-orang yang dianggap lemah oleh dunia untuk membuat malu mereka yang tadinya dianggap kuat oleh dunia.

Sdra/i yang terkasih, kehadiran Allah pada satu sisi menjadi sukacita besar bagi orang-orang yang takut akan Dia, namun akan menjadi malapetaka bagi mereka yang hidup terpisah dari Tuhan.  Sama seperti dua orang anak yang sama-sama menantikan kepulangan orangtua mereka dari kantor atau dari tempat pekerjaan mereka; anak yang satu akan sangat gembira ketika orangtuanya pulang ke rumah karena telah berlaku baik di rumah, namun anak yang satu akan menjadi takut karena telah berbuat yang salah ketika orangtuanya pergi. Ketika Tuhan datang, orang-orang yang telah hidup dengan bijak dan bertanggung jawab akan bersuka cita (bnd. ay. 42), sebab mereka percaya bahwa Tuhan akan membalikkan keadaan mereka menjadi lebih baik. Sebaliknya, orang-orang yang selalu berbuat curang (bnd. ay. 42), orang-orang yang menjalani kehidupan mereka dengan tidak bijak dan tidak bertanggung jawab, akan merasa gemetaran ketika Tuhan datang, sebab Tuhan akan membalikkan keadaan mereka menjadi buruk, menjadi hina, menjadi miskin, menjadi tandus, seperti sungai-sungai menjadi padang gurun, pancaran-pancaran air menjadi tanah gersang, dan tanah yang subur menjadi padang asin.

Sdra/i yang dikasihi Tuhan, ketika Allah membalikkan keadaan hidup kita, apa yang mestinya kita lakukan? Ketika Allah membuat hidup kita lebih baik, apa yang seharusnya kita lakukan? Mengucap syukur bukan? Kita mestinya menjalani kehidupan yang lebih baik itu dalam takut akan Tuhan, dan mengelola kehidupan yang diberikan oleh Tuhan itu dengan lebih bijak dan bertanggung jawab. Sebaliknya, kalau Tuhan membalikkan keadaan kita menjadi lebih buruk, maka seharusnya hal itu menjadi pembelajaran penting bagi kita bahwa Tuhanlah yang berkuasa dalam kehidupan kita. Karena itu, jalanilah kehidupan dengan bijak, kelolalah kehidupan dengan bertanggung jawab, dan mengucap syukurlah dalam segala hal.

Möi ba dödöu wa’atuatua, ba tobali omasiö dödöu wa’aboto ba dödö andrö (Amaedola 2:10).


[1] Bahan Khotbah Minggu, 20 September 2015, di Kebaktian Siang BNKP Jemaat Denninger, oleh Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

Sunday, September 13, 2015

Allah datang Membalikkan Keadaan Umat-Nya (Yesaya 35:4-7a)

Bahan Khotbah Minggu, 6 September 2015
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

35:4   Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: “Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu!”
35:5   Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka.
35:6   Pada waktu itu orang lumpuh akan melompat seperti rusa, dan mulut orang bisu akan bersorak-sorai; sebab mata air memancar di padang gurun, dan sungai di padang belantara;
35:7   tanah pasir yang hangat akan menjadi kolam, dan tanah kersang menjadi sumber-sumber air; di tempat serigala berbaring akan tumbuh tebu dan pandan.

Pernahkah Anda berada dalam kesulitan? Pernahkan berada dalam situasi yang tidak jelas, dihantui oleh perasaan takut? Dihantui oleh kekuatiran? Kecemasan? ... Adakah yang mau terus menerus berada dalam situasi itu? Saya percaya tidak ada. Ketika kita berada dalam kesulitan, situasi tidak jelas, berada dalam ketakutan, kekuatiran dan kecemasan, kita tentunya merindukan pertolongan, penyelesaian, dan menemukan jalan keluar.

Hal yang sama juga dialami oleh bangsa Israel pada zaman nabi Yesaya, terutama umat Yehuda, yang adalah umat pilihan Tuhan. Mereka berada dalam situasi sulit, sangat sulit, hingg nabi Yesaya menggambarkan situasi mereka ini seperti situasi di padang gurun atau padang pasir (tanö simate), tempat yang tidak ada airnya, tidak ada makanan, tidak ada sumber kehidupan, penuh dengan ancaman, dan tiada pengharapan. Mengapa nabi Yesaya menggambarkan situasi mereka seperti ini?

