Friday, December 24, 2021

Yesus Juruselamat Dunia – Yesu Sangorifi Ösi Gulidanö (Lukas 2:1-7)

Khotbah Natal I, 25 Deember 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


2:1 Pada waktu itu Kaisar Agustus mengeluarkan suatu perintah, menyuruh mendaftarkan semua orang di seluruh dunia.
2:2 Inilah pendaftaran yang pertama kali diadakan sewaktu Kirenius menjadi wali negeri di Siria.
2:3 Maka pergilah semua orang mendaftarkan diri, masing-masing di kotanya sendiri.
2:4 Demikian juga Yusuf pergi dari kota Nazaret di Galilea ke Yudea, ke kota Daud yang bernama Betlehem, --karena ia berasal dari keluarga dan keturunan Daud-
2:5 supaya didaftarkan bersama-sama dengan Maria, tunangannya, yang sedang mengandung.
2:6 Ketika mereka di situ tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin,
2:7 dan ia melahirkan seorang anak laki-laki, anaknya yang sulung, lalu dibungkusnya dengan lampin dan dibaringkannya di dalam palungan, karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan.

Kisah natal versi Lukas ditandai dengan adanya sensus penduduk yang membuat setiap orang harus kembali ke kotanya untuk mendaftarkan diri. Perjalanan pulang ke kampung halaman pada waktu itu tidak begitu mudah dilakukan, apalagi bersama dengan keluarga, walaupun ada kerinduan untuk itu. Maka, kegiatan sensus penduduk merupakan kesempatan bagi setiap orang atau keluarga untuk pulang kampung. Semua orang berbondong-bondong kembali ke tempat asalnya dalam rangka sensus penduduk, setiap orang wajib mengikuti perintah penguasa. Tetapi, lebih dari sekadar memenuhi perintah penguasa, Lukas sepertinya sengaja mengisahkan kelahiran Yesus bersama dengan narasi sensus ini untuk menunjukkan bahwa kisah natal menjadi kesempatan untuk berkumpul bersama dengan anggota keluarga, kesempatan bertemu dengan orang-orang di kampung halaman dalam semangat kekeluargaan. Dengan kata lain, pada zaman kelahiran Yesus, sensus penduduk telah menjadi semacam “media” bagi Allah untuk menggerakkan mereka bersama dalam semangat kekeluargaan.

Sebenarnya, Yesus lahir pada masa-masa sulit, dalam perjalanan yang mungkin melelahkan, persiapan hampir tidak ada. Alhasil, Yesus lahir dalam segala kesederhanaan, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan, sebab tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan. Situasi sosial-ekonomi ketika Yesus lahir sungguh tidak menggembirakan, terutama bagi rakyat kecil. Ada berbagai persoalan sosial-ekonomi yang begitu sulit bagi orang-orang kecil, suatu potret kemanusiaan yang buram. Namun demikian, dalam situasi yang pahit itu, bayi Yesus lahir, menjadi tanda bahwa Allah kini hadir bersama dengan kita, tanda bahwa Allah menerobos kegelapan dan merengkuh kerapuhan insani kita (Joas Adiprasetya 2021). Mengapa Allah melakukan semuanya itu? Penulis injil Yohanes memberikan kita jawabannya: “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16). Hal ini pun sesuai dengan tema natal kita tahun ini: “Cinta Kasih Kristus yang Menggerakkan Persaudaraan (1 Petrus 1:22) - Fa’omasi Keriso danedane wamalua fa’omasi ba dalifusö”. Semua karena cinta kasih Kristus!

