Sunday, December 24, 2023

Segala Bangsa Memuji dan Memuliakan Allah – Fefu Soi Lasuno ba Lafolakhömi Lowalangi (Lukas 2:15-20)

Khotbah Natal I, Senin, 25 Desember 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

15 Setelah malaikat-malaikat itu meninggalkan mereka dan kembali ke sorga, gembala-gembala itu berkata seorang kepada yang lain: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.”
16 Lalu mereka cepat-cepat berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring di dalam palungan.
17 Dan ketika mereka melihat-Nya, mereka memberitahukan apa yang telah dikatakan kepada mereka tentang Anak itu.
18 Dan semua orang yang mendengarnya heran tentang apa yang dikatakan gembala-gembala itu kepada mereka.
19 Tetapi Maria menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.
20 Maka kembalilah gembala-gembala itu sambil memuji dan memuliakan Allah karena segala sesuatu yang mereka dengar dan mereka lihat, semuanya sesuai dengan apa yang telah dikatakan kepada mereka.

Kisah kelahiran Yesus menurut Lukas sangatlah indah karena kesederhanaan dan sifatnya yang begitu manusiawi. Meski sederhana dan manusiawi, kisah kelahiran Yesus ini memiliki kedalaman teologis yang seringkali tersembunyi di bawah permukaan. Kegiatan/peristiwa sekuler, yakni pelaksanaan sensus yang merupakan perintah dari Kaisar Agustus ketika Kirenius menjadi wali negeri di Siria (Luk. 2:1-3), justru telah menjadi suatu momen bagi kelahiran Yesus. Bagi orang Kristen mula-mula, kelahiran Yesus di “kota Daud” dipandang sebagai penggenapan nubuatan (lih. Mat. 2:5-6; Yoh. 7:42).

Lukas memberi tahu kita bahwa Yesus dilahirkan di bawah pemerintahan Kaisar Augustus, atau bahwa keputusannya berlaku untuk “seluruh dunia.” Hal ini hendak menyatakan betapa pentingnya (makna) kelahiran Yesus bagi seluruh dunia. Presiden RI ke-4, Gus Dur, pernah mengatakan bahwa Yesus Kristus itu bukan hanya Juruselamat orang Kristen, melainkan Juruselamat dunia. Jadi, walaupun Yesus lahir di suatu tempat yang amat sederhana, dan dikelilingi oleh orang-orang yang juga amat sederhana, tetapi makna dan gema kelahiran-Nya itu meliputi seluruh dunia. Sukacita Natal bukan hanya sukacita orang Kristen, bukan hanya sukacita gereja, melainkan sukacita bagi dunia, sukacita bagi semua orang. Karena itu, bagikanlah sukacita Natal itu bagi dunia, bukan hanya untuk dirimu sendiri, bukan hanya untuk kelompok atau gerejamu sendiri. Nyatakanlah sukacita Natal dalam tindakan nyata kepada semua orang, sehingga segala bangsa pun memuji dan memuliakan Allah.

Pada waktu itu, Kaisar Agustus disebut sebagai “anak tuhan”, kelahiran dan kebradaannya dianggap sebagai anugerah pemeliharaan ilahi, yang mengutusnya sebagai “penyelamat,” untuk membawa perdamaian. Namun demikian, kelahiran Yesus (ketika Kaisar Agustus memberi perintah sensus) membantah anggapan bahwa harapan dunia ada di tangan para penguasa zaman ini. Harapan dunia ada pada diri-Nya. Sepanjang sejarah, selalu saja ada penguasa yang menganggap diri sebagai sosok yang dipuja; anehnya banyak orang yang juga terjebak dalam pemujaan terhadap orang-orang tertentu, kadang-kadang memuja secara buta. Apalagi menjelang pileg dan pilpres mendatang, banyak orang yang membela mati-matian calon pujaannya, kadang-kadang sampai kehilangan akal sehat. Apakah para tokoh itu dapat memberikan jaminan akan kehidupan yang jauh lebih baik? Tentu tidak! Harapan yang sesungguhnya hanya ada pada Yesus yang lahir dalam segala kesederhanaan itu, bukan pada sosok yang muncul dalam segala keperkasaan dan kemudahan. Ketika dunia semakin tidak baik-baik oleh karena ulah manusia sendiri, maka harapan kita hanya ada pada Yesus. Ketika para penguasa dan pengusaha menjadikan isu kemanusiaan sebagai shortcut (jalan pintas) bagi mereka untuk meraih kekuasaan dan meraup keuntungan yang besar, Yesus Kristus justru lahir dalam kemanusiaan dan kesederhanan-Nya. Ketika pada penguasa menjadikan isu tentang orang-orang miskin sebagai proyek untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan, Yesus Kristus justru lahir dalam kemiskinan dan hidup bersama dengan orang miskin. Jadi, natal adalah berita sukacita bagi orang-orang sederhana, orang-orang terpinggirkan, dan orang-orang miskin.

Sebagaimana Yesus dilahirkan dalam keadaan yang sederhana, maka orang pertama yang mendengar kabar baik tentang kelahiran-Nya adalah para gembala yang sangat sederhana: Yesus datang untuk orang-orang yang miskin seperti mereka (Lukas 4:18). Malaikat memberi tahu para gembala bahwa mereka akan melihat tanda yang menegaskan kelahiran Mesias: seorang bayi dibungkus dengan lampin dan terbaring di palungan. Penyebutan “tanda” ini merupakan suatu pengumuman yang akan meneguhkan kebenaran suatu tindakan atau janji Allah sejak zaman Perjanjian Lama. Tanda tersebut menunjuk pada fakta yang luar biasa bahwa Anak ini, yang terbaring di palungan, sudah menjadi “Tuhan/Mesias.” Mesias Israel tidak menampakkan diri-Nya dalam bentuk keperkasaan yang terlihat, namun dalam wujud seorang bayi yang rendah hati dan rentan. Fakta bahwa Anak ini adalah Mesias tentu saja menimbulkan keheranan (Lukas 2:18). Siapa yang tidak merasa heran kalau berita kelahiran Yesus Kristus pertama kali disampaikan kepada mereka yang tidak dianggap oleh dunia ini? Siapa yang tidak heran kalau ternyata Sang Mesias yang dinantikan itu adalah seorang bayi yang begitu lemah dan lahir bukan dalam istana, juga bukan di sebuah rumah sakit mewah, melainkan di tempat yang begitu sederhana, dibungkus dengan lampin dan dibaringkan di dalam palungan?

Mesias yang sederhana ini akan menjadi sahabat orang miskin (Luk. 4:18; 6:20; 7:22). Hal ini telah diperlihatkan ketika berita kelahiran-Nya pertama kali disampaikan kepada orang-orang miskin, orang-orang yang sangat sederhana, itulah para gembala. Jadi, kisah Natal adalah kisah tentang Tuhan yang berkenan dilahirkan di antara orang-orang yang sederhana, di antara orang-orang miskin, sekaligus Sang Mesias adalah sosok yang rendah hati dan memberkati orang-orang yang rendah hati. Dengan adanya Allah yang demikian di pihak kita, kita tidak perlu takut. Bersama para gembala kita boleh memuji dan memuliakan Tuhan atas karunia Anak-Nya (Lukas 2:20).

Segala bangsa yang Kaujadikan akan datang sujud menyembah di hadapan-Mu, ya Tuhan, dan akan memuliakan nama-Mu (Mazmur 86:9).

Dozi soi, niwõwõimõ andrõ, ba mõi dania mangalulu khõu, yaʼugõ Soʼaya, awõ wamosumange tõimõ andrõ (Sinunö 86:9).

Saturday, November 18, 2023

Jangan Melupakan TUHAN – Böi Olifu’ö Yehowa (Ulangan 8:7-18)

Bahan Khotbah Minggu, 19 November 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Sebab TUHAN, Allahmu, membawa engkau masuk ke dalam negeri yang baik, suatu negeri dengan sungai, mata air dan danau, yang keluar dari lembah-lembah dan gunung-gunung;
8 suatu negeri dengan gandum dan jelainya, dengan pohon anggur, pohon ara dan pohon delimanya; suatu negeri dengan pohon zaitun dan madunya;
9 suatu negeri, di mana engkau akan makan roti dengan tidak usah berhemat, di mana engkau tidak akan kekurangan apapun; suatu negeri, yang batunya mengandung besi dan dari gunungnya akan kaugali tembaga.
10 Dan engkau akan makan dan akan kenyang, maka engkau akan memuji TUHAN, Allahmu, karena negeri yang baik yang diberikan-Nya kepadamu itu.
11 Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu, dengan tidak berpegang pada perintah, peraturan dan ketetapan-Nya, yang kusampaikan kepadamu pada hari ini;
12 dan supaya, apabila engkau sudah makan dan kenyang, mendirikan rumah-rumah yang baik serta mendiaminya,
13 dan apabila lembu sapimu dan kambing dombamu bertambah banyak dan emas serta perakmu bertambah banyak, dan segala yang ada padamu bertambah banyak,
14 jangan engkau tinggi hati, sehingga engkau melupakan TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari tanah Mesir, dari rumah perbudakan,
15 dan yang memimpin engkau melalui padang gurun yang besar dan dahsyat itu, dengan ular-ular yang ganas serta kalajengkingnya dan tanahnya yang gersang, yang tidak ada air. Dia yang membuat air keluar bagimu dari gunung batu yang keras,
16 dan yang di padang gurun memberi engkau makan manna, yang tidak dikenal oleh nenek moyangmu, supaya direndahkan-Nya hatimu dan dicobai-Nya engkau, hanya untuk berbuat baik kepadamu akhirnya.
17 Maka janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.
18 Tetapi haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini.

Kita sering mendengar bahkan menyebutkan ungkapan “JAS MERAH”. Ungkapan ini sering dipahami sebagai singkatan dari “Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah.” Apabila mengacu pada pidato Presiden Soekarno (17 Agustus 1966), maka sebenarnya JAS MERAH merupakan singkatan dari “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”. Ungkapan JAS MERAH (… melupakan … atau pun … meninggalkan …) hendak menyadarkan kita bahwa hidup atau keberadaan kita, baik secara personal maupun secara komunal, memiliki sejarah yang tidak boleh dilupakan/ditinggalkan begitu saja. Penting untuk selalu mengingat sejarah perjalanan hidup kita dengan segala dinamikanya itu, supaya kita tidak bersikap dan bertindak gegabah dalam menjalani hari ini dan menghadapi hari esok. Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Inggris: “All my yesterdays have brought me to this day, and all my tomorrows begin now” (Seluruh hari-hari kemarin saya telah membawaku ke hari ini, dan seluruh hari esokku dimulai sekarang). Hal ini mendorong kita untuk senantiasa berefleksi secara mendalam bahwa eksistensi kita hari ini tidak terlepas dari perjalanan dan pengalaman hari-hari kemarin, dan bahwa hari-hari esok kita dimulai sekarang. Refleksi yang baik akan membuat kita sadar bahwa selalu ada orang-orang yang telah menolong kita dalam perjalanan sebelumnya hingga hari ini, dan kita percaya bahwa akan ada orang-orang yang juga menolong kita menghadapi hari-hari berikutnya.

Demikianlah gambaran pesan yang hendak disampaikan dalam teks khotbah hari ini; pesan yang mengingatkan bangsa Israel bahwa keberadaan mereka pada saat Musa berpidato kepada mereka tidak terlepas dari perjalanan dan pengalaman sebelumnya, baik perjalanan dan pengalaman yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Dalam teks ini, Musa memberi penekanan secara khusus pada pertolongan dan penyertaan TUHAN dalam perjalanan bangsa Israel sebelumnya, mulai dari Mesir hingga sebentar lagi mereka akan memasuki tanah Kanaan dengan menyeberangi sungai Yordan. Itulah juga maksud dari penulisan kitab Ulangan ini, mengulangi atau mengingatkan generasi baru dari bangsa Israel akan pengalaman mereka dalam perjalanan di padang gurun, baik kasih karunia yang telah mereka terima maupun hukum-hukum Allah, yang pada intinya menuntut bangsa itu senatiasa taat kepada-Nya. Pasal 8 ini dimulai dengan seruan untuk menaati perintah-perintah TUHAN dan mengingat sejarah mereka—sejarah di mana Allah pernah “merendahkan” (menghukum) Israel di padang gurun—dan sejarah di mana Dia pernah memberi makan manna kepada bangsa Israel dan menjaga agar pakaian mereka tidak rusak. Pada ayat 6 Musa berkata, “Oleh sebab itu haruslah engkau berpegang pada perintah TUHAN, Allahmu, dengan hidup menurut jalan yang ditunjukkan-Nya dan dengan takut akan Dia.”

Pada ayat 7-10, Musa mengingatkan bangsa Israel bahwa TUHANlah yang telah membawa mereka ke tanah yang baik dengan segala kenikmatan dan kelimpahannya itu. Mereka perlu mengingat bahwa mereka tidak memasuki wilayah tersebut sendirian, TUHANlah yang membawa mereka ke negeri itu. Hal ini merupakan pesan jaminan bahwa TUHANlah yang akan menolong mereka untuk mengalahkan penduduk negeri itu, dan TUHANlah yang akan memenuhi kebutuhan mereka ketika tiba di negeri tersebut, TUHANlah yang akan memberkati segala usaha mereka, pertanian, peternakan, dan juga rumah-rumah mereka. Intinya, mereka tidak akan kekurangan apa pun kalau TUHAN yang menolong dan menyertai mereka. Kemakmuran, kelimpahan, dan kesuksesan adalah dari TUHAN saja, dan bangsa Israel harus terus mengingatnya.

