Saturday, December 25, 2021

Firman itu telah menjadi Manusia – Ba no Tobali Ösi Niha Daroma Li andrö (Yohanes 1:14-18)

Khotbah Minggu, 26 Desember 2021 (Natal II)
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.
15 Yohanes memberi kesaksian tentang Dia dan berseru, katanya: "Inilah Dia, yang kumaksudkan ketika aku berkata: Kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku."
16 Karena dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia;
17 sebab hukum Taurat diberikan oleh Musa, tetapi kasih karunia dan kebenaran datang oleh Yesus Kristus.
18 Tidak seorangpun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya.

Tema awal yang sangat penting dalam tulisan Yohanes adalah “Firman yang menjadi daging” (LAI: Firman itu telah menjadi manusia). Inilah yang kemudian kita kenal sebagai Inkarnasi Allah. Firman yang telah menjadi manusia ini sejak pada mulanya bersama-sama dengan Allah (ay. 1-3), datang untuk membawa terang (4-9), dan datang serta diam di antara manusia (10-14). Firman inilah yang dimaksud oleh Yohanes dalam teks khotbah tadi: “kemudian dari padaku akan datang Dia yang telah mendahului aku, sebab Dia telah ada sebelum aku” (ay. 15). Firman itu telah datang, dan kini kita pun terus menyongsong kedatangan-Nya bahkan sampai pada akhir zaman.

Pada ayat 14, penulis Injil Yohanes mengatakan bahwa Firman yang telah menjadi manusia itu datang dan diam di antara manusia. Penegasan ini pada satu sisi memberi kepastian kepada setiap orang yang masih ragu-ragu akan kemungkinan “turunnya” Allah (yang ilahi) ke dalam dunia (yang materiil), dan pada sisi lain meyakinkan para pembaca atau pendengar untuk berani menjalani kehidupan di tengah-tengah dunia yang telah dikuasai oleh kegelapan. Dengan kata lain, Yohanes hendak mengatakan bahwa Allah telah menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus.

Lalu apa arti dari semua ini? Kerelaan Allah menjadi manusia, dan kini diam di antara manusia menunjukkan solidaritas ilahi akan dunia (fa’awösa), menunjukkan bahwa Allah solider terhadap umat manusia dengan segala kesengsaraannya, menunjukkan bahwa Allah peduli secara nyata dengan penderitaan, kesulitan, dan keragu-raguan manusia. Ini merupakan berita sukacita besar, bukan saja kepada pembaca awal dari tulisan Yohanes ini, melainkan juga bagi manusia di sepanjang masa.

Sejak kapan Ia datang? Pada ayat 15 Yohanes menegaskan bahwa sesungguhnya Sang Firman itu telah ada sejak pada mulanya, telah ada jauh sebelum Yohanes sendiri ada, dan tentunya jauh sebelum kita ada. Dengan penegasan ini, Yohanes lagi-lagi hendak menjawab keragu-raguan yang ada di hati manusia: keragu-raguan akan kedatangan Allah ke dunia, keragu-raguan akan keilahian Kristus, keragu-raguan akan kuasa Kristus, keragu-raguan akan keselamatan yang dibawa Kristus, dan keragu-raguan dalam menjalani kehidupan yang penuh tantangan.

Sang Firman ini bahkan melebihi Musa, sebab Musa datang (hanya) untuk menyampaikan hukum Taurat, sedangkan Yesus Kristus ada untuk mendatangkan kasih karunia dan kebenaran (fa’ebua dödö ba fa’aduhu) (ay. 17). Kasih karunia inilah yang kita terima sampai saat ini (ay. 16), bahkan Yesus Kristus sendiri yang menyatakan Allah kepada dunia. Dengan kata lain, kepenuhan Allah nyata di dalam diri Yesus Kristus (fa’amo’ahonoa Lowalangi ba no so ba khö Keriso Yesu). Jadi, kalau di dalam Kristus kepenuhan atau kesempurnaan Allah telah ada, mengapa kita mesti mencari lagi kepenuhan lain yang sesungguhnya tidak sempurna?

Hari ini, kita memasuki hari ke-2 perayaan natal, kemarin dan semalam kita sudah merayakannya juga. Penulis Injil Yohanes mungkin tidak tahu banyak tentang kisah Natal seperti yang biasa kita rayakan dewasa ini. Tetapi dia tahu betul tentang semangat atau jiwa dari Inkarnasi itu, yaitu bahwa karena Yesus, perwujudan kasih karunia Allah (1:16) menjadi daging, maka kita diberikan kesempatan untuk mengenal Allah yang tidak dapat diketahui (1:18), dan mengakui diri sebagai anak-anak Allah yang dikasihi. Dengan kata lain, Allah, dalam kemahakuasaan-Nya, dalam kemuliaan-Nya yang tiada tara, berkenan merendahkan diri melalui kedatangan Yesus Kristus. Untuk apa? Untuk keselamatan dunia, untuk keselamatan kita semua. Allah sendiri rela berkorban, memberikan segalanya untuk kebaikan kita semua. Nah, kalau Allah berkenan melakukan itu semua, mengapa kita kadang-kadang begitu berat untuk menjadi rendah hati? Mengapa kita kadang-kadang begitu sulit untuk berkorban dan seringkali memperhitungkan untung rugi dalam kegiatan dan pelayanan ilahi di dunia ini?

Peristiwa Firman telah menjadi manusia menunjukkan bahwa Allah sendiri datang dalam situasi buram kemanusiaan kita. Kelahiran Yesus sebagai perwujudan dari peristiwa Firman menjadi manusia, menunjukkan bahwa Allah dengan segala kemahakuasaan-Nya rela menjadi manusia supaya kita selamat. Peristiwa natal adalah peristiwa dimana Allah menerobos kegelapan dan merengkuh kerapuhan insani kita (Joas Adiprasetya 2021). Peristiwa natal adalah peristiwa dimana Allah menunjukkan keberpihakan-Nya kepada orang-orang terpinggirkan. Peristiwa natal adalah peristiwa dimana Allah melawat orang-orang yang sakit dan terluka untuk dipulihkan. Ada berbagai situasi di mana kita mengalami kesulitan yang luar biasa, tetapi Allah mampu menolong kita. Dalam beberapa tahun terakhir kita dihantui oleh bayang-bayang kematian karena Pandemi Covid19. Dalam beberapa minggu terakhir, sejumlah wilayah di Indonesia dihantam bencana alam. Dalam situasi seperti itu kita menjerit “sampai kapan Tuhan”?

Tentu saja Allah tidak akan menjawab langsung jeritan kita tersebut. Situasi sulit seperti itu justru menjadi kesempatan bagi kita untuk merenungkan dan menyadari kerapuhan kita sebagai manusia. Hidup manusia ini selalu bermasalah, tubuh kita ini menjadi tempat yang nyaman bagi berbai virus, bakteri, kuman, dan penyakit. Ini tidak berarti bahwa kita tidak berbuat apa-apa ketika kita mengalami masalah, kita menyerah begitu saja. Tidak, tidak seperti itu! Kita memang tetap harus berjuang sambil berserah diri pada kekuasaan Tuhan, sebab hanya Dialah yang mampu menolong kita. Kalau dulu Allah berkenan dan mampu menjadi manusia (yang amat mustahil), sekarang pun kita percaya bahwa Tuhan mampu menolong kita.

Mengapa Allah melakukan semuanya itu? Penulis injil Yohanes memberikan kita jawabannya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Hal ini pun sesuai dengan tema natal kita tahun ini: “Cinta Kasih Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan (1 Petrus 1:22) - Fa’omasi Keriso danedane wamalua fa’omasi ba dalifusö”. Semua karena cinta kasih Kristus!

Bernyanyilah bagi Allah – Mi’anunö khö Yehowa (Mazmur 147:1-11)

Khotbah Natal Umum, 25 Desember 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


1 Haleluya! Sungguh, bermazmur bagi Allah kita itu baik, bahkan indah, dan layaklah memuji-muji itu.
2 TUHAN membangun Yerusalem, Ia mengumpulkan orang-orang Israel yang tercerai-berai;
3 Ia menyembuhkan orang-orang yang patah hati dan membalut luka-luka mereka;
4 Ia menentukan jumlah bintang-bintang dan menyebut nama-nama semuanya.
5 Besarlah Tuhan kita dan berlimpah kekuatan, kebijaksanaan-Nya tak terhingga.
6 TUHAN menegakkan kembali orang-orang yang tertindas, tetapi merendahkan orang-orang fasik sampai ke bumi.
7 Bernyanyilah bagi TUHAN dengan nyanyian syukur, bermazmurlah bagi Allah kita dengan kecapi!
8 Dia, yang menutupi langit dengan awan-awan, yang menyediakan hujan bagi bumi, yang membuat gunung-gunung menumbuhkan rumput.
9 Dia, yang memberi makanan kepada hewan, kepada anak-anak burung gagak, yang memanggil-manggil.
10 Ia tidak suka kepada kegagahan kuda, Ia tidak senang kepada kaki laki-laki;
11 TUHAN senang kepada orang-orang yang takut akan Dia, kepada orang-orang yang berharap akan kasih setia-Nya.

