Saturday, February 26, 2022

FIRMAN TUHAN SUMBER KEKUATAN UNTUK MELAKUKAN PEKERJAANNYA – TAROMA LI ZO’AYA ANDRÖ NO UMBU WA’ABÖLÖ BA WAMALUA HALÖWÖ-NIA(YESAYA 55:10-13)

Khotbah Minggu, 27 Februari 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

10 Sebab seperti hujan dan salju turun dari langit dan tidak kembali ke situ, melainkan mengairi bumi, membuatnya subur dan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan, memberikan benih kepada penabur dan roti kepada orang yang mau makan,
11 demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan kepadanya.
12 Sungguh, kamu akan berangkat dengan sukacita dan akan dihantarkan dengan damai; gunung-gunung serta bukit-bukit akan bergembira dan bersorak-sorai di depanmu, dan segala pohon-pohonan di padang akan bertepuk tangan.
13 Sebagai ganti semak duri akan tumbuh pohon sanobar, dan sebagai ganti kecubung akan tumbuh pohon murad, dan itu akan terjadi sebagai kemasyhuran bagi TUHAN, sebagai tanda abadi yang tidak akan lenyap.

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan yang lebih baik. Untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik itu, manusia dari berbagai tempat, zaman, dan konteks selalu berjuang dengan berbagai cara. Keinginan dan perjuangan kita untuk kehidupan yang lebih baik amatlah wajar, bahkan sangat ilahi. Bangsa Israel pun pada zaman nabi Yesaya merindukan kehidupan yang lebih baik itu, dan bahkan Tuhan sendiri pada zaman itu hingga zaman sekarang, menginginkan supaya umat manusia ciptaan tangan-Nya itu mendapatkan kehidupan yang lebih baik, lebih manusiawi, lebih membahagiakan, baik pada saat ia hidup di dunia ini maupun pada zaman yang akan datang (akhir zaman).

Persoalannya ialah bahwa banyak orang yang – entah sadar atau tidak, sengaja atau tidak – justru merusak kehidupannya sendiri bahkan kehidupan orang-orang di sekitarnya. Perhatikan misalnya betapa banyak orang yang bekerja keras dan mendapatkan hasilnya namun kemudian menggunakan hasil kerja kerasnya itu untuk sesuatu yang justru merusak dirinya dan orang-orang di sekitarnya, menggunakan hasil usahanya itu untuk sesuatu yang tidak penting, apalagi di zaman sekarang banyak orang yang menggunakan hasil kerja/usahanya untuk barang-barang yang tidak terlalu penting, hanya sekadar pamer saja, hanya sekadar memenuhi gaya hidupnya yang glamor, atau pun menggunakannya untuk membeli game online.

Dan itulah yang dulu terjadi dengan bangsa Israel, menggunakan kesempatan yang baik yang diberikan Tuhan untuk sesuatu yang justru merusak mereka, hidup dalam dosa, terutama praktik ketidakadilan yang terjadi dalam berbagai aspek kehidupan. Hal inilah nanti yang membuat Allah menghukum mereka dengan membuang mereka ke Babel, dan mereka diperbudak di sana selama kurang lebih 70 tahun. Lalu, apakah selamanya Tuhan membuang umat-Nya? Apakah selamanya Dia mendendam? Tidak! Mazmur 103:9 “Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam.” Kasih setia-Nya jauh lebih besar dari dosa-dosa umat manusia, dan atas dasar itulah Dia membebaskan umat-Nya Israel, membebaskan manusia yang berdosa hingga hari ini. Dia membuktikan kasih setia-Nya itu dengan menawarkan kehidupan yang jauh lebih baik, dan itulah yang terungkap dalam seluruh pasal 55 kitab Yesaya ini.

Pada ayat-ayat awal dari Yesaya 55 ini, Tuhan menawarkan sesuatu yang amat mendasar dan menentukan dalam kehidupan manusia, yaitu makanan dan minuman yang tidak pernah habis, selalu mengenyangkan dan memuaskan kita, baik hari ini, besok, bahkan sampai selama-lamanya (Yes. 55:1-2). Dan Tuhan telah melakukan semuanya ini, telah memberikan yang terbaik bagi umat-Nya, dan akan selalu memberikan yang terbaik, walaupun manusia – sadar atau tidak sadar – seringkali memilih kehidupan yang tidak baik.

Itulah yang ditegaskan oleh nabi Yesaya pada hari ini, bahwa apa pun yang telah direncanakan oleh Tuhan, apa pun yang telah difirmankan-Nya, selalu dilaksanakan-Nya, selalu berhasil, dan tidak akan sia-sia. Hal ini digambarkan dengan hujan dan salju yang turun ke bumi. Keduanya turun untuk memenuhi kehendak dan tujuan pengirimnya, yaitu Allah, dan tidak akan kembali kepada Allah dengan sia-sia, selalu berhasil baik. Ini menunjukkan kekuatan firman Allah dalam menggenapi janji-janji-Nya, yaitu kehidupan yang lebih baik bagi umat-Nya. Firman Tuhan itu tidak akan pernah sia-sia, selalu berproses dan berbuah baik untuk kebaikan umat TUHAN. Lõ zayazaya gõlõ daromali Lowalangi andrõ, ha sambalõ mofozu ia ba zi sõkhi, ba wamohouni fa’auri mbanua Lowalangi.