Namun demikian, potensi untuk “terlena/terbuai” dalam kenikmatan dan keberhasilan, dapat membuat manusia melupakan sumber kenikmatan dan sumber keberhasilan itu. Oleh sebab itu, pada ayat 11-16, Musa mengingatkan bangsa Israel untuk selalu waspada untuk jangan sekali-kali melupakan TUHAN Allah yang telah membawa mereka sejauh ini menuju tanah Kanaan, tanah perjanjian yang penuh dengan madu dan susu. Mengingat perjanjian mereka dengan TUHAN akan membuat bangsa Israel tetap kokoh. Melupakan perjanjian akan membuat mereka terdampar di dunia yang berpotensi berubah menjadi pengkhianat. Mengingat tindakan perkasa TUHAN adalah jalan menuju kebijaksanaan dan kehidupan. Melupakan TUHAN adalah jalan menuju kebodohan dan kematian.

Padang gurun telah mengajarkan bangsa Israel bagaimana hidup dalam kesulitan. Di alam liar, mereka hanya mempunyai cukup makanan dan air untuk sehari. Mereka harus terus berpindah-pindah, antara lain untuk mencari makan bagi domba dan kambing mereka, dan juga karena mereka tidak mempunyai tanah air yang dapat dijadikan milik mereka. Bagi Israel, padang gurun bagaikan api di tempat pemurni, membersihkan sampah dan menyucikan keseluruhannya. Kini bangsa Israel harus mulai belajar bagaimana hidup dalam kemakmuran, suatu kondisi yang tidak mereka nikmati selama berabad-abad.

Tetapi, keadaan seperti ini harus diwaspadai, sebab banyak orang yang terbuai dengan kesuksesan, kenikmatan, dan kelimpahan yang diperoleh, sama seperti banyak orang yang terbuai dengan kedudukan dan kekuasaan yang telah didapatkan, dan akhirnya lupa diri. Bukankah banyak orang yang setelah mendapatkan apa yang dia inginkan, sikap dan tindakannya berubah, dan kini menjadi “seperti kacang lupa akan kulitnya”, lupa akan masa lalunya, lupa akan perjalanan dan pengalaman sebelumnya, dan berpikir bahwa keadaannya saat ini semata-mata adalah karena kehebatannya. Hal ini harus diwaspadai. Kita mungkin akan tetap mengingat TUHAN dan tidak mengkhianati-Nya ketika berada dalam situasi sulit (walaupun banyak juga orang yang meninggalkan TUHAN ketika berada dalam kesulitan), Tetapi, seringkali kita melupakan TUHAN ketika sedang menikmati kejayaan, dan ini sangat berbahaya bagi diri kita dan bagi orang-orang di sekitar kita. Kesuksesan memang impian semua orang, tetapi harus disadari bahwa ada potensi menuju kehancuran dari kesuksesan tersebut. Thomas Burton pernah mengatakan: “Jika kesulitan telah membunuh ribuan orang, maka kemakmuran telah membunuh sepuluh ribu orang.”

Kita mungkin bertanya, “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Jawabannya adalah, di tengah kemakmuran (kesuksesan dan sejenisnya), masyarakat cenderung melupakan disiplin dan nilai-nilai serta keimanan yang membuat mereka sejahtera. Di tengah kemakmuran, masyarakat menjadi bosan dengan kehidupannya yang serba ada, sehingga dengan mudah menjadi mangsa berbagai godaan duniawi: narkoba, alkohol, seks bebas, dan masih banyak lagi. Di tengah kemakmuran, manusia cenderung melupakan Tuhan.

Itulah sebabnya pada ayat 17-18, Musa mengatakan: “… janganlah kaukatakan dalam hatimu: Kekuasaanku dan kekuatan tangankulah yang membuat aku memperoleh kekayaan ini.” Banyak orang yang jatuh justru karena terjebak dalam keangkuhan akan kesuksesan yang telah dicapai; sayang sekali banyak orang yang tidak mau diingatkan akan bahaya yang mengintai di balik keberhasilan yang telah dicapai. Ada sebuah penggalan lagu dari Mac Davis: “Ya Tuhan, sulit untuk menjadi rendah hati ketika saya sempurna dalam segala hal.” Iman kita mungkin bisa bertahan menghadapi kesulitan, tetapi bisa tidak dapat mengatasi godaan kemakmuran. Oleh sebab itu, “… haruslah engkau ingat kepada TUHAN, Allahmu, sebab Dialah yang memberikan kepadamu kekuatan untuk memperoleh kekayaan, dengan maksud meneguhkan perjanjian yang diikrarkan-Nya dengan sumpah kepada nenek moyangmu, seperti sekarang ini” (ay. 18).

Jadi:

“Hati-hatilah, supaya jangan engkau melupakan TUHAN, Allahmu”
(Ul. 8:11a)

Saturday, November 11, 2023

Saling Membangun dalam Menanti Kedatangan Tuhan – Faoma Mitolo Nawömi ba Wombaloi Fe’aso Zo’aya (1 Tesalonika 5:16-24)

Bahan khotbah Minggu, 12 November 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Tetapi tentang zaman dan masa, saudara-saudara, tidak perlu dituliskan kepadamu,
2 karena kamu sendiri tahu benar-benar, bahwa hari Tuhan datang seperti pencuri pada malam.
3 Apabila mereka mengatakan: Semuanya damai dan aman--maka tiba-tiba mereka ditimpa oleh kebinasaan, seperti seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin--mereka pasti tidak akan luput.
4 Tetapi kamu, saudara-saudara, kamu tidak hidup di dalam kegelapan, sehingga hari itu tiba-tiba mendatangi kamu seperti pencuri,
5 karena kamu semua adalah anak-anak terang dan anak-anak siang. Kita bukanlah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan.
6 Sebab itu baiklah jangan kita tidur seperti orang-orang lain, tetapi berjaga-jaga dan sadar.
7 Sebab mereka yang tidur, tidur waktu malam dan mereka yang mabuk, mabuk waktu malam.
8 Tetapi kita, yang adalah orang-orang siang, baiklah kita sadar, berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan.
9 Karena Allah tidak menetapkan kita untuk ditimpa murka, tetapi untuk beroleh keselamatan oleh Yesus Kristus, Tuhan kita,
10 yang sudah mati untuk kita, supaya entah kita berjaga-jaga, entah kita tidur, kita hidup bersama-sama dengan Dia.
11 Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan.

Konsep “kedatangan Kristus” (“hari Tuhan”) telah menimbulkan beberapa kesalahpahaman yang mewujud pada perbuatan/tindakan yang keliru. Dalam beberapa kasus, perihal kedatangan Kristus ini digunakan untuk menakut-nakuti orang agar hidup dalam ketaatan, tetapi ketaatan yang salah. Ini mirip dengan cara-cara orangtua zaman dulu yang menakut-nakuti anak-anaknya bahwa pada malam hari itu ada setan supaya anaknya berhenti menangis. Dalam kasus lain, perihal kedatangan Kristus ini telah mengarah pada iman yang mementingkan diri sendiri yang berakar pada kasih karunia yang murahan, sebab setiap orang didorong untuk mengusahakan keselamatannya.

Dalam kasus komunitas kecil yang dibahas oleh Paulus di Tesalonika, kedatangan Kristus menyebabkan beberapa pengikut Yesus menjadi menganggur (1 Tesalonika 4:10; 5:14), dan secara eksplisit ditegur oleh Paulus pada suratnya yang kedua kepada jemaat di Tesalonika ini (lih. 2 Tesalonika 3:10). Jika Kristus segera datang kembali, apa perlunya bekerja? Beberapa orang berusaha untuk terus berdoa agar mereka siap ketika saatnya tiba. Berita tentang kedatangan Kristus itu telah disalahartikan dan disalahgunakan oleh beberapa orang dengan tidak bekerja, atau tidak peduli dengan persoalan-persoalan yang ada di sekitar mereka, sebab menurut mereka tidak ada artinya, toh Kristus segera datang. Itulah sebabnya Paulus merasa perlu meluruskan pemahaman yang keliru tersebut dengan tetap menekankan kepastian datangnya Kristus.

Paulus memandang kedatangan Kristus sebagai sumber pengharapan, karena pada saat itulah kita akan dibangkitkan bersama Kristus (1 Tesalonika 4:16-17). Ia juga memandang kedatangan Kristus sebagai momen pertanggungjawaban (4:1), karena pada saat itulah kita harus menghadap Tuhan dan diri kita sendiri dengan jujur. Karena kedua alasan ini, beliau mendorong kita untuk hidup penuh sukacita menantikan kedatangan Kristus. Menantikan kedatangan Kristus tidak berarti berhenti beraktivitas, bermalas-malasan, atau tidak peduli dengan dunia di mana kita berada. Menantikan kedatangan Kristus berarti menanti-Nya dalam sukacita pengharapan sambil tetap bekerja, beraktivitas, dan melayani.

Untuk menyemangati para orang-orang Kristen di Tesalonika, Paulus menggunakan cara retoris yang lazim pda waktu itu, dengan membuat semacam daftar yang kontras antara “kita” (yang sungguh-sungguh percaya pada Kristus) dan “mereka” (yang tidak hidup menurut jalan Kristus):

Kita adalah anak-anak terang dan anak-anak siang vs mereka adalah orang-orang malam atau orang-orang kegelapan.
Kita hidup dalam ketenangan vs mereka hidup dalam kemabukan.
Kita tetap berjaga-jaga vs mereka tertidur (terlena).

Sebenarnya tujuan Paulus adalah memusatkan perhatian pada kita dan siapa kita sebenarnya. Jika kita adalah anak-anak terang/siang, maka kita harus tetap waspada dan berjaga-jaga sambil tetap berkativitas seperti biasa, karena kita tahu bahwa Kristus sudah dekat.

Pada ayat 3 Paulus mengingatkan jemaat untuk tidak cepat-cepat merasa “aman” dengan situasi yang ada, sebab Kristus datang “seperti pencuri di malam hari” (5:2). Perasaan “aman-aman” saja dapat menyebabkan jemaat terlena dan tidak mempersiapkan diri dengan baik, termasuk tidak siap menghadapi berbagai kemungkinan buruk yang bakal terjadi menjelang kedatangan Kristus. Itulah sebabnya Paulus menganalogikan situasi itu seperti seorang perempuan yang hamil ditimpa oleh sakit bersalin (ay. 3). Ini adalah gambaran tentang kepastian datangnya rasa sakit menjelang kedatangan Tuhan, oleh sebab itu setiap orang jangan dulu merasa “aman-aman” saja, apalagi kalau hanya mengandalkan keamanan atau rasa damai yang ditawarkan oleh pemerintah duniawi. Pada sisi lain, rasa sakit (seperti yang dialami oleh perempuan hamil) dapat memberi jalan kepada kehidupan baru, yang mungkin mengisyaratkan “perolehan keselamatan” (1 Tesalonika 5:9).

“Kedatangan Kristus” yang dinanti-nantikan ini memberikan kita sebuah batasan sementara: sebuah momen ketika kita bertatap muka dengan Kristus. Tentu saja ada cara-cara lain di mana kita bisa bertatap muka dengan Kristus: ketika kita berjumpa dengan orang asing, misalnya, atau ketika kita dengan penuh doa merenungkan kehidupan kita dalam pengakuan dosa. Namun kedatangan Kristus akan membawa kita ke suatu masa yang tidak dapat ditunda, ketika kita akan dimintai pertanggungjawaban, ketika rasa sakit bersalin menimpa kita, ketika hal-hal yang selama ini kita cari akan kedamaian dan keamanan terungkap.

Oleh sebab itu, Paulus memerintahkan jemaat untuk “berbajuzirahkan iman dan kasih, dan berketopongkan pengharapan keselamatan” (1 Tesalonika 5:8). Dengan menggunakan gambaran baju pelindung tentara Romawi, Paulus hendak menegaskan bahwa baju pelindung kita adalah: iman, kasih, dan pengharapan; itulah kekuatan kita yang sesungguhnya.

Tentu saja, iman, kasih, dan pengharapan tidak secara otomatis melindungi para pengikut Yesus dari penindasan yang berat (1 Tesalonika 1:6), tetapi paling tidak ketiganya melindungi jemaat dari ketakutan akan murka yang akan datang (5:9). Karena itu nasihatilah seorang akan yang lain dan saling membangunlah kamu seperti yang memang kamu lakukan (ay. 11).

Saturday, October 14, 2023

BANYAK YANG DIPANGGIL TETAPI SEDIKIT YANG DIPILIH – ATO SA NIKAONI BA LÖ ATO NITUYU (MATIUS 22:1-14)

Bahan Khotbah Minggu, 15 Oktober 2023
Dipersiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

Undangan Pertama dan Kedua yang Universal
Adalah suatu adat kebiasaan pada saat itu di daerah Palestina ada undangan awal dan ada undangan kedua yang disebar kepada para tamu ketika pesta (perjamuan kawin) sudah siap. Sang raja yang menyelenggarakan pesta itu mengundang semua, bahkan menyuruh hamba-hambanya untuk pergi ke persimpangan-persimpangan jalan supaya mereka datang ke perjamuan kawin itu (ay. 9), baik orang jahat maupun orang baik (ay. 10). Ini menggambarkan undangan sang raja yang universal supaya semua orang datang dan menikmati sukacita pesta bersamanya.

Sikap/Respons terhadap Undangan/Panggilan
Sayang sekali, undangan sang raja itu tidak ditanggapi dengan baik, tidak ditanggapi dengan sopan. Orang-orang yang diundang tersebut, baik pada undangan pertama maupun kedua, menolaknya dengan kasar. Tidak ada sedikit pun tanda kesopanan: “tetapi mereka menolak untuk datang” (ay. 3b); “tetapi mereka tidak mengindahkannya” (ay. 5a). Dengan jelas disebutkan dalam Matius: “ada yang pergi ke ladangnya, ada yang pergi mengurus usahanya, dan yang lain menangkap hamba-hambanya itu, menyiksanya dan membunuhnya” (ay. 5b-6). Sikap dan respons orang-orang ini menggambarkan ketidakpedulian dan kesibukan mereka dengan hal-hal lain, dan sama sekali tidak menunjukkan rasa hormat dan rasa takut kepada sang raja, sampai-sampai hamba-hambanya pun disiksa dan dibunuh. Kebangetan!