Teks khotbah ini dapat dibagi dalam dua bagian: bagian pertama (ay. 1-6) dimulai dengan seruan untuk memuji Penyelamat Israel yang pada waktu itu kemungkinan besar mengalami kekalahan, pengasingan, dan kehancuran nasional; bagian kedua (ay. 7-11) dimulai dengan panggilan untuk beribadah. Mazmur ini hendak mengajak umat Tuhan untuk menyadari dan mengakui bahwa TUHANlah yang telah dan terus menyelamatkan mereka, dan tidak ada satu kekuatan apa pun yang mampu bertahan di hadapan-Nya.

Ayat 2-3 menunjukkan Tuhan yang penuh belas kasihan terhadap mereka yang telah menanggung banyak rasa sakit dan penghinaan. Dengan demikian, janji-janji TUHAN sebagaimana dinubuatkan oleh Yesaya (Yes. 40-55) sedang digenapi. Tuhanlah yang menyembuhkan mereka yang patah hati dan membalut luka-luka mereka. Henry Nouwen mengatakan bahwa penyembuh yang jauh lebih efektif adalah mereka yang pernah terluka (the wounded healer, yang terluka yang menyembuhkan). Yesus, yang lahir, dan kemudian disalibkan, adalah sosok Allah yang terluka, oleh sebab itu Dia pun mampu merasakan betapa sakitnya luka-luka kita, Dia sangat mengenal manusia yang patah hati. Allah yang terluka adalah Allah yang juga mampu menyembuhkan dan memulihkan umat-Nya yang sedang berada dalam aneka persoalan dan kepahitan hidup. Natal merupakan momen yang sungguh menggembirakan, sebab melalui peristiwa natal Allah hadir dan bersama dengan kita dalam menjalani kehidupan dengan segala dinamikanya itu.

Ketika bangsa Israel dibuang, mereka tentu saja mengenal dan belajar banyak tentang kosmos di Babel (ay. 4-5), yaitu tentang astrologi dan astronomi. Pemazmur menekankan bahwa aktivitas kosmos tersebut merupakan arena aktivitas TUHAN, bukan dewa Babel. Planet-planet dan bintang-bintang di langit pasti telah membuat orang-orang kuno terkesan. Jika Tuhan memiliki kuasa atas kosmos itu, maka dapat dipastikan juga bahwa Dia dapat menangani masalah umat Israel di bumi. Kuasa dan hikmat Tuhan jauh lebih besar daripada yang bisa dibayangkan manusia. Ayat 6 kembali ke tema ayat 1-3, yaitu kasih sayang Tuhan bagi orang-orang yang pada waktu itu berada dalam situasi yang tidak beruntung. Ada penekanan tambahan di ayat 6 ini, bahwa TUHAN menyatakan juga keadilan-Nya, Dia akan menghukum mereka yang telah membawa kemalangan pada mereka “yang tertindas”. Tuhan tidak hanya bijaksana dan berkuasa; Dia juga adil dan penyayang.

Israel pernah berada dalam situasi yang amat memprihatinkan bahkan pernah dibuang ke Babel, tetapi TUHAN Allah tetap mampu mengangkat mereka kembali, menyembuhkan dan memulihkan mereka. Demikian juga dengan situasi sosial-ekonomi ketika Yesus lahir, sungguh tidak menggembirakan, terutama bagi rakyat kecil. Ada berbagai persoalan sosial-ekonomi yang begitu sulit bagi orang-orang kecil, suatu potret kemanusiaan yang buram. Namun demikian, dalam situasi yang pahit itu, bayi Yesus lahir, menjadi tanda bahwa Allah kini hadir bersama dengan kita, tanda bahwa Allah menerobos kegelapan dan merengkuh kerapuhan insani kita (Joas Adiprasetya 2021). Oleh sebab itu, umat TUHAN patut memuji Allah yang telah dan terus menyelamatkan kita.

Bagaimana kita memuji Tuhan Penyelamat kita itu? Pemazmur mengajak umat Tuhan untuk memuji Allah dengan beribadah kepada-Nya (ay. 7-11), dan secara khusus bermazmur bagi TUHAN dengan nyanyian syukur dan kecapi (ay. 7). Dengan tegas pemazmur mengemukakan alasan mengapa kita memuji TUHAN di ayat 8-9. Musim hujan pada hakikatnya merupakan anugerah Tuhan, walaupun dapat juga membawa petaka bagi manusia karena berbagai faktor. Tanah menjadi subur dan gunung-gunung menumbuhkan rumput karena Tuhan menyediakan air untuk mereka. Hewan-hewan liar pun dipelihara oleh Tuhan, termasuk burung gagak yang terkenal licik. Artinya, cuaca dan segala jenis tumbuhan dan hewan, alam semesta, tidak pernah lepas dari kekuasaan Allah. Oleh sebab itu, hanya Tuhan saja yang patut disembah, tidak boleh yang lain.

Ini juga menjadi pengingat bagi kita untuk selalu mengarahkan pujian kita kepada Tuhan, dan bukan kepada yang lain. Kegiatan natal dengan segala perayaannya itu, mesti ditempatkan dalam kerangka memuji Tuhan, bukan ajang pameran. Dari waktu ke waktu, kita disuguhi berbagai kegiatan keagamaan, termasuk perayaan natal, yang kelihatannya monumental, mewah dan berkelas, padahal mestinya dirayakan dalam semangat kesederhanaan. Pertanyaannya ialah untuk apa? Untuk memuji Tuhan atau untuk harga diri manusia?

Allah tidak menyukai kegagahan duniawi, baik nyanyian keagamaan, maupun kegagahan para prajurit yang disimbolkan dengan kuda dan kaki laki-laki. Maksudnya, Allah tidak menyukai sikap dan tindakan manusia yang hanya sekadar gagah-gagahan, apalagi arogansi. Sehubungan dengan perayaan natal, peristiwa kelahiran Yesus selalu dalam kesederhanaan dan keberpihakan kepada masyarakat kecil. Kita tidak perlu membuat Allah terkesan dengan segala kegagahan dan kemewahan, sebab Allah justru melihat ke dalam dan menimbang isi hati manusia. Apakah salah merayakan natal dan kegiatan keagamaan lainnya dalam kemeriahan? Tidak! Tetapi kemeriahan itu mesti ditempatkan dalam rangka memuji Tuhan dengan penuh kesungguhan dan ketulusan.

Tema natal tahun 2021: Cinta Kasih Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan (1 Petrus 1:22) - Fa’omasi Keriso danedane wamalua fa’omasi ba dalifusö.

Dalam situasi dunia yang masih terus dihantui oleh pandemi covid19, apalagi dengan munculnya varian baru “Omicron”, terakhir muncul varian “Delmicron” (gabungan antara varian delta dan omicron), kita mestinya saling bergandengan tangan untuk menghadapinya. Dalam semangat cinta kasih Kristus, kita harus saling mendukung untuk meminimalisasi dampak buruk dari pandemi covid19. Dengan cinta kasih Kristus kita saling merengkuh dalam segala kerapuhan kita untuk menguatkan satu dengan yang lain. Itulah sebabnya, sebagai orang Kristen, atas dasar cinta kasih Kristus, kita harus mendukung dan terlibat dalam kegiatan vaksinasi dan berbagai program pemerintah lainnya yang berguna untuk masyarakat banyak.


Keluaran 15:2a “TUHAN itu kekuatanku dan mazmurku, Ia telah menjadi keselamatanku” (Fa’abölögu Yehowa ba fanunögu, me no sangorifi ya’odo Ia).

Friday, December 24, 2021

Yesus Juruselamat Dunia – Yesu Sangorifi Ösi Gulidanö (Lukas 2:1-7)

Khotbah Natal I, 25 Deember 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


2:1 Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.
2:2 Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria.
2:3 Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.
2:4 Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, --karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud-
2:5 supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung.
2:6 Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin,
2:7 dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Kisah natal versi Lukas ditandai dengan adanya sensus penduduk yang membuat setiap orang harus kembali ke kotanya untuk mendaftarkan diri. Perjalanan pulang ke kampung halaman pada waktu itu tidak begitu mudah dilakukan, apalagi bersama dengan keluarga, walaupun ada kerinduan untuk itu. Maka, kegiatan sensus penduduk merupakan kesempatan bagi setiap orang atau keluarga untuk pulang kampung. Semua orang berbondong-bondong kembali ke tempat asalnya dalam rangka sensus penduduk, setiap orang wajib mengikuti perintah penguasa. Tetapi, lebih dari sekadar memenuhi perintah penguasa, Lukas sepertinya sengaja mengisahkan kelahiran Yesus bersama dengan narasi sensus ini untuk menunjukkan bahwa kisah natal menjadi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan anggota keluarga, kesempatan bertemu dengan orang-orang di kampung halaman dalam semangat kekeluargaan. Dengan kata lain, pada zaman kelahiran Yesus, sensus penduduk telah menjadi semacam “media” bagi Allah untuk menggerakkan mereka bersama dalam semangat kekeluargaan.

Sebenarnya, Yesus lahir pada masa-masa sulit, dalam perjalanan yang mungkin melelahkan, persiapan hampir tidak ada. Alhasil, Yesus lahir dalam segala kesederhanaan, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan, sebab tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Situasi sosial-ekonomi ketika Yesus lahir sungguh tidak menggembirakan, terutama bagi rakyat kecil. Ada berbagai persoalan sosial-ekonomi yang begitu sulit bagi orang-orang kecil, suatu potret kemanusiaan yang buram. Namun demikian, dalam situasi yang pahit itu, bayi Yesus lahir, menjadi tanda bahwa Allah kini hadir bersama dengan kita, tanda bahwa Allah menerobos kegelapan dan merengkuh kerapuhan insani kita (Joas Adiprasetya 2021). Mengapa Allah melakukan semuanya itu? Penulis injil Yohanes memberikan kita jawabannya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Hal ini pun sesuai dengan tema natal kita tahun ini: “Cinta Kasih Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan (1 Petrus 1:22) - Fa’omasi Keriso danedane wamalua fa’omasi ba dalifusö”. Semua karena cinta kasih Kristus!