Tuhan membuktikan semua rencana dan firman-Nya itu, dengan memberi kesempatan kepada umat-Nya Israel kembali ke tanah perjanjian. Selama ini umat Tuhan diperbudak oleh dosa, berada dalam penjara dosa, dan itulah yang membuat mereka terbuang ke Babel dan diperbudak di sana selama kurang lebih 70 tahun. Namun, kini penderitaan dan perbudakan itu segera berlalu, sebab mereka akan “diizinkan” pergi kembali ke Yerusalem, ke kota mereka dengan penuh sukacita. Artinya, pembebasan telah tiba, karena itu tidak perlu lagi ada kekuatiran dan ketakutan bagi umat Tuhan.

Dalam kemahakuasaan dan kebaikan-Nya itu, TUHAN sendiri yang menghantarkan pulang umat-Nya ke negeri mereka, menghantarkan mereka dengan penuh kedamaian, tanpa gangguan dari siapa pun. Ini adalah jaminan dan harapan yang luar biasa, dan (seharusnya) mendatangkan semangat baru dan sukacita besar bagi umat Tuhan. Atau, adakah di antara kita yang malah sedih ketika diberi sesuatu yang amat baik? Adakah di antara kita yang merasa kecewa ketika Tuhan mengabulkan doa-doanya? Saya pikir tidak ada!

Sukacita yang amat besar dinikmati oleh manusia, dan bahkan alam pun turut bersorak-sorai atas pembebasan umat Tuhan itu. Ayat 12 menggambarkan sukacita alam itu. Biasanya gunung dan bukit menjadi penghalang pergerakan, menghambat perjalanan. Namun, dalam teks ini gunung-gunung dan bukit-bukit itu digambarkan turut merayakan pembebasan umat Tuhan, bahkan pohon-pohon dengan ranting-ranting sebagai tangannya bertepuk tangan. Alam dilukiskan merayakan penebusan umat Tuhan. Jadi, kalau alam saja dapat merasakan kebaikan Tuhan, dapat menikmati pembebasan dari Tuhan, apalagi manusia yang diciptakan sebagai “imago Dei”, segambar dan serupa dengan Allah. Kalau alam saja dapat bersukacita dan memuji Tuhan karena segala kebaikan-Nya, apalagi manusia yang secara langsung mendapatkan kebaikan Tuhan itu.

Firman Allah itu pun berwujud pada pembaharuan kehidupan. Itulah yang digambarkan pada ayat 13 dengan pembaharuan alam: “Sebagai ganti semak duri akan tumbuh pohon sanobar, dan sebagai ganti kecubung akan tumbuh pohon murad”. Pembaharuan alam di sini digunakan untuk menggambarkan perubahan besar yang dialami oleh orang-orang yang telah ditebus. Keindahan menggantikan keburukan; sesuatu yang berharga menggantikan sesuatu yang tidak bernilai selama ini; pertolongan dan keselamatan menggantikan kesulitan dan malapetaka; kebahagiaan dan kesenangan (pohon sanobar dan pohon murad) menggantikan kepahitan dan kedukaan (semak duri dan kecubung). Itulah yang akan terjadi dalam kehidupan orang-orang percaya.

Pada akhirnya, semua yang telah dilakukan Allah ini, penebusan dan pembebasan yang dilakukan-Nya untuk umat manusia, dimaksudkan untuk kemasyhuran bagi TUHAN, sehingga semua bangsa mengenal dan menyembah Dia.


Mazmur 119:105, “Firman-Mu pelita bagi kakiku, terang bagi jalanku”

Sinunö 119:105, “Fandru föna gahegu daroma li-Mö andrö, ba haga ba lalagu”

Saturday, February 19, 2022

Mengasihi dengan Istimewa (Lukas 6:27-37)

Khotbah Minggu, 20 Februari 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

6:27 “Tetapi kepada kamu, yang mendengarkan Aku, Aku berkata: Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;
6:28 mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi orang yang mencaci kamu.
6:29 Barangsiapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia mengambil bajumu.
6:30 Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan janganlah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu.
6:31 Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka.
6:32 Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah jasamu? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga orang-orang yang mengasihi mereka.
6:33 Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun berbuat demikian.
6:34 Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak.
6:35 Tetapi kamu, kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat.
6:36 Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati.”
6:37 “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni.