Asumsi awal yang mendasari perumpamaan ini adalah bahwa semua orang ingin diundang ke perjamuan kawin. Demikianlah perjamuan kawin di kota-kota Palestina serta dalam Kerajaan Surga. Idealnya, tak seorang pun pada zaman Yesus yang menolak undangan pesta pernikahan, apalagi undangan pada perjamuan eskatologis dalam Kerajaan Surga. Penolakan terhadap undangan ini berarti dengan sengaja menolak panggilan kasih karunia Allah, dan itulah yang dilakukan oleh umat Israel dan Yahudi pada zaman Yesus. Penolakan terhadap undangan untuk datang ke perjamuan kawin ini ada hubungannya dengan penolakan terhadap Yesus beserta jalan damai dari Tuhan.

Perumpamaan ini menggambarkan undangan kepada semua orang, Yahudi maupun nonYahudi, kaya dan miskin, ..., untuk masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sayang sekali, banyak orang yang dengan sengaja menolak undangan atau panggilan itu, menolak kasih karunia Tuhan, menolak merayakan sukacita ilahi dalam Kerajaan Surga. Penolakan dengan berbagai bentuk/cara ini dapat ditemukan di segala zaman, tempat, dan konteks. Bukan hal baru lagi sekarang kalau banyak orang yang dengan sengaja, atau mencari-cari alasan untuk tidak peduli terhadap undangan atau ajakan untuk merayakan sukacita ilahi dalam Kerajaan Surga. Ada orang yang malah mengolok-olok undangan/ajakan/panggilan yang disampaikan kepadanya untuk ikut dalam pesta sukacita ilahi. Banyak orang yang memiliki 1001 macam alasan untuk tidak memenuhi undangan, ajakan, atau panggilan sang Raja kehidupan kita, dengan sengaja memilih untuk tidak mau direpotkan dengan urusan “ilahi”.

Sikap/Cara Ketika Memenuhi Undangan/Panggilan
Memenuhi undangan/panggilan sang raja ternyata tidak otomatis memberi jaminan bahwa sang raja menerimanya. Hal ini terbaca dengan jelas pada ayat 11-14, ketika ada orang yang datang ke pesta itu tetapi tidak mengenakan pakaian pesta, akhirnya dicampakkan ke luar. “Pakaian Pesta” (Yun. endyma gamou) tidak berarti “pakaian khusus, dipakai pada acara-acara perayaan, tetapi pakaian yang baru dicuci, dan sepertinya orang tersebut mengenakan baju yang kotor. Pada zaman itu, pakaian kotor dianggap sebagai penghinaan terhadap tuan rumah. Tamu tanpa pakaian pesta menerima kecaman keras. Walaupun hukuman yang diberikan tampaknya berlebihan untuk pelanggaran tersebut, tetapi penekanannya lebih pada bagaimana sikap dan cara setiap orang menghargai norma yang berlaku ketika datang memenuhi undangan/panggilan sang raja.

Norma komunitas Yahudi pada abad pertama adalah bahwa setiap orang wajib mengenakan pakaian pesta untuk perjamuan kawin. Artinya, datang pada perjamuan itu tanpa memakai pakaian pesta akan menjadi suatu penghinaan terhadap tuan rumah (fangosiwawöi, fango’aya), dan hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Mengapa? Karena sikap/cara seperti itu akan menjadi tanda ketidakpedulian terhadap tradisi dan adat. Orang yang tidak memakai pakaian pesta dianggap telah menunjukkan penghinaannya terhadap tuan rumah sekaligus ketidakpedulian atau pengabaiannya akan hukum, dalam hal ini dapat dihubungkan dengan ketidakpedulian terhadap Taurat dan berbagai hukum yang terkait dengannya (ingat, pembaca awal Matius adalah keturunan Yahudi).

Tidak memakai pakaian pesta dalam perumpamaan ini ada hubungannya dengan “keangkuhan” dari setiap orang yang telah berada dalam pesta tersebut dan berpikir bahwa dirinya diterima otomatis oleh sang tuan rumah, dan tidak ada seorang pun yang dapat mengusirnya. Ini adalah anggapan yang angkuh bahwa dia boleh datang untuk merayakan pesta dimaksud sesuka hatinya dengan caranya sendiri. Tetapi, tanggapan tuan rumah yang menyelenggarakan pesta kepadanya sungguh tanpa ampun. “Lalu kata raja itu kepada hamba-hambanya: Ikatlah kaki dan tangannya dan campakkanlah orang itu ke dalam kegelapan yang paling gelap, di sanalah akan terdapat ratap dan kertak gigi” (ay.13). Jadi akhir perumpamaan ini adalah panggilan kebangunan untuk siapa saja yang cukup sombong dengan berpikir bahwa toh kita telah otomatis menjadi anggota Kerajaan Surga, dan karenanya tidak perlu memedulikan keinginan tuan rumah. Harapannya adalah bahwa orang-orang yang telah dipanggil ke perjamuan juga harus memperhatikan hal-hal ini, yaitu “melakukan keadilan, belas kasih, mengasihi dan berjalan dengan rendah hati bersama Allah” sebagaimana dikatakan Yesus dalam Mat. 23:23.

Keluasan Panggilan Allah
Undangan raja dalam perumpamaan ini sungguh luas: pertama kali disampaikan di seluruh kota, kemudian di sekitarnya. Undangan atau panggilan sang raja untuk masuk dalam sukacita pestanya ditujukan bagi umat Israel (bnd. Mat. 15:24), tetapi undangan itu kemudian ditujukan juga kepada setiap orang tanpa pandang bulu dari berbagai suku bangsa (bnd. Mat. 4:23-25). Kita sudah pasti bagaimana umat Israel, orang-orang Yahudi, terutama para pemimpinnya, dengan sengaja menolak para nabi Allah sejak zaman PL, mereka bahkan menolah Putra Allah, yaitu Yesus hingga membunuh-Nya tanpa ragu. Penolakan umat Israel dan Yahudi ini justru telah membuka “jalan” yang lebih luas bagi bangsa-bangsa di segala tempat dan konteks, untuk masuk ke dalam pesta sukacita Kerajaan Surga. Hal ini merupakan anugerah Allah, diberikan dengan cuma-cuma, gratis, “murah” tetapi tidak “murahan”.

Benar bahwa ajakan untuk ikut dalam pesta surgawi telah disebar secara terbuka, setiap orang bisa mendapatkan undangan itu. Bagaimana respons kita terhadap undangan itu? Bagaimana juga sikap kita ketika datang ke pesta itu? Ingatlah kata-kata Yesus, “Banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih” (ay. 14).

Saturday, September 30, 2023

Tekun Melakukan Kehendak Allah – Odödögö Wamalua Somasi Lowalangi (Yakobus 5:7-11)

Khotbah Minggu, 1 Oktober 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.
8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!
9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.
10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.
11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.


Salah satu pokok keprihatinan Yakobus dalam suratnya ini adalah adanya semacam perpecahan di dalam jemaat, terutama antara jemaat Kristen yang kaya dan yang miskin. Ancaman perpecahan ini dipicu oleh adanya sikap pilih kasih terhadap anggota jemaat yang kaya (2:1-9), fitnah (3:1-12), keserakahan, kekerasan dan penipuan (4:1-3; 5:1-5). Semua peringatan ini, ditujukan kepada semua orang dalam jemaat, dan secara khusus ditujukan kepada orang “kaya” yang mengandalkan kekayaannya dan dengan kekayaannya itu menindas orang lain (5:1-6). Sekarang, Yakobus beralih secara khusus kepada mereka yang “miskin” (jemaat biasa) untuk “bersabar” menghadapi dan menjalani situasi yang untuk sementara waktu tidak berpihak kepada mereka (5:7).

Dengan kata lain, Yakobus, pada satu sisi menyampaikan peringatan kepada orang-orang kaya (yang menyalahgunakan kekayaannya), dan pada sisi lain mendorong kelompok yang miskin untuk bersabar (moguna so wanaha tödö). Nasihat Yakobus ini, dapat saja disalahartikan seolah-olah membiarkan penindasan yang kaya atas yang miskin berkelanjutan, sebab orang miskin hanya didorong bersabar tanpa berbuat apa-apa. Sebenarnya, Yakobus tidak bermaksud seperti itu; Yakobus sendiri “mengecam” kelompok yang kaya itu, dan terlebih dahulu dia menyatakan penghakiman Allah atas keserakahan dan penghisapan yang mereka lakukan. Setelah itu, Yakobus menyemangati mereka yang menderita, dengan janji bahwa “hari Tuhan sudah dekat” (5:8), penghakiman itu pasti datang, dan tidak akan ada seorang pun yang dapat menghindar dari Hakim yang telah berdiri di ambang pintu (5:9). Maka, senjata ampuh untuk menghadapi kelompok kaya yang menindas adalah kesabaran (fanaha tödö).

Apa itu “kesabaran?” Ini merupakan sebuah alternatif terhadap kehidupan yang penuh nafsu dan eksploitasi yang dikecam oleh Yakobus dalam 5:1-6. Kesabaran memungkinkan kita mampu hidup dalam “kepuasan yang tertunda,” sama seperti petani yang (dengan sabar) menantikan buah tanamannya matang sebelum dipanen. Harus diakui bahwa “kesabaran” yang diminta oleh Yakobus di sini memang sulit diterapkan dalam masyarakat kita yang sudah hidup dalam budaya yang materialistis dan serba cepat. Kita masih mengingat, misalnya, berapa banyak jemaat kita yang terjebak dalam judi online, atau investasi yang katanya dapat melipatgandakan dana kita sebanyak mungkin dalam waktu yang relatif singkat, pokoknya cepat kaya. Hasilnya? Silakan ditanya mereka yang terlibat dalam “investasi bodong” itu. Mengapa hal ini bisa terjadi? Salah satunya adalah karena semakin banyak orang yang “tidak sabar” menjalani proses kehidupan yang kadang-kadang sulit, dan ingin mendapatkan hasil yang banyak dengan cara yang serba cepat (instant). Kesabaran menuntut adanya kesediaan dan kerelaan menanti hasil yang baik dalam proses yang mungkin saja panjang.

Persoalannya ialah kita hidup, bahkan mungkin sedang menjalani kehidupan yang “serba tidak sabar, serba instant”. Dampak dari ketidaksabaran kita sangat besar, mulai dari kerakusan dan keserakahan kita terhadap sumber daya alam, bahkan sampai merusak lingkungan hidup, hingga terjadinya kesenjangan radikal antara yang kaya dan miskin. Ketidaksabaran kita membuat kita “saling memangsa”, hidup dalam “kompetisi yang saling menelan”; orang kuat/kaya memangsa yang lemah/miskin (i’a nawönia, ibali’ö femangamangania nawönia), bahkan mungkin ada orang yang mengambil sesuatu yang bukan miliknya (i’a zi tenga önia). Hari ini, Yakobus menasihati kita untuk “bersabar”, jangan kemudian malah mempersulit diri sendiri dengan ketidaksabaran kita. Yakobus begitu peduli kepada jemaat Tuhan yang hidup dalam kekurangan dengan menyemangati kita untuk “bertahan” dalam situasi sulit itu.

Dalam konteks itu, Yakobus menasihati kita untuk tidak “bersungut-sungut dan saling mempersalahkan,” sebab hal itu justru akan membuat kita “dihukum” oleh Hakim Agung (5:9). Jangan membiarkan diri hidup dalam “sungut-sungut” yang tidak henti dan tanpa arti, lebih baik melakukan sesuatu yang bermakna dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari usaha kita tersebut. Ketika kita sedang mengalami masa-masa sulit, kita bisa saja menjadi getir dan saling menghakimi, atau bahkan berhenti datang ke persekutuan gereja. Ada orang yang semakin lama menjauhkan diri dari persekutuan dengan Tuhan dan sesama, oleh karena berbagai beban hidup yang menghimpit. Mestinya, dalam segala situasi, entah kaya atau pun miskin, entah kemarau atau pun hujan, entah panas atau pun dingin, entah berkecukupan atau pun berkekurangan, kita tetap tekun melakukan kehendak Allah.

Untuk meyakinkan kita tentang betapa pentingnya “bersabar” menjalan hidup ini, Yakobus mengajak kita meneladani para nabi, juga Ayub, yang rela menderita, dengan tekun tekun dalam melakukan kehendak Allah, dan dengan sabar menanti hasil yang baik dari Tuhan. Dengan menyinggung para nabi dan Ayub, Yakobus hendak mengatakan bahwa perihal “sabar” menjalani kehidupan yang serba sulit, sebenarnya bukan sesuatu yang baru, sudah ada para pendahulu kita yang telah memberikan contoh yang baik. Para nabi, termasuk Yesaya, berhadapan dengan para penguasa dan orang-orang “besar” yang tegar tengkuk, tetapi dia dengan sabar menjalaninya, dan dengan penuh keyakinan dia menjawab panggilan Tuhan: “Ini aku, utuslah aku.” Demikian dengan Ayub, tokoh terkenal yang seringkali kita jadikan contoh dalam kisah hidup yang penuh penderitaan, tetapi kemudian menerima hasil yang luar biasa setelah dia memilih untuk “bertahan dalam situasi sulit”, itulah buah dari kesabarannya. Kalau mereka bisa “bersabar”, mengapa kita tidak?