Renungan kita berikutnya adalah tentang Yesus yang sesungguhnya merupakan keturunan Daud, raja besar di Israel. Apa artinya? Yaitu bahwa Yesus sesungguhnya “berdarah biru”, keturunan bangsawan yang seharusnya lahir secara terhormat. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Yesus lahir di tempat yang tidak layak bagi keturunan raja (lih. ay. 6-7). Berita kelahiran-Nya pun tidak disiarkan live seperti yang akhir-akhir ini dilakukan oleh beberapa TV swasta di Indonesia ketika para selebritas melahirkan. Berita kelahiran Yesus pun tidak diberitakan pertama-tama kepada kaum bangsawan, tetapi justru kepada para gembala di padang, kepada kelompok masyarakat yang tidak terpandang. Yusuf dan Maria, bahkan Yesus sendiri pun, rela menjalani segala kerendahan itu, mereka tidak menuntut apa-apa sekali pun mereka layak mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa. Tentu kenyataan ini sangat berbeda dengan realitas sekarang. Banyak orang yang memanfaatkan jabatan ayahnya atau keluarganya dan berlagak seperti pejabat juga, berlaku seenaknya, memerintah sesuka hati, bahkan sering terjadi seperti ungkapan dalam bahasa Nias: “ebua li nambi moroi ba göröbao”. Apakah hari ini telah lahir juruselamat bagi kita? Apakah ada tempat bagi Yesus dalam hidup kita, ataukah Dia harus lahir di tempat di luar hati ini? Natal membutuhkan kerelaan kita untuk berbagi dan berkorban dengan yang lain, rela untuk repot, rela ego kita terluka, supaya kita dapat hidup bersama dalam landasan dan semangat cinta kasih Kristus. Kalau sungguh-sungguh menikmati cinta kasih Kristus, maka sesungguhnya mudah bagi kita untuk hidup bersama dengan yang lain tanpa harus saling merendahkan, sebaliknya memiliki kerendahan hati “ba wangomasi’ö talifusö”.

Dalam situasi dunia yang masih terus dihantui oleh pandemi covid19, apalagi dengan munculnya varian baru “Omicron”, kita mestinya saling bergandengan tangan untuk menghadapinya. Dalam semangat cinta kasih Kristus, kita harus saling mendukung untuk meminimalisasi dampak buruk dari pandemi covid19. Dengan cinta kasih Kristus kita saling merengkuh dalam segala kerapuhan kita untuk menguatkan satu dengan yang lain. Itulah sebabnya, sebagai orang Kristen, atas dasar cinta kasih Kristus, kita harus mendukung dan terlibat dalam kegiatan vaksinasi dan berbagai program pemerintah lainnya yang berguna untuk masyarakat banyak.

Kita juga baru saja mengalami bencana alam: banjir dan tanah longsor. Banyak kerugian materi yang dialami oleh masyarakat kita, bahkan ada yang menjadi korban tertimbun tanah longsor. Pada saat-saat sulit seperti itu dibutuhkan kepekaan dan solidaritas kita untuk saling menolong berdasarkan cinta kasih Kristus. Kadang-kadang kita tergoda untuk saling menyalahkan atau bahkan mencari kambing hitam penyebab terjadinya bencana, sementara kita lupa untuk menolong mereka yang sedang berada dalam situasi sulit. Banyak orang seperti itu di Indonesia ini, sibuk menyalahkan pihak-pihak tertentu ketika suatu bencana terjadi. Tentu saja sikap seperti itu tidak salah, tetapi alangkah jauh lebih berguna apabila diikuti dengan tindakan menolong orang-orang yang menjadi korban bencana tersebut, dan tidak hanya menyalahkan ini menyalahkan itu.

Sebagai orang Kristen yang digerakkan oleh cinta kasih Kristus, kita mestinya merespons keluh kesah orang-orang yang berada dalam situasi sulit dengan tindakan kasih yang konkret. Allah, dalam kegelapan dunia, telah menujukkan solidaritas-Nya kepada kita, oleh sebab itu kita pun harus mewujudnyatakan solidaritas ilahi itu dalam tindakan kemanusiaan di tengah-tengah dunia yang sedang dihimmpit berbagai masalah. Siapa yang bisa melakukan itu? Kita, ya kita yang sudah menikmati cinta kasih Kristus.

Saturday, December 4, 2021

Bertobatlah, Persiapkan Jalan bagi Tuhan – Mifalalini Gera’era, Mihaogö Lala Zo’aya (Lukas 3:1-6)

Rancangan Khotbah Minggu Adven ke-2
Minggu, 5 Desember 2021
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Dalam tahun kelima belas dari pemerintahan Kaisar Tiberius, ketika Pontius Pilatus menjadi wali negeri Yudea, dan Herodes raja wilayah Galilea, Filipus, saudaranya, raja wilayah Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias raja wilayah Abilene,
2 pada waktu Hanas dan Kayafas menjadi Imam Besar, datanglah firman Allah kepada Yohanes, anak Zakharia, di padang gurun.
3 Maka datanglah Yohanes ke seluruh daerah Yordan dan menyerukan: “Bertobatlah dan berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu,
4 seperti ada tertulis dalam kitab nubuat-nubuat Yesaya: Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya.
5 Setiap lembah akan ditimbun dan setiap gunung dan bukit akan menjadi rata, yang berliku-liku akan diluruskan, yang berlekuk-lekuk akan diratakan,
6 dan semua orang akan melihat keselamatan yang dari Tuhan.”

Ketika menampilkan nabi Yohanes dalam Lukas 3:1-6, penulis juga memperkenalkan para pemegang kekuasaan: (1) Kaisar (Tiberius), (2) Wali Negeri (Pontius Pilatus), (3) tiga Raja wilayah (Herodes di Galilea, Filipus di Iturea dan Trakhonitis, dan Lisanias di Abilene), dan (4) dua Imam Besar (Hanas dan Kayafas). Para penguasa ini (kaisar, wali negeri, raja, dan imam besar) mewakili kekuasaan duniawi pada waktu itu: tanah/wilayah regional, agama, politik, dan ekonomi yang berdiri di pusat kota Yerusalem. Secara kolektif mereka memegang semua otoritas dan kekuatan yang mencakup antara lain: kekayaan, militer, atau leluhur.

Kita dapat berefleksi sejenak bahwa dunia di mana Tuhan mengutus Mesias adalah dunia yang dikuasai oleh berbagai bentuk dominasi dan pengaruh duniawi, yang digambarkan dalam Injil Lukas oleh orang-orang seperti Tiberius, Pilatus, Herodes (Antipas), Filipus, Lisanias, Hanas, dan Kayafas. Mereka adalah para pejabat teras di bidang atau wilayahnya masing-masing. Mengapa Lukas memperkenalkan mereka sebelum menampilkan Yohanes? Tampakya, Lukas hendak menyampaikan pesan bahwa firman Allah tidak sampai kepada salah satu dari orang-orang berkuasa yang berpengaruh itu, atau ke bidang kekuasaan, atau ke wilayah politik yang mereka kuasai. Firman Allah justru datang kepada seorang pria yang sendirian di padang gurun: Yohanes, anak Zakharia.

Yohanes berasal dari leluhur imam di kedua sisi keluarga (Lukas 1:5-6). Ayahnya, Zakharia, adalah seorang imam yang rotasi tugasnya mencakup pelayanan di Bait Suci Yerusalem. Elisabet, ibunya, adalah keturunan imam yang berasal dari Harun. Seandainya Yohanes meneruskan urusan keluarganya, yang ayah-ibunya merupakan keturunan imam, tentu dia akan terlibat dalam pekerjaan yang berhubungan dengan Bait Suci di Yerusalem, yang dipercaya sebagai tempat berdiamnya Tuhan.

Namun, alih-alih melayani di Bait Suci di Yerusalem tersebut, di tempat tersuci orang Israel, Yohanes malah memilih berada dan bertumbuh di padang gurun, wilayah sekitar sungai Yordan (Luk. 3:3). Pilihan Yohanes ini tidak terlepas dari tuntunan Roh Kudus sejak sebelum kelahirannya (Lukas 1:15), bahwa dia dilahirkan untuk menjadi seorang nabi (Luk. 1:76), dan bukan imam yang biasa melayani di sekitar Bait Suci. Jauh dari pusat kekuasaan duniawi, baik politik maupun agama, Yohanes memenuhi panggilannya untuk “menghadap” Tuhan (bnd. Luk. 1:17, 76), dengan maksud “untuk memberikan kepada umat-Nya pengertian akan keselamatan yang berdasarkan pengampunan dosa-dosa mereka” (Luk. 1:77).