Kita sudah lama terbiasa dengan tradisi “balas-membalas”, faoma tasulöni nilau nawöda khöda, baik perbuatan yang jahat maupun yang baik. Kita ingat misalnya ungkapan: “faoma ono nama ita”, “olifu laosi ba lö olifu dandrawa”, fataria so zangoroi’ö ba ndraononia hewisa wolau nawönia khönia si lö baga. So göi meföna nifotöi “fatanö luo”, “falulu ba halöwö”, “tolotolo ono matua”, “zulözulö”, btn.

Saya yakin bahwa sebagai orang Kristen, kita selalu berupaya untuk tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, Alkitab sudah mengajarkan kita akan hal itu, dan pada hari ini ajaran itu ditegaskan kembali dengan tidak membalas kejahatan kepada orang yang mengutuk kita, mencaci kita, dan menampar pipi kita. Kita malah dianjurkan untuk berdoa memohonkan berkat bagi mereka yang menyakiti kita, dan yang paling aneh adalah memberikan pipi kita yang lain ketika ada orang menampar kita, serta memberikan baju kita kepada orang yang mengambil jubah (lembe). Kita sudah tahu semua ini, tetapi dalam praktiknya amat sulit dilakukan. Intinya adalah kita harus mengasihi orang-orang yang membenci kita, musuh kita; suatu hal yang amat sulit dilakukan. Tetapi, itulah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada kita, dan kita harus terus menerus berupaya melakukannya.

Kata-kata Yesus yang amat sulit ini sebenarnya masih ada kaitannya dengan perkataan-Nya sebelumnya di ayat 22: “Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat.” Yesus mengingatkan murid-murid dan seluruh pengikut-Nya, untuk siap menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi oleh karena mengikut Yesus, terutama kemungkinan diperlakukan dengan tidak baik. Mengikut Yesus berarti siap mengambil risiko memikul salib yang adalah simbol penderitaan itu. Jadi, kalau ada orang yang menampar pipi kita yang satu misalnya, maka kita harus mampu menunjukkan kepadanya bahwa apa pun yang dia lakukan kepada kita, kita tetap mengikut Yesus, kita bahkan sudah siap ditampar lagi (pipi yang lain); demikian juga dengan jubah (lembe) dan baju. Kita hendak menyatakan kepada mereka yang menyakiti kita oleh karena mengikut Yesus, silakan lakukan apa pun yang engkau inginkan, saya tidak akan membalasnya dengan perbuatan jahat kepadamu, saya sudah siap menghadapi penghinaanmu, dan itu tidak akan menghentikan saya untuk tetap mengikut Yesus. Hal ini juga yang ditegaskan oleh Paulus kepada jemaat Kristen di Roma, “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Roma 8:35, 38, 39).

Hari ini, Yesus meminta kita untuk mengasihi siapa pun secara istimewa, yaitu mengasihi mereka yang membenci kita oleh karena mengikut Dia, mengasihi mereka yang memusuhi kita oleh karena kita tetap berpegang pada kebaikan dan kebenaran, mengasihi mereka yang menganiaya kita dengan berbagai cara oleh karena kita tidak mau meninggalkan Tuhan Yesus, mengasihi mereka yang mengkafir-kafirkan kita oleh karena kita tetap percaya pada berita salib.

Yesus mengajak kita untuk meninggalkan kebiasaan lama kita dengan hukum “saling membalas” itu, baik dalam hal kejahatan maupun kebaikan. Beberapa contoh yang diberikan oleh Yesus, ada di ayat 32, 33, dan 34. Kalau kita hanya berbuat baik kepada mereka yang berbuat baik kepada kita, apa istimewanya kita sebagai pengikut Kristus? Bukankah orang jahat dapat melakukan hal yang sama kepada sesamanya penjahat? Kalau kita menolong sesama kita oleh karena dia pernah menolong kita, atau menolong dia supaya kelak dia juga menolong kita, apa istimewanya kita sebagai pengikut Kristus? Bukankah orang-orang jahat dapat melakukan hal sama? Kalau kita, misalnya, hanya meminjamkan uang/barang kepada orang yang pernah membantu kita, atau kepada orang yang kita yakini dapat melunasinya nanti (ditambah dengan bunganya), apa hebatnya kita sebagai pengikut Kristus? Kalau kita, seperti yang biasa dalam adat Nias, memberi makan orang lain oleh karena dulu dia pernah memberi kita makan, atau supaya nanti juga dia memberi kita makan, apa kelebihan kita sebagai pengikut Kristus? Orang berdosa pun, demikian kata Yesus, dapat melakukan hal yang sama. Sebagai pengikut Kristus, mestinya kita bermurah hati, mengasihi musuh berbuatlah baik kepada mereka dan memberi pinjaman kepada mereka dengan tidak mengharapkan balasan (ay. 36, 35).

