Saturday, August 17, 2013

Kemerdekaan yang Sejati (Yohanes 8:30-36)


Bahan Khotbah Minggu, 18 Agustus 2013
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
  
8:30  Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya.
8:31   Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku
8:32 dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”
8:33 Jawab mereka: “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?”
8:34 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa.
8:35 Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah.
8:36 Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.”

Merdeka ...!!!
Kita baru saja memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68. Semoga kita telah mengambil bagian penting dalam kegiatan peringatan kemerdekaan kita itu, tentu sesuai dengan kemampuan dan atau bakat kita masing-masing. Walaupun ada orang/pihak yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah dari Jepang, paling tidak merupakan dampak dari kekalahan Jepang dari sekutu pada tahun 1945, namun kita percaya bahwa kemerdekaan itu tidak terlepas dari perjuangan anak-anak bangsa. Secara teologis, kita percaya bahwa kemerdekaan tersebut adalah anugerah Tuhan semata, dan hal itu telah dinyatakan dengan tegas di dalam pembukaan UUD 1945. Pertanyaan yang seterusnya kita gumuli sampai sekarang ialah bagaimakah kita memaknai dan mengisi kemerdekaan itu? Atau, pertanyaan yang lebih sederhana, benarkah kita sudah “menikmati” kemerdekaan itu? Lalu, kemerdekaan seperti apa?

Saya akan mengajak kita untuk memahami teks ini secara khusus dalam kerangka peringatan dan perayaan kemerdekaan, baik sebagai warga negara Indonesia, maupun sebagai orang Kristen dalam pengertian yang lebih luas.

Kemerdekaan adalah Kebutuhan Dasariah Manusia
Menurut pembukaan UUD 1945, kemerdekaan adalah hak segala bangsa; artinya kemerdekaan merupakan hak setiap orang, hak manusia. Kita sering mengatakan bahwa kemerdekaan adalah hak asasi manusia. Saya kira, pernyataan ini sangatlah teologis, atau sedikit lebih rohani, sangatlah injili.Itulah yang dapat terbaca dalam “perdebatan” Yesus dengan orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya (Yoh. 8:31-36), setelah Dia menjelaskan banyak hal tentang diri-Nya (Yoh. 8:12-30). Bagi bangsa Israel, dalam hal ini orang Yahudi sendiri, kemerdekaan adalah “harga mati”. Kalau mereka berbicara “sangat emosional” dalam perdebatan dengan Yesus dalam teks ini, itu tidak lain karena “isu” yang sedang dibahas adalah salah satu isu sentral atau isu mendasar dalam kehidupan mereka, yaitu kemerdekaan.

Secara lahiriah, mereka mengakui bahwa mereka adalah orang-orang merdeka. Bagi mereka, itulah “istimewanya” menjadi keturunan Abraham seperti  mereka tegaskan di ayat 33.Pemahaman ini ada kaitannya dengan penegasan dalam PL tentang hak-kelahiran orang Yahudi, dilahirkan sebagai orang merdeka dan karenanya mereka dilarang untuk menurunkan derajat sesamanya, dilarang untuk melakukan tindakan perhambaan terhadap sesama (bnd. Im. 25:39-42). Itulah sebabnya mereka selalu memberontak terhadap pemerintah yang menjajah mereka dari waktu ke waktu, termasuk kepada kekaisaran Romawi yang sedang menjajah mereka ketika mereka berdebat dengan Yesus. Orang Yahudi tidak mau tunduk kepada siapa pun, kecuali kepada Tuhan, itulah Raja mereka yang sesungguhnya. Jadi, sangatlah dimengerti kalau mereka mengakui sebagai orang merdeka ketika berdebat dengan Yesus.

Sebagai orang Yahudi, Yesus tahu betul bahwa kemerdekaan adalah kebutuhan mendasar dari orang Yahudi; tetapi tentu tidak hanya bagi orang Yahudi saja, kemerdekaan adalah kebutuhan mendasar setiap orang di seluruh dunia.Atau, adakah di antara kita yang mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan kemerdekaan? Saya kira kita pun mengakui hal yang sama, bahwa kemerdekaan penting dalam kehidupan kita. Sebaliknya, mustahil ada orang yang menginginkan dirinya menjadi budak (bnd. kata-kata: tenga sawuyumö ndra’odo).Dan, bagi Yesus sendiri, karena kemerdekaan adalah kebutuhan dasariah manusia, perlu ada semacam “penyamaan persepsi” terhadapnya, perlu ada pemaknaan yang lebih teologis dari kemerdekaan itu, suatu pemaknaan yang lebih holistik.

Kemerdekaan haruslah Holistik
Sekali lagi, sebagai orang Yahudi, Yesus tahu bahwa dari segi keturunan, yaiut keturunan Abraham, orang Yahudi adalah orang merdeka; dan Yesus sebenarnya tidak meniadakan itu.Sebaliknya, orang-orang Yahudi tidak mampu menangkap esensi pernyataan Yesus, sehingga mereka sangat reaktif. Kita pun masih bisa mengerti reaksi mereka yang emosional itu, karena mereka sedang berada di bawah penjajahan kekaisaran Romawi pada waktu itu; jadi secara psiko-sosial mereka sedang terganggu. Dapat dikatakan bahwa isu yang diangkat oleh Yesus adalah isu-sensitif-aktual yang saat itu sedang mereka gumuli.

Namun, Yesus tidak mau kalau kemerdekaan yang dimiliki dari segi keturunan itu, dan kemerdekaan yang sangat dirindukan yaitu kebebasan dari penjajahan Romawi itu dimaknai secara sempit; Yesus tidak mau kalau kemerdekaan itu dimaknai hanya dari aspek fisik saja. Dia mau mengajak pendengar-Nya untuk melihat dan memaknai kemerdekaan itu secara holistik, fisik dan spiritual, mental dan sosial, dan lain sebagainya. Seseorang boleh saja merdeka dari segi keturunan, tetapi belum tentu secara sosial-ekonomi dan spiritual.Seseorang boleh saja dilahirkan sebagai orang merdeka dan boleh berbangga dengan status itu, atau sebagai keturunan bangsawan, keturunan pejabat, keturunan orang kaya, keturunan rohaniawan, dlsbg, tetapi itu tidak menjamin bahwa yang bersangkutan otomatis telah memiliki kemerdekaan yang sesungguhnya. Hal seperti inilah yang tidak disadari, atau mungkin tidak mau diakui oleh orang-orang Yahudi pada waktu itu, dan kita pun saat ini seringkali berada dalam posisi yang sama.