Sejak zaman PL, pada gurun (eremos = gurun, tempat sepi) dalam tulisan-tulisan alkitabiah sering mewakili situasi yang penuh dengan kerentanan dan ketidakpastian. Dalam Lukas, padang gurun merupakan tempat pengujian dan kelaparan (Luk. 4:1-2; 9:12), dan kadang-kadang bahaya atau kehancuran (Luk. 15:4; 21:20) atau hilang dan ditemukan (Luk. 15:4 ). Tetapi, penulis Lukas menunjukkan bahwa justru di padang gurun, tempat yang penuh dengan kerentanan, ketidakpastian, dan bahaya itulah Tuhan muncul. Tuhan pernah menyatakan pertolongan-Nya dulu kepada bangsa Israel selama mereka di padang gurun dalam berbagai cara. Tuhan pernah membimbing mereka dengan tiang awan pada siang hari dan tiang api pada malam hari (Kel. 13:21); Tuhan pernah menyediakan apa yang dibutuhkan di padang gurun, seperti manna harian (Ul. 8:16; Mzm. 78:24 ). Padang gurun memang amat berbahaya, tetapi di padang gurunlah umat Tuhan belajar untuk bergantung sepenuhnya pada Tuhan. Di padang gurun seperti itulah Yohanes tinggal dan bertumbuh dalam pemeliharaan Allah, dan kini dia dipanggil menjadi nabi yang menyerukan pertobatan, pembaptisan, dan pengampunan dosa.

Tujuan dari panggilan kenabian Yohanes tidak hanya untuk mempersiapkan jalan Tuhan (Luk. 3:4), tetapi mempersiapkan orang-orang untuk menerima Tuhan (Luk. 1:16-17). Di situlah pentingnya pertobatan untuk pengampunan dosa. Dalam konteks aslinya, Yesaya 40:3-5, kutipan dalam Lukas 3:4-6 mengacu pada kembalinya umat Tuhan dari pengasingan di Babel. Jalan fisik yang mereka tempuh dari Babel ke Yerusalem pada waktu itu adalah jalan yang kasar, membutuhkan perjalanan jarak jauh dengan topografi yang sulit. Jalan yang ditempuh untuk pulang itu penuh dengan tantangan. Bangsa Israel telah diubahkan oleh pengalaman pengasingan di Babel, dan sekarang mereka kembali ke rumah yang juga berubah. Melalui nubuat Yesaya, Tuhan berjanji untuk mempersiapkan mereka dalam perjalanan pulang, “memuluskan jalan” bagi mereka untuk kembali ke kehidupan baru di Tanah Perjanjian.

Lembah yang ditimbun dan pegunungan yang diratakan (ay. 5) tidak hanya mengarah ke jalan yang mulus, tetapi juga mewakili transformasi radikal. Ini adalah bahasa pembalikan, sudah umum dipakai dalam Injil Lukas, misalnya kata-kata dari lagu Maria, “Dia telah menurunkan yang berkuasa dari takhta mereka dan mengangkat yang rendah” (Luk. 1:52; lihat juga Luk. 4:18). Tidak ada yang terlihat sama; semuanya berubah. Ini adalah dunia yang diluruskan dengan cara diputarbalikkan, bukan oleh kekuatan atau kekuasaan duniawi yang begitu dihormati oleh manusia, tetapi oleh kekuatan atau kekuasaan Tuhan.

Sampai hari ini, kita masih berada dalam bayang-bayang ketidakpastian, kerentanan, dan bahkan kekuatiran karena ancaman pandemi Covid-19. Gelombang 1 belum usai, muncul gelombang 2, dan sekarang muncul gelombang 3 dengan varian terbaru (lagi) dari Corona (varian Omicron). Banyak orang merindukan kepastian tentang jalan ke depan. Sampai kapan Tuhan situasi seperti ini berakhir? Beberapa di antara kita berharap untuk kehidupan baru, ada juga yang ingin kembali ke keadaan semula (sebelum pandemi), dan sebagian lagi masih memiliki semangat untuk terus berjuang.

Kita tidak tahu pasti tentang dunia pascapandemi, para ahli pun tidak bisa memberikan informasi yang pasti. Tetapi, kita percaya bahwa Tuhan mampu berkarya dan hadir di tengah-tengah suasana dunia yang tidak pasti dan penuh kerentanan ini. Proklamasi Yohanes di padang gurun pada hari ini hendak mengajak kita untuk mempersiapkan diri dalam menerima Tuhan. Kita percaya bahwa Tuhan terus bekerja melampaui berbagai situasi yang tidak menentu, dan melampaui kekuasaan duniawi manapun. Persiapkanlah jalan bagi Tuhan, persiapkanlah dirimu menyambut kedatangan Tuhan.

Luka 4:4b “Mihaogö lala Zo’aya, mifadaya lala-Nia”

Sunday, November 28, 2021

Menyambut Kedatangan Tuhan dalam Kasih dan Kekudusan – Fangamoni’ö Fa’auri ba Famalua Fa'omasi ba Wamaondragö Wa’atohare Zo’aya (1 Tesalonika 3:9-13)

Khotbah Minggu Advent I
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

9 Sebab ucapan syukur apakah yang dapat kami persembahkan kepada Allah atas segala sukacita, yang kami peroleh karena kamu, di hadapan Allah kita?
10 Siang malam kami berdoa sungguh-sungguh, supaya kita bertemu muka dengan muka dan menambahkan apa yang masih kurang pada imanmu.
11 Kiranya Dia, Allah dan Bapa kita, dan Yesus, Tuhan kita, membukakan kami jalan kepadamu.
12 Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu.
13 Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya.

Teks Firman Tuhan pada hari ini dimulai dengan kata-kata, “Sebab ucapan syukur apakah yang dapat kami persembahkan kepada Allah atas segala sukacita, yang kami peroleh karena kamu, di hadapan Allah kita?” (ay.1). Ini merupakan suatu ungkapan sukacita dan rasa syukur Paulus atas perubahan dan komitmen orang-orang Kristen di Tesalonika dalam kesetiaan mereka kepada Yesus serta dalam relasi dan kasih mereka kepada sesama dan kepada rasul Paulus dan Silas. Bagi Paulus, perubahan dan komitmen orang-orang Kristen di Tesalonika ini sungguh luar biasa, sebab mereka sebenarnya mengalami berbagai tekanan atau penderitaan karena iman mereka tersebut. Tetapi, tekanan dan penderitaan tidak mengendurkan semangat perubahan dan komitmen mereka.

Kita tahu bahwa para pengikut Kristus yang tinggal di Tesalonika merupakan kelompok kecil, kelompok minoritas. Situasi mereka sejak awal menjadi pengikut Kristus tidaklah mudah. Keberadaan mereka sebagai pengikut Kristus dapat dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat lain yang lebih banyak di sekitar mereka. Mengapa? Karena sejak mereka menjadi pengikut Kristus, kesetiaan mereka sebelumnya kepada kepada penguasa dunia beralih kepada Tuhan yang baru, yaitu Yesus Kristus (Kisah Para Rasul 17:7). Perubahan radikal ini tentu saja membuat para penguasa dunia dan para pendukungnya tidak senang, dan berupaya mengajak mereka kembali kepada kebiasaan dan tradisi lama mereka. Namun demikian, perubahan opara pengikut Kristis tidak goyah, mereka tetap setia kepada Yesus, dan tetap menyatakan kasih kepada sesama, terutama Paulus dan Silas.

Seperti apa perubahan para pengikut Kristus ini? Dalam 1 Tesalonika 1:9-10 Paulus berbicara tentang bagaimana orang Tesalonika “berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.”Artinya, orang-orang Tesalonika ini telah berpaling dari berhala dan kini menghadap Tuhan yang baru. Perubahan radikal gerakan ini tidak boleh dianggap remeh, sebab merasuki setiap tingkat kehidupan: rumah, pekerjaan, keluarga, agama, ekonomi, dan politik. Tentu saja ada konsekuensi logis dari perubahan radikal ini. Langkah mereka yang cukup radikal dengan memisahkan diri dari segala sesuatu yang biasanya dianggap normal, menciptakan tekanan dalam kehidupan mereka, baik di rumah, pasar, dan tempat kerja. Bagi orang Tesalonika yang baru bertobat, komunitas murid yang berkumpul adalah rumah, keluarga, dan jaringan pendukung baru mereka. Hubungan menjadi lebih penting sekarang daripada sebelumnya ketika mereka berusaha untuk bersama-sama memahami apa artinya mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Selain itu, kita harus mencatat bahwa orang Tesalonika terus berhubungan baik dengan Paulus dan Silas (1 Tesalonika 3:6).

Reaksi masyarakat luas terhadap orang-orang Tesalonika yang mulai mengikut Yesus ini merupakan aspek kunci dalam konteks ayat-ayat kita. Jika kita mengintip ayat-ayat sebelum perikop kita, kita perhatikan di sana bahwa Paulus mengacu pada penganiayaan dan penderitaan pada tiga kesempatan hanya dalam delapan ayat. Jelas bahwa Paulus dan Silas menderita penganiayaan (1 Tesalonika 3:7), tetapi juga orang Tesalonika sendiri berada di tengah penganiayaan karena iman mereka (3:3). Orang-orang percaya Tesalonika telah mulai mengikuti Raja baru, dan berusaha untuk mengadopsi seperangkat nilai dan etos yang berakar pada Yesus. Akibatnya, mereka mulai berpaling dari dan menolak beberapa norma masyarakat terdekat mereka. Jadi, bagaimana ini semua mulai beresonansi dengan kita?