Terakhir, Yesus mengajak kita untuk selalu berbuat baik, apa pun situasinya, itulah maksud dari kata-kata-Nya di ayat 31 “Dan sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka”. Kita, tentunya, menghendaki kebaikan dari orang lain, maka berbuat baiklah kepada orang-orang di sekitar kita, lakukanlah kebaikan dengan tidak mengharapkan balasan, maka, kata Yesus: “upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang Mahatinggi”. Kalau pun ada orang yang berbuat salah kepada kita, maka “Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni” (ay. 37).

Thursday, February 10, 2022

Memilih untuk selalu Mengandalkan TUHAN (Yeremia 17:5-10)

Bahan Khotbah Sekber UEM, Minggu, 13 Februari 2022
Disusun oleh: Pdt. Alokasih Gulo

5 Beginilah firman TUHAN: "Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia, yang mengandalkan kekuatannya sendiri, dan yang hatinya menjauh dari pada TUHAN!
6 Ia akan seperti semak bulus di padang belantara, ia tidak akan mengalami datangnya keadaan baik; ia akan tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk.
7 Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN, yang menaruh harapannya pada TUHAN!
8 Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.
9 Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?
10 Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya."


A. Pendahuluan
Nabi Yeremia bernubuat di Israel Selatan (Yehuda) pada saat-saat paling kritis di negara itu. Pada masa-masa inilah terjadi peristiwa yang amat bersejarah bagi bangsa itu: Yerusalem yang di dalamnya ada Bait Allah dihancurkan, dan bangsa itu dibuang ke Babel. Ada banyak pergolakan politik di Timur Dekat dan bangsa-bangsa saling berkonflik. Sementara pengaruh Asyur berkurang, Mesir dan Babel masing-masing mencoba untuk menguasai daerah Bulan Sabit yang Subur. Itulah sebabnya terjadi banyak pertempuran sengit di wilayah ini, dan banyak kota besar yang hancur, tak terkecuali Yerusalem. Akibatnya, pada zaman nabi Yeremia ini, para pemimpin bangsa Yehuda bergantung pada skema, kesepakatan, kompromi dan aliansi dengan bangsa lain. Untuk kepentingan ini, dibutuhkan biaya yang amat besar, sehingga perhatian terhadap kesejahteraan rakyat banyak hampir tidak ada. Mereka membuat kesepakatan-kesepakatan dengan berbagai pihak, terutama bangsa yang dianggap lebih kuat. Dengan kesepakatan seperti ini, mereka beranggapan bahwa masalah selesai, aman, dan bisa hidup dengan tenang. Memang, pada waktu itu raja Yosia sempat melakukan reformasi, tetapi raja-raja sesudahnya tidak meneruskan sepenuhnya reformasi tersebut.

Hal inilah yang kemudian dikecam oleh TUHAN melalui nabi Yeremia, bahwa rasa aman itu hanyalah sementara, tidak lebih sebagai rasa aman palsu. Yeremia mengingatkan bangsa itu untuk tidak menaruh pengharapan kepada bangsa lain, untuk tidak menaruh pengharapan kepada kekuatan manusia, sebab itu tidak menyelesaikan masalah. Keamanan yang diberikan oleh sesama manusia hanyalah sementara, bahkan dapat menjadi bumerang bagi mereka. Semakin bergantung kepada orang atau bangsa lain, semakin besar upeti yang harus dibayarkan, dan itu berakibat buruk bagi mereka.

B. Kutuk dan Berkat (17:5-8)
Di tengah-tengah situasi yang sulit tersebut, Yeremia menegaskan bahwa hanya ada dua opsi bagi bangsa Israel, mengandalkan manusia atau mengandalkan TUHAN. Mereka yang memilih opsi pertama, mengandalkan manusia, akan terkutuk (ay. 5-6), tetapi mereka yang memilih opsi kedua, mengandalkan TUHAN, akan diberkati (ay. 7-8). Firman TUHAN yang disampaikan Yeremia pada teks ini mirip dengan Mazmur 1, yang mengucapkan berkat-berkat bagi mereka yang “kesukaannya ialah Taurat TUHAN” (Mzm. 1:2). Orang-orang seperti itu ibarat “pohon, yang ditanam di tepi aliran air, yang menghasilkan buahnya pada musimnya, dan yang tidak layu daunnya; apa saja yang diperbuatnya berhasil” (Mzm. 1:3). Sebaliknya, orang fasik ibarat “sekam yang ditiupkan angin” (Mzm. 1:4) sehingga mereka pun “tidak akan tahan dalam penghakiman” (Mzm. 1:5). Dengan kata lain, teks Alkitab (baik Yeremia maupun Mazmur) hendak memperlihatkan kepada kita bahwa mereka yang hidup menurut kehendak TUHAN akan diberkati, sebaliknya mereka yang hidup menurut keinginan manusia akan dikutuk.