Renungan kita berikutnya adalah tentang Yesus yang sesungguhnya merupakan keturunan Daud, raja besar di Israel. Apa artinya? Yaitu bahwa Yesus sesungguhnya “berdarah biru”, keturunan bangsawan yang seharusnya lahir secara terhormat. Tetapi, yang terjadi justru sebaliknya. Yesus lahir di tempat yang tidak layak bagi keturunan raja (lih. ay. 6-7). Berita kelahiran-Nya pun tidak disiarkan live seperti yang akhir-akhir ini dilakukan oleh beberapa TV swasta di Indonesia ketika para selebritas melahirkan. Berita kelahiran Yesus pun tidak diberitakan pertama-tama kepada kaum bangsawan, tetapi justru kepada para gembala di padang, kepada kelompok masyarakat yang tidak terpandang. Yusuf dan Maria, bahkan Yesus sendiri pun, rela menjalani segala kerendahan itu, mereka tidak menuntut apa-apa sekali pun mereka layak mendapatkan perlakuan yang lebih istimewa. Tentu kenyataan ini sangat berbeda dengan realitas sekarang. Banyak orang yang memanfaatkan jabatan ayahnya atau keluarganya dan berlagak seperti pejabat juga, berlaku seenaknya, memerintah sesuka hati, bahkan sering terjadi seperti ungkapan dalam bahasa Nias: “ebua li nambi moroi ba göröbao”. Apakah hari ini telah lahir juruselamat bagi kita? Apakah ada tempat bagi Yesus dalam hidup kita, ataukah Dia harus lahir di tempat di luar hati ini? Natal membutuhkan kerelaan kita untuk berbagi dan berkorban dengan yang lain, rela untuk repot, rela ego kita terluka, supaya kita dapat hidup bersama dalam landasan dan semangat cinta kasih Kristus. Kalau sungguh-sungguh menikmati cinta kasih Kristus, maka sesungguhnya mudah bagi kita untuk hidup bersama dengan yang lain tanpa harus saling merendahkan, sebaliknya memiliki kerendahan hati “ba wangomasi’ö talifusö”.

Dalam situasi dunia yang masih terus dihantui oleh pandemi covid19, apalagi dengan munculnya varian baru “Omicron”, kita mestinya saling bergandengan tangan untuk menghadapinya. Dalam semangat cinta kasih Kristus, kita harus saling mendukung untuk meminimalisasi dampak buruk dari pandemi covid19. Dengan cinta kasih Kristus kita saling merengkuh dalam segala kerapuhan kita untuk menguatkan satu dengan yang lain. Itulah sebabnya, sebagai orang Kristen, atas dasar cinta kasih Kristus, kita harus mendukung dan terlibat dalam kegiatan vaksinasi dan berbagai program pemerintah lainnya yang berguna untuk masyarakat banyak.

Kita juga baru saja mengalami bencana alam: banjir dan tanah longsor. Banyak kerugian materi yang dialami oleh masyarakat kita, bahkan ada yang menjadi korban tertimbun tanah longsor. Pada saat-saat sulit seperti itu dibutuhkan kepekaan dan solidaritas kita untuk saling menolong berdasarkan cinta kasih Kristus. Kadang-kadang kita tergoda untuk saling menyalahkan atau bahkan mencari kambing hitam penyebab terjadinya bencana, sementara kita lupa untuk menolong mereka yang sedang berada dalam situasi sulit. Banyak orang seperti itu di Indonesia ini, sibuk menyalahkan pihak-pihak tertentu ketika suatu bencana terjadi. Tentu saja sikap seperti itu tidak salah, tetapi alangkah jauh lebih berguna apabila diikuti dengan tindakan menolong orang-orang yang menjadi korban bencana tersebut, dan tidak hanya menyalahkan ini menyalahkan itu.

Sebagai orang Kristen yang digerakkan oleh cinta kasih Kristus, kita mestinya merespons keluh kesah orang-orang yang berada dalam situasi sulit dengan tindakan kasih yang konkret. Allah, dalam kegelapan dunia, telah menujukkan solidaritas-Nya kepada kita, oleh sebab itu kita pun harus mewujudnyatakan solidaritas ilahi itu dalam tindakan kemanusiaan di tengah-tengah dunia yang sedang dihimmpit berbagai masalah. Siapa yang bisa melakukan itu? Kita, ya kita yang sudah menikmati cinta kasih Kristus.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...