Pertama, kita diingatkan bahwa cinta-kasih semakin bertumbuh ketika kehidupan semakin sulit. Itulah yang terjadi di Tesalonika: cinta kasih mereka semakin bertumbuh sekalipun mereka sedang berada dalam situasi sulit. Paulus mengeskpresikan sukacita dan rasa syukur ini di ayat 9, ungkapan syukur dan rasa lega karena ternyata mereka tetap hidup dalam kasih satu dengan yang lain, dan mereka tetap teguh dalam iman kepada Yesus. Selain itu, dan ini penting bai Paulus, ungkapan sukacita dan rasa terima kasih Paulus dan Silas yang meluap-luap di sini berkaitan dengan fakta bahwa orang Tesalonika telah mempertahankan komitmen mereka untuk berhubungan dengan Paulus dan Silas. Mereka tidak menyangkal Paulus dan Silas. Orang Tesalonika sedang menderita; Paulus dan Silas pun menderita. Sebenarnya, orang-orang Kristen Tesalonika dapat saja meninggalkan iman mereka dan memutuskan hubungan dengan Paulus dan Silas. Tetapi bukan itu yang terjadi. Mereka terus mencintai, dan mendukung, dan mendorong satu sama lain. Hubungan itu penting, dan terutama ketika hidup itu sulit: saling menopang, saling mendukung, dan saling mengasihi, ketika berada dalam situasi sulit. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa dan menggembirakan apabila kita dicintai, didoakan, dan didukung di tengah penderitaan.

Kedua, bahwa kunci pemuridan Kristen adalah kasih. Kasih adalah inti dari surat Tesalonika, terbukti hal itu disebutkan oleh Paulus di seluruh surat. Doa Paulus dan Silas di sini adalah bahwa “kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu” (1 Tesalonika 3: 12). Komunitas Kristen awal ini telah mengakarkan diri dan hubungan mereka dalam kasih, dan kasih itulah yang menjamin kelangsungan hidup mereka di tengah penderitaan dan penganiayaan. Jadi, jangan kehilangan kasih di tengah kesulitan, böi okafu wa’omasi ba ginötö wa’abu dödö.

Ketiga, ada doa agar jemaat Tesalonika dikuatkan dalam kekudusan (1 Tesalonika 3:13). Dalam beberapa hal kekudusan mirip dengan cinta. Keduanya adalah ekspresi dari realitas Tuhan. Tuhan adalah kasih dan mereka yang bertemu dengan Tuhan berbicara tentang kekudusan-Nya. Menjalani hidup yang kudus berarti hidup sebagai ekspresi yang hidup dan bernafas dari cinta, kehidupan, dan realitas Tuhan. Realitas ini telah terlihat dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Namun, hidup dalam kekudusan bukan berarti membuat hidup lebih mudah. Pencobaan dan penganiayaan yang dialami oleh orang Tesalonika tidak akan surut begitu mereka mengintensifkan peniruan mereka terhadap kehidupan, kasih, dan realitas Tuhan Yesus. Sebaliknya, Paulus mengarahkan perhatian orang Tesalonika ke tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia, yaitu kedatangan Tuhan Yesus (1 Tesalonika 3:13).

Mari menyambut kedatangan Tuhan dengan tetap hidup dalam kekudusan dan kasih yang sejati.

Saturday, October 30, 2021

Injil yang Membaharui / Turia Somuso Dödö Zamohouni (Roma 1:16-17)

Khotbah Minggu, 31 Oktober 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

16 Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil, karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya, pertama-tama orang Yahudi, tetapi juga orang Yunani.
17 Sebab di dalamnya nyata kebenaran Allah, yang bertolak dari iman dan memimpin kepada iman, seperti ada tertulis: “Orang benar akan hidup oleh iman.”

Penting untuk “mengoreksi” sedikit terjemahan teks ini menurut bahasa Yunani. Ayat 16a diterjemahkan oleh LAI (TB): “Sebab aku mempunyai keyakinan yang kokoh dalam Injil …”. Agaknya terjemahan ini kurang tepat, terutama satu kata Yunani “επαισχυνομαι” (epaischunomai), yang berarti “merasa malu”. Ayat 16a semestinya diterjemahkan: “Sebab aku tidak merasa malu akan Injil …”

Mengapa Paulus mengatakan: “aku tidak merasa malu?” Patut diduga bahwa kemungkinan ada orang yang berpikir bahwa Paulus akan malu dengan Injil tersebut, sebab dia berbicara kepada orang-orang Kristen yang tinggal di Roma, kota besar, kota yang canggih, dan pusat kekuatan duniawi, yang secara umum tidak begitu peduli lagi dengan hal-hal rohani. Tetapi, lihat bagaimana Paulus dengan tegas mengatakan bahwa dia tidak merasa malu akan Injil (sekalipun mungkin ada yang menganggap dia malu). Secanggih atau semodern apa pun suatu wilayah, Paulus (dan kita sampai hari ini), tidak perlu merasa malu, atau merasa kurang percaya diri dengan Injil yang diberitakan. Tidak ada alasan untuk merasa malu dengan Injil.

Apa yang membuat Paulus merasa tidak malu dengan Injil? Bagaimana Injil (Yun. euaggelion) dapat dibandingkan dengan kemegahan dan kekuatan kaisar Romawi dengan pengawalan dan dukungan legiun tentaranya? Dengan singkat, Paulus menegaskan alasan yang membuat dia tidak merasa malu dengan Injil: “karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya …” (16.b). Sekali lagi, Paulus tidak malu akan Injil, karena dia tahu kuasa ilahinya. Benar bahwa kaisar Romawi menikmati kekuasaan yang besar, tetapi kekuasaan itu bersifat sementara dan terbatas. Kuasa Tuhan tidak memiliki batas, tidak ada akhir. Kaisar yang pada waktu itu dianggap sangat berkuasa, tidak berdaya menghadapi Tuhan. Kehidupan sang kaisar pun berada di dalam tangan kekuasaan Tuhan. Keyakinan akan kuasa ilahi Injil inilah yang kemudian membuat Paulus berani dan tidak malu memberitakan Injil.

Paulus telah merasakan sendiri kuasa Injil. Dia mengalaminya di jalan ke Damaskus, ketika dia akan menganiaya orang-orang Kristen. Kuasa Yesus dimanifestasikan pada kesempatan itu oleh cahaya terang yang membutakan Saulus dan suara dari langit (Kis. 9). Itulah peristiwa yang tak terlupakan dalam hidup Paulus, dia melihat dan mengalami sendiri kuasa Injil Yesus. Sejak saat itu, Paulus telah melihat kuasa Tuhan dimanifestasikan dalam banyak cara. Dia telah melihat orang-orang disembuhkan dan orang-orang bertobat. Dia telah dibebaskan dari penjara oleh gempa bumi (Kis. 16:16-40, khususnya ay. 26). Dia telah berhasil berkhotbah di tempat-tempat yang tidak terduga (Kis. 17:16-33). Dia telah selamat dari berbagai bahaya (2Kor. 11:23-28). Singkatnya, Paulus telah melihat, merasakan, dan mengalami sendiri kuasa Allah dalam pemberitaan Injil, dan sekarang, bagaimana mungkin dia merasa malu akan Injil tersebut?

Injil ini adalah “kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya” (ay. 16b). Keselamatan dari apa? Keselamatan dari apa pun yang akan membawa kita kembali kepada kebiasaan dan perilaku lama kita! Kristus telah menyelamatkan orang dari narkoba dan perilaku merusak diri lainnya. Kristus telah menyelamatkan orang dari kebencian diri dan hidup tanpa tujuan. Kristus menyelamatkan kita dari keterpisahan dari Allah, dan membawa kita lebih dekat dengan Allah Bapa. Lalu, masihkah kita mau kembali ke kubangan hidup lama yang penuh dengan dosa? Masihkah kita kembali ke pola hidup dan pola persekutuan lama yang terkotak-kotak?

Menyelamatkan “setiap orang percaya?” Iya, menyelamatkan orang Yahudi maupun orang Yunani (ay. 16c). Perlu diingat bahwa orang Yahudi percaya bahwa orang non Yahudi dapat diselamatkan, tetapi hanya dengan menjadi proselit, yakni mengikuti praktik keagamaan orang Yahudi. Paulus, mengatakan bahwa Injil memiliki kuasa untuk menyelamatkan “setiap orang yang memiliki iman” termasuk orang non Yahudi. Paulus hendak menegaskan bahwa orang non Yahudi, orang Yunani diselamatkan bukan dengan menjadi proselit, melainkan oleh anugerah Allah di dalam Kristus Yesus.

Pelayanan Paulus sebagian besar ditujukan kepada orang-orang non Yahudi, tetapi toh dia mengakui prioritas orang Yahudi dalam rencana keselamatan Allah. Orang-orang Yahudi menikmati hubungan istimewa dengan Tuhan selama berabad-abad, dan Paulus sering berkhotbah di sinagoge-sinagoge Yahudi. Namun dengan kedatangan Kristus, “… tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus” (Gal. 3:28).