(1) Terkutuklah orang yang mengandalkan manusia (17:5-6)
TUHAN Allah mengecam dan bahkan mengutuk orang yang mengandalkan manusia, mengandalkan kekuatannya sendiri, dan hatinya menjauh dari pada TUHAN. Kecaman ini tidak terlepas dari sikap dan tindakan bangsa Yehuda yang lebih cenderung membangun koalisi dengan bangsa-bangsa yang dianggap dapat melindungi mereka dari serbuan bangsa besar lainnya. Situasi politik yang tidak kondusif membuat mereka kehilangan pegangan hidup, sayangnya mereka bukan mencari perlindungan TUHAN melainkan mencari pertolongan sesama manusia. Dalam teks ini, nabi TUHAN hendak mengingatkan raja-raja Yehuda untuk berfokus pada reformasi internal mereka, kembali ke jalur yang benar, mendekatkan diri kepada TUHAN, bukan mencari perlindungan dari bangsa-bangsa lain.

Kita sering mendengar kata-kata motivasi bahwa seseorang harus berani menghadapi berbagai persoalan hidupnya, dan harus yakin bahwa dia bisa mengatasi masalah itu. Manusia harus yakin dengan potensi atau kekuatan yang dia miliki, sebab dipercaya bahwa Tuhan memberikan potensi atau kekuatan bagi setiap orang. Kata-kata motivasi ini tidak salah, tetapi dalam konteks Yehuda pada zaman nabi Yeremia, ceritanya berbeda. Manusia yang mengandalkan kekuatannya, baik kekuatan sesama maupun kekuatannya sendiri, seringkali bersikap dan bertindak arogan, dan bahkan hidup menjauh dari TUHAN. Hal inilah yang dikecam oleh TUHAN melalui nabi Yeremia, bahwa bangsa Yehuda tidak boleh mengandalkan kekuatan manusia dalam menghadapi ancaman dari bangsa-bangsa lain, tidak boleh mengandalkan kekuatan negara lain untuk melawan musuh-musuh mereka. Mengandalkan kekuatan manusia, atau mengandalkan kekuatan perlindungan dari negara lain, hanya akan mendatangkan kesulitan dan penderitaan bagi mereka. Ada harga yang harus dibayar ketika mereka meminta pertolongan dan perlindungan dari orang/bangsa lain, upeti yang besar, dan bahkan ikut menyembah ilah-ilah bangsa lain itu.

Mereka yang mengandalkan manusia dan sejenisnya, diibaratkan seperti semak bulus di padang belantara yang tidak akan mengalami datangnya keadaan baik, tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk. Tanaman ‘semak bulus’ dapat ditemukan di wilayah Timur Dekat, tetapi hampir tidak pernah menikmati baiknya kehidupan. Pada musim panas, terik matahari dapat mengubah tanah menjadi debu, akibatnya semak bulus itu menyusut layu dan kering, sehingga tidak bermanfaat sama sekali. Demikianlah gambaran bangsa Yehuda yang mengandalkan kekuatan manusia atau mengandalkan kekuatannya sendiri tetapi hidup jauh dari TUHAN. Itulah maksud dari perkataan “tidak akan mengalami datangnya keadaan baik, tinggal di tanah angus di padang gurun, di negeri padang asin yang tidak berpenduduk”. Apabila bangsa itu tidak bertobat, tidak kembali ke jalan TUHAN, mereka akan bernasib seperti semak bulus, dan akan dibuang ke negeri orang, tidak menghasilkan buah yang bermanfaat, dan mereka akan diasingkan. Mereka akan tinggal di negeri padang asing yang tidak berpenghuni, yaitu tanah yang telah ditaburi dengan garam yang berlebihan sehingga berubah menjadi tanah beracun. Tinggal di tanah beracun seperti itu menggambarkan kesulitan dan penderitaan yang akan dialami oleh bangsa Yehuda kalau mereka mengandalkan kekuatan manusia. Perkataan ini juga hendak mengingatkan bangsa Yehuda akan perbudakan yang pernah dialami oleh leluhur mereka di Mesir, dan bahwa Mesir tidak mungkin memberikan perlindungan yang sejati kepada mereka. Sayang sekali, di kemudian hari, bangsa Yehuda tetap meminta pertolongan dari bangsa Mesir (lih. Yer. 42:14), dan akibatnya mereka di buang ke Babel.

(2) Diberkatilah orang yang mengandalkan TUHAN (17:7-8)
Setelah menyampaikan kecaman dan atau kutukan TUHAN atas mereka yang memohon perlindungan dari orang/bangsa lain, kini Yeremia menyampaikan berita sukacita bagi mereka yang mengandalkan TUHAN, mereka yang menaruh harapannya pada TUHAN. Tidak seperti hidup orang yang mengandalkan kekuatan manusia, mereka yang memilih percaya pada perlindungan TUHAN akan menikmati hidup yang bahagia, hidup yang penuh dengan berkat TUHAN. Mereka yang hidup menurut jalan TUHAN diibaratkan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah.