Sdra/i, pada waktu bangsa Israel, terutama umat Yehuda, sedang menghadapi ancaman berat dari luar dan dari dalam negeri. Dari luar, mereka berada dalam ancaman bangsa-bangsa lain, terutama ancaman dari tentara-tentara Asyur yang pada waktu itu sangat kuat. Beberapa bangsa lain pun berkoalisi untuk melawan bangsa Asyur ini, termasuk Israel Utara, namun Israel Selatan (Yehuda) tidak mau ikut dalam koalisi tersebut. Akibatnya, bangsa Yehuda ini diserang balik oleh koalisi yang di dalamnya ada saudaranya sendiri yaitu Israel Utara. Bangsa Yehuda merasa tidak berdaya, sehingga mereka meminta bantuan dari bangsa Asyur tadi, tetapi dengan konsekuensi mereka harus membayar “upeti” (beo) kepada raja Asyur. Awal-awalnya mereka mampu membayar itu, tetapi  beberapa waktu kemudian mereka tidak membayarnya lagi. Akibatnya, raja Asyur sangat marah, dan dia mengirim tentara-tentaranya yang sangat kuat untuk menyerang Yehuda tadi (Ibarat ungkapan: sebaik-baiknya harimau, tetap harimau; fa’asökhisökhi harimo, ha sambalö harimo, i’a zifahuwu khönia na olofo ia). Nah, lagi-lagi bangsa Yehuda meminta pertolongan kepada bangsa lain, yaitu kepada bangsa Mesir. Tindakan mereka ini sangat melukai hati Tuhan, sebab Allah sendiri telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, dan sekarang mereka kembali meminta bantuan dari bangsa Mesir itu. Sangat menyakitkan hati Tuhan. Itulah sebabnya mereka kemudian dihukum oleh Tuhan, menyerahkan mereka dalam ketakutan, kecemasan, dan kekuatiran yang tiada henti pada waktu itu, dan itulah akibat dari dosa mereka, akibat mereka menaruh pengharapan pada manusia, bukan pada Tuhan.

Dari dalam, mereka hidup dalam dosa, kecurangan/korupsi terjadi di mana-mana dan tidak peduli dengan Allah. Mereka seolah-olah sudah melupakan betapa pada zaman dahulu Tuhan Allah telah membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir, menyertai mereka dalam perjalanan hingga memberikan mereka tanah perjanjian. Namun, sekarang para pemimpin bangsa itu telah sepenuhnya korupsi. Para imam juga mengajak umat Tuhan untuk percaya kepada para peramal/dukun, dan beribadah kepada berhala untuk memperoleh kekayaan, dan tidak membawa umat Tuhan ke dalam kehadiran Allah yang begitu indah dimana Allah memberkati umat-Nya. Para nabi juga bernubuat hanya untuk menyenangkan hati pendengarnya, dan para hakim (penegak hukum) memakan suap untuk membelokkan hukum pada waktu itu dimana mereka membenarkan yang salah dan menghukum yang tidak bersalah. Intinya, Israel, terutama Yehuda, telah menjadi tanah yang penuh dengan ketidakadilan, penuh dengan penyembahan berhala, penuh dengan kepalsuan, penuh dengan kecongkakan/keangkuhan, dan akhirnya diliputi dengan kecemasan, kekuatiran, ketidakpastian, dan ketakutan yang luar biasa.