Pada ayat 17a, Paulus berbicara tentang kebenaran Allah. Apa itu kebenaran Allah yang dimaksud? Tuhan itu adil, tetapi Dia juga telah membuktikan diri-Nya setia dalam hubungan-Nya dengan manusia berdosa. Jadi, Injil adalah kabar baik, terutama karena Allah telah memilih untuk membagikan kebenaran-Nya kepada kita, telah memilih untuk membenarkan kita: “dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus” (Rm. 3:24). Kebenaran ini ternyata bertolak dari iman memimpin kepada iman (ay. 17a). Kita sebenarnya tidak dapat mengetahui apa pun tentang kebenaran atau kasih karunia Allah, kecuali Allah sendiri menyatakannya kepada kita. Namun, dibutuhkan iman untuk melihat apa yang telah dinyatakan oleh Allah. Melalui iman kita dapat melihat kebenaran Tuhan. Melalui iman kita mengalami kebenaran. Untuk memperkuat idenya ini Paulus mengutip frasa umum dalam PL dan PB, “seperti ada tertulis: orang benar akan hidup oleh iman” (ay. 17b). Kutipan ini berasal dari Habakuk 2:4, ketika sang nabi membandingkan orang yang sombong dengan orang yang beriman. Habakuk mengatakan bahwa semangat orang sombong “tidak benar atau tidak lurus hatinya”, tetapi “orang yang benar itu akan hidup oleh percayanya.” Dalam Galatia 3:11, Paulus mengutip juga ayat dari Habakuk ini untuk mengatakan bahwa tidak ada orang yang dibenarkan di hadapan Allah karena melakukan hukum Taurat, sebab “orang yang benar akan hidup oleh iman.” Kata-kata Paulus di sini dimaksudkan untuk membantah pemahaman orang (Kristen) Yahudi yang masih bergantung pada hukum Taurat, padahal mereka sudah menjadi orang Kristen.

Dengan kata lain, keselamatan adalah anugerah (gratis) dari Allah kepada setiap orang percaya, baik orang Yahudi maupun orang Yunani, baik para tuan maupun para hamba, baik laki-laki maupun perempuan. Manusia merespons anugerah tersebut dengan iman, dan iman itulah yang kemudian memampukan manusia untuk melihat kebenaran Allah, yaitu bahwa orang benar akan hidup oleh iman.

Hari ini kita merayakan 504 tahun reformasi gereja di seluruh dunia (31 Oktober 1517 – 31 Oktober 2021). Kita patut bersyukur bahwa ratusan tahun yang lalu, Martin Luther menggerakkan reformasi gereja dengan maksud supaya gereja kembali ke ajaran yang benar: hanya anugerah (sola gratia), hanya karena iman (sola fide), hanya Alkitab (sola scriptura). Dalam semangat itulah kita semestinya memanfaatkan hari reformasi ini sebagai momentum untuk melakukan pembaharuan yang terus menerus dengan berpedoman pada Injil. Gereja semestinya terus menerus membaharui dirinya (Ecclesia reformata semper reformanda). Gereja akan terus dibaharui kalau selalu hidup menurut Injil, hidup mengandalkan kekuatan Allah yang menyelamatkan. Gereja akan terus dibaharui kalau setiap orang percaya di dalamnya mau dibaharui.

Saturday, September 25, 2021

Terimalah Orang yang pernah Melakukan Kesalahan kepadamu (Filemon 1:8-17)

Khotbah Minggu, 26 September 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

8 Karena itu, sekalipun di dalam Kristus aku mempunyai kebebasan penuh untuk memerintahkan kepadamu apa yang harus engkau lakukan,
9 tetapi mengingat kasihmu itu, lebih baik aku memintanya dari padamu. Aku, Paulus, yang sudah menjadi tua, lagipula sekarang dipenjarakan karena Kristus Yesus,
10 mengajukan permintaan kepadamu mengenai anakku yang kudapat selagi aku dalam penjara, yakni Onesimus
11 --dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku.
12 Dia kusuruh kembali kepadamu--dia, yaitu buah hatiku--.
13 Sebenarnya aku mau menahan dia di sini sebagai gantimu untuk melayani aku selama aku dipenjarakan karena Injil,
14 tetapi tanpa persetujuanmu, aku tidak mau berbuat sesuatu, supaya yang baik itu jangan engkau lakukan seolah-olah dengan paksa, melainkan dengan sukarela.
15 Sebab mungkin karena itulah dia dipisahkan sejenak dari padamu, supaya engkau dapat menerimanya untuk selama-lamanya,
16 bukan lagi sebagai hamba, melainkan lebih dari pada hamba, yaitu sebagai saudara yang kekasih, bagiku sudah demikian, apalagi bagimu, baik secara manusia maupun di dalam Tuhan.
17 Kalau engkau menganggap aku temanmu seiman, terimalah dia seperti aku sendiri.

Di dunia Yunani-Romawi kuno, banyak orang yang menjadi budak, antara 35-40% dari keseluruhan penduduk. Pada zaman itu, budak merupakan milik tuan atau majikannya, dapat dibeli dan dijual sesuai kebebasan majikannya. Dalam faktanya, budak sering diperlakukan semena-mena, yang paling sering adalah diusir dari rumah tuannya ketika budak tersebut sudah tua atau sakit. Tidak ada BPJS-TK, tidak ada BPJS Kesehatan seperti dewasa ini. Hal yang cukup mengerikan adalah bahwa seorang majikan memiliki hak untuk membunuh budaknya ketika dia melarikan diri. Itulah ancaman yang mesti dihadapi oleh Onesimus, budak Filemon yang melarikan diri dari tuannya. Jadi, nasihat atau permintaan Paulus kepada Filemon di sini ada hubungannya dengan hidup atau mati Onesimus.

Disebutkan bahwa Paulus berada di penjara ketika dia menulis surat atau menyampaikan permohonannya kepada Filemon. Walaupun Paulus mestinya memikirkan dirinya yang dipenjara, tetapi hal itu tidak menghalangi dia untuk memikirkan bahkna memperjuangkan hidup-mati Onesimus. Satu hal yang mungkin membuat Paulus optimis adalah bahwa Filemon, (mantan) majikan Onesimus, merupakan orang baik. Paulus mengenal Filemon dengan baik, kemungkinan dia merupakan seorang pemimpin di gereja Kolose. Paulus memanggilnya sebagai “saudara dan teman sekerja” (Fil. 1:1). Ini mengindikasikan adanya ikatan pribadi antara Paulus dan Filemon. Sebagai seorang rasul, Paulus menggunakan posisi dan otoritasnya untuk memediasi Filemon dan Onesimus supaya hubungan keduanya menjadi harmonis kembali, tanpa mengganggu atau membatalkan hubungan tuan-budak. Paulus meminta Filemon untuk menerima kembali Onesimus yang sempat melarikan diri itu, sama seperti Filemon menerima diri Paulus.

Paulus amat mengapresiasi kebaikan, iman, dan kasih Filemon, itulah sebabnya Paulus begitu semangat mengajukan permintaannya atas nama Onesimus (1:8-22). Dengan kata-kata yang penih simpati dan kasih, Paulus memohon Filemon untuk menerima kembali Onesimus bahkan untuk selama-lamanya (ay. 15). Paulus tidak memerintahkan Filemon, Walaupun Paulus sebenarnya dapat memberi perintah kepada Filemon, tetapi dia justru memilih pendekatan yang simpatik, dia “mengajukan permintaan” (ay. 10) kepada Filemon, “atas dasar kasih” (ay. 9). Paulus pun meminta Filemon untuk melakukan perbuatan baik (untuk menerima Onesimus) secara sukarela dan karena paksaan (ay. 14).

Paulus sendiri mengakui bahwa dia sudah menerima Onesimus dan bahkan menganggapnya sebagai anaknya yang didapatkannya ketika dia di penjara (ay. 10), menyebutnya sebagai buah hatinya (ay. 12), dan saudara yang kekasih (ay. 16). Apa maksud dari kata-kata Paulus ini semua? Tentu saja Paulus bermaksud mengajak secara simpatik Filemon untuk menerima Onesimus kembali, sama seperti Paulus telah menerimanya ketika dia berada di penjara. Lebih jauh, Paulus meyakinkan Filemon bahwa berdasarkan pengamatannya, Onesimus sudah berubah menjadi lebih baik. Pada ayat 11 Paulus berkata: “dahulu memang dia tidak berguna bagimu, tetapi sekarang sangat berguna baik bagimu maupun bagiku”. Jadi, Onesimus tidak lagi sekadar budak (yang dianggap tidak berguna), tetapi sebagai sesama manusia (yang berguna).

Apa saja refleksi kita dari teks ini?
Pertama, kita belajar dari sikap Paulus yang simpatik dan rendah hati, seperti ditunjukkannya kepada Filemon. Teks ini mengingatkan kita untuk bersikap seperti Paulus dalam hubungan kita dengan sesama. Walaupun praktik perbudakan tidak lagi seperti pada zaman dulu di dunia Yunani-Romawi kuno, tetapi sikap Paulus ini tetap menjadi pedoman bagi kita supaya tidak menggunakan posisi dan otoritas yang kita miliki untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Seorang pemimpin yang baik dan rendah hati akan mampu memengaruhi bawahannya dengan pendekatan dan kata-kata yang simpatik. Di sini kita diajak untuk menjadi sahabat yang baik kepada sesama tanpa pengecualian.