Pohon yang ditanam di tepi air merupakan metafora untuk kehidupan yang jauh lebih baik daripada semak bulus. Tumbuhan membutuhkan air untuk bertahan hidup, bertumbuh, dan berbuah. Pohon yang ditanam di tepi aliran air akan selalu mendapatkan persediaan air yang melimpah, tidak mengenal musim panas, tidak mengalami kekeringan. Demikianlah hidup orang yang percaya pada pertolongan dan perlindungan TUHAN, akan berakar kuat, bertumbuh, dan berbuah. Mereka tidak akan mengalami kekurangan kebutuhan, sebab TUHAN sendiri yang akan menyediakan makanan dan minuman bagi mereka hingga berkelimpahan. Ini merupakan gambaran yang kontras dengan mereka yang lebih mengandalkan kekuatan manusia tadi. Orang yang mengandalkan TUHAN dalam hidupnya, akan senantiasa mendapatkan pemeliharaan Allah, pemeliharaan yang terus menerus, pemeliharaan yang tidak perlu dibayar dengan upeti apa pun.

Mungkin saja muncul persoalan yang dapat membuat kita bingung. Dalam faktanya, banyak orang yang percaya kepada Tuhan yang justru hidup dalam kesulitan, banyak orang yang setia kepada Tuhan tetapi justru menderita. Ayub tahu itu, begitu pula Yesus. Namun demikian, orang yang percaya kepada TUHAN senantiasa mendapatkan pemeliharaan Allah, bahkan dalam kesulitasn sekalipun. Mengapa? Karena orang-orang yang percaya pada TUHAN akan berakar dalam hubungan yang baik dengan Dia, dan hubungan itu yang memampukan mereka untuk menghadapi berbagai kesulitan dan menjauhkan mereka dari keputusasaan.

C. TUHAN tahu Isi Hati Manusia (17:9-10)
Kita sering mendengar ungkapan: “Dalamnya laut dapat diukur, dalamnya hati siapa tahu?” Peribahasa ini memiliki arti bahwa akan sangat sulit bagi kita untuk menduga dan memastikan pikiran dan hati seseorang. Persoalannya lagi ialah kalau hati seseorang itu penuh dengan rencana jahat, pikiran kotor, hati yang licik. Siapa yang bisa menduganya? Siapa yang mampu mengetahuinya? Itulah pertanyaan yang juga diajukan oleh Yeremia (17:9). Ini tidak terlepas dari sikap bangsa Yehuda yang tidak sesuai dengan kehendak TUHAN, hati mereka cenderung menjauh dari TUHAN. Apabila kita membaca ayat-ayat sebelumnya, maka akan terlihat betapa hati bangsa itu dipenuhi dengan penyembahan berhala (17:1-4). Allah telah menolong leluhur mereka, telah menghantarkan mereka tiba di tanah perjanjian, tetapi bangsa Yehuda justru menyimpang dengan liciknya dari jalan TUHAN.

Sepintas, orang tidak tahu kalau hati bangsa itu semakin menjauh dari TUHAN, secara formal mereka terlihat seperti orang yang masih takut akan TUHAN. Benarlah yang dikatakan Yeremia bahwa hati mereka licik, dan manusia biasa tidak mampu mengetahuinya. Namun demikian, TUHAN mengenal semuanya, tidak ada yang tersembunyi kepada-Nya. Firman TUHAN berkata: “Aku, TUHAN, yang menyelidiki hati, yang menguji batin, untuk memberi balasan kepada setiap orang setimpal dengan tingkah langkahnya, setimpal dengan hasil perbuatannya” (17:10). Dengan demikian, manusia tidak bisa bersembunyi dari hadapan TUHAN, isi hati manusia dikenal seluruhnya oleh TUHAN, tidak ada yang bisa mengelak.

Harus kita akui bahwa sulit bagi kita untuk memahami hati orang lain, karena orang menyembunyikan pikiran dan perasaannya yang terdalam untuk menunjukkan sisi terbaiknya. Jika orang lain bisa mengetahui setiap pikiran kita, hidup kita akan sangat berbeda. Lebih jauh lagi, kita sering menemukan hati kita sendiri terbagi dan membingungkan. Rasul Paulus mengaku, “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat” (Roma 7:15). Kita semua mendapati diri kita terkoyak oleh nilai-nilai dan keinginan yang saling bertentangan. Jika kita kesulitan memahami hati kita sendiri, bagaimana kita bisa berharap untuk memahami hati orang lain?

Syukurlah bahwa Tuhan tidak seperti manusia yang penuh dengan keterbatasan. Kita tidak bisa menipu Tuhan, Dia tahu isi hati kita. Tuhan pernah berkata kepada Samuel: “Janganlah pandang parasnya atau perawakan yang tinggi, sebab Aku telah menolaknya. Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati” (1 Samuel 16:7). Manusia boleh saja tampil seperti orang yang percaya kepada Tuhan, atau seperti orang yang lurus hatinya, tetapi percayalah tidak ada satu pun yang tersembunyi bagi Tuhan. Kita mungkin saja bisa mengakali sesama, atau orang lain dapat mengakali kita, tetapi hal itu tidak bisa kita lakukan bagi Tuhan. Penulis surat Ibrani telah mengingatkan kita akan hal ini: “Dan tidak ada suatu makhlukpun yang tersembunyi di hadapan-Nya, sebab segala sesuatu telanjang dan terbuka di depan mata Dia, yang kepada-Nya kita harus memberikan pertanggungan jawab” (Ibr. 4:13).

