Bahan Khotbah Minggu, 18 Agustus 2013
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
8:30 Setelah Yesus mengatakan semuanya itu, banyak orang percaya kepada-Nya.
8:31 Maka kata-Nya kepada orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya: “Jikalau kamu tetap dalam firman-Ku, kamu benar-benar adalah murid-Ku
8:32 dan kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu.”
8:33 Jawab mereka: “Kami adalah keturunan Abraham dan tidak pernah menjadi hamba siapapun. Bagaimana Engkau dapat berkata: Kamu akan merdeka?”
8:34 Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya setiap orang yang berbuat dosa, adalah hamba dosa.
8:35 Dan hamba tidak tetap tinggal dalam rumah, tetapi anak tetap tinggal dalam rumah.
8:36 Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.”
Merdeka ...!!!
Kita baru saja memperingati hari kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-68. Semoga kita telah mengambil bagian penting dalam kegiatan peringatan kemerdekaan kita itu, tentu sesuai dengan kemampuan dan atau bakat kita masing-masing. Walaupun ada orang/pihak yang mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hadiah dari Jepang, paling tidak merupakan dampak dari kekalahan Jepang dari sekutu pada tahun 1945, namun kita percaya bahwa kemerdekaan itu tidak terlepas dari perjuangan anak-anak bangsa. Secara teologis, kita percaya bahwa kemerdekaan tersebut adalah anugerah Tuhan semata, dan hal itu telah dinyatakan dengan tegas di dalam pembukaan UUD 1945. Pertanyaan yang seterusnya kita gumuli sampai sekarang ialah bagaimakah kita memaknai dan mengisi kemerdekaan itu? Atau, pertanyaan yang lebih sederhana, benarkah kita sudah “menikmati” kemerdekaan itu? Lalu, kemerdekaan seperti apa?
Saya akan mengajak kita untuk memahami teks ini secara khusus dalam kerangka peringatan dan perayaan kemerdekaan, baik sebagai warga negara Indonesia, maupun sebagai orang Kristen dalam pengertian yang lebih luas.
Kemerdekaan adalah Kebutuhan Dasariah Manusia
Menurut pembukaan UUD 1945, kemerdekaan adalah hak segala bangsa; artinya kemerdekaan merupakan hak setiap orang, hak manusia. Kita sering mengatakan bahwa kemerdekaan adalah hak asasi manusia. Saya kira, pernyataan ini sangatlah teologis, atau sedikit lebih rohani, sangatlah injili.Itulah yang dapat terbaca dalam “perdebatan” Yesus dengan orang-orang Yahudi yang percaya kepada-Nya (Yoh. 8:31-36), setelah Dia menjelaskan banyak hal tentang diri-Nya (Yoh. 8:12-30). Bagi bangsa Israel, dalam hal ini orang Yahudi sendiri, kemerdekaan adalah “harga mati”. Kalau mereka berbicara “sangat emosional” dalam perdebatan dengan Yesus dalam teks ini, itu tidak lain karena “isu” yang sedang dibahas adalah salah satu isu sentral atau isu mendasar dalam kehidupan mereka, yaitu kemerdekaan.
Secara lahiriah, mereka mengakui bahwa mereka adalah orang-orang merdeka. Bagi mereka, itulah “istimewanya” menjadi keturunan Abraham seperti mereka tegaskan di ayat 33.Pemahaman ini ada kaitannya dengan penegasan dalam PL tentang hak-kelahiran orang Yahudi, dilahirkan sebagai orang merdeka dan karenanya mereka dilarang untuk menurunkan derajat sesamanya, dilarang untuk melakukan tindakan perhambaan terhadap sesama (bnd. Im. 25:39-42). Itulah sebabnya mereka selalu memberontak terhadap pemerintah yang menjajah mereka dari waktu ke waktu, termasuk kepada kekaisaran Romawi yang sedang menjajah mereka ketika mereka berdebat dengan Yesus. Orang Yahudi tidak mau tunduk kepada siapa pun, kecuali kepada Tuhan, itulah Raja mereka yang sesungguhnya. Jadi, sangatlah dimengerti kalau mereka mengakui sebagai orang merdeka ketika berdebat dengan Yesus.
Sebagai orang Yahudi, Yesus tahu betul bahwa kemerdekaan adalah kebutuhan mendasar dari orang Yahudi; tetapi tentu tidak hanya bagi orang Yahudi saja, kemerdekaan adalah kebutuhan mendasar setiap orang di seluruh dunia.Atau, adakah di antara kita yang mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan kemerdekaan? Saya kira kita pun mengakui hal yang sama, bahwa kemerdekaan penting dalam kehidupan kita. Sebaliknya, mustahil ada orang yang menginginkan dirinya menjadi budak (bnd. kata-kata: tenga sawuyumö ndra’odo).Dan, bagi Yesus sendiri, karena kemerdekaan adalah kebutuhan dasariah manusia, perlu ada semacam “penyamaan persepsi” terhadapnya, perlu ada pemaknaan yang lebih teologis dari kemerdekaan itu, suatu pemaknaan yang lebih holistik.
Kemerdekaan haruslah Holistik
Sekali lagi, sebagai orang Yahudi, Yesus tahu bahwa dari segi keturunan, yaiut keturunan Abraham, orang Yahudi adalah orang merdeka; dan Yesus sebenarnya tidak meniadakan itu.Sebaliknya, orang-orang Yahudi tidak mampu menangkap esensi pernyataan Yesus, sehingga mereka sangat reaktif. Kita pun masih bisa mengerti reaksi mereka yang emosional itu, karena mereka sedang berada di bawah penjajahan kekaisaran Romawi pada waktu itu; jadi secara psiko-sosial mereka sedang terganggu. Dapat dikatakan bahwa isu yang diangkat oleh Yesus adalah isu-sensitif-aktual yang saat itu sedang mereka gumuli.
Namun, Yesus tidak mau kalau kemerdekaan yang dimiliki dari segi keturunan itu, dan kemerdekaan yang sangat dirindukan yaitu kebebasan dari penjajahan Romawi itu dimaknai secara sempit; Yesus tidak mau kalau kemerdekaan itu dimaknai hanya dari aspek fisik saja. Dia mau mengajak pendengar-Nya untuk melihat dan memaknai kemerdekaan itu secara holistik, fisik dan spiritual, mental dan sosial, dan lain sebagainya. Seseorang boleh saja merdeka dari segi keturunan, tetapi belum tentu secara sosial-ekonomi dan spiritual.Seseorang boleh saja dilahirkan sebagai orang merdeka dan boleh berbangga dengan status itu, atau sebagai keturunan bangsawan, keturunan pejabat, keturunan orang kaya, keturunan rohaniawan, dlsbg, tetapi itu tidak menjamin bahwa yang bersangkutan otomatis telah memiliki kemerdekaan yang sesungguhnya. Hal seperti inilah yang tidak disadari, atau mungkin tidak mau diakui oleh orang-orang Yahudi pada waktu itu, dan kita pun saat ini seringkali berada dalam posisi yang sama.
Yesus menawarkan salah satu aspek kemerdekaan yang selama ini telah diabaikan oleh para pendengar-Nya, yaitu kemerdekaan dari dosa (ay. 34, 36).Di ayat 34, Yesus hendak menegaskan kepada pendengar-Nya itu bahwa mereka masih hidup di dalam dosa, karenanya mereka sesunggunya belum merdeka; mereka justru hamba dosa. Kata-kata Yesus ini membantah pengakuan orang-orang Yahudi yang menganggap diri telah merdeka hanya karena mereka adalah keturunan Abraham. Saya malah menangkap “sindirian terselubung” dari kata-kata Yesus ini (ini mungkin tafsiran berlebihan). Kalau orang Yahudi mengakui diri sudah merdeka (secara lahiriah/fisik), mengapa mereka masih berada di bawah penjajahan Roma pada waktu itu? Bukankah mereka telah menipu diri sendiri dengan pengakuan “semu” itu? Bukankah mereka telah menyampaikan pengakuan yang tidak realistis?Ah, kasihan sekali!
Jadi, kalau Yesus mengajak mereka untuk melihat kemerdekaan tersebut dari perspektif yang lebih luas, tujuan-Nya jelas, yakni supaya mereka lebih realisitis tanpa harus menjadi pesimis; tujuan-Nya adalah untuk mengajak mereka menyadari dan mengakui keber-dosa-an mereka, dan dari dari kesadaran serta pengakuan itu akan muncul suatu kerinduan akan kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan yang lebih holistik. Sungguh mulia ajakan Tuhan Yesus ini!
Yesuslah Agen Sejati dari Kemerdekaan yang Holistik
Ajakan Yesus tersebut tidak mendapat tanggapan positif dari para pendengar-Nya (lebih tepatnya para pendebat-Nya). Walaupun demikian, Yesus tetap menjelaskan kemerdekaan yang Dia maksudkan. Kemerdekaan yang sejati dalam konteks ini tidak ditentukan oleh garis keturunan, dan tidak juga ditentukan oleh suatu kebanggaan tertentu secara nasional. Kemerdekaan yang sejati adalah kebebasan dari kuasa dosa; sebaliknya orang yang masih hidup di dalam dosa sesungguhnya masih berstatus hamba dosa. Hidup di dalam dosa berarti menundukkan diri di bawah dosa.
Secara spiritual, setiap orang yang tunduk pada dosa adalah hamba dosa (bnd. Rom. 6:12-23; 2 Pet. 2:19; 2 Tim. 2:25,26). Para pendengar Yesus ini, sebagaimana juga kita hari ini, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, telah tunduk pada dosa. Tragisnya, dalam kasus orang Yahudi ini, mereka menolak datang kepada Yesus untuk mendapatkan pengampunan dosa. Jadi, mereka tetap hamba dosa sampai mereka mau tunduk pada Yesus. Hal yang sama juga terjadi saat ini, selama kita tunduk pada dosa dan tidak bertobat serta tidak datang kepada Yesus untuk mendapatkan keselamatan, kita belumlah merdeka, kita masih hamba dosa. Maka, kebutuhan kita adalah kemerdekaan yang sejati, kemerdekaan yang lebih holistik tadi.
Sayang sekali, banyak orang dewasa ini sibuk mencari “kemerdekaan” (kebebasan) dimana mereka dapat melakukan apa saja yang menyenangkan hati mereka tanpa tunduk pada peraturan dan kebutuhan orang lain. Ide yang seperti ini sangatlahbertolak belakang dengan ide menjadi murid Yesus. Dari segi definisinya, seorang murid haruslah tunduk pada aturan/hukum yang diterapkan oleh Tuannya (Luk. 6:46). Orang yang mencari kebebasan sendiri dengan tidak peduli pada aturan/hukum dan kepentingan orang lain, sesungguhnya telah membuat dirinya sendiri menjadi hamba dosa dan maut (Rom. 6:12-23; bnd. 2 Pet. 2:18,19). Kemerdekaan yang sejati adalah kemerdekaan dari dosa dengan segala konsekuensinya, dan kemerdekaan seperti itu ditemukan hanya di dalam Kristus Yesus (bnd. ay. 36). Yesuslah Agen Sejati dari kemerdekaan holistik yang kita butuhkan itu. Artinya, menerima Yesus berarti menerima kemerdekaan itu sendiri, sebab Dialah yang sesungguhnya memerdekakan kita, Dialah kebenaran itu (bnd. Yoh. 14:6).
Tetapi, untuk menerima kemerdekaan semacam ini, seseorang haruslah mengenal dan tinggal di dalam kebenaran tersebut. Sekali lagi, Yesus adalah kebenaran itu, dan Firman Tuhan adalah kebenaran (Yoh. 17:17). Yesus datang untuk menyatakan kebenaran yang adalah diri-Nya sendiri (Yoh. 14:6; 1:14-18). Hanya kebenaran inilah yang dapat membebaskan kita dari dosa. Tidak ada sumber lain yang dapat membimbing kita kepada kebenaran yang sempurna selain di dalam Kristus Yesus. Kebenaran inilah yang seharusnya dikenal atau diketahui oleh orang-orang Yahudi, dan oleh seluruh umat manusia. Dalam kerangka mengenal kebenaran itulah kita menjadi murid-Nya, tidak sekadar beriman kepada-Nya. Tetapi, mengenal kebenaran dan menjadi murid Yesus juga tidak otomatis membuat kita menjadi murid yang sejati, demikian menurut Yesus, kecuali kalau kita hidup menurut ajaran yang telah Dia sampaikan.
Ilustrasi yang dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan bagaimana perbedaan “hamba” dengan “anak” dalam suatu rumah, pada akhirnya hendak mengarahkan pendengar-Nya bahwa sang Anak layak memerdekakan, sedangkan hamba hanya tunduk pada kehendak sang tuannya dan karenanya membutuhkan kemerdekaan, yang sekali lagi didapatkan hanya di dalam Kristus Yesus, Sang Anak, Sang Kebenaran itu.
Merdeka ...!!!
Seruan ini tidak sekadar “sapaan” ketika kita bertemu dengan sesama anak bangsa, atau sekadar “seruan awal (salam)” ketika menyampaikan sesuatu pada berbagai kegiatan peringatan dan perayaan Kemri. Seruan ini secara teologis hendak menegaskan bahwa kemerdekaan adalah anugerah Allah yang patut disyukuri, dan kita dipanggil untuk terus menerus menyatakan kemerdekaan itu secara holistik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kehidupan bermasyarakat, dan kehidupan bergereja. Kita memang sudah merdeka, tetapi tugas kita ke depan adalah memaknai dan mengisi kemerdekaan itu dengan menjadi agen kemerdekaan di berbagai aspek kehidupan. Yesuslah yang memerdekakan kita!
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?