Kedua, kita belajar dari sikap Paulus yang menunjukkan kewibawaannya dengan cara dan bahasa yang lembut dan penuh kasih. Kewibawaan seseorang tidak terletak pada cara dan bahasanya yang keras dan kasar dengan dalih tegas, tetapi justru pada pendekatannya yang humanis yang dicirikan, antara lain, dengan cara dan bahasa yang lembut dan penuh kasih. Kewibawaan seseorang tidak terletak pada intimidasi dan kesulitan yang dia ciptakan bagi orang lain, tetapi pada jalan keluar yang memberi kemudahan kepada sesama tanpa mengabaikan kualitas hidup. Cara dan bahasa yang keras, kasar, mengintimidasi, dan menyulitkan, sesungguhnya cerminan dari diri kita yang belum sepenuhnya bebas dari gaya dan pendekatan kolonialis. Apakah gaya dan pendekatan itu ada sampai sekarang? Mungkin saja!

Ketiga, kita belajar dari Paulus, sebagaimana dia teruskan kepada Filemon, untuk menerima orang lain yang pernah melakukan kesalahan. Onesimus telah melarikan diri dari majikannya, Filemon, seharusnya dihukum keras. Paulus tahu apa konsekuensi yang harus diterima oleh Onesimus, tetapi dia melihat bahwa ada perubahan signifikan dalam diri Onesimus tersebut. Oleh sebab itu, dia meminta Filemon untuk memaafkan atau mengampuni Onesimus, dan menerimanya kembali. Ajaran penting di sini adalah TIDAK ADA DOSA YANG TERLALU BESAR UNTUK TIDAK DIAMPUNI, dan TIDAK ADA SEORANG PUN YANG BEGITU HINA UNTUK TIDAK DICINTAI. Kita mestinya mampu dengan rendah hati menerima mereka yang pernah berbuat salah kepada kita, itulah salah satu ciri khas pengikut Kristus.

Dari perkataan-perkataan Paulus dalam teks ini, kita belajar bahwa orang (Kristen) yang baik mestinya mampu mengampuni dan menerima orang lain sekalipun sudah pernah berbuat salah kepadanya. Inilah juga salah satu maksud dari perumpamaan Yesus tentang pengampunan sebagaimana tertulis pada Matius 18:21-35. Pada perumpaan tersebut Yesus memberikan contoh pengampunan dengan ilustrasi orang yang berutang. Ada orang yang punya utang kepada sang raja, tetapi kemudian raja mengasihani dia sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Sayang sekali, orang tersebut tidak melanjutkan belas kasihan yang telah diterimanya itu kepada kawannya yang berutang kepadanya, dan malah menjebloskan kawannya tersebut ke dalam penjara. Akhirnya, sang raja tadi mendengar kasu tersebut dan marah, dan menghukumnya. Dalam pandangan sang raja, setiap orang yang sudah merasakan belas kasihan, mestinya meneruskan belas kasihan tersebut kepada sesamanya. Setiap orang yang sudah merasakan pengampunan dan kasih Tuhan, merstinya mampu juga meneruskan pengampuan dan kasih tersebut kepada sesamanya. Kata sang raja: “Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Mat. 18:33).

Sunday, September 12, 2021

Berhikmat dalam Yesus / Fa’atuatua ba khö Yesus (Markus 8:31-38)

Rancangan Khotbah Minggu, 12 September 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


31 Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari.
32 Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia.
33 Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
34 Lalu Yesus memanggil orang banyak dan murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.
35 Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya.
36 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya.
37 Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?
38 Sebab barangsiapa malu karena Aku dan karena perkataan-Ku di tengah-tengah angkatan yang tidak setia dan berdosa ini, Anak Manusiapun akan malu karena orang itu apabila Ia datang kelak dalam kemuliaan Bapa-Nya, diiringi malaikat-malaikat kudus.”

Teks ini berbicara tentang beberapa paradoks yang ditampilkan oleh Yesus sehubungan dengan hal mengikut Dia. Paradoks-paradoks tersebut dimulai dengan teguran kerasnya kepada Petrus yang tidak menerima pernyataan Yesus bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan penolakan. Pada awalnya Petrus dengan tepat mengidentifikasi Yesus sebagai Mesias (8:29), suatu hal yang juga diperkenalkan oleh Markus sejak awal tulisannya(1:1). Yesus memang tidak langsung mengonfirmasi pengenalan Petrus akan Mesias itu, Dia malah melarang mereka dengan keras untuk tidak memberitahukan hal tersebut kepada siapapun (8:30). Mengapa? Entahlah!

Kalau membaca dengan cermat teks khotbah hari ini, tampaknya larangan Yesus tersebut dapat diartikan sebagai cara-Nya untuk mengajar para murid dan pengikut-Nya untuk tidak terburu-buru menghubungkan-Nya dengan pemahaman politis Yahudi tetang Mesias. Yesus adalah Mesias, tetapi kemesiasan-Nya tidak untuk memenuhi hasrat politis bangsa Yahudi, tetapi untuk menggenapi nubuat tentang Mesias yang harus menderita. Paradoks sebenarnya sudah mulai dari pernyataan Yesus ini: pada satu sisi Dia menegaskan bahwa diri-Nya adalah Anak Manusia, yang dalam pemahaman PL (secara khusus kitab Daniel 7:13-14) disebut memiliki kemuliaan dan kekuasaan, tetapi pada sisi lain Yesus memberitahukan penderitaan dan penolakan yang harus dialami oleh Anak Manusia tersebut.

Pernyataan Yesus tersebut sulit dipahami dan diterima oleh akal sehat manusia. Bagaimana mungkin Anak Manusia yang mulia dan berkuasa akan mengalami penderitaan dan penolakan seperti itu? Kebingungan seperti inilah yang dialami oleh Petrus sehingga dia ‘menarik Yesus ke samping dan menegor Dia’ (8:32). Sama seperti kita, Petrus ternyata sulit memahami dan menerima pernyataan Yesus itu, sebab berfokus pada hal-hal yang dipikirkan oleh (akal) manusia. Dalam kemarahan Yesus kepada Petrus tersirat pesan bahwa hanya pikiran yang ilahi yang mampu memahami dan menerima pernyataan Yesus tentang Mesias yang menderita. Hikmat manusia terbatas, tetapi hikmat Tuhan mampu membimbing manusia untuk memahami dan menerima hal-hal yang kadang-kadang membuat kita bingung.

Setelah itu, muncullah semacam syarat mengikut Yesus yang juga membingungkan, yaitu menyangkal diri dan memikul salib. Menyangkal diri (Yun. aparneomai) berarti melupakan diri sendiri, kehilangan pandangan terhadap diri dan kepentingannya sendiri. Ini jelas sulit, bertentangan dengan permintaan dua murid Yesus (Yohanes dan Yakobus) yang berorientasi pada kesenangan, kenyamanan, hormat, dan kemuliaan bagi diri mereka (duduk di sebelah Yesus). Memikul salib berarti siap menanggung apa yang seharusnya tidak ditanggungnya, dan Yesus sudah memberikan teladan dengan melakukan itu. Yesus pun menegaskan konsekuensi dari keputusan manusia untuk mengikut Dia. Kehilangan nyawa dapat saja menjadi konsekuensi dari mengikut Yesus, tetapi justru dengan kehilangan nyawa seperti itulah seseorang beroleh keselamatan. Sama seperti pernyataan sebelumnya, pernyataan Yesus tentang hal mengikut Dia ini masih sukar dipahami, dan semakin sulit dengan pernyataan-Nya di ayat 36-37 “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya. Karena apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” Kata-kata ini justru mendorong kita untuk ‘mementingkan’ nyawa daripada memperoleh seluruh dunia, tetapi pada pernyataan sebelumnya Yesus malah menegaskan bahwa “siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” (8:35). Kalau melihat teks ini dari persepsi manusia, maka ada kesan Yesus menyampaikan pesan yang plin plan, tidak jelas, dan membingungkan. Tetapi sekarang mari kita pahami secara sederhana pernyataan Yesus yang agak pardoks ini. Memperoleh seluruh dunia itu hebat, tetapi jangan sampai kehilangan nyawa hanya untuk memperolehnya. Nyawa lebih penting daripada memperoleh seluruh dunia. Namun demikian, nyawa pun bukanlah segala-galanya, keselamatanlah yang lebih utama, dan itu hanya ada di dalam Yesus. Kalau pada akhirnya kita kehilangan nyawa (dan karenanya kehilangan seluruh dunia) karena Yesus dan Injil, kita justru telah menyelamatkan nyawa kita (dan dunia). Yesus sudah melakukan-Nya, walaupun harus mengalami penderitaan dan penolakan. Masih sulit memahami maksud perkataan Yesus? Mintalah hikmat-Nya, sebab akal manusia saja tidak akan mampu memahami dan menerimanya.

Pernyataan-pernyataan Yesus pada teks khotbah ini tentu saja kontras dengan pemahaman dan nilai-nilai yang dianut oleh manusia. Para murid pernah berdebat tentang siapa yang terbesar di antara mereka, tetapi sebaliknya Yesus meminta mereka untuk menjadi yang terkecil menurut ukuran dunia (lih. 9:35-36). Ketika Yakobus dan Yohanes meminta tempat di sebelah Yesus (kehormatan dan kemuliaan), Dia justru meminta mereka mereka untuk ambil bagian dalam penderitaan dan penolakan yang dialami-Nya.

Tentu saja nilai-nilai ilahi yang ditawarkan oleh Yesus seringkali sulit kita pahami dan terima. Bukankah kita bekerja untuk kelangsungan hidup di dunia ini? Bukankah perjuangan kita mendapatkan kehormatan dan kemuliaan merupakan sesuatu yang lumrah? Bukankah persaingan kita di dunia ini merupakan sesuatu yang harus terjadi apalagi di era digital ini? Lalu, mengapa Yesus seolah-olah mengabaikan semua itu?