D. Penutup
Dalam hidup ini selalu ada pilihan, dan setiap pilihan selalu ada konsekuensinya. Firman Tuhan pada hari ini mengajarkan kita bahwa apabila bangsa Yehuda memilih jalan mereka sendiri, yakni mengandalkan kekuatan manusia, akibatnya buruk, dan itu telah terjadi ketika mereka dibuang ke Babel. Kita juga belajar bahwa apabila bangsa Yehuda taat kepada Tuhan, mengandalkan dan menaruh harapannya pada Tuhan, hidup mereka dapat berakar, bertumbuh, dan berbuah dengan baik. Pertolongan Tuhan selalu tersedia bagi mereka yang percaya kepada-Nya, dan itu yang pernah dinikmati oleh para pendahulu bangsa Yehuda sejak di Mesir hingga di tanah perjanjian.

Kita masih berada pada masa-masa sulit, pandemi covid-19 belum selesai, virus itu terus menghantui kehidupan kita. Kita memang harus taat pada prokes dan ikut program vaksinasi yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam kepercayaan dan pengharapan penuh kepada Tuhan, kita menjalani kehidupan kita dengan bijak, memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada untuk menghadapi situasi sulit. Kita jangan menyerah, kita percaya bahwa Tuhan memiliki banyak cara untuk menolong dan memelihara kita. Mari memilih untuk tetap mengandalkan Tuhan.



Sunday, February 6, 2022

Menjadi Pengikut Yesus – Tobali Solo’ö Yesu (Markus 1:16-20)

Khotbah Minggu, 06 Februari 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

16 Ketika Yesus sedang berjalan menyusur danau Galilea, Ia melihat Simon dan Andreas, saudara Simon. Mereka sedang menebarkan jala di danau, sebab mereka penjala ikan.
17 Yesus berkata kepada mereka: “Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.”
18 Lalu merekapun segera meninggalkan jalanya dan mengikuti Dia.
19 Dan setelah Yesus meneruskan perjalanan-Nya sedikit lagi, dilihat-Nya Yakobus, anak Zebedeus, dan Yohanes, saudaranya, sedang membereskan jala di dalam perahu.
20 Yesus segera memanggil mereka dan mereka meninggalkan ayahnya, Zebedeus, di dalam perahu bersama orang-orang upahannya lalu mengikuti Dia.


Teks ini berisi kisah tentang pemanggilan para murid Yesus dalam rangka proklamasi Kerajaan Allah. Yesus, berjalan di sepanjang Danau Galilea, melihat dua bersaudara Simon dan Andreas, nelayan, menebarkan jala mereka di danau. Dia memanggil mereka untuk mengikuti, dan dengan segera, dalam ketaatan, mereka meninggalkan jala mereka dan mengikuti-Nya. Hal yang sama terjadi dengan Yakobus dan Yohanes. Kata Yunani “kai euthys” (dan segera) pada ayat 18 dan 20, menunjukkan urgensi panggilan tersebut. Waktunya telah tiba, kerajaan Allah sudah dekat; tidak ada waktu untuk menunda-nunda, marilah, ikutlah Aku! Demikianlah kira-kira perkataan Yesus dalam versi Markus ini.

Sangat menarik bahwa keempat orang ini (dengan segera) meninggalkan segalanya untuk mengikuti Yesus jika mereka belum mengenal-Nya. Beberapa ahli biblika beranggapan bahwa mereka benar-benar mengenal Yesus, atau tahu tentang Dia, sebelum Dia memanggil mereka ke dalam pemuridan (lih. Yoh. 1:35-40). Kalau benar mereka mengenal Yesus seperti disebutkan oleh para ahli biblika tersebut, maka dapat diartikan bahwa pengenalan akan Yesus tersebut telah mendorong mereka untuk segera meninggalkan perahu mereka dan mengikuti Yesus.

Mengenal Yesus berarti mengikut Dia. Artinya, pengenalan akan Yesus tidak sebatas pengenalan kognitif, tidak sekadar mampu menjelaskan atau berkhotbah tentang Dia, tetapi bagaimana seluruh kehidupan diarahkan untuk mengikut Dia. Banyak orang Kristen yang pengetahuannya akan Yesus amat luas; banyak tokoh Kristen yang mampu berdebat tentang Yesus apalagi di YouTube; banyak orang Kristen yang setiap saat menyanyikan lagu tentang Yesus; banyak hamba Tuhan yang telah berkhotbah tentang Yesus; banyak para ahli yang menulis tentang Yesus; tetapi belum tentu semuanya telah menjadi pengikut Yesus yang sesungguhnya. Berefleksi dari kisah keempat murid pertama ini, pengenalan akan Yesus mestinya mendorong kita untuk mengikut Dia sepenuh hati. Mengikut seperti apa?