Yesus menawarkan salah satu aspek kemerdekaan yang selama ini telah diabaikan oleh para pendengar-Nya, yaitu kemerdekaan dari dosa (ay. 34, 36).Di ayat 34, Yesus hendak menegaskan kepada pendengar-Nya itu bahwa mereka masih hidup di dalam dosa, karenanya mereka sesunggunya belum merdeka; mereka justru hamba dosa. Kata-kata Yesus ini membantah pengakuan orang-orang Yahudi yang menganggap diri telah merdeka hanya karena mereka adalah keturunan Abraham. Saya malah menangkap “sindirian terselubung” dari kata-kata Yesus ini (ini mungkin tafsiran berlebihan). Kalau orang Yahudi mengakui diri sudah merdeka (secara lahiriah/fisik), mengapa mereka masih berada di bawah penjajahan Roma pada waktu itu? Bukankah mereka telah menipu diri sendiri dengan pengakuan “semu” itu? Bukankah mereka telah menyampaikan pengakuan yang tidak realistis?Ah, kasihan sekali!

Jadi, kalau Yesus mengajak mereka untuk melihat kemerdekaan tersebut dari perspektif yang lebih luas, tujuan-Nya jelas, yakni supaya mereka lebih realisitis tanpa harus menjadi pesimis; tujuan-Nya adalah untuk mengajak mereka menyadari dan mengakui keber-dosa-an mereka, dan dari dari kesadaran serta pengakuan itu akan muncul suatu kerinduan akan kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan yang lebih holistik. Sungguh mulia ajakan Tuhan Yesus ini!

Yesuslah Agen Sejati dari Kemerdekaan yang Holistik
Ajakan Yesus tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari para pendengar-Nya (lebih tepatnya para pendebat-Nya). Walaupun demikian, Yesus tetap menjelaskan kemerdekaan yang Dia maksudkan. Kemerdekaan yang sejati dalam konteks ini tidak ditentukan oleh garis keturunan, dan tidak juga ditentukan oleh suatu kebanggaan tertentu secara nasional. Kemerdekaan yang sejati adalah kebebasan dari kuasa dosa; sebaliknya orang yang masih hidup di dalam dosa sesungguhnya masih berstatus hamba dosa. Hidup di dalam dosa berarti menundukkan diri di bawah dosa.

Secara spiritual, setiap orang yang tunduk pada dosa adalah hamba dosa (bnd. Rom. 6:12-23; 2 Pet. 2:19; 2 Tim. 2:25,26). Para pendengar Yesus ini, sebagaimana juga kita hari ini, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, telah tunduk pada dosa. Tragisnya, dalam kasus orang Yahudi ini, mereka menolak datang kepada Yesus untuk mendapatkan pengampunan dosa. Jadi, mereka tetap hamba dosa sampai mereka mau tunduk pada Yesus. Hal yang sama juga terjadi saat ini, selama kita tunduk pada dosa dan tidak bertobat serta tidak datang kepada Yesus untuk mendapatkan keselamatan, kita belumlah merdeka, kita masih hamba dosa. Maka, kebutuhan kita adalah kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan yang lebih holistik tadi.

Sayang sekali, banyak orang dewasa ini sibuk mencari “kemerdekaan” (kebebasan) dimana mereka dapat melakukan apa saja yang menyenangkan hati mereka tanpa tunduk pada peraturan dan kebutuhan orang lain. Ide yang seperti ini sangatlahbertolak belakang dengan ide menjadi murid Yesus. Dari segi definisinya, seorang murid haruslah tunduk pada aturan/hukum yang diterapkan oleh Tuannya (Luk. 6:46). Orang yang mencari kebebasan sendiri dengan tidak peduli pada aturan/hukum dan kepentingan orang lain, sesungguhnya telah membuat dirinya sendiri menjadi hamba dosa dan maut (Rom. 6:12-23; bnd. 2 Pet. 2:18,19). Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan dari dosa dengan segala konsekuensinya, dan kemerdekaan seperti itu ditemukan hanya di dalam Kristus Yesus (bnd. ay. 36). Yesuslah Agen Sejati dari kemerdekaan holistik yang kita butuhkan itu. Artinya, menerima Yesus berarti menerima kemerdekaan itu sendiri, sebab Dialah yang sesungguhnya memerdekakan kita, Dialah kebenaran itu (bnd. Yoh. 14:6).

Tetapi, untuk menerima kemerdekaan semacam ini, seseorang haruslah mengenal dan tinggal di dalam kebenaran tersebut. Sekali lagi, Yesus adalah kebenaran itu, dan Firman Tuhan adalah kebenaran (Yoh. 17:17). Yesus datang untuk menyatakan kebenaran yang adalah diri-Nya sendiri (Yoh. 14:6; 1:14-18). Hanya kebenaran inilah yang dapat membebaskan kita dari dosa. Tidak ada sumber lain yang dapat membimbing kita kepada kebenaran yang sempurna selain di dalam Kristus Yesus. Kebenaran inilah yang seharusnya dikenal atau diketahui oleh orang-orang Yahudi, dan oleh seluruh umat manusia. Dalam kerangka mengenal kebenaran itulah kita menjadi murid-Nya, tidak sekadar beriman kepada-Nya. Tetapi, mengenal kebenaran dan menjadi murid Yesus juga tidak otomatis membuat kita menjadi murid yang sejati, demikian menurut Yesus, kecuali kalau kita hidup menurut ajaran yang telah Dia sampaikan.

Ilustrasi yang dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan bagaimana perbedaan “hamba” dengan “anak” dalam suatu rumah, pada akhirnya hendak mengarahkan pendengar-Nya bahwa sang Anak layak memerdekakan, sedangkan hamba hanya tunduk pada kehendak sang tuannya dan karenanya membutuhkan kemerdekaan, yang sekali lagi didapatkan hanya di dalam Kristus Yesus, Sang Anak, Sang Kebenaran itu.

Merdeka ...!!!
Seruan ini tidak sekadar “sapaan” ketika kita bertemu dengan sesama anak bangsa, atau sekadar “seruan awal (salam)” ketika menyampaikan sesuatu pada berbagai kegiatan peringatan dan perayaan Kemri. Seruan ini secara teologis hendak menegaskan bahwa kemerdekaan adalah anugerah Allah yang patut disyukuri, dan kita dipanggil untuk terus menerus menyatakan kemerdekaan itu secara holistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan bergereja. Kita memang sudah merdeka, tetapi tugas kita ke depan adalah memaknai dan mengisi kemerdekaan itu dengan menjadi agen kemerdekaan di berbagai aspek kehidupan. Yesuslah yang memerdekakan kita!

