Khotbah Minggu, 17 September 2023
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
1 Demikianlah hendaknya orang memandang kami: sebagai hamba-hamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah.
2 Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai.
3 Bagiku sedikit sekali artinya entahkah aku dihakimi oleh kamu atau oleh suatu pengadilan manusia. Malahan diriku sendiripun tidak kuhakimi.
4 Sebab memang aku tidak sadar akan sesuatu, tetapi bukan karena itulah aku dibenarkan. Dia, yang menghakimi aku, ialah Tuhan.
5 Karena itu, janganlah menghakimi sebelum waktunya, yaitu sebelum Tuhan datang. Ia akan menerangi, juga apa yang tersembunyi dalam kegelapan, dan Ia akan memperlihatkan apa yang direncanakan di dalam hati. Maka tiap-tiap orang akan menerima pujian dari Allah.
Beberapa orang Kristen di Korintus bersikap kritis terhadap Paulus, karena mereka tidak menemukan dalam dirinya kefasihan, kebijaksanaan, dan kehadiran karismatik seperti yang biasa mereka puja dalam masyarakat Korintus pada waktu itu. Kelebihan seperti itu hanya mereka temukan dalam diri Apolos. Oleh sebab itu, mereka menganggap (menghakimi) Paulus sebagai sosok yang lebih rendah dari Apolos (dan orang-orang lain yang dianggap lebih berpengetahuan), dan malah mereka menganggap (menghakimi) dia sebagai sosok yang tidak diutus oleh Tuhan, apalagi Paulus tidak termasuk di antara duabelas murid Yesus.
Sebelumnya, Paulus menyatakan bahwa Kristus telah mengutus dia “untuk memberitakan Kabar Baik—bukan dengan hikmat perkataan” (1Kor. 1:17). Oleh karena itu, ia sangat kontras dengan Apolos yang “seorang yang fasih berbicara dan datang ke Efesus, dan sangat mahir dalam soal-soal Kitab Suci” (Kis. 18:24). Itulah sebabnya Paulus membela diri dengan berkata: “Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh, supaya iman kamu jangan bergantung pada hikmat manusia, tetapi pada kekuatan Allah” (1Kor. 2:4-5). Dia juga akan berkata: “Jikalau aku kurang paham dalam hal berkata-kata, tidaklah demikian dalam hal pengetahuan” (2Kor. 11:6). Dengan kata lain, Paulus menyampaikan wejangan untuk tidak saling menghakimi ini karena sebagian jemaat yang terburu-buru menilai sesamanya, termasuk menilai Paulus, hanya dari satu aspek saja yang mereka gemari. Ada bahaya yang mengintai dari sikap yang terlalu cepat menghakimi ini, yaitu bahwa dapat memunculnya beberapa kelompok dalam jemaat yang bisa mengarah pada perselisihan dan perpecahan dalam jemaat itu sendiri. Gejala itulah yang terjadi di jemaat Korintus, dimana ada jemaat yang mengatakan: “Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus” (1Kor. 1:12).
Dalam teks khotbah hari ini, Paulus menulis, tidak hanya untuk membela pekerjaan yang telah ia lakukan dengan orang-orang Kristen di Korintus, tetapi juga untuk mengarahkan kembali jemaat dari pengotak-ngotakan para pelayan atau hamba Kristus (menurut kekuatan dan kelemahan para hamba Kristus dimaksud) kepada salib Kristus yang menjadi pusat pemberitaan para pelayan tersebut. Dengan demikian, jemaat harus berhenti menilai atau menghakimi para pelayan gereja, atau berhenti menilai/menghakimi sesama, dan menyerahkan penilaian atau penghakiman tersebut kepada Tuhan yang Empunya gereja dan pelayanan, sebab Tuhan dapat dipercaya untuk menghakimi dengan setia.