Dengan segera, demikianlah menurut Markus, keempat orang tersebut meninggalkan “segalanya” dan mengikut Yesus. Simon dan Andreas meninggalkan jala mereka, Yakobus dan Yohanes malah meninggalkan ayah mereka bersama orang-orang upahannya. Pada zaman itu, perikanan merupakan industri utama di Galilea, dengan sub-industrinya pengasinan ikan. Pada saat pergolakan sosial di Galilea, kedua industri ini saling mendukung dan tetap stabil.

Pemanggilan murid-murid ini dapat diartikan sebagai tantangan untuk meninggalkan (sumber) pendapatan dan stabilitas atau, seperti yang biasa kita katakan, untuk keluar dari “zona nyaman”. Secara khusus Yakobus dan Yohanes, dikatakan bahwa mereka meninggalkan ayah mereka Zebedeus bersama dengan “dengan orang-orang upahannya” (ay. 20). Tentu saja Yakobus dan Yohanes bukanlah orang-orang upahan atau buruh harian, melainkan pelaku bisnis keluarga mereka yang relatif sukses. Tidak hanya jala yang ditinggalkan, tetapi juga sang ayah, perahu, dan seluruh usaha/bisnis mereka yang selama ini cukup sukses. Dapat dikatakan bahwa untuk mengikuti Yesus, setiap orang mesti menunjukkan kesediaan untuk membiarkan identitas, status, dan nilai-nilai yang dimiliki ditentukan dalam hubungannya dengan Yesus.

Kesediaan para murid untuk meninggalkan stabilitas seperti itu cukup luar biasa. Stabilitas ekonomi bukan lagi tujuan utama mereka untuk bekerja. Namun demikian, penting untuk dipahami bahwa Yesus tidak menolak panggilan duniawi atau usaha duniawi, tetapi Dia mengarahkan panggilan duniawi tersebut dalam rangka Kerajaan Allah. Yesus menyebut Simon dan Andreas sebagai “penjala manusia” (Mrk. 1:17), sehingga dengan demikian menegaskan pekerjaan mereka sebelumnya sebagai gambaran dari peran baru yang akan mereka penuhi. Mengikut Yesus berarti siap dan bersedia meninggalkan situasi yang selama ini telah membuat kita cukup stabil dan nyaman, demi mencapai suatu situasi baru dalam rangka Kerajaan Allah. Mengikut Yesus berarti menempatkan diri dan segala pekerjaan kita dalam rangka Kerajaan Allah dengan segala nilai-nilai Kerajaan tersebut.

Hal mengikut Yesus juga tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan tugas dan tanggung jawab atas orang-orang di sekitar kita, atau atas keluarga. Murid-murid yang pertama tidak pernah disuruh untuk mengabaikan sama sekali situasi mereka sebelumnya (pekerjaan sebagai nelayan, keluarga/ayah). Meninggalkan segalanya dan mengikut Yesus tidak berarti memisahkan diri sama sekali dari segala sesuatu di dunia ini, dan menjadi tidak peduli dengan apapun yang dianggap urusan duniawi. Yesus tidak pernah bermaksud seperti itu. Sekali lagi, Yesus tidak pernah menolak sama sekali panggilan, pekerjaan, usaha duniawi! Yesus memanggil kita untuk menempatkan semuanya itu dalam landscape yang baru, dalam bingkai Kerajaan Allah. Apa pun pekerjaan atau usaha kita, mesti bercirikan nilai-nilai Kerajaan Allah, nilai-nilai kebaikan dan kebenaran, nilai-nilai kehidupan.

Sebagian orang dipanggil untuk meninggalkan profesi duniawi mereka untuk menjadi hamba Tuhan sepenuhnya. Tetapi, pemanggilan para murid dalam teks ini tidak selalu bermaksud demikian. Kebanyakan orang Kristen tidak dipanggil untuk harus meninggalkan pekerjaan mereka dan menjadi pengkhotbah yang mengelilingi dunia. Inti dari pemanggilan kita adalah menempatkan identitas kita di dalam Kristus. Entah meninggalkan pekerjaan atau tidak, identitas seorang murid bukan lagi “nelayan”, “pemungut cukai”, atau apapun selain “pengikut Yesus”. Apa pun jenis pekerjaan atau usaha yang sedang kita geluti sekarang, kita mesti menyadari bahwa kini identitas kita adalah pengikut Yesus. Implikasinya ialah bahwa kita harus menahan diri dari berbagai godaan yang dapat mengaburkan identitas Kristen kita dalam pekerjaan atau usaha kita masing-masing.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...