Wednesday, August 14, 2013

“MENJADIKAN” CLINICAL PASTORAL EDUCATION (CPE) SEBAGAI ALAT (TOOL) DAN METODE DALAM “MENOLONG” BERPASTORAL (by. Pdt. Alokasih Gulo)



Crisis, no matter what the source,
is always in some major way a spiritual crisis…..
Crisis involves the destruction of meaning
for the person experiencing the turmoil.
When meaning fails we perceive ourselves to be in chaos.
–ANTON BOISEN


I.          Beberapa Krisis dan Tantangan Aktual
Dewasa ini gereja menghadapi banyak krisis dan tantangan aktual dalam hal pelayanan pastoral. Theodore O. Wedel sebagaimana dikutip oleh Howard Clinebell[1], secara mengesankan menuliskan sebuah perumpamaan menarik tentang krisis yang sedang melanda suatu program yang pada awalnya sangat murni pelayanan, tetapi kemudian tercabut dari akar pelayanannya itu. Tentunya, krisis dan tantangan dalam suatu pekerjaan atau pelayanan ini tidak hanya terjadi di satu-dua tempat, organisasi, tetapi telah menjalar ke seluruh dunia, termasuk ke sebagian besar denominasi gereja. Diakui bahwa gereja sedang mengalami krisis dan tantangan dalam hal pelayanan pastoral yang bisa menjadi ancaman serius karena pergerakan gereja diarahkan lebih ke hal-hal yang lahiriah, yang lebih bersifat institusional/organisatoris ketimbang bergerak ke arah pelayanan sepenuh hati.

Maka, paling tidak ada tiga krisis dan tantangan utama yang sedang melanda pelayanan gereja di bidang pelayanan pastoral:
1)      Hilangnya misi/jiwa pelayanan pastoral
William Hulme[2]memaparkan beberapa kritik terhadap gereja yang telah kehilangan misi untuk pelayanan pastoral ini, yang secara singkat mencatat: “the theology that may be obvious in worship seems absent in pastoral counseling”.Kelalaian gereja-gereja kita dalam hal pelayanan pastoral ini nampak misalnya dari struktur-struktur gereja yang lebih bersifat institusional ketimbang pelayanan; program-program pelayanan dan anggaran gereja yang belum memberi perhatian signifikan bagi pelayanan pastoral dan terkesan “menganak-tirikan” bidang pelayanan pastoral ini; masih sedikitnya ruang atau tempat khusus di gereja-gereja kita untuk pelayanan pastoral; semakin meningkatnya kritikan dari berbagai pihak, khususnya dari warga jemaat tentang ketidakberesan pelayanan gereja yang hanya cenderung bersifat pelayanan mingguan saja; dan masih kurangnya perhatian gereja pada upaya mengoptimalkan pelayanan pastoral.[3]

Dalam diri hamba Tuhan sendiri diakui bahwa masih banyak yang belum melaksanakan pelayanan pastoral, kalau pun melaksanakannya maka banyak yang asal-asalan saja. Ada kesan bahwa banyak hamba Tuhan yang menganggap pelayanan pastoral tidak begitu penting dibanding bidang pelayanan yang lain,[4]dan semakin sedikitnya hamba Tuhan yang sungguh-sungguh melakukan penyerahan diri total sebagai seorang hamba Tuhan.

Realitas-realitas di atas menunjukkan bahwa “roh” pelayanan pastoral sudah menjadi sesuatu yang langka ditemukan dalam pelayanan gereja dan hamba Tuhan. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, dan tidak mengherankan kalau kritikan terhadap pelayanan gereja dan hamba Tuhan semakin gencar.

2)      Adanya pergeseran roh/jiwa/nilai-nilai pelayanan pastoral
Sekali lagi Hulme[5]mencatat kritik lain terhadap gereja dalam hal pelayanan pastoral ini, yang menyatakan bahwa pelayanan pastoral yang dilaksanakan dewasa ini telah mengalami pergeseran roh/jiwa/nilai dari jiwa pastoral ke jiwa psikologi atau psikoterapi. Memang, sebagaimana menurut Hulme, kritik ini tidak sepenuhnya benar, namun paling tidak ada kritikan itu memberikan informasi penting bagi kita bahwa pelayanan pastoral yang dilaksanakan oleh gereja-gereja kita cenderung kehilangan keunikan atau keistimewaannya sebagai pelayanan yang berdasarkan “tradisi keagamaan”. Hal ini bukan saja karena adanya perpaduan ilmu teologi dengan ilmu psikologi/psikoterapi yang sebenarnya menjadi keunggulan pelayanan pastoral, melainkan karena adanya kecenderungan gereja (konselor gereja) untuk lebih mementingkan pendalaman ilmu psikologi atau psikoterapi tanpa mengimbanginya dengan pendalaman ilmu teologi.

Konsekuensi dari pergeseran ini adalah realitas yang menunjukkan bagaimana pelayanan pastoral tercabut dari akar dasarnya yang bersifat “pelayanan”, dan cenderung bersifat “profesionalisme” dengan menerapkan sistem jumlah jam pelayanan dan bayarannya. Kecenderungan ke arah profesionalisme ini juga sering terjadi ketika seorang hamba Tuhan misalnya mau mengambil spesialisasi dalam konseling yang akan menciptakan hubungan profesional dengan jemaat (konseli) dan bukan lagi hubungan fungsional/pelayanan.[6]

Kondisi ini pada gilirannya akan terus menggiring pelayanan pastoral gereja semakin jauh dari hakikat dasarnya, yang pada akhirnya pelayanan pastoral dimaksud akan menjadi sama dengan kegiatan atau program konseling sekuler.

