Sunday, November 28, 2021

Menyambut Kedatangan Tuhan dalam Kasih dan Kekudusan – Fangamoni’ö Fa’auri ba Famalua Fa'omasi ba Wamaondragö Wa’atohare Zo’aya (1 Tesalonika 3:9-13)

Khotbah Minggu Advent I
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

9 Sebab ucapan syukur apakah yang dapat kami persembahkan kepada Allah atas segala sukacita, yang kami peroleh karena kamu, di hadapan Allah kita?
10 Siang malam kami berdoa sungguh-sungguh, supaya kita bertemu muka dengan muka dan menambahkan apa yang masih kurang pada imanmu.
11 Kiranya Dia, Allah dan Bapa kita, dan Yesus, Tuhan kita, membukakan kami jalan kepadamu.
12 Dan kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu.
13 Kiranya Dia menguatkan hatimu, supaya tak bercacat dan kudus, di hadapan Allah dan Bapa kita pada waktu kedatangan Yesus, Tuhan kita, dengan semua orang kudus-Nya.

Teks Firman Tuhan pada hari ini dimulai dengan kata-kata, “Sebab ucapan syukur apakah yang dapat kami persembahkan kepada Allah atas segala sukacita, yang kami peroleh karena kamu, di hadapan Allah kita?” (ay.1). Ini merupakan suatu ungkapan sukacita dan rasa syukur Paulus atas perubahan dan komitmen orang-orang Kristen di Tesalonika dalam kesetiaan mereka kepada Yesus serta dalam relasi dan kasih mereka kepada sesama dan kepada rasul Paulus dan Silas. Bagi Paulus, perubahan dan komitmen orang-orang Kristen di Tesalonika ini sungguh luar biasa, sebab mereka sebenarnya mengalami berbagai tekanan atau penderitaan karena iman mereka tersebut. Tetapi, tekanan dan penderitaan tidak mengendurkan semangat perubahan dan komitmen mereka.

Kita tahu bahwa para pengikut Kristus yang tinggal di Tesalonika merupakan kelompok kecil, kelompok minoritas. Situasi mereka sejak awal menjadi pengikut Kristus tidaklah mudah. Keberadaan mereka sebagai pengikut Kristus dapat dianggap sebagai ancaman bagi masyarakat lain yang lebih banyak di sekitar mereka. Mengapa? Karena sejak mereka menjadi pengikut Kristus, kesetiaan mereka sebelumnya kepada kepada penguasa dunia beralih kepada Tuhan yang baru, yaitu Yesus Kristus (Kisah Para Rasul 17:7). Perubahan radikal ini tentu saja membuat para penguasa dunia dan para pendukungnya tidak senang, dan berupaya mengajak mereka kembali kepada kebiasaan dan tradisi lama mereka. Namun demikian, perubahan opara pengikut Kristis tidak goyah, mereka tetap setia kepada Yesus, dan tetap menyatakan kasih kepada sesama, terutama Paulus dan Silas.

Seperti apa perubahan para pengikut Kristus ini? Dalam 1 Tesalonika 1:9-10 Paulus berbicara tentang bagaimana orang Tesalonika “berbalik dari berhala-berhala kepada Allah untuk melayani Allah yang hidup dan yang benar, dan untuk menantikan kedatangan Anak-Nya dari sorga, yang telah dibangkitkan-Nya dari antara orang mati, yaitu Yesus, yang menyelamatkan kita dari murka yang akan datang.”Artinya, orang-orang Tesalonika ini telah berpaling dari berhala dan kini menghadap Tuhan yang baru. Perubahan radikal gerakan ini tidak boleh dianggap remeh, sebab merasuki setiap tingkat kehidupan: rumah, pekerjaan, keluarga, agama, ekonomi, dan politik. Tentu saja ada konsekuensi logis dari perubahan radikal ini. Langkah mereka yang cukup radikal dengan memisahkan diri dari segala sesuatu yang biasanya dianggap normal, menciptakan tekanan dalam kehidupan mereka, baik di rumah, pasar, dan tempat kerja. Bagi orang Tesalonika yang baru bertobat, komunitas murid yang berkumpul adalah rumah, keluarga, dan jaringan pendukung baru mereka. Hubungan menjadi lebih penting sekarang daripada sebelumnya ketika mereka berusaha untuk bersama-sama memahami apa artinya mengikuti Tuhan Yesus Kristus. Selain itu, kita harus mencatat bahwa orang Tesalonika terus berhubungan baik dengan Paulus dan Silas (1 Tesalonika 3:6).