Saturday, September 23, 2023

Tuhan Memulihkan Kehidupan Umat-Nya – Ibohouni Mbanua-Nia Yehowa (Kejadian 8:15-22)

Khotbah Minggu, 24 September 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

15 Lalu berfirmanlah Allah kepada Nuh:
16 “Keluarlah dari bahtera itu, engkau bersama-sama dengan isterimu serta anak-anakmu dan isteri anak-anakmu;
17 segala binatang yang bersama-sama dengan engkau, segala yang hidup: burung-burung, hewan dan segala binatang melata yang merayap di bumi, suruhlah keluar bersama-sama dengan engkau, supaya semuanya itu berkeriapan di bumi serta berkembang biak dan bertambah banyak di bumi.”
18 Lalu keluarlah Nuh bersama-sama dengan anak-anaknya dan isterinya dan isteri anak-anaknya.
19 Segala binatang liar, segala binatang melata dan segala burung, semuanya yang bergerak di bumi, masing-masing menurut jenisnya, keluarlah juga dari bahtera itu.
20 Lalu Nuh mendirikan mezbah bagi TUHAN; dari segala binatang yang tidak haram dan dari segala burung yang tidak haram diambilnyalah beberapa ekor, lalu ia mempersembahkan korban bakaran di atas mezbah itu.
21 Ketika TUHAN mencium persembahan yang harum itu, berfirmanlah TUHAN dalam hati-Nya: “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya, dan Aku takkan membinasakan lagi segala yang hidup seperti yang telah Kulakukan.
22 Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam.”


Teks khotbah hari ini merupakan kelanjutan dari narasi tentang air bah. Dalam narasi air bah itu diceritakan suatu peristiwa besar dimana TUHAN Allah menghukum manusia karena: “kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata” (Kej. 6:5), “penuh dengan kekerasan dan menjalankan kehidupan yang rusak di bumi” (Kej. 6:11-12). Allah pun menghukum makhluk hidup itu dengan air bah, kecuali Nuh dan keluarganya, yang di antara orang-orang sezamannya, “hidup dengan benar dan tidak bercela serta bergaul dengan Allah.” Ketika Allah memberi perintah untuk membuat sebuah bahtera dengan segala persyaratannya itu (Kej. 6:13-21), Nuh pun tanpa basa-basi dan tanpa membantah: “melakukan semua perintah TUHAN itu, tepat seperti yang diperintahkan Allah kepadanya” (Kej. 6:22). Pada pasal 7 kitab Kejadian dikisahkanlah peristiwa air bah itu, suatu peristiwa yang menghancurkan seluruh makhluk hidup, kecuali Nuh dan keluarganya, beserta makhluk hidup lainnya yang bersama-sama dengan dia dalam bahtera itu.

Pada teks khotbah hari ini, TUHAN Allah memberikan perintah lagi kepada Nuh, tetapi kali ini bukan lagi untuk membuat bahtera atau masuk ke dalam bahtera, melainkan untuk keluar dari bahtera itu, karena air sudah kering, tidak lagi mengancam kehidupan bumi. Sama seperti ketaatan (folo’ö) yang telah ditunjukkan Nuh atas perintah TUHAN sebelum air bah datang, sekarang pun Nuh mengikuti segala yang diperintahkan TUHAN kepadanya untuk keluar dari bahtera (ay. 18-19). Dia sungguh-sungguh mengikuti perintah TUHAN tanpa ragu, tanpa bantahan, bahkan mungkin tanpa pertanyaan. Dia tahu bahwa apa pun yang diperintahkan TUHAN selalu benar dan baik, dan tanggung jawabnya adalah mengikuti perintah itu. Pada ayat 20 diceritakan bagaimana Nuh menyembah TUHAN yang telah menyelamatkan dan memulihkannya dengan pendirian mezbah dan pemberian persembahan korban bakaran bagi TUHAN. Ayat 21-22 menegaskan janji TUHAN Allah untuk tidak lagi mengutuk bumi dan membinasakan segala yang hidup di atasnya.

Kalau sebelumnya Nuh digambarkan sebagai seorang yang benar dan tidak bercela serta bergaul dengan Allah, itu tidak berarti bahwa dia adalah sosok yang sempurna dan suci. Nuh sebenarnya tidak sesempurna dan sesuci yang biasa kita bayangkan, dia bukanlah manusia tanpa cacat dalam perbuatan. Sebab, pada pasal berikutnya (pasal 9), diceritakan bahwa “Nuh menjadi petani dengan membuat kebun anggur, tetapi kemudian dia mabuk sampai telanjang dalam kemahnya (Kej. 9:20-21). Namun demikian, tanggapannya atas perintah TUHAN kepadanya, baik sebelum peristiwa air bah maupun setelahnya, sungguh luar biasa, dapat menjadi contoh yang baik bagi kita tentang ketaatan pada perintah TUHAN. Tanggapan Nuh kepada TUHAN dalam teks khotbah hari ini yang patut kita tiru adalah: (1) ia menaati Allah; (2) dia menyembah Tuhan.

Dewasa ini, ketaatan merupakan sesuatu yang sulit ditemukan dalam diri manusia. Mirip dengan bangsa Israel dulu, manusia saat ini cenderung memberontak, melawan, membantah, dan atau mempertanyakan apa pun yang tidak sesuai dengan keinginannya. Oleh sebab itu, pertanyaan releksi bagi kita adalah, antara lain: Bagaimanakah saya selama ini menanggapi perintah Tuhan? Apakah selama ini menanggapi perintah TUHAN seperti Nuh yang tidak membantah dan tidak menolak? Atau saya justru akan mengikuti perintah TUHAN kalau sesuai selera saya, sesuai keinginan saya, sesuai pemahaman saya, sesuai pengetahuan saya, sesuai pikiran dan perasaan saya? Ketika Tuhan memanggil kita untuk melakukan sesuatu, apakah kita langsung melakukan apa yang Dia katakan? Jangan-jangan kita sering lambat untuk patuh kepada Tuhan. Mungkin juga kita taat dengan mencoba membuatnya sedikit lebih mudah bagi diri kita sendiri, tidak sepenuhnya mengikuti apa yang disampaikan Tuhan dengan berbagai alasan. Bukankah Tuhan telah memulihkan kita dengan berbagai cara, tetapi mengapa kita sering tidak menanggapinya dengan ketaatan dan penyembahan yang tulus? Mengapa kita kadang-kadang hitung-hitungan dalam menaati dan menyembah Tuhan?

Kita telah dibenarkan melalui darah Yesus Kristus yang tercurah, dan sekarang kita perlu hidup dengan benar. Kita bukan lagi penguasa atas hidup kita sendiri, kita adalah utusan Tuhan di dunia ini. Dialah sang Guru, dan kita adalah hamba-hamba-Nya (khotbah Minggu lalu, kita adalah hamba-hamba Kristus). Dia adalah Bapa, kita adalah anak. Dia adalah Imam Besar, kita adalah bagian dari imamat kudus-Nya. Satu-satunya tanggapan kita terhadap perintah-Nya adalah melakukan apa yang Dia katakan, sama seperti Nuh. Ciri khas orang yang telah mengalami pemulihan dari Allah adalah dengan sepenuh dan setulus hati menunjukkan hidup yang taat kepada Allah itu sendiri.

Ketaatan kepada Tuhan sebagai respons kita atas kasih karunia yang telah dianugerahkan-Nya kepada kita, juga akan terlihat pada bagaimana kita menyembah Dia. Secara teologis, Tuhan sangat layak menerima ketaatan dan pujian kita. Jika kita mau beribadah kepada-Nya sambil kita taat, kita akan dipenuhi dengan sukacita luar biasa. Orang yang sudah merasakan atau mengalami pemulihan dari Allah, akan mampu menyembah Tuhan dengan apa pun yang dia miliki.

Bagaimana reaksi Tuhan saat kita menyembah Dia seperti ini? Alkitab menceritakan kepada kita bahwa persembahan Nuh berkenan kepada Tuhan dan membuat Dia berkata bahwa Dia tidak akan pernah lagi membanjiri bumi. Artinya, Tuhan pada prinsipnya merancang dan melakukan kebaikan bagi bumi dan segala makhluk yang hidup di atasnya, dan kebaikan itu akan terus dilakukan-Nya. Jadi, bukankah sesuatu yang luar biasa apabila kita bisa menyenangkan Bapa surgawi, walaupun kita sadar bahwa tidak mungkin kita menyenangkan Dia secara sempurna? Tuhan tidak membutuhkan apa pun—Dialah Tuhan! Tidak ada sesuatu pun yang dapat kita berikan kepada-Nya yang belum Dia berikan kepada kita. Namun kita mempunyai kesempatan untuk memberikan sukacita kepada-Nya! Kita dapat melakukan ini melalui ketaatan dan penyembahan.

Tidak ada alasan untuk tidak taat dan menyembah Tuhan. Tidak ada alasan juga bagi kita untuk tidak bekerja, termasuk alasan kedatangan Tuhan kembali. Tuhan berfirman: “Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam” (ay. 22). Mari kita menikmati pemulihan dari Allah sambil menunjukkan ketaatan dan penyembahan kita kepada-Nya. Mari kita menikmati pemulihan dari Kristus Yesus sambil hidup berpadanan dengan Injil Kristus.

Hanya, hendaklah hidupmu berpadanan dengan Injil Kristus (Filipi 1:27a)

Sunday, September 17, 2023

Jangan Menghakimi – Böi Mihuku Nawömi (1 Korintus 4:1-5)

Khotbah Minggu, 17 September 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.
2 Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.
3 Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi.
4 Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan.
5 Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.


Beberapa orang Kristen di Korintus bersikap kritis terhadap Paulus, karena mereka tidak menemukan dalam dirinya kefasihan, kebijaksanaan, dan kehadiran karismatik seperti yang biasa mereka puja dalam masyarakat Korintus pada waktu itu. Kelebihan seperti itu hanya mereka temukan dalam diri Apolos. Oleh sebab itu, mereka menganggap (menghakimi) Paulus sebagai sosok yang lebih rendah dari Apolos (dan orang-orang lain yang dianggap lebih berpengetahuan), dan malah mereka menganggap (menghakimi) dia sebagai sosok yang tidak diutus oleh Tuhan, apalagi Paulus tidak termasuk di antara duabelas murid Yesus.

Sebelumnya, Paulus menyatakan bahwa Kristus telah mengutus dia “untuk memberitakan Kabar Baik—bukan dengan hikmat perkataan” (1Kor. 1:17). Oleh karena itu, ia sangat kontras dengan Apolos yang “seorang yang fasih berbicara dan datang ke Efesus, dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci” (Kis. 18:24). Itulah sebabnya Paulus membela diri dengan berkata: “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah” (1Kor. 2:4-5). Dia juga akan berkata: “Jikalau aku kurang paham dalam hal berkata-kata, tidaklah demikian dalam hal pengetahuan” (2Kor. 11:6). Dengan kata lain, Paulus menyampaikan wejangan untuk tidak saling menghakimi ini karena sebagian jemaat yang terburu-buru menilai sesamanya, termasuk menilai Paulus, hanya dari satu aspek saja yang mereka gemari. Ada bahaya yang mengintai dari sikap yang terlalu cepat menghakimi ini, yaitu bahwa dapat memunculnya beberapa kelompok dalam jemaat yang bisa mengarah pada perselisihan dan perpecahan dalam jemaat itu sendiri. Gejala itulah yang terjadi di jemaat Korintus, dimana ada jemaat yang mengatakan: “Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus” (1Kor. 1:12).

Dalam teks khotbah hari ini, Paulus menulis, tidak hanya untuk membela pekerjaan yang telah ia lakukan dengan orang-orang Kristen di Korintus, tetapi juga untuk mengarahkan kembali jemaat dari pengotak-ngotakan para pelayan atau hamba Kristus (menurut kekuatan dan kelemahan para hamba Kristus dimaksud) kepada salib Kristus yang menjadi pusat pemberitaan para pelayan tersebut. Dengan demikian, jemaat harus berhenti menilai atau menghakimi para pelayan gereja, atau berhenti menilai/menghakimi sesama, dan menyerahkan penilaian atau penghakiman tersebut kepada Tuhan yang Empunya gereja dan pelayanan, sebab Tuhan dapat dipercaya untuk menghakimi dengan setia.

Hal yang jauh lebih penting dari sikap saling menghakimi adalah kesadaran bahwa kita sebagai orang ​​Kristen bukan milik kita sendiri, melainkan hamba-hamba Kristus dan pelayan-pelayan Injil. Oleh sebab itu, pelayanan yang dilakukan oleh umat Tuhan haruslah muncul dari kesetiaan kepada Tuhan dan Tuhan sendirilah nanti yang akan menilai/menghakimi kesetiaan kita kepada-Nya. Kesetiaan kita kepada Tuhan akan menunjukkan apakah kita dapat dipercaya atau sebaliknya tidak dapat dipercaya. Jadi, berhentilah untuk saling menghakimi, lebih baik berfokus pada tugas masing-masing, tugas pemberitaan Injil sesuai dengan kepercayaan yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Terimalah satu dengan yang lain, dan jangan terburu-buru menilai negatif/rendah seseorang hanya karena dia tidak memiliki “kompetensi” seperti yang kita harapkan.

Menilai (secara negatif/rendah) dan atau menghakimi sesama dengan menggunakan standar/ukuran sesuai selera kita, dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan perpecahan seperti dalam jemaat Korintus. Selain itu, menghakimi sesama juga bermasalah secara teologis, sebab satu-satunya pihak yang memiliki wewenang untuk menghakimi kita adalah Tuhan. Mengapa? Karena tugas pelayanan yang kita lakukan adalah milik Tuhan, dan mestinya dinilai/dihakimi oleh yang Empunya pelayanan itu, menurut standar/ukuran Pemberi pekerjaan/pelayanan, bukan oleh dan bukan menurut standar/ukuran kita yang sama-sama bekerja/melayani.