3)      Kesulitan Mengintegrasikan Teori Pastoral dalam Pelayanan
Bagi para hamba Tuhan yang pernah mengikuti pendidikan teologi, secara khusus dalam perkuliahan pastoralia, tentunya banyak teori dan teknik yang telah dipelajari. Teori dan teknik-teknik tersebut didapatkan melalui pembelajaran dalam kelas maupun melalui buku-buku bacaan dan referensi lainnya, tetapi itu semua hanya akan bermanfaat apabila pembelajaran yang telah diterima itu bisa diintegrasikan ke dalam identitas personal dan profesional (pastoral) mereka. Kalau tidak, teori dan teknik-teknik tersebut sangat “dingin” dan kaku.[7]

Hal lain yang sering kurang disadari adalah bahwa emosionalitas (perasaan) konselor ternyata sangat berpengaruh dalam pelayanan mereka, entah pengaruh positif, atau pun pengaruh negatif. Banyak pelayan yang kehilangan kesempatan untuk berinteraksi secara “perasaan-personal” dengan jemaat yang dilayaninya. Kecenderungan adalah pelayanan melalui doa dan pembacaan Firman Tuhan. Malah, ada pandangan yang mengatakan bahwa berpastoral itu persoalan rohani – relijius sehingga tidaklah perlu menggunakan pelbagai metode karena itu ranahnya kuasa ilahi. Biarlah Roh Tuhan menuntun hamba dan umat-Nya dalam berpastoral. Maka, banyak pelaksanaan pelayanan pastoral yang kurang efektif, seringkali hanya sekadar pemberian nasihat, menggurui, menghakimi, dan mendoakan saja. Itulah sebabnya pelayanan pastoral bisa menjadi sesuatu yang monoton, kaku dan membosankan, baik bagi konseli maupun bagi konselor sendiri.


II.       Harapan melalui Program CPE
A.    Menuju pada Pelayanan CPE yang Holistik
Sebagai Gereja dan sebagai hamba Tuhan, tentunya kita tidak bisa skeptis dan cenderung berpangku tangan menghadapi krisis dan tantangan aktual di atas. Maka perlu upaya-upaya untuk menggairahkan kembali semangat pelayanan kita, mengarahkan pelayanan kita ke dasar utamanya, dan menolong para hamba Tuhan untuk mampu mengitegrasikan teori dan praktik dalam pelayanannya. Artinya pelayanan kita harus lebih holistik dan berakar pada pelayanan Kristen dengan melakukan salah satu tugas/fungsi pelayan, yaitu fungsi pastoral.[8]Fungsi pastoral ini mencakup tindakan pengasihan (compassion),kasih dan kepedulian (seperti gembala kawanan domba) secara khusus pada saat-saat menyedihkan (krisis), dukacita, kehancuran dan penyakit, termasuk pada saat-saat menyenangkan dan sukacita.

Dalam konteks atau dinamika ini kita bisa mengatakan bahwa CPE sebagai salah satu pelatihan/pendidikan pastoral dapat dipakai sebagai alat (tool) dan metode dalam penyiapan orang-orang tertentu, terutama hamba Tuhan, untuk menyerahkan diri mereka dengan penuh kasih dalam pelayanan pengasihan/kepedulian, pendampingan bagi orang sakit dan mereka yang berada dalam krisis menuju kepenuhan dan kelimpahan hidup.

Memang, secara tradisional, CPE dilaksanakan “agak kaku” sebagai pendidikan pastoral dan pelayanan di rumah sakit saja, tetapi seiring dengan perkembangan waktu dan berbekal pengalaman yang kaya, maka CPE tidak lagi membatasi atau menutup diri dalam ruang rumah sakit, tetapi sudah membuka diri untuk melihat “orang-orang yang ada dalam krisis” (the people who are in crisis or in need) baik yang ada di dalam ruang rumah sakit, maupun di luar rumah sakit. Di sini CPE berakar dan tidak boleh dipisahkan dari komunitas iman (community of faith),di mana “gembala dan domba-domba” berada dan bertumbuh bersama.

Dengan mempertimbangkan kompleksitas pergumulan dan pengharapan manusia akan kehidupan yang lebih baik, maka CPE sungguh-sungguh responsif dan relevan – untuk mengembangkan pemahaman bahwa “penyakit” sebenarnya menyangkut “tubuh dan roh/jiwa” serta dimensi-dimensinya sangat personal dan bersifat sosial. Penyakit umum umat manusia sebenarnya lebih disebabkan karena adanya tatanan kehidupan personal dan sosial yang tidak sehat. Di tengah-tengah situasi yang tidak sehat ini, kebutuhan akan kepedulian (empati) yang sejati atau ikhlas, dan kerinduan akan pendampingan pastoral tidak bisa lagi dibatasi kepada mereka yang sakit di rumah sakit, puskesmas atau klinik-klinik saja, tetapi juga mereka yang menderita di rumah mereka sendiri, di penjara, di panti-panti, di sekolah-sekolah, di jalan-jalan, di bawah jembatan, dan di kantor-kantor, para pemulung, korban perang atau konflik masyarakat dan di tempat-tempat yang kurang menyehatkan.

Selain itu CPE juga memberi perhatian serius pada fenomena umum akan “disintegrasi keluarga” dan trauma karena perang, pembunuhan, kekerasan, bencana alam, dll. Di sini gereja dan para hamba Tuhan diajak memiliki komitmen untuk melanjutkan misi Allah di mana saja dan kapan saja. Melalui CPE kita bisa menyiapkan dan memberikan inspirasi bagi gereja dan hamba Tuhan untuk lebih responsif pada kebutuhan manusia seutuhnya, dan karenanya memberitakan Injil melalui tindakan kepedulian dan kasih.

Jadi, CPE secara esensial merupakan pelayanan yang dengan kesadaran penuh memberi perhatian pada penderitaan manusia, peduli terhadap semua dan tidak mementingkan diri sendiri. Allah yang tidak terbatas menyembuhkan semua penyakit dan memulihkan semua puing-puing kehidupan yang telah hancur ke dalam keutuhan. Di sini CPE mengajak kita untuk belajar bagaimana membaca apa yang dikenal dengan istilah “human living document”. Dalam kerangka itulah CPE sangat berguna sebagai alat dan metode dalam (menolong) berpastoral.

B.     Proses Edukasi CPE: Journey to Self – Ministry to Others
Sejarah awal CPE berakar pada gerakan pembaharuan pendidikan pada awal abad ke-20. Gerakan pembaharuan pendidikan pada masa ini mempertanyakan nilai-nilai pembelajaran pada waktu itu yang seolah-olah tanpa manfaat karena sangat lemah dalam hal implementasi/praktik. Beberapa tokoh seperti John Dewey dalam bidang pendidikan, Richard Cabot dalam bidang ilmu kedokteran dan William Keller dalam bidang pendidikan teologi, mengusulkan metode pendidikan yang interaktif – suatu metode yang melibatkan peserta didik dalam pembelajaran – dari konsep ke implementasi dan aplikasi praktis. Gagasan ini kemudian memberikan inspirasi bagi Anton Boisen yang melaksanakan kegiatan CPE pertama pada tahun 1925. Jadi, kegiatan CPE ini muncul untuk menjawab kebutuhan khusus dalam pendidikan teologi, untuk menjembatani jurang pemisah antara teori dan praktik.