Sebenarnya, Yesus mau kalau kita hidup di dunia ini tidak hanya membawa dan menghadirkan nilai-nilai yang manusiawi tersebut. Dia mau kita menghadirkan nilai-nilai ilahi, sama seperti yang pernah Dia tunjukkan selama berada di dunia. Dengan hikmat Tuhan, kita harus memahami nilai-nilai ilahi itu, bahwa kita siap mempertaruhkan nyawa sendiri demi orang lain. Yesus tidak menganjurkan penderitaan yang tidak jelas, Yesus mengaitkannya dengan Injil.

Harus kita akui bahwa banyak hal, banyak situasi, dan banyak peristiwa yang sulit kita pahami dalam hidup ini. Kita mungkin saja mempertanyakan maksud Allah atas berbagai bencana yang kita alami sampai hari ini, secara khusus pendemi Covid-19 yang terus menghantui hidup kita. Hanya hikmat yang dari Tuhan yang dapat menolong kita untuk memahami dan menerima situasi seperti ini. Oleh sebab itu, tetaplah di dalam hikmat Tuhan, sebab dengan hikmat-Nya kita dapat menjalani kehidupan kita dengan bijaksana, sehingga kita dapat tinggal dengan aman, terlindung dari pada kedahsyatan malapetaka (Amsal 1:33).

Saturday, August 28, 2021

Tuhan Mengetahui Isi Hatimu / I’ila Nösi Dödöu So’aya (Markus 7:17-23)

Bahan Khotbah Minggu, 29 Agustus 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

17 Sesudah Ia masuk ke sebuah rumah untuk menyingkir dari orang banyak, murid-murid-Nya bertanya kepada-Nya tentang arti perumpamaan itu.
18 Maka jawab-Nya: “Apakah kamu juga tidak dapat memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya,
19 karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?” Dengan demikian Ia menyatakan semua makanan halal.
20 Kata-Nya lagi: “Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya,
21 sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan,
22 perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan.
23 Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan menajiskan orang.”

Teks ini merupakan respons lanjutan Yesus atas sikap orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat yang memperlakukan adat istiadat manusia lebih istimewa daripada perintah Allah sendiri. Sebelumnya, Yesus berdebat dengan mereka sehubungan dengan hal membasuh tangan sebelum makan, dan beberapa tradisi lainnya juga disebut, seperti mencuci cawan, kendi dan perkakas-perkakas tembaga (lih. Mrk. 7:1-15; bnd. Kel. 30:18; 40:31-32 // Kel. 29:4-9; 40:12-15; Imamat 8:6, 7). Bagi orang Yahudi, tradisi-tradisi tersebut merupakan tolok ukur untuk menilai kesucian atau kenajisan seseorang (ay. 3-4; bnd. Mzm. 26:6). Ketika murid-murid Yesus makan dengan tidak mencuci tangan, mereka mempersoalkannya, mereka keberatan kepada Yesus (ay. 2).

Kalau kita membaca dengan cermat respons Yesus, maka akan terlihat bahwa Dia tidak menghilangkan tradisi adat istiadat tersebut atas nama Firman Tuhan. Yesus berfokus pada kemunafikan mereka, yang seolah-olah memuliakan Tuhan (dengan melaksanakan segala tradisi itu), sementara dalam hidup sehari-hari mereka tidak taat pada perintah Tuhan. Banyak hal dalam perintah Tuhan yang mereka abaikan demi untuk memelihara tradisi adat istiadat tersebut, antara lain perihal menghormati orangtua (Mrk. 7:10-12), atau perihal keadilan, belas kasihan dan kesetiaan (lih. Mat. 23:23). Sekali lagi, Yesus tidak membatalkan tradisi adat istiadat manusia tersebut, Dia hanya meluruskan pola pikir, sikap, dan cara memperlakukan tradisi tersebut supaya tidak mengalahkan ketaatan manusia atas perintah Tuhan sendiri. Yesus hendak menegaskan bahwa ukuran suci atau najis tidak ditentukan oleh ketaatan pada tradisi adat istiadat yang kelihatan itu, tetapi lebih pada isi hati manusia yang tidak kelihatan. Kesalehan manusia tidak ditentukan oleh penampakan di luar, tetapi pada isi hati yang umumnya tersembunyi bagi orang lain. Itulah sebabnya Yesus berkata: “Apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mrk. 7:15).

Pada teks khotbah hari ini, Yesus menjelaskan apa maksud dari perkataan-Nya itu, sebab murid-murid-Nya pun tidak dapat memahaminya (Mrk. 7:17-23). Perhatikan secara khusus perkataan Yesus di ayat 18-19: “… segala sesuatu dari luar yang masuk ke dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati tetapi ke dalam perutnya …” Orang-orang Farisi dan ahli Taurat berfokus pada soal makanan dan minuman yang masuk ke dalam perut, sementara Yesus melihat lebih pada hati manusia itu. Alasan Yesus jelas, yaitu bahwa isi hati manusialah yang lebih menentukan sikap dan perbuatan manusia, bukan apa yang masuk ke dalam perutnya. Dengan kata lain, kesucian atau kenajisan seseorang sangat ditentukan oleh kesucian atau kenajisan isi hatinya, bukan soal makanan dan seperti apa seseorang makan. Melalui perkataan ini Yesus juga, sebagaimana dicatat oleh Markus, hendak menegaskan bahwa ‘semua makanan halal’ (ay. 19b). Seseorang boleh saja mengonsumsi makanan atau minuman yang, menurut ukuran tradisi Yahudi, halal, tetapi itu tidak ada artinya kalau hatinya penuh dengan “pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, kebebalan” (ay. 21-22). Seseorang boleh saja makan atau minum dengan cara yang, menurut ukuran Yahudi, suci (membasuh tangan), tetapi itu tidak ada artinya kalau dari dalam hatinya keluar berbagai bentuk kejahatan. Sikap sok suci tersebut merupakan sikap yang penuh dengan kemunafikan, penuh dengan kepalsuan, dan Yesus mengecamnya. Silakan saja ikuti tradisimu itu, tetapi jangan lupa untuk membersihkan hatimu.

Kalau orang-orang Yahudi dulu sibuk dengan urusan tradisi manusia, seolah-olah lebih penting daripada firman Tuhan, kita pun dewasa ini seringkali lebih banyak mengurus hal-hal yang remeh-temeh, tidak begitu penting, tidak begitu menentukan kualitas iman kita. Kita seringkali banyak menghabiskan waktu dan energi untuk memperdebatkan hal-hal yang sekunder, dan, entah disadari atau tidak, kita pun pada akhirnya mengabaikan atau tidak mengerjakan hal-hal yang lebih penting bagi pertumbuhan iman kita.

Namun demikian, sama seperti Yesus tadi, hal-hal di atas tidak serta merta berarti bahwa semua tradisi atau kebiasaan yang sekunder itu dihilangkan sama sekali. Yesus tidak mengarah ke situ, Dia hanya prihatin atas sikap manusia (orang-orang Yahudi dan kita sekarang) yang begitu munafik, tampil seolah-olah takut akan Tuhan, padahal sesungguhnya hati dan seluruh kehidupannya jauh dari Tuhan. Orang-orang munafik seperti ini terus bermunculan di sepanjang zaman, apalagi di Indonesia yang akhir-akhir ini tampil seolah-olah lebih saleh dari orang lain yang dianggap kafir. Banyak orang yang tampil lebih Arab dari Arab, sementara orang Kristen sendiri semakin lama lebih Yahudi dari Yahudi.

Keanehan lain adalah begitu banyaknya orang Kristen, termasuk para hamba Tuhan, yang begitu berapi-api di gereja, penampilannya tampak begitu saleh, tetapi di luar gereja, dalam kehidupannya sehari-hari di rumah, atau di tempat kerja, tidak mencerminkan sikap orang yang takut akan Tuhan.

Manusia mungkin tidak mengenal isi hati kita, tetapi sadarlah bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Tuhan, Dia mengetahui isi hati kita. Ada sebuah ungkapan klasik: “Dalamnya lautan bisa diduga, tetapi dalamnya hati manusia siapa yang tahu”. Ungkapan ini hendak menegaskan bahwa isi hati seseorang tidak ditebak dengan pasti. Namun demikian, firman Tuhan pada hari ini menyadarkan kita bahwa Tuhan tahu segalanya, Tuhan tahu apa pun yang tidak terlihat oleh mata manusia, Tuhan tahu apa pun yang tidak bisa ditebak oleh manusia, Tuhan tahu isi hati kita masing-masing.

Seseorang boleh saja tampil bermanis muka kepada orang lain, tetapi kita tidak bisa melakukan itu kepada Tuhan. Manusia boleh saja tampil menyenangkan bosnya (ABS, AIS), tetapi hal itu tidak bisa dilakukan di hadapan Tuhan. Manusia boleh saja bermain sandiwara ketika berada dalam situasi tertentu untuk menutupi kebobrokannya, tetapi ingatlah bahwa Tuhan tahu situasi yang sebenarnya. Benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, seperti dinyanyikan oleh Nicky Astria, tetapi Tuhan tahu sandiwara apa yang sedang kita lakonkan masing-masing. Penulis surat Ibrani mengingatkan kita bahwa tidak ada yang tersembunyi di hadapan Tuhan. “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (4:13).

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...