Dalam suatu kelas belajar di sekolah/kampus misalnya, siapakah yang paling berwenang menilai atau menghakimi para siswa atau mahasiswa? Apakah siswa atau mahasiswa itu sendiri? Kita tahu bahwa yang memiliki wewenang untuk itu adalah pendidik (guru/dosen). Jadi, jangan terburu-buru menilai atau menghakimi sesama yang bukan wewenang kita, takutnya kita cepat-cepat menilai/menghakimi sesama tetapi lupa mengoreksi diri sendiri. Itulah yang dulu pernah dipertanyakan oleh Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat. 7:3). Lebih lanjut Yesus menasihati para munafikin itu dengan berkata: “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Mat. 7:5).

Atau, dalam suatu keluarga, siapakah yang paling berwenang menilai baik buruknya perbuatan anak-anak? Apakah anak-anak itu sendiri sehingga mereka bisa dengan bebas saling menyalahkan dan saling menghujat? Apakah anak-anak itu sendiri sehingga mereka bisa seenaknya menghakimi sesamanya? Bukankah mestinya orangtua yang lebih berwenang untuk itu dengan menggunakan penilaian yang lebih adil? Demikianlah juga dengan kita dalam pekerjaan dan pelayanan Tuhan, seharusnya berfokus pada penuntasan tugas dan tanggung jawab masing-masing, bukan pada penilaian dan penghakiman satu dengan yang lain. Biarlah Tuhan, yang Empunya pekerjaan dan pelayanan kita, yang menilai dan menghakimi kita menurut ukuran-Nya sendiri.

Oleh sebab itu, hati-hatilah dalam menilai/menghakimi sesama, sebab kita bisa saja salah menilai/menghakimi, apalagi kalau ada persoalan personal kita dengan pihak yang kita nilai/hakimi itu. Hati-hatilah dalam menilai atau menghakimi sesama dalam pekerjaan dan pelayanan Tuhan, sebab itu mestinya dilakukan oleh Tuhan saja. Yesus sendiri telah memperingatkan kita untuk tidak (terburu-buru) menghakimi, supaya kita pun tidak (terburu-buru) dihakimi.

“Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi”
(Luk. 6:37a)

Sunday, July 30, 2023

Allah yang Menyertai dan Melindungi (Kejadian 28:10-22)

Khotbah Minggu, 30 Juli 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

10 Maka Yakub berangkat dari Bersyeba dan pergi ke Haran.
11 Ia sampai di suatu tempat, dan bermalam di situ, karena matahari telah terbenam. Ia mengambil sebuah batu yang terletak di tempat itu dan dipakainya sebagai alas kepala, lalu membaringkan dirinya di tempat itu.
12 Maka bermimpilah ia, di bumi ada didirikan sebuah tangga yang ujungnya sampai di langit, dan tampaklah malaikat-malaikat Allah turun naik di tangga itu.
13 Berdirilah TUHAN di sampingnya dan berfirman: "Akulah TUHAN, Allah Abraham, nenekmu, dan Allah Ishak; tanah tempat engkau berbaring ini akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu.
14 Keturunanmu akan menjadi seperti debu tanah banyaknya, dan engkau akan mengembang ke sebelah timur, barat, utara dan selatan, dan olehmu serta keturunanmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.
15 Sesungguhnya Aku menyertai engkau dan Aku akan melindungi engkau, ke manapun engkau pergi, dan Aku akan membawa engkau kembali ke negeri ini, sebab Aku tidak akan meninggalkan engkau, melainkan tetap melakukan apa yang Kujanjikan kepadamu."
16 Ketika Yakub bangun dari tidurnya, berkatalah ia: "Sesungguhnya TUHAN ada di tempat ini, dan aku tidak mengetahuinya."
17 Ia takut dan berkata: "Alangkah dahsyatnya tempat ini. Ini tidak lain dari rumah Allah, ini pintu gerbang sorga."
18 Keesokan harinya pagi-pagi Yakub mengambil batu yang dipakainya sebagai alas kepala dan mendirikan itu menjadi tugu dan menuang minyak ke atasnya.
19 Ia menamai tempat itu Betel; dahulu nama kota itu Lus.
20 Lalu bernazarlah Yakub: “Jika Allah akan menyertai dan akan melindungi aku di jalan yang kutempuh ini, memberikan kepadaku roti untuk dimakan dan pakaian untuk dipakai,
21 sehingga aku selamat kembali ke rumah ayahku, maka TUHAN akan menjadi Allahku.
22 Dan batu yang kudirikan sebagai tugu ini akan menjadi rumah Allah. Dari segala sesuatu yang Engkau berikan kepadaku akan selalu kupersembahkan sepersepuluh kepada-Mu.”

Perjalanan/Pelarian dalam Ketidakpastian:
Pada teks ini kita melihat Yakub memulai perjalanan ke Haran, tidak yakin akan apa yang akan terjadi di depan. Pelarian Yakub dari kota Bersyeba di selatan ke kota Haran di utara tampaknya membalikkan perjalanan kakek neneknya Abraham dan Sarah, yang dulu melakukan perjalanan dengan iman dari tanah air mereka di Haran ke tanah yang dijanjikan Allah kepada keturunan mereka (Kejadian 12:1-9).

Kita tahu bahwa perjalanan Yakub ke Haran sebenarnya lebih sebagai pelariannya karena perselisihannya dengan abangnya Esau. Esau menaruh dendam kepadanya dan berencana membunuhnya (Kej. 27:41), sehingga dengan terpaksa Yakub disuruh pergi oleh orangtuanya (Ribka dan Ishak) ke rumah pamannya Laban di Haran, disuruh melarikan diri. Artinya, Yakub terpaksa meninggalkan keluarganya dan lingkungan yang selama ini sudah akrab dengannya, dia melangkah ke masa depan yang tidak diketahui. Walaupun pelarian dirinya ini merupakan akibat dari perbuatannya merebut hak kesulungan dengan mengakali ayahnya, tetapi Allah tetap menyertai dan melindunginya. Hal ini tidak berarti bahwa Allah setuju dengan perbuatannya itu, tetapi Allah hendak menunjukkan kasih setia-Nya yang begitu besar, tidak bisa dibandingkan dengan besarnya kesalahan ataupun hebatnya kesalehan seseorang. Yakub melangkah dan melarikan diri dalam ketidakpastian, tetapi Allah menyertainya. Banyak dari kita dapat memahami saat-saat ketidakpastian seperti itu ketika jalan hidup tampak tidak jelas. Namun demikian, satu yang pasti, pemeliharaan Tuhan tetap teguh.

Bertemu Tuhan di Tempat yang Tak Terduga:
Di tengah perjalanan, di lokasi yang dipilih karena malam tiba, Yakub mengalami mimpi luar biasa yang kemudian mengubah hidupnya. Mimpinya mengungkapkan kehadiran Tuhan yang seringkali tersembunyi bagi manusia, tetapi sesungguhnya tetap aktif pada setiap kesempatan, bahkan di sepanjang jalan hidup kita. Keterlibatan Allah yang berkelanjutan di dunia dan dalam kehidupan Yakub yang tidak pasti itu digambarkan melalui penglihatan yang mencolok tentang tangga yang membentang dari bumi ke langit (surga), dan malaikat naik turun di atasnya. Penglihatan ini mengingatkan kita pada ziggurat berundak atau gunung bata lumpur yang menyatukan langit dan bumi yang menonjol di kota-kota Mesopotamia seperti Babel, sebuah kota yang namanya berarti “gerbang para dewa.” Dalam Kejadian, Tuhan tidak muncul di hadapan para bangsawan atau para imam, tetapi kepada seorang pengungsi atau pelarian yang ketakutan. Mimpi Yakub tentang tangga yang kemudian dia berjumpa dengan Allah (dalam mimpinya) hendak menegaskan kesediaan Allah untuk hadir dan berjumpa dengan orang-orang yang sedang remuk hatinya, yang berada dalam situasi hancur, atau yang berada dalam ketakutan dan kekuatiran, serta yang sedang dalam perjalanan hidup yang tidak pasti.

Selain itu, mimpi Yakub ini juga menjadi pengingat yang kuat bahwa Tuhan tidak terbatas pada lokasi atau waktu tertentu. Dia menemui kita tepat di mana kita berada, di tengah tantangan dan pergumulan kita, mengulurkan kasih karunia dan bimbingan-Nya. Mimpi Yakub ini pada satu sisi memperlihatkan Allah yang agung dan menakjubkan, dan pada sisi lain hendak menyatakan adanya relasi yang begitu dekat dan personal antara Tuhan dengan manusia. Perjumpaan yang tak terduga antara Yakub dan Tuhan di Betel mengarah pada refleksi tentang di mana kita sebagai individu dan sebagai jemaat bertemu Tuhan secara tak terduga dalam perjalanan hidup ini.

Janji Kehadiran Tuhan:
Dalam mimpi itu, Tuhan berbicara langsung kepada Yakub, menegaskan kembali perjanjian yang telah Dia buat dengan nenek moyangnya. Tuhan berjanji untuk menyertai Yakub, melindunginya, dan menuntunnya kembali dengan selamat ke tanah airnya. Kepastian kehadiran Tuhan ini bukan hanya untuk Yakub tetapi untuk kita semua yang mencari Dia dengan hati terbuka. Dia berjanji untuk menjadi rekan tetap kita melalui setiap musim kehidupan (selengkapnya tentang janji Tuhan baca ayat 14-15).

Setelah terbangun dari mimpinya, Yakub tertegun. Dia menyadari bahwa dia telah berada di hadirat Tuhan, dan itu sangat memengaruhi dirinya. Sebagai tanggapan, dia mendirikan sebuah batu sebagai peringatan, menuangkan minyak ke atasnya, dan bersumpah kepada Tuhan. Yakub memandang tempat itu sebagai tempat kudus, mengakui kedaulatan Allah dan berkomitmen untuk mengikuti Tuhan dengan setia. Ini adalah komitmen setelah dia mengalami perjumpaan dengan Allah, komitmen untuk setia kepada Allah yang sebelumnya telah menunjukkan kesetiaan-Nya kepada Yakub.

Sumpah Yakub menandakan pentingnya kembali ke tempat di mana kita bertemu dengan Tuhan. Meskipun Yakub melanjutkan perjalanannya ke Haran, dia tetap berorientasi ke Betel, “rumah Allah”, dengan rencana untuk kembali beribadah dan bersyukur. Keturunan Yakub di seluruh bumi juga menempati tempat khusus ini sebagai pusat orientasi. Bagi umat Kristiani, sumpah Yakub bergema dengan kembalinya kita setiap minggu dari perjalanan hidup kita sehari-hari ke tempat di mana kita berjumpa dengan Tuhan secara penuh melalui ibadah, sabda, dan sakramen.

Mencari Tuhan dalam Kebiasaan:
Salah satu aspek yang luar biasa dari perikop ini adalah bahwa Yakub tidak berada di bait suci atau tempat suci ketika dia bertemu dengan Tuhan. Dia berada di tempat yang sunyi dan biasa, namun itu menjadi ruang yang sakral karena Tuhan menyatakan diri-Nya di sana. Ini mengajarkan kita bahwa kita tidak harus berada di gedung gereja yang megah untuk mengalami kehadiran Tuhan; Dia dapat menemui kita dalam aspek sederhana dan duniawi dari kehidupan kita.

Perjalanan Pulang:
Perjumpaan Tuhan mengubah pandangan hidup Yakub. Dia memulai perjalanan pulangnya dengan tujuan dan keyakinan yang diperbarui. Demikian pula, ketika kita berjumpa dengan Tuhan dan menerima janji-janji-Nya, kita diberdayakan untuk menghadapi tantangan hidup dengan keberanian dan harapan.

Saat kita merenungkan kisah tangga Yakub, marilah kita ingat bahwa kita masing-masing sedang dalam perjalanan atau ziarah iman. Kadang-kadang, kita mungkin menemukan diri kita berada dalam ketidakpastian, maka kita mencari bimbingan Tuhan. Marilah kita terbuka untuk bertemu Tuhan di tempat-tempat yang tidak terduga, karena Dia dapat menyatakan diri-Nya kepada kita di saat-saat biasa dalam hidup. Sama seperti Tuhan berjanji kepada Yakub, Dia juga berjanji kepada kita, termasuk karunia kehadiran dan bimbingan-Nya sepanjang hidup kita.

Sunday, July 23, 2023

Beriman dan Bertumbuh di dalam Tuhan – Famati ba Fa’atedou ba khö Zo’aya (Matius 13:31-35)

Khotbah Minggu, 23 Juli 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

31 Yesus membentangkan suatu perumpamaan lain lagi kepada mereka, kata-Nya: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya.
32 Memang biji itu yang paling kecil dari segala jenis benih, tetapi apabila sudah tumbuh, sesawi itu lebih besar dari pada sayuran yang lain, bahkan menjadi pohon, sehingga burung-burung di udara datang bersarang pada cabang-cabangnya.”
33 Dan Ia menceriterakan perumpamaan ini juga kepada mereka: “Hal Kerajaan Sorga itu seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya.”
34 Semuanya itu disampaikan Yesus kepada orang banyak dalam perumpamaan, dan tanpa perumpamaan suatupun tidak disampaikan-Nya kepada mereka,
35 supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi: “Aku mau membuka mulut-Ku mengatakan perumpamaan, Aku mau mengucapkan hal yang tersembunyi sejak dunia dijadikan.”

Kerajaan Surga, sekecil apa pun, selambat apa pun, pasti akan bertumbuh dan menjadi besar!

Dalam teks Alkitab Matius 13:31-35, Yesus Kristus menggunakan dua perumpamaan yang sederhana, namun penuh makna, untuk menggambarkan kerajaan surga. Meskipun tampak kecil dan tersembunyi pada awalnya, kerajaan surga ini berkembang dan memiliki pengaruh besar dalam dunia sekitarnya, tentu saja dalam hidup kita sebagai orang percaya.

Dalam perumpamaan pertama, Yesus menggambarkan kerajaan surga seperti biji sesawi. Biji sesawi adalah salah satu yang terkecil di antara semua biji, ukurannya sekitar 1mm (0.1cm), beratnya sekitar 1mg (0.001gr). Walaupun pada mulanya kecil, namun tetapi ketika ditanam, biji sesawi ini tumbuh menjadi pohon besar yang menyediakan tempat berlindung bagi burung-burung. Setelah besar menjadi tanaman sesawi, tingginya bisa mencapai 3 meter (3000mm). Artinya, biji sesawi yang pada awalnya sangat kecil, setelah ditaburkan dapat berubah dan bertumbuh hingga 3000 kali lipat, sungguh suatu perubahan dan pertumbuhan yang luar biasa. Tak hanya itu, yang juga menarik, benih sesawi itu tak hanya menjadi besar, tetapi cabang-cabangnya sedemikian rindang sehingga menjadi rumah bagi burung-burung di udara. Pohon sesawi itu malah menjadi sebuah ekosistem tersendiri, di mana burung-burung beranak pinak di situ. Tak hanya menjadi besar, tetapi, lebih dari itu, menjadi berkat.

Demikianlah juga dengan kerajaan surga, awalnya mungkin tampak tidak berarti, tetapi kemudian bertumbuh dan menyediakan tempat bagi banyak orang yang mencari perlindungan dan harapan. Kecilnya awal kerajaan ini mengajarkan kita untuk tidak meremehkan tindakan kecil dalam melayani Tuhan, atau dalam melakukan kebaikan. Apa pun yang kita lakukan bagi-Nya dengan setulus hati akan diberkati dan berkembang dalam kehendak-Nya.

Apakah kita pernah merasa bahwa apa yang kita lakukan bagi Tuhan terlalu kecil atau tidak berarti? Ingatlah bahwa Tuhan dapat menggunakan tindakan-tindakan kecil yang kita lakukan untuk menghasilkan dampak besar dalam hidup orang lain. Jadilah setia dalam melayani-Nya, walaupun terasa kecil dan tidak berarti. Tuhan akan menguatkan dan menggunakan kita untuk bertumbuh, berubah dan semakin besar, beribu-ribu kali lipat dari ukuran awalnya. Tentu saja tidak sekadar menjadi besar, tetapi yang sangat penting adalah menjadi berkat bagi banyak orang. Bertumbuh dan menjadi besar saja tidak cukup, haruslah menjadi berkat bagi banyak orang, menjadi tempat berteduh, menjadi semacam rumah bagi orang-orang yang membutuhkan, bahkan menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan orang lain.

Demikian juga dengan kebaikan-kebaikan yang kita miliki, mungkin sangat kecil menurut kacamata dunia, tetapi ketika kita menaburkannya dengan baik, percayalah kebaikan-kebaikan itu akan bertumbuh dan menjadi besar, dan orang lain dapat menikmati kebaikan-kebaikan itu. Jadi, hal kerajaan surga itu dimulai dari yang terkecil, bukan dari yang terbesar, bukan dari yang terheboh. Hidup yang berdampak baik dimulai dari yang hal-hal yang kecil. Meraih hasil yang besar dimulai dari yang hal-hal yang kecil. Melayani Tuhan dimulai dari hal-hal yang kecil, tidak harus menduduki jabatan tertentu. Menjadi besar itu berawal dari yang kecil. Menjadi besar itu penting, tetapi yang jauh lebih penting adalah besar dan menjadi berkat bagi dunia sekitarnya.

Perumpamaan kedua menggambarkan kerajaan surga seumpama ragi yang diambil seorang perempuan dan diadukkan ke dalam tepung terigu tiga sukat sampai khamir seluruhnya. Ragi yang meresap secara perlahan menyebabkan adonan mengembang dan menjadi roti yang lezat. Roti sebagai makanan utama di wilayah Palestina membutuhkan ragi yang dapat membuat roti itu mengembang. Proses peresapan ragi ke dalam tepung memang berjalan perlahan tetapi pasti, dan dampaknya dapat membuat adonan tepung itu mengembang sehingga menghasilkan roti yang baik. Demikian juga dengan kerajaan surga, bekerja secara perlahan namun pasti dalam hidup kita. Proses peresapannya mungkin tidak terlihat secara kasat mata, tetapi kemudian hasilnya dapat terlihat, menyebabkan adonan hidup itu mengembang dan menghasilkan roti hidup yang baik.

Ketika kita membiarkan firman Tuhan dan kuasa-Nya meresap dalam hati dan pikiran kita, iman kita akan tumbuh, dan kita akan menjadi lebih serupa dengan Kristus. Orang yang telah diresapi oleh kuasa firman Tuhan secara perlahan mengalami pertumbuhan atau perkembangan yang baik, dan hidupnya pun menjadi berkat yang dapat dinikmati oleh orang-orang di sekitarnya. Orang-orang yang telah diresapi oleh kuasa firman Tuhan secara perlahan akan mampu menghadirkan “kelezatan” bagi dunia sekitarnya, bukan sebaliknya mendatangkan “malapetaka”.

Apakah kita memberi kesempatan bagi firman Tuhan dan kuasa-Nya untuk meresap dalam hidup kita? Ketika kita memberikan-Nya tempat di dalam hati kita, iman kita akan tumbuh dan menghasilkan perubahan yang nyata. Marilah kita terus mencari-Nya melalui firman-Nya dan berdoa, sehingga kerajaan surga semakin aktif dalam hidup kita, dan kita menjadi saksi-saksi Kristus di dunia ini.

Kedua perumpamaan dalam Matius 13:31-35 mengajarkan kepada kita tentang besarnya kuasa kerajaan surga yang berkembang dalam hidup kita. Meskipun mungkin terasa kecil dan tersembunyi pada awalnya, kerajaan surga itu tumbuh dan memberikan dampak besar dalam hidup kita dan orang-orang di sekitar kita. Marilah kita memberikan tempat bagi kerajaan-Nya dalam hati kita, membiarkan firman-Nya meresap, dan hidup sebagai saksi-saksi Kristus, sehingga kerajaan surga semakin terlihat dalam kehidupan kita dan dunia ini. Amin.

Sunday, April 16, 2023

Diperbarui untuk Hidup menurut Ketetapan Allah – Tebohouni Ena’ö Auri Molo’ö Amakhoita Lowalangi (Yehezkiel 36:22-27)

Khotbah Minggu, 16 April 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

22 Oleh karena itu katakanlah kepada kaum Israel: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Bukan karena kamu Aku bertindak, hai kaum Israel, tetapi karena nama-Ku yang kudus yang kamu najiskan di tengah bangsa-bangsa di mana kamu datang.
23 Aku akan menguduskan nama-Ku yang besar yang sudah dinajiskan di tengah bangsa-bangsa, dan yang kamu najiskan di tengah-tengah mereka. Dan bangsa-bangsa akan mengetahui bahwa Akulah TUHAN, demikianlah firman Tuhan ALLAH, manakala Aku menunjukkan kekudusan-Ku kepadamu di hadapan bangsa-bangsa.
24 Aku akan menjemput kamu dari antara bangsa-bangsa dan mengumpulkan kamu dari semua negeri dan akan membawa kamu kembali ke tanahmu.
25 Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih, yang akan mentahirkan kamu; dari segala kenajisanmu dan dari semua berhala-berhalamu Aku akan mentahirkan kamu.
26 Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu dan Aku akan menjauhkan dari tubuhmu hati yang keras dan Kuberikan kepadamu hati yang taat.
27 Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.


Menurut kesaksian Alkitab, bangsa Israel adalah umat pilihan Allah. Sebagai umat pilihan Allah, bangsa Israel ini mestinya hidup sesuai dengan kehendak Allah yang memilih mereka tersebut. Sayang sekali, bangsa Israel justru melakukan perbuatan yang najis, perbuatan yang melanggar kekudusan Allah. Mereka menyembah berhala-berhala seperti bangsa-bangsa lain yang tidak mengenal Allah, ketidakadilan dan penindasan terjadi di mana-mana, para pemimpin tidak bisa menjadi contoh yang baik di tengah-tengah umat dan tidak menjadi pengayom dan gembala yang baik bagi seluruh rakyat. Beberapa kali Allah memperingatkan mereka melalui para nabi-Nya, termasuk nabi Yehezkiel, tetapi bangsa Israel tidak peduli, mereka keras kepala dan tegar tengkuk. Akibatnya, mereka dibuang ke Babel, dan kota Yerusalem kebanggaan mereka dihancurleburkan. Ironisnya, bangsa itu pun menajiskan nama Allah yang kudus di negeri orang di mana mereka dibuang (Yeh. 36:21), dan itu sangat menyakiti hati Allah. Namun demikian, Allah tetap setia, Dia memang marah tetapi kasih-Nya tidak pernah berubah.

Dalam situasi seperti itulah nubuat Yehezkiel 36 ini muncul, dapat dikatakan sebagai semacam penghiburan bagi umat Israel yang hampir putus asa menanggung penderitaan karena dosa-dosa mereka. Kalau sebelumnya nabi Yehezikel menegur umat Allah karena ketidaksetiaan dan pemberontakan mereka kepada Allah sehingga mereka menerima hukuman berat (Yeh. 4-7), maka sekarang Yehezkiel mewartakan pengharapan dan janji Allah yang akan menyelamatkan dan memulihkan bangsa itu. Pesan kenabian Yehezkiel berubah dari penghakiman menjadi harapan, dari celaan menjadi janji. Sekarang setelah hukuman Tuhan diterima, Yehezkiel beralih ke masa depan dan cara Tuhan akan bertindak untuk menghidupkan kembali dan memulihkan umat-Nya.

Ayat-ayat utama kita (24-28) berada di tengah-tengah nubuat yang dimulai pada 36:16 dan berakhir pada 36:38. Ayat-ayat pembuka dari nubuat memberikan sejarah bangsa Israel yang berfokus pada kesalahan mereka. Mereka diingatkan akan masa lalu dan ketidaktaatan mereka, tetapi ramalan itu tidak berakhir di sana. Terlepas dari tindakan ini dan justru karena kepedulian Tuhan terhadap nama suci Tuhan, Tuhan akan bertindak sekarang untuk menyelamatkan mereka. Allah melakukan semua ini demi kekudusan-Nya (ay. 22-23), dan bukan karena perbuatan bangsa Israel. Mengapa? Karena kalau berdasarkan perbuatan mereka, bangsa Israel tersebut tidak layak diselamatkan dan dipulihkan; tetapi Allah, demi kekudusan-Nya, Dia berkenan mendatangkan keselamatan bagi umat-Nya, sehingga bangsa-bangsa mengetahui bahwa Allah adalah TUHAN yang sesungguhnya.

Artinya, penekanan utama dalam teks ini adalah pada peran Tuhan. Harapan yang diwartakan Yehezkiel bukanlah pada kesetiaan bangsa Israel itu, juga tidak dimaksudkan untuk menetapkan seperangkat aturan baru yang akan mereka ikuti. Tuhan adalah harapan mereka. Tuhan akan menyelamatkan mereka. Tindakan Tuhan tersebut secara ringkas meliputi:

mengumpulkan Israel kembali ke tanahnya (ay. 24);

membersihkan/menyucikan Israel (ay. 25);

dan memberi Israel hati dan semangat baru untuk menaati Taurat (ay. 26-27).

Hasil dari transformasi ini adalah bahwa Allah akan menjadi TUHAN mereka, dan mereka akan menjadi umat TUHAN. Hubungan perjanjian yang benar (yang pernah dilanggar oleh umat Israel) ditegakkan kembali.

Tuhan mengumpulkan (ay. 24)
Pertama, Tuhan akan mengumpulkan kembali umat Tuhan yang tercerai-berai dari bangsa-bangsa dan ke tanah mereka sendiri. Pembuangan telah membuat umat Allah tercerai-berai menjauh dari tanah, bait suci dan masyarakat. Pengalaman pengasingan ini merupakan pengalaman yang traumatis bagi masyarakat. Tuhan akan membalikkan pola ini dengan mengumpulkan umat. Pada pasal berikutnya, Yehezkiel 37, kita mendapat gambaran tentang pekerjaan Tuhan saat tulang-tulang kering menerima napas dan terhubung kembali. Orang-orang yang telah terbuang dan tercerai berai itu akan dikumpulkan kembali, hati yang telah hancur, kecewa dan putus asa itu akan dipulihkan kembali. Allah melakukan semua itu demi kekudusan-Nya, agar bangsa-bangsa mengenal bahwa Dialah TUHAN yang sesungguhnya. Kalau Allah berkenan mengumpulkan dan memulihkan kita kembali setelah mengalami masa-masa kritis, itu bukan karena jasa atau kehebatan kita, melainkan karena anugerah Tuhan.

Tuhan membersihkan (ay. 25)
Kedua, Tuhan akan menyucikan umat-Nya, membersihkan mereka dari pemberontakan dan pencemaran mereka. Kitab Yehezkiel berpendapat bahwa pengasingan adalah hukuman atas kejahatan mereka. Oleh karena itu mereka membutuhkan pemurnian. Perikop kita menyebutkan berhala sebagai salah satu elemen yang perlu disucikan. Tentu saja, ada proses yang mungkin panjang dan menyakitkan dalam rangka pemurnian tersebut. Kita pun harus siap menjalani proses pemurnian dari Allah apa pun konsekuensinya. Ada orang siap berbuat apa pun sesuka hatinya, tetapi tidak siap menanggung risikonya. Ada orang yang merasa bebas melakukan apa pun atau bebas berbicara tentang dan dengan cara apa pun, termasuk di medsos, tetapi tidak siap menerima akibat dari apa yang dia lakukan itu. Sebagai umat Tuhan, kita harus siap dimurnikan, dibersihkan, ditahirkan, atau disucikan oleh Allah dengan cara-Nya sendiri.

Tuhan memberikan kebaruan (ay. 26-27)
Akhirnya, Tuhan berjanji untuk memberi orang-orang hati yang baru dan semangat yang baru. Perumpamaan tersebut mewakili keinginan dan kehendak orang-orang, komitmen mereka yang diperbarui terhadap keinginan Tuhan. Mereka akan berpikir dan bertindak secara berbeda karena anugerah dari Tuhan. Hati mereka sudah membatu, yaitu mati dan tidak responsif, oleh sebab itu mereka membutuhkan “transplantasi”. Perhatikan bahwa mereka tidak membutuhkan hati rohani; mereka membutuhkan jantung yang berdetak dan bekerja. Mereka harus hidup kembali sesuai dengan keinginan Allah bagi mereka dan dunia. Semua itu dimungkinkan terjadi karena Roh Allah.

Yehezkiel 36:27

Roh-Ku akan Kuberikan diam di dalam batinmu dan Aku akan membuat kamu hidup menurut segala ketetapan-Ku dan tetap berpegang pada peraturan-peraturan-Ku dan melakukannya.

Saturday, March 25, 2023

Lakukanlah Keadilan dan Kebenaran – Falua Zatulö ba Siduhu (Yehezkiel/Hezekieli 45:9-17)

Khotbah Minggu, 26 Maret 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

9 Beginilah firman Tuhan ALLAH: “Cukuplah itu, hai raja-raja Israel, jauhkanlah kekerasan dan aniaya, tetapi lakukanlah keadilan dan kebenaran; hentikanlah kekerasanmu yang mengusir umat-Ku dari tanah miliknya, demikianlah firman Tuhan ALLAH.
10 Neraca yang betul, efa yang betul dan bat yang betullah patut ada padamu.
11 Sepatutnyalah efa dan bat mempunyai ukuran yang sama yang ditera, sehingga satu bat isinya sepersepuluh homer, dan satu efa ialah sepersepuluh homer juga; jadi menurut homerlah ukuran-ukuran itu ditera.
12 Bagi kamu satu syikal sepatutnya sama dengan dua puluh gera, lima syikal, ya lima syikal dan sepuluh syikal, ya sepuluh syikal, dan lima puluh syikal adalah satu mina.
13 Inilah persembahan khusus yang kamu harus persembahkan: seperenam efa dari sehomer gandum dan seperenam efa dari sehomer jelai.
14 Tentang ketetapan mengenai minyak: sepersepuluh bat dari satu kor; satu kor adalah sama dengan sepuluh bat.
15 Seekor anak domba dari setiap dua ratus ekor milik sesuatu kaum keluarga Israel. Semuanya itu untuk korban sajian, korban bakaran dan korban keselamatan untuk mengadakan pendamaian bagi mereka, demikianlah firman Tuhan ALLAH.
16 Seluruh penduduk negeri harus mempersembahkan persembahan khusus ini kepada raja di Israel.
17 Dan rajalah yang bertanggung jawab mengenai korban bakaran, korban sajian, korban curahan pada hari-hari raya, bulan-bulan baru, hari-hari Sabat dan pada setiap perayaan kaum Israel. Ialah yang akan mengolah korban penghapus dosa, korban sajian, korban bakaran dan korban keselamatan untuk mengadakan pendamaian bagi kaum Israel.”

Pada ayat sebelumnya Tuhan berbicara tentang zaman kebenaran yang akan datang yang berhubungan dengan bait suci, dan mengatakan itu akan menjadi waktu ketika para raja Israel tidak lagi menindas umat Allah (Yeh. 45:8). Visi tentang kebenaran masa depan itu dapat mengilhami para pemimpin (raja) pada zaman Yehezkiel untuk menghilangkan kekerasan dan penjarahan, menjalankan keadilan dan kebenaran, dan berhenti merampas milik umat Allah di zaman mereka sendiri.

Tuhan sangat peduli dengan kejujuran dan integritas yang sederhana dalam kehidupan sehari-hari umat manusia. Kejujuran dan integritas dimaksud terlihat dalam tiga hal, yaitu (1) sehubungan dengan sikap dan tindakan para raja Israel terhadap umat Tuhan, (2) sehubungan dengan timbangan apa pun, dalam hal ini neraca dan efa. Keduanya haruslah dilakukan dalam keadilan dan kebenaran.[1] Para raja bersikap dan bertindak adil dan benar, sementara itu seluruh masyarakat harus menerapkan timbangan yang jujur dalam urusan/bisnis sehari-hari. Kejujuran dan integritas yang ke-3 terlihat dari ibadah persembahan yang diberikan kepada Tuhan, sesuai dengan standar Tuhan, tidak lebih tidak kurang. Itulah kesalehan yang sesungguhnya, terwujud dalam sikap dan tindakan sehari-hari, kemudian terlihat dalam hal ibadah persembahan kepada Tuhan. Kesalehan yang sesungguhnya tidak bisa hanya memenuhi salah satunya.

Tuntutan Tuhan yang pertama agar raja Israel menghentikan segala bentuk ketidakadilan bagi umat Tuhan (kekerasan dan aniaya) menunjukkan bahwa pada waktu itu para pemimpin bangsa Israel menggunakan jabatan mereka untuk menindas rakyat, bukan mengayomi. Para raja itu menggunakan kedudukan atau jabatan mereka sebagai kesempatan untuk mendapatkan keuntungan di atas penderitaan rakyat banyak. Tanpa malu mereka menggunakan “alat/sarana negara” untuk melakukan kekerasan dan penganiayaan terhadap rakyat biasa. Fenomena penggunaan jabatan dengan tidak adil dan tidak benar seperti yang dulu dilakukan oleh raja-raja Israel juga semakin terlihat akhir-akhir ini. Fenomena ini sebenarnya sudah lama terjadi, hanya saja belum terungkap pada waktu itu, berbeda dengan era digital saat ini, semua serba terbuka. Saya tidak perlu menyebutkan satu persatu contoh kasus yang menunjukkan para pejabat yang memanfaatkan jabatannya sebagai kesempatan untuk menindas orang lain dengan berbagai cara, termasuk mengintimidasi (menakut-nakuti) dan korupsi. Hal yang cukup memprihatinkan adalah keluarga para pejabat yang malah seringkali lebih “pejabat dari pejabat”, lebih presiden dari presiden, lebih gubernur, lebih bupati dari bupati, dst. Hari ini, Tuhan berfirman: “cukup dan sudahilah semua itu, hentikan kekerasan dan penganiayaan, lakukanlah keadilan dan kebenaran.”

Tuntutan Tuhan yang kedua adalah agar masyakat banyak juga sungguh-sungguh mempraktikkan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, terutama sehubungan dengan urusan/bisnis, yaitu timbangan. Pada waktu itu memang ada berbagai timbangan atau ukuran di Israel, mulai dari neraca, efa, bat, homer, syikal, dll. Tuhan tidak melarang penggunaan timbangan/ukuran ini semua, justru itu penting untuk membantu kelangsungan kehidupan umat Israel. Tuhan hanya meminta mereka untuk jujur dan berintegritas dalam penggunaan semua timbangan atau ukuran tersebut. Tuhan tidak menyukai timbangan/ukuran yang menipu, Tuhan tidak senang dengan timbangan/ukuran yang curang, sebab timbangan yang menipu/curang merupakan wujud nyata dari ketidakadilan dan ketidakbenaran, dan hanya akan menimbulkan penderitaan bagi rakyat banyak. Tuhan pun sebenarnya meminta kita menggunakan timbangan atau ukuran yang adil/jujur dalam kehidupan sehari-hari dan dalam berbagai urusan. Persoalannya ialah sulitnya menemukan kejujuran dimaksud. Yang terjadi justru timbangan yang tidak sesuai dengan ukuran yang sebenarnya (katanya 1 kg padahal hanya 8-9 ons, katanya barang ori padahal kw, dll). Ada juga masyarakat yang menjual karet dengan menyisipkan tanah, batu atau pun pasir di dalamnya, biar berat (abua ba kilo). La’amawa khoda “salak Hiliduho” (wanguma’ora) ba oya lafarukha “salak kaleng-kaleng”. Cara-cara seperti ini tidak hanya merugikan pembeli, dan secara perlahan merugikan penjual itu sendiri ke depan, tetapi juga merugikan produk tertentu yang sebenarnya berkualitas, tetapi kemudian masyarakat tidak percaya lagi. Hari ini, Tuhan berfirman: “cukup dan sudahilah semua itu, hentikan ketidakadilan dan ketidakjujuran, lakukanlah keadilan dan kebenaran.”

Tuntutan Tuhan yang ketiga adalah agar seluruh umat Tuhan itu memberikan persembahan khusus kepada raja, dan seterusnya raja (beserta rakyat) melaksanakan ibadah persembahan yang adil dan jujur kepada Tuhan. Itulah yang terungkap pada ayat 13-17. Ayat-ayat ini berisi aturan atau ukuran persembahan yang harus diberikan, demi keselamatan mereka semua. Artinya, setelah melakukan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan sehari-hari, kini bangsa itu harus menghadap Tuhan dengan berbagai persembahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Tidak boleh ada seorang pun dengan alasan apa pun yang mengurangi persembahan kepada Tuhan. Kepada sesama manusia saja harus berbuat jujur, apalagi kepada Tuhan. Memberikan yang terbaik adalah kewajiban kita kepada Tuhan. Kita tidak boleh hitung-hitungan ketika memberi kepada Tuhan, sebab Tuhan sendiri tidak pernah hitung-hitungan ketika memberkati dan menyelamatkan kita. Apa yang menjadi bagian raja berikanlah itu kepadanya, dan apa yang menjadi bagian Allah berika juga kepada Allah. Dalam Matius 22:21, Yesus berkata: “Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” Tetapi, pemberian persembahan kepada Allah tidak boleh mengurangi atau menghentikan kita untuk melakukan keadilan dan kebenaran. Yesus telah memperingatkan orang-orang Farisi pada zaman-Nya dengan berkata: “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Mat. 23:23).

Jauhkanlah kekerasan dan aniaya, tetapi lakukanlah keadilan dan kebenaran (Yeh. 45:9b)


[1] Efa adalah ukuran kering yang sama dengan sekitar delapan atau sembilan galon atau satu gantang, dibagi menjadi enam untuk tujuan perhitungan. Bat adalah ukuran cairan yang setara dengan sekitar sembilan galon atau sembilan puluh satu pint, dibagi menjadi sepersepuluh. Homer adalah bagian keenam dari sebuah bat.

Sunday, March 19, 2023

Bersukacita karena Percaya – Fa’omuso Dödö börö Wamati (Yohanes 9:35-41)

Khotbah Minggu, 19 Maret 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

35 Yesus mendengar bahwa ia telah diusir ke luar oleh mereka. Kemudian Ia bertemu dengan dia dan berkata: “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?”
36 Jawabnya: “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya.”
37 Kata Yesus kepadanya: “Engkau bukan saja melihat Dia; tetapi Dia yang sedang berkata-kata dengan engkau, Dialah itu!”
38 Katanya: “Aku percaya, Tuhan!" Lalu ia sujud menyembah-Nya.
39 Kata Yesus: “Aku datang ke dalam dunia untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta.”
40 Kata-kata itu didengar oleh beberapa orang Farisi yang berada di situ dan mereka berkata kepada-Nya: “Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?”
41 Jawab Yesus kepada mereka: “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.”

Teks khotbah hari ini merupakan kelanjutan dari kisah Yesus menyembuhkan orang yang buta sejak lahirnya. Pada waktu itu, terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat di antara orang-orang Farisi setelah Yesus menyembuhkan orang buta tersebut pada hari Sabat. Ada kelompok yang mengatakan bahwa Yesus bukan berasal dari Allah karena Ia tidak memelihara hari Sabat (9:16). Pada sisi lain, ada kelompok yang berpendapat bahwa tidak mungkin Yesus mampu menyembuhkan orang buta sejak lahir kalau Dia orang berdosa (9:16). Seperti biasa, kelompok pembenci Yesus menang atas kelompok pembela Yesus. Kelompok yang berlawanan dengan Yesus ini pun sebenarnya “kalah” adu argumen dengan orang yang telah disembuhkan tersebut, tetapi daripada mengakui kekalahan mereka, dan daripada mengakui Yesus sebagai Mesias, mereka malah mengusir keluar dari bait suci orang buta yang telah disembuhkan itu (9:34). Pengusiran ini sebenarnya bisa berdampak luas secara khusus kepada orang buta yang telah disembuhkan tersebut. Dia akan kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan, bahkan untuk membuka usaha pun agaknya sulit. Mengapa? Karena pengusiran dirinya oleh orang-orang Farisi tersebut merupakan tanda resmi pengucilan dari komunitas Yahudi pada waktu itu.

Nas khotbah pada hari ini berbicara tentang percakapan Yesus kepada orang buta yang telah disembuhkan tersebut tidak lama setelah dia diusir oleh orang-orang Farisi, dan diteruskan dengan percakapan Yesus dengan orang-orang Farisi yang masih tetap merasa diri tidak berdosa. Dengan kata lain, teks khotbah hari ini hendak menyajikan secara kontras dua kelompok masyarakat tentang iman: yang pertama diwakili oleh orang buta yang telah disembuhkan itu, memilih untuk tetap kokoh beriman kepada Yesus yang telah menyembuhkannya, dan yang kedua adalah kelompok Farisi yang dengan kekerasan hatinya tidak percaya kepada Yesus. Dalam konteks inilah Yesus mengungkapkan maksud kedatangan-Nya ke dunia, yakni untuk menghakimi, untuk memberikan penglihatan kepada mereka yang dengan kerendahan dan ketulusan harti percaya kepada-Nya, dan membiarkan dalam kebutaan orang yang dengan angkuhnya tidak percaya kepada Yesus dan menganggap diri tidak berdosa.

Orang Buta yang disembuhkan Percaya kepada Yesus (9:35-38)

Yesus mendengar bahwa para pemimpin Yahudi telah mengusir orang ini dari bait suci, yang merupakan masalah serius dalam masyarakat Yahudi pada waktu itu. Tetangganya bahkan orangtuanya pun akan menghindarinya karena takut polisi agama mengincar mereka. Meskipun sekarang pria tersebut secara fisik dapat bekerja untuk pertama kali dalam hidupnya, namun agaknya tidak ada yang mau mempekerjakan pria yang telah dikucilkan oleh otoritas agama itu. Mungkin banyak orang di pasar juga akan menolak berbisnis dengan orang buangan seperti itu. Tetapi pada saat inilah, mungkin ketika dia berdiri dalam kebingungan di luar pelataran bait suci, Yesus menemukan dia dan mengajukan pertanyaan terpenting kepadanya: “Percayakah engkau kepada Anak Manusia?” (ay. 35) Dan, masih dalam kebingunan, pria itu balik bertanya: “Siapakah Dia, Tuhan? Supaya aku percaya kepada-Nya” (ay. 36). Yesus pun menerangkan kepadanya bahwa Anak Manusia dimaksud sedang bercakap-cakap dengannya (ay. 37). Sebelumnya, dia hanya mendengar suara Yesus ketika dia disembuhkan, tetapi sekarang dia melihatnya sendiri bahkan berbicara langsung dengan-Nya. Dia pun langsung percaya kepada Yesus dan sujud menyembah-Nya (ay. 38). Perjumpaannya dengan Yesus semakin meneguhkan imannya kepada-Nya, walaupun dengan risiko diusir dan dikucilkan oleh para pemimpin Yahudi pada waktu itu. Orang buta ini menggambarkan orang-orang yang dengan teguh maju dalam iman kepada Yesus sampai titik penyembahan, apa pun risikonya. Percaya kepada Yesus berarti siap dengan risiko apa pun yang harus dialami.

Orang yang berpikir Melihat Dibutakan (9:39-41)

Kalau pada bagian sebelumnya orang buta tampil dengan meyakinkan untuk percaya dan menyembah Yesus, sekarang orang-orang Farisi tampil dengan keangkuhan mereka yang menganggap diri “melihat” atau “tidak berdosa”. Oleh sebab itu, orang-orang Farisi tersebut menolak untuk percaya kepada Yesus, bahkan mencari jalan untuk menangkap-Nya.

Ketika Yesus mengungkapkan maksud kedatangan-Nya ke dunia pada ayat 39, yaitu untuk menghakimi, supaya barangsiapa yang tidak melihat, dapat melihat, dan supaya barangsiapa yang dapat melihat, menjadi buta, dengan cepat orang-orang Farisi itu bereaksi: “Apakah itu berarti bahwa kami juga buta?” (ay. 40). Reaksi ini menunjukkan ketidaksenangan mereka akan kedatangan dan pelayanan Yesus di dunia, sekaligus menunjukkan ketidakmauan mereka untuk mengakui “kebutaan” atau “keberdosaan” mereka selama ini. Orang-orang Farisi memang terkenal sebagai kelompok elit dalam masyarakat Yahudi yang menganggap diri paling benar, paling hebat, paling dihormati, dan paling suci, padahal banyak di antara mereka yang “menelan rumah janda-janda dan hidup dalam kemunafikan” (lih. Mrk. 12:38-40). Sayang sekali, orang-orang Farisi ini tidak mengakui sisi buruk atau sisi gelap kehidupan mereka. Mereka berlindung di balik hukum atau aturan keagamaan Yahudi untuk menutupi borok mereka, dan tidak ada orang yang berani mengkritik mereka pada zaman itu sampai Yesus datang membongkar kebobrokan mereka tersebut. Ketidakmauan mereka untuk mengakui keberdosaan mereka, dan kekerasan hati mereka untuk tidak percaya kepada Yesus sebagai Anak Manusia yang berasal dari Allah, justru telah menjadi bumerang bagi mereka. Pada ayat 41 Yesus berkata kepada mereka: “Sekiranya kamu buta, kamu tidak berdosa, tetapi karena kamu berkata: Kami melihat, maka tetaplah dosamu.” Demikianlah nasib orang yang berpikir “melihat”, akan tetap dalam “kebutaan” mereka. Secara fisik mereka melihat, tetapi sesungguhnya secara rohani mereka buta, tidak bisa melihat kasih karunia Tuhan yang begitu besar bagi umat manusia.

Tetapi semua orang yang berlindung pada-Mu akan bersukacita, mereka akan bersorak-sorai selama-lamanya (Mazmur 5:12a)

Sunday, January 15, 2023

Terang bagi Keselamatan Bangsa-Bangsa – Haga ba Wangorifi fefu Soi (Yesaya 49:1-7)

Khotbah Minggu, 15 Januari 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Dengarkanlah aku, hai pulau-pulau, perhatikanlah, hai bangsa-bangsa yang jauh! TUHAN telah memanggil aku sejak dari kandungan telah menyebut namaku sejak dari perut ibuku.
2 Ia telah membuat mulutku sebagai pedang yang tajam dan membuat aku berlindung dalam naungan tangan-Nya. Ia telah membuat aku menjadi anak panah yang runcing dan menyembunyikan aku dalam tabung panah-Nya.
3 Ia berfirman kepadaku: "Engkau adalah hamba-Ku, Israel, dan olehmu Aku akan menyatakan keagungan-Ku."
4 Tetapi aku berkata: "Aku telah bersusah-susah dengan percuma, dan telah menghabiskan kekuatanku dengan sia-sia dan tak berguna; namun, hakku terjamin pada TUHAN dan upahku pada Allahku."
5 Maka sekarang firman TUHAN, yang membentuk aku sejak dari kandungan untuk menjadi hamba-Nya, untuk mengembalikan Yakub kepada-Nya, dan supaya Israel dikumpulkan kepada-Nya--maka aku dipermuliakan di mata TUHAN, dan Allahku menjadi kekuatanku--,firman-Nya:
6 "Terlalu sedikit bagimu hanya untuk menjadi hamba-Ku, untuk menegakkan suku-suku Yakub dan untuk mengembalikan orang-orang Israel yang masih terpelihara. Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi."
7 Beginilah firman TUHAN, Penebus Israel, Allahnya yang Mahakudus, kepada dia yang dihinakan orang, kepada dia yang dijijikkan bangsa-bangsa, kepada hamba penguasa-penguasa: "Raja-raja akan melihat perbuatan-Ku, lalu bangkit memberi hormat, dan pembesar-pembesar akan sujud menyembah, oleh karena TUHAN yang setia oleh karena Yang Mahakudus, Allah Israel, yang memilih engkau."


Teks khotbah hari ini merupakan berita pengharapan yang disampaikan oleh nabi Yesaya kepada bangsa Israel yang berada di pembuangan dan terasing dari tanah mereka sendiri. TUHAN tahu bahwa umat-Nya sedang berada dalam krisis yang luar biasa, baik krisis identitas maupun krisis iman. Dalam situasi seperti itulah nabi Yesaya mengucapkan sepatah kata pengharapan, yaitu bahwa Tuhan akan mengirim seorang hamba yang akan melakukan keadilan. Berita pengharapan ini tidak sekadar tentang kembalinya umat Tuhan ke negeri mereka, tetapi bahwa akan muncul hamba yang menegakkan keadilan (yang selama ini hilang). Namun, hamba yang diutus itu tidak lagi hanya untuk menyatakan terang bangsa Israel saja, tetapi bagi bangsa-bangsa. Artinya, pesan keselamatan tersebut bukan hanya untuk Israel saja, melainkan untuk seluruh dunia, bahkan “bangsa-bangsa yang jauh” (ay. 1). Untuk pesan keselamatan ini, Tuhan telah menetapkan Israel sebagai hamba-Nya, hamba yang kemudian menjadi alat kemuliaan Tuhan (ay. 3).

Seperti apa pemanggilan hamba Tuhan dimaksud? Hamba Tuhan itu dipanggil saat masih dalam kandungan, tersembunyi dan tidak terlihat. Tuhan menyembunyikan hamba itu “dalam naungan tangan-Nya” dan “dalam tabung panah-Nya” (ay. 2). Dalam hal ini, hamba tersebut tersembunyi bahkan dari dirinya sendiri sebagai wakil Tuhan. Pada awalnya hamba Tuhan tersebut merasa sia-sialah semua jerih lelahnya, tetapi dia yakin bahwa dalam Tuhan hak dan upahnya terjamin (ay. 4). Ini merupakan suatu perasaan yang kadang-kadang muncul dalam diri sang hamba ketika dalam realitasnya dia melihat pekerjaannya seperti tidak membuahkan hasil. Namun demikian, di sinilah ketabahan itu diuji, apakah kita menyerah ketika pekerjaan baik kita sepertinya tidak membuahkan hasil, atau sebaliknya kita merasa tertantang untuk terus melakukan pekerjaan baik.

Kehadiran dan keberadaan hamba Tuhan itu sendiri dalam banyak hal tidak disenangi, bahkan dia dibenci. Hamba ini adalah “seorang yang sangat dihinakan, dijijikkan oleh bangsa-bangsa.” Hamba ini, pertama tidak terlihat dan kemudian dihina, tetapi kemudian akan dikenal oleh para penguasa, sebab Tuhan, “Yang Mahakudus dari Israel, telah memilihmu” (ay. 7). Di sinilah terlihat bagaimana Tuhan memanggil hamba-hamba yang tidak terduga dan, mungkin yang lebih penting, seberapa sering hamba-hamba itu tidak mengenali diri mereka sendiri. Seringkali Tuhan memanggil atau menetapkan hamba-Nya di luar perkiraan manusia bahkan di luar dugaan orang yang dipilih oleh Tuhan itu sendiri. Satu hal yang pasti adalah bahwa sekali Tuhan memilih atau menetapkan hamba-Nya, maka tidak ada seorang pun yang dapat menghentikan atau membatalkan pilihan/ketetapan Tuhan itu. Apakah seseorang yang dipilih Tuhan menjadi hamba-Nya dapat membatalkan keputusan Tuhan? Yunus pernah mencobanya, tetapi pada akhirnya dia harus tunduk pada keputusan Tuhan.

Pengutusan hamba Tuhan ini merupakan bagian dari upaya Allah untuk memulihkan kehidupan umat-Nya yang telah porak-poranda. Benar bahwa orang Israel telah terbuang jauh dari tanah mereka, negeri mereka telah dihancurkan, dan kini mereka sedang berada dalam krisis multidimensi. Namun demikian, pengasingan bukanlah akhir segala-galanya, bukan akhir dari kisah hidup mereka. Allah mampu membangun kembali kisah baru yang jauh lebih baik di atas kisah hidup lama yang begitu hancur.

Misi pemulihan ini tidak berhenti di Israel saja, itu terlalu kecil dalam pandangan Allah. Benar bahwa Allah menyelamatkan umat Israel, memulihkan kehidupan mereka, dan membangun kembali puing-puing kehidupan mereka yang tidak mungkin dibangun kembali oleh kekuatan manusia sendiri. Tetapi misi Allah jauh lebih besar lagi. Pembebasan, pemulihan, dan keselamatan yang diberikan bagi bangsa Israel merupakan bagian yang tak terpisahkan dari misi-Nya untuk keselamatan bangsa-bangsa di luar Israel. Allah mengutus hamba-Nya dan menyelamatkan Israel bukan hanya untuk diri merek sendiri, melainkan untuk menjadi terang dan untuk keselamatan bangsa-bangsa. Tuhan mengumpulkan umat-Nya ke dalam hidup Tuhan untuk satu tujuan: keselamatan dunia. Tuhan menuntut Israel, hamba-Nya, untuk menjadi “menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi” (ay. 6). Sama seperti pengasingan yang bukan akhir dari segalanya, demikian juga pemulihan Israel, bukanlah akhir dari semua cerita mereka. Allah masih memiliki cerita luar biasa lagi di balik pengasingan dan pemulihan Israel, yaitu keselamatan bagi bangsa-bangsa, keselamatan bagi dunia.

Itulah makna dari keselamatan yang telah diterima oleh umat Tuhan, menjadi terang bagi bangsa-bangsa. Tuhan memberkati kita bukan sekadar untuk diri sendiri, melainkan untuk menjadi saluran berkat bagi yang lain. Allah menjauhkan kita dari malapetaka, bukan saja supaya kita selamat, melainkan agar kita pun dapat menolong sesama kita yang berada dalam bahaya dan situasi tidak baik. Jika kita berhasil melewati masa-masa sulit dalam hidup ini, tentu saja kita patut mensyukurinya dalam kerendahan hati, dan pada saat yang sama kita harus menyadari bahwa Allah menginginkan kita untuk menolong sesama kita yang berada dalam situasi sulit. Hidup ini bukan hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk dunia yang juga dicintai oleh Allah.

Pemulihan individu, atau gereja, atau bahkan seluruh umat, tidak pernah hanya tentang itu. Pemulihan dari Tuhan bergerak ke luar, selalu berkembang menuju pemenuhan eskatologis, “supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi” (ay. 6). Kisah Tuhan selalu lebih besar dari kisah kita; kisah kita haruslah ditempatkan dalam kisah Tuhan yang jauh lebih luas, dan biarlah Tuhan menenun kisah hidup kita ke masa depan yang lebih besar dan lebih cerah.

“Tetapi Aku akan membuat engkau menjadi terang bagi bangsa-bangsa supaya keselamatan yang dari pada-Ku sampai ke ujung bumi”
(Yes. 49:6b)

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...