Dalam situasi mencekam seperti itulah nabi Yesaya memberitakan suatu kepastian dari Tuhan, yaitu bahwa Tuhan Allah sendiri datang menyelamatkan umat-Nya, tödötödö Nama sa’atö ba ndraono-Nia. Tuhan akan datang, dan Yesaya mengajak umat Yehuda, mengajak kita semua untuk memandang Allah, sebab Allah akan datang untuk melakukan pembalasan atas mereka yang jahat dan membebaskan umat yang dikasihi-Nya. (ay. 3-4). Artinya, Tuhan Allah sendiri datang untuk membalikkan keadaan umat-Nya, dari situasi mencekam ke situasi yang menggembirakan; bahkan kelemahan umat-Nya akan segera diakhiri, “Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka ...” (ay. 5-6b). Lebih menggembirakan lagi, ketika Allah datang menyelamatkan umat-Nya, maka di dalam kecemasan dan kuasa kematian yang selama ini menghantui kehidupan mereka, justru muncul sumber kehidupan. Mata air menyembur di padang gurun yang notabenenya tidak memiliki air, pertanda akan datangnya pertolongan dan berkat dari Tuhan; tempat yang tadinya gersang dan terpencil di mana hanya hidup serigala akan menjadi subut kembali dan dipenuhi oleh rumput (ay. 6c-7). Inilah pembalikkan keadaan dan transformasi bagi umat Tuhan.

Sdra/i, gambaran kehidupan bangsa Israel tadi nampaknya dapat kita temukan dalam kehidupan kita dewasa ini. Umat Tuhan mengalami masa-masa sulit; ada banyak ancaman dari luar diri umat Tuhan (gereja). Dari waktu ke waktu jumlah orang Kristen yang sungguh-sungguh percaya dan hidup dalam Kristus semakin berkurang, dan banyak yang memilih untuk berpindah kepercayaan dan atau memilih untuk ke tempat-tempat lain untuk mencari kesenangan diri sendiri. Dari waktu ke waktu, semakin banyak orang Kristen yang datang beribadah hanya untuk menyenangkan diri sendiri, dan bahkan zaman sekarang sudah ada gereja-gereja yang menawarkan ibadah “bersenang-senang”, yang penting “happy”, dan banyak orang datang ke ibadah-ibadah semacam itu. Kita juga masih terus menyaksikan betapa orang-orang yang percaya kepada Kristus mengalami penganiayaan di berbagai tempat, apalagi dengan ancaman dari ISIS. Di luar gereja, ada banyak tawaran yang hanya untuk menyenangkan diri manusia, tidak peduli apakah salah atau tidak.

Ancaman yang jauh lebih besar justru berasal dari dalam diri kita masing-masing, dari dalam gereja. Banyak umat Tuhan yang tercatat sebagai orang Kristen, namun seringkali mengkhianati Tuhan dengan tidak menaruh pengharapan kepada-Nya. Banyak orang Kristen yang mengalami kekeringan spiritual, dan menghabiskan waktu dan energi untuk hingar-bingar dunia ini. Berbagai kesulitan juga menghantui kehidupan kita. Isu gempa bumi dahsyat dan tsunami masih menjadi momok di tengah-tengah masyarakat sampai hari ini. Harga barang kebutuhan yang sulit terjangkau, sementara harga komoditas lokal (terutama karet) tidak menggembirakan, korupsi terjadi di mana-mana dengan berbagai modus, rupiah yang masih loyo, belum lagi ancaman penyakit yang akhir-akhir ini sering membuat kita terkejut ketika mendengar bahwa orang ini dan itu telah meninggal dunia karena suatu penyakit. Masih banyak lagi, intinya kita juga sedang hidup dalam ketidakpastian, ketidakjelasan, kekuatiran dan ketakutan.

Maka, tidak mengherankan kalau kita sekarang seolah-olah sedang berada di tengah-tengah padang gurun dimana kehidupan kita saat ini dan masa depan sangat berbahaya. Kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan, tidak berdaya menghadapi situasi sulit itu; persoalannya adalah bahwa banyak orang yang tidak kembali kepada jalan Tuhan, justru menyerahkan diri dan kehidupan kepada keprcayaan dan harapan lain.

Namun, sekarang Tuhan Allah melakukan transformasi. Disebutkan tadi bahwa Tuhan akan memunculkan mata air di tengah-tengah pada gurun yang notabenenya tidak berair. Apa artinya? Yaitu bahwa sukacita akan datang lagi, sebab Allah sendiri yang mendatangkannya, dalam situasi yang sangat sulit pun Tuhan pasti mampu mendatangkan pertolongan dan penyelamatan bagi umat-Nya.


[1] Bahan Khotbah Minggu, 06-09-2016, Jemaat BNKP Denninger (08.00) dan Jemaat BNKP Hermon Lölömoyo (10.00), Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...