Hal yang jauh lebih penting dari sikap saling menghakimi adalah kesadaran bahwa kita sebagai orang Kristen bukan milik kita sendiri, melainkan hamba-hamba Kristus dan pelayan-pelayan Injil. Oleh sebab itu, pelayanan yang dilakukan oleh umat Tuhan haruslah muncul dari kesetiaan kepada Tuhan dan Tuhan sendirilah nanti yang akan menilai/menghakimi kesetiaan kita kepada-Nya. Kesetiaan kita kepada Tuhan akan menunjukkan apakah kita dapat dipercaya atau sebaliknya tidak dapat dipercaya. Jadi, berhentilah untuk saling menghakimi, lebih baik berfokus pada tugas masing-masing, tugas pemberitaan Injil sesuai dengan kepercayaan yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Terimalah satu dengan yang lain, dan jangan terburu-buru menilai negatif/rendah seseorang hanya karena dia tidak memiliki “kompetensi” seperti yang kita harapkan.
Menilai (secara negatif/rendah) dan atau menghakimi sesama dengan menggunakan standar/ukuran sesuai selera kita, dapat menimbulkan perselisihan dan bahkan perpecahan seperti dalam jemaat Korintus. Selain itu, menghakimi sesama juga bermasalah secara teologis, sebab satu-satunya pihak yang memiliki wewenang untuk menghakimi kita adalah Tuhan. Mengapa? Karena tugas pelayanan yang kita lakukan adalah milik Tuhan, dan mestinya dinilai/dihakimi oleh yang Empunya pelayanan itu, menurut standar/ukuran Pemberi pekerjaan/pelayanan, bukan oleh dan bukan menurut standar/ukuran kita yang sama-sama bekerja/melayani.
Dalam suatu kelas belajar di sekolah/kampus misalnya, siapakah yang paling berwenang menilai atau menghakimi para siswa atau mahasiswa? Apakah siswa atau mahasiswa itu sendiri? Kita tahu bahwa yang memiliki wewenang untuk itu adalah pendidik (guru/dosen). Jadi, jangan terburu-buru menilai atau menghakimi sesama yang bukan wewenang kita, takutnya kita cepat-cepat menilai/menghakimi sesama tetapi lupa mengoreksi diri sendiri. Itulah yang dulu pernah dipertanyakan oleh Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli Taurat: “Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?” (Mat. 7:3). Lebih lanjut Yesus menasihati para munafikin itu dengan berkata: “Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu” (Mat. 7:5).
Atau, dalam suatu keluarga, siapakah yang paling berwenang menilai baik buruknya perbuatan anak-anak? Apakah anak-anak itu sendiri sehingga mereka bisa dengan bebas saling menyalahkan dan saling menghujat? Apakah anak-anak itu sendiri sehingga mereka bisa seenaknya menghakimi sesamanya? Bukankah mestinya orangtua yang lebih berwenang untuk itu dengan menggunakan penilaian yang lebih adil? Demikianlah juga dengan kita dalam pekerjaan dan pelayanan Tuhan, seharusnya berfokus pada penuntasan tugas dan tanggung jawab masing-masing, bukan pada penilaian dan penghakiman satu dengan yang lain. Biarlah Tuhan, yang Empunya pekerjaan dan pelayanan kita, yang menilai dan menghakimi kita menurut ukuran-Nya sendiri.
Oleh sebab itu, hati-hatilah dalam menilai/menghakimi sesama, sebab kita bisa saja salah menilai/menghakimi, apalagi kalau ada persoalan personal kita dengan pihak yang kita nilai/hakimi itu. Hati-hatilah dalam menilai atau menghakimi sesama dalam pekerjaan dan pelayanan Tuhan, sebab itu mestinya dilakukan oleh Tuhan saja. Yesus sendiri telah memperingatkan kita untuk tidak (terburu-buru) menghakimi, supaya kita pun tidak (terburu-buru) dihakimi.
“Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi”
(Luk. 6:37a)
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?