Bahan Khotbah Minggu, 11 Agustus 2013
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
8:4 Dengarlah ini, kamu yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di negeri ini
8:5 dan berpikir: “Bilakah bulan baru berlalu, supaya kita boleh menjual gandum dan bilakah hari Sabat berlalu, supaya kita boleh menawarkan terigu dengan mengecilkan efa, membesarkan syikal, berbuat curang dengan neraca palsu,
8:6 supaya kita membeli orang lemah karena uang dan orang yang miskin karena sepasang kasut; dan menjual terigu rosokan?”
8:7 TUHAN telah bersumpah demi kebanggaan Yakub: “Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka!
Pengantar
Lekato, sanisiö do niha. Lekato, na falemba lö sa’ae tegilo. Lekato, irugi mate awena iböhöi. Bölösöni, talifusönia si fakhilikhili.Demikianlah gambaran para penguasa/pejabat (pemerintahan dan agama), pengusaha atau pedagang (saudagar) di Israel pada zaman nabi Amos ini. Mereka menggunakan kesempatan yang ada untuk menindas mereka yang miskin atau rakyat jelata dengan mengambil keuntungan di atas penderitaan mereka.
Pendalaman Nas
Nas khotbah ini nampaknya ditujukan khusus kepada para pedagang, walaupun maknanya tidak jauh berbeda dengan kritikan nabi terhadap para pejabat (pemerintahan dan agama), orang kaya pada umumnya (2:6-7), perempuan-perempuan Samaria (4:1), dan hakim-hakim (5:11). Di nas ini mereka disebut sebagai orang-orang yang menginjak-injak orang miskin, dan yang membinasakan orang sengsara di Israel (ay. 4).
Seperti apa para pedagang yang menindas ini? Separah apakah mereka?
1) Mereka tidak suka dengan “Bulan Baru” dan “Hari Sabat”. “Bulan Baru” menandakan hari pertama di kalender Ibrani dan ada perayaan dan korban khusus untuk itu (Bilangan 28:11-15). Pada saat “bulan baru” ini rakyat tidak bekerja dan tidak berdagang. Segala jenis pekerjaan dan perniagaan/perdagangan tidak boleh dilakukan pada hari Sabat, kecuali alasan darurat. Tentu, hukum yang melarang melakukan pekerjaan dan perniagaan ini tidak disukai oleh orang-orang yang serakah, yang hanya memikirkan keuntungan materi saja. Di bulan baru dan hari Sabat ini “toko” atau “usaha bisnis” mereka tidak jalan (tutup), dengan demikian “untung” tidak bertambah. Dengan sendirinya, usaha bisnis mereka yang penuh dengan penipuan berhenti di bulan baru dan hari Sabat. Dengan kata lain, bulan baru dan hari Sabat adalah malapetaka bagi bisnis mereka. Itulah sebabnya mereka berharap agar “bulan baru” dan “hari Sabat” segera berlalu, kalau bisa jumlah “jamnya” berkurang. Alasannya sudah jelas di teks ini, yaitu supaya mereka bisa menjual gandum dan menawarkan terigu ketika bulan baru dan hari Sabat telah berlalu. Sungguh-sungguh “otak uang/bisnis”.
2) Mereka memanipulasi “ukuran” dan “timbangan” dalam usaha perdagangan mereka. Manipulasi ini terlihat dengan mengecilkan efa dan membesarkan syikal. Efa = suatu takaran untuk menjual gandum dan terigu sebesar ± 40 liter; Syikal = suatu batu timbangan untuk menimbang emas dan perak ± 12 gram. Syikal ini dipakai oleh pembeli sebagai alat pembayaran pada waktu itu. Di kedua alat takar inilah para pedagang melakukan manipulasi, yaitu “mengecilkan efa” dan “membesarkan syikal”. Dengan mengecilkan efa mereka bisa menjual gandum dan terigu dalam jumlah yang sedikit walaupun nampaknya nilai timbangannya “normal”. Sebaliknya, mereka membesarkan syikal supaya mereka dapat memperoleh emas/perak dengan banyak walaupun nampaknya “normal”. Jadi, para pedagang ini mendapatkan keuntungan berlipat-lipat, beruntung dari segi penjualan gandum dan terigu, dan beruntung dari segi pendapatan emas/perak. Cara penakaran seperti inilah yang dimaksud sebagai neraca curang. Tidak hanya itu, mereka juga malah menjual terigu rosokan, paling tidak mencampurkan terigu rosokan itu ke dalam terigu yang baik, pembeli pun membeli terigu yang tidak sehat, tidak baik, dan tidak asli lagi. Akibat dari tindakan para pedagang ini adalah bahwa mereka mendapatkan keuntungan yang sangat besar di atas kemiskinan rakyat jelata.