CPE merupakan suatu pendekatan pada pendidikan teologi dengan penekanan belajar melalui praktik pelayanan, atau belajar melalui pengalaman (experiential learning). Program CPE menggunakan “metode pembelajaran klinis”. Kata “klinis” (dalam CPE) berarti “bertemu dengan orang (-orang) yang dilayani”. Penekanannya adalah proses pendidikan klinis-praktis, bukan proses pendidikan yang sifatnya teoritis saja. Di sini jemaat, pasien, keluarga, klien atau konseli, menjadi guru kita seiring dengan pelayanan kita kepada mereka. Metode pembelajaran klinis ini fokus pada proses dan dinamika kepedulian serta empati, belajar bagaimana mengetahui kebutuhan pendampingan, dan belajar bagaimana memulai intervensi pendampingan pastoral yang efektif bagi jemaat, pasien, klien atau konseli, dan pada saat yang sama juga berfungsi bagi hamba Tuhan (konselor) sendiri. Itulah sebabnya CPE ini dikenal juga sebagai “klinik bagi konseli – klinik bagi konselor”. Aksi dan refleksi perlu dilakukan, yaitu sebuah proses yang berdasar pada pengembangan identitas pastoral, otoritas pastoral, wawasan pastoral, keterampilan pendampingan dan konseling pastoral, batas-batas pastoral dan kedewasaan spiritual. Pendekatan melalui aksi dan refleksi ini membuka jalan bagi upaya untuk menjembatani dan mengintegrasikan “teologi dan pengalaman”, “teori dan praktik”, “hamba Tuhan dan jemaat”, “konselor dan konseli”, serta “pendidikan teologis klasik dan kompetensi dalam melakukan pendampingan pastoral”.

Upaya untuk menyelidiki apa yang membuat suatu aksi, aktifitas, atau apa yang membuat seseorang itu disebut  “pastoral”, merupakan fokus utama dari metode klinis yang dipakai dalam CPE ini. Kita membangun fokus “pastoral” dengan memberikan peranan bagi pesertanya sebagai “chaplain,pendeta, pendamping spiritual dan pemimpin rohani”. Melalui pelayanan yang dilakukan dan kemudian berefleksi atas pelayanan itu, peserta menjadi mengerti dan melakukan klarifikasi atas nilai-nilai, sikap, dan asumsi yang mereka bawa pada peran pastoral. Jadi, refleksi ini sangat menolong dalam upaya mengidentifikasi dan mengklarifikasi siapa kita sebagai pendeta, chaplain, pelayan, konselor, pemimpin/pembimbing rohani, dan/atau pengelola suatu komunitas. Fokus pastoral dari CPE secara khusus mengarah pada: refleksi pastoral, pembentukan pastoral dan kompetensi (kemampuan) pastoral. Selama CPE, peserta tertolong untuk bertumbuh dan memiliki rasa percaya diri yang positif, memiliki perasaan/pengertian yang tepat akan kelebihan/kekuatan mereka, demikian juga dengan kelemahan, otoritas pastoral, identitas pastoral dan perkembangan spiritual mereka.

CPE pertama-tama dan terutama adalah pendidikan. Kata “pendidikan” berakar pada kata Latin yang berarti “membawa keluar”, atau kalau lebih hurufiah “memperluas wawasan”. CPE ini dilaksanakan dalam bentuk kelompok (grup) kecil di mana pesertanya saling mendukung, saling berbagi dan saling memperkaya pengalaman dan pengetahuan. Setiap peserta tentunya memiliki sumber daya yang kaya untuk saling belajar dalam kelompok. Ini berarti peserta yang mendaftar di CPE datang dengan membawa latar belakang kehidupan dan pengalaman pelayanan yang unik. Peserta juga datang dengan perangkat nilai, sikap dan asumsi yang terbentuk melalui pengalaman dalam konteks sosial dan budaya yang bisa saja membatasi atau sebaliknya malah meningkatkan efektifitas pelayanan. CPE sebagai pengalaman pendidikan berupaya untuk memperluas pandangan kita tentang apa saja kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dalam diri kita secara personal dan dalam pelayanan masing-masing. Sebagai peserta yang menghadapi tugas pelayanan, sikap yang telah dibangun sebelumnya akan “dibebaskan”. Kebebasan ini kadang-kadang dialami sebagai sesuatu yang menekan, namun sesungguhnya merupakan awal yang penting untuk memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang apa itu pelayanan dan bagaimana kita bisa melayani dengan lebih baik. Pada akhir program, diharapkan setiap peserta akan melihat pelayanan dan diri mereka masing-masing dalam perspektif yang lebih luas.

C.    Alat (Tools) dan Metode CPE
1.      Formulir Pelamaran dan Wawancara, merupakan alat untuk memperoleh informasi penting tentang peserta sekaligus sebagai langkah awal untuk menolong peserta dimaksud membuat dan mencapai tujuannya melalui proses. Setiap peserta memasukkan riwayat hidup pribadi dan keluarga, latar belakang agama dan pendidikan, alasan mengikuti program dan kemauan untuk bekerja dalam supervisi.
2.      Kontrak/Pernyataan Belajar, merupakan kontrak belajar di mana peserta membuat tujuan apa yang mau dia capai selama program berjalan. Supervisor membimbing dan mengarahkan peserta ke tujuan yang hendak dicapai. Pembuatan atau penulisan tujuan ini didiskusikan selama pertemuan individual (individual conference) dengan supervisor, dan evaluasi dilakukan pada pertengahan dan akhir program (midpoint & endpoint evaluation)untuk mengetahui bagaimana tujuan-tujuan itu berproses dan dicapai.
3.      Laporan Verbatim,  yang merupakan percakapan kata demi kata dengan konseli yang disertai dengan refleksi peserta yang dibuat dalam isi dan dinamika percakapan. Verbatim dapat menolong peserta untuk meningkatkan kemampuan pastoralnya, meningkatkan efektifitas kepedulian/pendampingannya kepada konseli dan memperdalam kesadaran-diri (self-awareness)melalui diskusi dan interaksi kelompok di mana ada saling mendukung, afirmasi, dorongan, umpan balik atau tanggapan dan tantangan. Gambaran perilaku, sikap dan asumsi peserta yang dapat dilihat dalam tulisan verbatimnya diproses dengan maksud untuk menolong peserta tersebut menemukan diri sendiri (self-discovery) sehingga kesadaran-diri semakin dipertinggi. Itulah sebabnya verbatim juga dikenal sebagai alat yang sangat baik untuk mengenal diri sendiri dan pelayanan (verbatim is a very good tool to know and to discover our self both personally and professionally).
4.      Kunjungan kepada Konseli. Setiap peserta ditugaskan pada berbagai situasi pastoral, tempat-tempat tertentu di rumah sakit, di luar rumah sakit, di penjara, di panti-panti, di kantor-kantor, di keluarga-keluarga, di jemaat, atau di mana saja dia bertanggung jawab untuk melayani konseli. Melalui kunjungan ini, peserta “merekam” percakapan pastoralnya untuk kemudian menuliskannya dalam bentuk verbatim. Verbatim ini akan menjadi alat yang sangat efektif bagi peserta (penulis), bagi kelompok dan supervisor untuk menolong yang bersangkutan menemukan dan mengevaluasi berbagai dinamika pertemuan pastoralnya. Berbagai perasaan yang muncul misalnya perasaan kuatir atau takut, gelisah, ketidakcakapan dan penolakan selama kunjungan disharingkan dan diproses dalam pertemuan grup.
5.      Interaksi Kelompok merupakan salah satu metode penting yang dipakai untuk pembelajaran dan pertumbuhan peserta. Hal ini akan dijelaskan pada bagian berikutnya yang menekankan proses dan dinamika grup.
6.      Relasi Interpersonal memberi perhatian pada bagaimana anggota grup berelasi satu dengan yang lain. Ini adalah alat yang penting bagi pembelajaran  di mana persoalan, keprihatinan, demikian juga dengan perilaku yang secara jelas tidak menyenangkan dibawa dalam grup. Peserta belajar menyeimbangkan ide dan perasaan, mendengarkan satu dengan yang lain dan memberikan umpan balik, yang akan menolong grup menjadi lebih kohesif dan efektif. Seiring dengan arahan, bimbingan atau panduan supervisor, anggota grup bertumbuh dalam hal saling memperhatikan, dan belajar untuk meningkatkan relasi yang sehat satu dengan yang lain, yang pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan, keterbukaan dan pengertian.
7.      Input Didaktik dan Penayangan Video. Input seperti pengenalan CPE, pelayanan kepada konseli, menyeimbangkan pikiran dan perasaan, mendengarkan serta memberi dan menerima umpan balik, jendela Johari dan seminar verbatim didiskusikan selama minggu orientasi. Dalam beberapa kesempatan selama program, input lain yang relevan diberikan, seperti anatomi amarah dan pengelolaannya, pengampunan, perkembangan manusia, seksualitas, menghadapi kematian, rasa percaya diri dan hal-hal lain yang penting, tergantung pada kebutuhan grup. Penayangan video dan film-film terkait juga sangat menolong dalam meningkatkan keterampilan peserta dalam pelayanan kepada konseli serta membangun relasi yang penuh kasih.
8.      Laporan Baca diminta kepada peserta dengan maksud untuk memperluas pengertian, wawasan dan keterampilan peserta dalam pelayanan pastoral kepada konseli.
9.      Pertemuan Individual merupakan sesi perseorangan antara peserta dan supervisor (katakanlah pertemuan empat mata), di mana hal-hal penting yang didapatkan selama proses dalam grup dapat didalami lagi. Artinya supervisor menindaklanjuti persoalan-persoalan personal yang telah mempengaruhi pelayanannya pada konseli, dan membimbing, mendorong, mengkonfrontasi dan menantangnya untuk mencapai tujuan yang telah dituangkannya dalam kontrak pembelajaran. Sesi ini juga sangat efektif dalam upaya memperdalam dan mempererat hubungan peserta dengan supervisor di mana peserta sendiri bisa meneladaninya dalam rangka pelayanannya nanti di jemaat.
10.  Identifikasi Alkitab merupakan refleksi teologis di mana masing-masing peserta “mengasosiasikan” dirinya dengan salah satu karakter/tokoh dalam Alkitab. Identifikasi Alkitab ini dapat menolong peserta untuk mampu mengingat pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikiran masa lalu mereka yang turut membentuk nilai-nilai, sikap dan perilaku yang dianutnya. Kemudian, peserta dapat memperoleh lebih banyak kesadaran diri dan berefleksi akan siapa seharusnya dia sebagai ciptaan Allah.
11.  Self-Verbatim merupakan alat penting untuk menolong peserta mengetahui bagaimana dia mampu menangani persoalan personal dan pastoralnya sendiri. Rekan-rekannya dalam grup dan supervisor menolongnya melakukan evaluasi tentang bagaimana dia mampu menantang dan berjalan (journey)dengan diri sendiri dalam persoalannya melalui umpan balik, tanggapan, konfrontasi dan tantangan-tantangan, sehingga dia bisa memiliki kemampuan menyelesaikan persoalan dalam hidupnya sendiri. Self-verbatim ini juga menolong peserta berefleksi tentang bagaimana dia mengalami pertumbuhan, dan bagaimana dia akan mempertahankan pertumbuhan itu.
12.  Presentasi Studi Kasus (Case Study) merupakan alat yang efektif untuk melayani satu kepada yang lain dalam grup, di mana setiap orang ditugaskan untuk mempelajari kehidupan rekannya, dan berupaya untuk menolong yang lain dalam masalahnya melalui umpan balik atau tanggapan, saran dan rekomendasi. Metode pembelajaran ini juga dapat mempertinggi, memperdalam dan mempererat relasi satu dengan yang lain, serta menekankan kontak konseling selama wawancara. Peserta yang melakukan dan menuliskan studi kasus ini belajar mengembangkan keterampilan untuk mendengarkan dan mengetahui riwayat hidup seseorang, dan belajar keterampilan memahami dan mengintervensi seiring dengan upayanya untuk menghubungkan dan melakukan interpretasi penting akan apa yang membuat seseorang seperti itu. Alat ini dapat menjadi pengalaman yang menyembuhkan bagi keduanya jika dilakukan dengan jujur dan bertanggung jawab.
13.  Evaluasi Tengah dan Akhir (Midpoint & Endpoint Evaluations). Peserta diberikan petunjuk untuk menuliskan pengalaman-pengalamannya. Evaluasi ini akan mengungkapkan apakah peserta telah mencapai tujuannya atau tidak, di mana dan bagaimana di bertumbuh dalam pelayanan. Peserta dikuatkan, diapresiasi dan juga ditantang agar mereka mampu mencapai dan mempertahankan tujuan mereka.
14.  Tamasya Grup merupakan kegiatan penting untuk memberikan relaksasi bagi peserta dan untuk mempertinggi hubungan yang sehat di antara peserta dalam grup. Dapat dikatakan bahwa kegiatan ini semacam perayaan akan kerja keras dan kesuksesan yang telah dicapai selama keikutsertaan dalam program.

D.    Dinamika Grup CPE
Proses kelompok adalah sebuah alat yang efektif bagi pembelajaran dan pertumbuhan. Di ruang kelas, proses ini memungkinkan kelompok untuk meningkatkan efektifitas pekerjaan bersama secara terus menerus dari waktu ke waktu. Di gereja, pengaruh kekuatan dinamika kelompok kecil sangat dirasakan sebagaimana ditemukan dalam kebenaran Alkitab sendiri, di mana “interaksi kelompok” dimulai dalam diri Allah yang Tritunggal. Musa dalam Perjanjian Lama (PL) memakai konseling kelompok kecil untuk memudahkan memimpin kelompok Israel yang cukup besar. Yesus dalam Perjanjian Baru (PB) melayani dalam kelompok kecil di mana Dia memilih 12 murid-Nya untuk dilatih, dan bertumbuh sebagai orang yang kuat dan menjadi pemimpin Gereja. Kelompok-kelompok yang intensif juga dijalankan di industri-industri, lembaga pemerintah, universitas dan sebagainya karena dirasakan adanya dinamika penting dalam proses kelompok itu. Dalam ruang lingkup konseling dan psikoterapi, Carl Rogers menyebut proses ini sebagai encounter group, yang merupakan pengalaman kelompok yang intensif.

Ada beberapa hipotesis tertentu, yang biasanya dilakukan secara umum oleh semua kelompok yang bertumbuh secara efektif:
a)      Fasilitator dapat menciptakan dan mengembangkan iklim psikologis yang aman di mana kebebasan berekspresi dan pengurangan pembelaan diri terjadi secara perlahan-lahan.
b)      Dalam iklim seperti ini, reaksi perasaan dari setiap anggota terhadap yang lain, dan bahkan dari setiap anggota terhadap dirinya sendiri, cenderung diekspresikan.
c)      Iklim saling percaya berkembang, dan kebebasan bersama untuk mengungkapkan perasaan-perasaan yang sesungguhnya, baik yang positif maupun yang negatif dapat ditumbuhkembangkan dengan lebih baik. Setiap anggota bergerak ke arah penerimaan yang lebih besar akan totalitas dirinya termasuk potensi yang dimilikinya.
d)     Individu-individu yang tidak begitu dipengaruhi dan dihambat oleh kekakuan defensif, ancaman pada kemungkinan perubahan dalam sikap, perilaku dan relasi pribadi akan semakin berkurang. Setiap individu bisa mendengar satu sama lain dan bisa saling belajar ke tingkatan yang lebih besar.
e)      Ada perkembangan pada pemberian umpan balik atau tanggapan dari yang satu ke orang lain, misalnya yang bersangkutan belajar bagaimana dia berhadapan dengan yang lain dan apa dampak yang dia miliki itu dalam relasi interpersonal.
f)       Dengan kebebasan yang lebih besar dan komunikasi yang meningkat, gagasan-gagasan baru, konsep-konsep baru, dan arah yang baru bermunculan. Di sini inovasi dapat menjadi sesuatu yang mungkin terjadi.
g)      Pembelajaran ini dalam kelompok cenderung berpindah ke dalam hubungan dengan pasangan, anak-anak, peserta didik, bawahan, rekan dan bahkan atasan yang mengikuti pengalaman kelompok, entah sifatnya sementara atau pun lebih permanen.

E.     Evaluasi dalam CPE
Adalah suatu tanggung jawab supervisor untuk memberikan refleksi evaluatif atas setiap peserta program, dan hal ini dilakukan menjelang akhir program. Evaluasi supervisor atas setiap peserta meliputi latar belakang personal, sikap terhadap program, tujuan personal dan tujuan pelayanan (profesional), partisipasi dan interaksi dalam kelompok, relasi dengan rekan peserta dan supervisor, komitmen dan keterampilan dalam pelayanan kepada konseli, kemampuan untuk menghadapi dan menangani situasi yang sulit, kekuatan dan area untuk pertumbuhan, rekomendasi dan sertifikasi. Evaluasi ini dilakukan seobjektif mungkin berdasarkan keberadaan dan pertumbuhan masing-masing peserta selama program.

III.    Pelaksanaan Program CPE
Implementasi program CPE tidak harus selalu membatasi diri dengan istilah CPE, tetapi bisa dengan istilah lain yang dianggap relevan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan setempat. Pelaksanaannya pun tidak harus selalu di rumah sakit sebagaimana pelaksanaan pada umumnya, tetapi bisa di tempat-tempat lainyang memungkinkan kita “berpastoral” dalam perspektif yang komprehensif. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana menggunakan pendekatan pendidikan pastoral model CPE sebagai alat (tool) dan metode dalam “menolong” berpastoral.

Program CPE ini bisa dilaksanakan dalam dua versi, yaitu versi formal dan non-formal. Versi formal dilaksanakan dengan mengintegrasikan program CPE ke dalam kurikulum pendidikan formal teologi yang tentunya berkaitan dengan subjek pastoralia. Versi ini masih bisa dikembangkan lagi dalam dua (2) bentuk, yaitu:
1)      Pengenalan, yang disebut dengan istilah “Introductory CPE Course”, yang biasanya membutuhkan waktu satu minggu secara intensif. Bentuk ini dilaksanakan untuk memperkenalkan pendekatan pendidikan pastoral model CPE kepada mahasiswa teologi, sekaligus membekali mereka dengan praktik-praktik dasar pastoral sebelum melaksanakan tugas Praktik Pengalaman Lapangan (PPL).
2)      Perkuliahan Reguler, yang di beberapa Sekolah Teologi[9]diintegrasikan dalam subjek Pastoral 3, dengan asumsi bahwa teori dan teknik-teknik pastoral telah didalami dalam perkuliahan Pastoral 1 dan 2.

Versi non-formal dilaksanakan dalam bentuk pelatihan, biasanya ditujukan kepada para hamba Tuhan, terutama para pendeta, yang tentunya memiliki pengalaman-pengalaman “pastoral” yang kaya dan perlu “diklinik” lagi. Versi non-formal ini juga bisa dikembangkan dalam dua (2) bentuk, yaitu:
1)      Intensive/Quarter Unit, yang juga dikenal dengan istilah Regular CPE. Bentuk ini merupakan pelatihan CPE sepuluh (10) minggu penuh waktu (full-time).
2)      Extended Unit, yaitu pelatihan CPE dua puluh dua (22) minggu paruh-waktu. Program ini ditujukan bagi para hamba Tuhan, baik yang memiliki latar belakang pendidikan teologi maupun pelayan awam, yang mengalami kesulitan mengikuti program full-time (intensif) karena kesibukan dalam pelayanan sehari-hari.

Sama dengan pemakaian istilah dan tempat pelaksanaannya, program CPE ini sifatnya fleksibel, artinya tidak membatasi diri hanya untuk para hamba Tuhan saja, tetapi bisa juga terbuka bagi orang-orang “awam” yang mau “meng-klinik” pengalaman-pengalaman hidup mereka. Demikian juga dengan waktu yang dibutuhkan, atau versi yang diterapkan, bisa dikembangkan dan disesuaikan dengan situasi, kondisi dan kebutuhan setempat. Intinya adalah bagaimana CPE ini dapat menolong dalam berpastoral, baik secara personal maupun dalam pelayanan (professional).

IV.    Akhirulkalam
Kita menyadari bahwa pelayanan pastoral merupakan bagian integral dari pelayanan gereja. Karenanya kita tidak bisa menganggapnya sebagai pelengkap atau pelayanan yang dilakukan hanya apabila ada waktu. Dalam konteks CPE, ketekunan kita dalam melakukan kunjungan, percakapan dan pelayanan pastoral kepada orang yang sedang membutuhkan karena berbagai krisis dan persoalan yang mereka hadapi, sesungguhnya akan menolong diri kita sendiri untuk menjadi lebih baik.

Perlu dicatat bahwa pendidikan pastoral “CPE” merupakan sebuah proses yang terus menerus mengalami perkembangan. Sifatnya dinamis dan berorientasi pada pertumbuhan. Melalui proses tersebut kita diarahkan untuk mengklinik pengalaman-pengalaman yang kita alami, sehingga kemudian kita menjadi dan terampil. Kemauan dan komitmen untuk belajar sangatlah menolong untuk mencapai pertumbuhan yang signifikan, baik secara personal maupun profesional. Akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa program CPE ini sangat menolong dalam berpastoral baik secara personal karena dapat meningkatkan kesadaran-diri (self-awareness), maupun secara profesional karena pelayanan yang dilakukan dapat menjadi lebih efektif dan lebih baik dari waktu ke waktu. Satu hal yang pasti adalah bahwa tidak ada hamba Tuhan yang sempurna, yang ada hanyalah hamba Tuhan yang lebih baik (better minister). Tidak ada juga pelayanan yang sempurna, yang ada hanyalah pelayanan yang lebih baik dan efektif (better and effective ministry).Kita tidak perlu menyalahkan pelayanan yang pernah kita lakukan selama ini, sebab seburuk apa pun masih bisa dibuat menjadi LEBIH BAIK.


I would not exchange the sorrows of my heart
for the joys of the multitude. And I would not have the tears
that sadness make to flow from my every part turn into laughter.
I would that my life remains a tear and a smile….
A tear to unite me with those of broken heart:
a smile to be a sign of my joy in existence.
–KAHLIL GIBRAN, Tear and a Smile


Referensi:

Belgum, David, Clinical Training for Pastoral Care (Philadelphia: Westminster Press, 1956).
Cerna, Miguel Angel, The Power of Small Groups in the Church (CA: El Camino Publishing, 1991).
Ciaramicoli, Arthur P. & Katherine Ketcham, The Power of Empathy (New York: Penguin Group, 2001).
Clinebell, Howard, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 2002).
Cormier, Sherry & Hackney, Harold, Counseling Strategies & Interventions7th Edition (Boston: Pearson Education, 2008).
Dicks, Russell L., Principles and Practices of Pastoral Care (USA: Prentice Hall, 1963).
Hall, Charles E., Head and Heart: the Story of the Clinical Pastoral Education Movement (USA: Journal of PC, 1992)
Hulme, William E., Pastoral Care & Counseling: Using the Unique Resources of the Christian Tradition(Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1981).
Johnson, David W. et al., Cooperation in the Classroom (Edina, MN: Interaction Book Company, 1998).
Niklas, Gerald R., The Making of a Pastoral Person (New York: Alba House, 2001)
Paget, Naomi & Janet McCormarck, The Work of the Chaplain (USA: Judson Press, 2008).
PCF, Reading for Clinical Pastoral Education (Manila: PCF, 2006).
Simanjuntak, Julianto, Konseling Gangguan Jiwa & Okultisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008).
Susabda, Yakub B., Pastoral Konseling Jilid 1 (Malang: Gandum Mas, 2006).
Wicks, Robert J. dan Richard D. Parsons, Clinical Handbook of Pastoral Counseling (NY: Paulist Press, 1985)


[1]Howard Clinebell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 2002), hlm. 15-17.
[2]William E. Hulme, Pastoral Care & Counseling: Using the Unique Resources of the Christian Tradition (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1981)
[3] Julianto Simanjuntak menyebutkan misalnya bahwa di Indonesia belum ada gereja yang menginvestasikan daya dan dana untuk mendirikan mental hospital yang memang dibutuhkan. Lih. Julianto Simanjuntak, Konseling Gangguan Jiwa & Okultisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hlm. xiii.
[4]Bnd. Yakub B. Susabda, Pastoral Konseling Jilid 1 (Malang: Gandum Mas, 2006), hlm. 9.
[5]William E. Hulme, op.cit., hlm. 8.
[6]Bnd. Yakub B. Susabda, op.cit., hlm. 23.
[7]Bnd. Gerald R. Niklas, The Making of a Pastoral Person (New York: Alba House, 2001), hlm. 6-7.
[8] Ada dua tugas/fungsi lain dari pelayanan hamba Tuhan, yaitu fungsi imamat dan fungsi kenabian.
[9] Misalnya di STT BNKP Sundermann, Gunungsitoli – Nias.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...