Reaksi masyarakat luas terhadap orang-orang Tesalonika yang mulai mengikut Yesus ini merupakan aspek kunci dalam konteks ayat-ayat kita. Jika kita mengintip ayat-ayat sebelum perikop kita, kita perhatikan di sana bahwa Paulus mengacu pada penganiayaan dan penderitaan pada tiga kesempatan hanya dalam delapan ayat. Jelas bahwa Paulus dan Silas menderita penganiayaan (1 Tesalonika 3:7), tetapi juga orang Tesalonika sendiri berada di tengah penganiayaan karena iman mereka (3:3). Orang-orang percaya Tesalonika telah mulai mengikuti Raja baru, dan berusaha untuk mengadopsi seperangkat nilai dan etos yang berakar pada Yesus. Akibatnya, mereka mulai berpaling dari dan menolak beberapa norma masyarakat terdekat mereka. Jadi, bagaimana ini semua mulai beresonansi dengan kita?

Pertama, kita diingatkan bahwa cinta-kasih semakin bertumbuh ketika kehidupan semakin sulit. Itulah yang terjadi di Tesalonika: cinta kasih mereka semakin bertumbuh sekalipun mereka sedang berada dalam situasi sulit. Paulus mengeskpresikan sukacita dan rasa syukur ini di ayat 9, ungkapan syukur dan rasa lega karena ternyata mereka tetap hidup dalam kasih satu dengan yang lain, dan mereka tetap teguh dalam iman kepada Yesus. Selain itu, dan ini penting bai Paulus, ungkapan sukacita dan rasa terima kasih Paulus dan Silas yang meluap-luap di sini berkaitan dengan fakta bahwa orang Tesalonika telah mempertahankan komitmen mereka untuk berhubungan dengan Paulus dan Silas. Mereka tidak menyangkal Paulus dan Silas. Orang Tesalonika sedang menderita; Paulus dan Silas pun menderita. Sebenarnya, orang-orang Kristen Tesalonika dapat saja meninggalkan iman mereka dan memutuskan hubungan dengan Paulus dan Silas. Tetapi bukan itu yang terjadi. Mereka terus mencintai, dan mendukung, dan mendorong satu sama lain. Hubungan itu penting, dan terutama ketika hidup itu sulit: saling menopang, saling mendukung, dan saling mengasihi, ketika berada dalam situasi sulit. Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa dan menggembirakan apabila kita dicintai, didoakan, dan didukung di tengah penderitaan.

Kedua, bahwa kunci pemuridan Kristen adalah kasih. Kasih adalah inti dari surat Tesalonika, terbukti hal itu disebutkan oleh Paulus di seluruh surat. Doa Paulus dan Silas di sini adalah bahwa “kiranya Tuhan menjadikan kamu bertambah-tambah dan berkelimpahan dalam kasih seorang terhadap yang lain dan terhadap semua orang, sama seperti kami juga mengasihi kamu” (1 Tesalonika 3: 12). Komunitas Kristen awal ini telah mengakarkan diri dan hubungan mereka dalam kasih, dan kasih itulah yang menjamin kelangsungan hidup mereka di tengah penderitaan dan penganiayaan. Jadi, jangan kehilangan kasih di tengah kesulitan, böi okafu wa’omasi ba ginötö wa’abu dödö.

Ketiga, ada doa agar jemaat Tesalonika dikuatkan dalam kekudusan (1 Tesalonika 3:13). Dalam beberapa hal kekudusan mirip dengan cinta. Keduanya adalah ekspresi dari realitas Tuhan. Tuhan adalah kasih dan mereka yang bertemu dengan Tuhan berbicara tentang kekudusan-Nya. Menjalani hidup yang kudus berarti hidup sebagai ekspresi yang hidup dan bernafas dari cinta, kehidupan, dan realitas Tuhan. Realitas ini telah terlihat dalam kehidupan, kematian, dan kebangkitan Yesus. Namun, hidup dalam kekudusan bukan berarti membuat hidup lebih mudah. Pencobaan dan penganiayaan yang dialami oleh orang Tesalonika tidak akan surut begitu mereka mengintensifkan peniruan mereka terhadap kehidupan, kasih, dan realitas Tuhan Yesus. Sebaliknya, Paulus mengarahkan perhatian orang Tesalonika ke tujuan yang lebih tinggi dan lebih mulia, yaitu kedatangan Tuhan Yesus (1 Tesalonika 3:13).

Mari menyambut kedatangan Tuhan dengan tetap hidup dalam kekudusan dan kasih yang sejati.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...