3) Memperjualbelikan orang lemah dan miskin. Situasi sosial politik dan ekonomi Israel pada zaman ini tidak pro-rakyat kecil, berbagai praktik korupsi terjadi di segala aspek kehidupan, pemerintahan bahkan agama. Situasi ini semakin parah dengan praktik bisnis yang curang tadi; rakyat semakin sengsara; yang kaya semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin. Rakyat jelata semakin berutang dari waktu ke waktu. Mereka menjadi korban penipuan dan mangsa para pebisnis yang curang, sementara itu para pejabat pemerintah dan agama tidak bisa berbuat banyak, mungkin karena mereka sendiri terlibat dalam bisnis jahat itu. Demi kelangsungan hidupnya, rakyat tidak peduli lagi dengan badannya sendiri. Demi memenuhi kebutuhannya, dan karena tidak dapat membayar hutangnya, termasuk bunga dari hutang itu, maka banyak rakyat yang terpaksa menggadaikan bahkan menjual harta bendanya hingga habis, dan ketika mereka tidak punya apa-apa lagi untuk dijual/digadaikan, mereka pada akhirnya menjual badannya sendiri. Kondisi ini sangat menyenangkan para orang kaya tadi; mereka memperjualbelikan orang-orang miskin dengan kekayaan mereka yang sesungguhnya diperoleh dari hasil bisnis yang penuh kecurangan.
Orang-orang dengan praktik jahat seperti inilah sasaran pemberitaan nabi Amos dalam nas renungan pada hari ini. Kita bisa membayangkan betapa bobroknya kehidupan mereka pada waktu itu, betapa orang kaya hidup dalam keglamoran, kecurangan, dan kemunafikan, sementara rakyat jelata hidup dalam kemiskinan dan penderitaan. Bagi Tuhan, praktik jahat seperti ini merupakan suatu kekejian (bnd. Ulangan 25:13-16). “Janganlah ada di dalam pundi-pundimu dua macam batu timbangan, yang besar dan yang kecil. Janganlah ada di dalam rumahmu dua macam efa, yang besar dan yang kecil. Haruslah ada padamu batu timbangan yang utuh dan tepat; haruslah ada padamu efa yang utuh dan tepat--supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu. Sebab setiap orang yang melakukan hal yang demikian, setiap orang yang berbuat curang, adalah kekejian bagi TUHAN, Allahmu” (Ul. 25:13-16).
Itulah sebabnya, di akhir nas renungan pada hari ini Amos dengan keras menyerukan bahwa Tuhan tidak akan pernah melupakan begitu saja praktik kecurangan atau penipuan yang telah mereka lakukan. Bahkan, demikian Amos menuliskan, Tuhan Allah bersumpah demi kebanggaan Yakub (terdengar aneh memang ...), bahwa Tuhan tidak akan melupakan perbuatan mereka itu untuk seterusnya. Mereka pasti mendapatkan hukuman atas perbuatan mereka yang sangat menjijikkan di mata Tuhan.
Pokok-pokok Renungan
1) Banyak yang tidak mungkin terjadi di negara Indonesia ini, salah satunya adalah bebas dari korupsi. Dari waktu ke waktu praktik korupsi ini semakin merajalela, aksi tipu menipu ini tampil dengan aneka modus, mulai dari cara halus hingga ke cara yang kasar. Tindakan kecurangan terjadi di mana-mana, di pemerintahan maupun agama. Terdengar pesimistis memang, tetapi itulah realitas bangsa ini, hingga ke Pulau Nias. Aksi penipuan dan kecurangan di berbagai bidang kehidupan (jadi bukan hanya di bidang perniagaan lagi) semakin berkembang, dan lama-lama dianggap biasa. Perhatikanlah bagaimana masyarakat kita, terutama para pedagang di pasar misalnya menjual barang dagangannya. Saya pernah melihat pedagang yang menjual barang katanya “satu kilogram” padahal sesungguhnya hanya 8-9 ons. Atau, menjual barang “palsu” (imitasi), mencampurkan minyak babi di minyak nilam, memasukkan “lumpur” ke dalam karet, mencampurkan beras “busuk” ke dalam beras biasa yang dijual, mencampurkan “pasir halus” di dedak (makanan babi), dan lain sebagainya.
Praktik ini tidak hanya menyangkut “uang”, tetapi juga memasuki wilayah yang pada awalnya sulit tertembus. Perhatikanlah bagaimana kita sering “korupsi waktu”, mengisi daftar hadir di kantor sehari penuh padahal kerjanya hanya satu-dua jam, itupun dihabiskan untuk facebook-an atau ngobrol di warung, kantor pun lama-lama menjadi “warung ngerumpi”. Saya kadang-kdang heran dengan orang Kristen yang mau saja membayar biaya suatu seminar nasional misalnya demi mendapatkan sertifikatnya, padahal yang bersangkutan tidak pernah hadir di seminar tersebut. Ujung-ujungnya kan kredit poin, uang! Mark-up dan Mark-down anggaran pun terjadi, termasuk penggelembungan suara ketika pemilu! Bahkan, ada orang yang berani mengatakan: “Yawara tobali horö na mulimo ma’ifu bale ..., harumani sa’ae Zo’aya andrö na ibali’ö horö da’ö ...”. Menyedihkan memang!
2) Zaman sekarang dapat disebut sebagai kesempatan untuk menjual “nama orang miskin” melalui program pengentasan kemiskinan, dengan menyusun proposal sedemikian rupa, atas nama rakyat, atas nama masyarakat kecil, tetapi bagian besarnya nanti didapat oleh para pejabat, atau sahatö ba ngai galitö. Berbagai program pemberian bantuan tunai langsung, termasuk bantuan kemanusiaan karena bencana, justru menjadi shortcut bagi para pejabat untuk memperkaya diri sendiri. “Menjual Orang Miskin” sudah menjadi praktik umum di dunia ini. Tragis memang!
3) Banyak orang pada zaman sekarang yang lebih mementingkan “keuntungan materinya” daripada kebenaran dan kejujuran. Malah, banyak perusahaan besar yang merasa “sangat dirugikan” kalau ada hari libur nasional, termasuk hari Minggu. Kalau bisa, demikian menurut mereka, kerja terus, bisnis terus, untung terus, tidak usah pedulikan yang lain, tidak usah pikirkan lagi kegiatan agamamu. Sebaliknya, dan jangan terkejut, ada juga orang yang justru menggunakan nama agama untuk keuntungan ekonomi atau bisnisnya. Tentu, kita bisa melihat faktanya di tempat masing-masing!
4) Segala bentuk kejahatan, penipuan, dan kecurangan, yang hanya mendatangkan kemiskinan dan penderitaan bagi orang lain, akan berhadapan dengan hukuman Tuhan. Kita boleh saja “menyuap” para pengambil keputusan untuk “melupakan” kejahatan kita, tetapi Tuhan tidak akan pernah melupakannya. Cepat atau lambat, Tuhan pasti menghukum setiap orang yang dengan kekayaan atau kuasanya memiskinkan dan menindas orang lain.
5) Kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi sesama, hidup berbagi, karena itulah panggilan kita. Maka, sangat disayangkan kalau masih ada orang Kristen yang justru memangsa sesamanya (homo homini lupus). Tentu, tugas setiap orang Kristen untuk menjadi agen pembebas bagi masyarakat yang tertindas. Dan, gereja juga haruslah menjadi lembaga advokasi bagi orang-orang yang ditindas oleh orang lain, penguasa, pengusaha, atau lembaga/organisasi yang tidak peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak peduli dengan kebenaran. Kalau kita juga tidak peduli, maka sesungguhnya kita sudah terlibat dalam pendindasan/kecurangan yang sama!
5) Kita dipanggil untuk menjadi berkat bagi sesama, hidup berbagi, karena itulah panggilan kita. Maka, sangat disayangkan kalau masih ada orang Kristen yang justru memangsa sesamanya (homo homini lupus). Tentu, tugas setiap orang Kristen untuk menjadi agen pembebas bagi masyarakat yang tertindas. Dan, gereja juga haruslah menjadi lembaga advokasi bagi orang-orang yang ditindas oleh orang lain, penguasa, pengusaha, atau lembaga/organisasi yang tidak peduli dengan nilai-nilai kemanusiaan dan tidak peduli dengan kebenaran. Kalau kita juga tidak peduli, maka sesungguhnya kita sudah terlibat dalam pendindasan/kecurangan yang sama!
TUHAN berfirman: “Bahwasanya Aku tidak akan melupakan untuk seterusnya segala perbuatan mereka”
(Amos 8:7b)
Thanks for share this... I need for my preaching next week. God bless you. Proud to be villager too.
ReplyDeleteTerimakasih kasih pak bahan renungan, saya terispirasi dan sebagai lala gera-era untuk minggu ini, terberkati Gbu
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete