Sunday, March 31, 2013

Berita Kebangkitan Yesus (Matius 28:1-10)


Bahan Khotbah Minggu Paskah, 31 Maret 2013
Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si

28:1      Setelah hari Sabat lewat, menjelang menyingsingnya fajar pada hari pertama minggu itu, pergilah Maria Magdalena dan Maria yang lain, menengok kubur itu.
28:2     Maka terjadilah gempa bumi yang hebat sebab seorang malaikat Tuhan turun dari langit dan datang ke batu itu dan menggulingkannya lalu duduk di atasnya.
28:3     Wajahnya bagaikan kilat dan pakaiannya putih bagaikan salju.
28:4     Dan penjaga-penjaga itu gentar ketakutan dan menjadi seperti orang-orang mati.
28:5     Akan tetapi malaikat itu berkata kepada perempuan-perempuan itu: "Janganlah kamu takut; sebab aku tahu kamu mencari Yesus yang disalibkan itu.
28:6     Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring.
28:7     Dan segeralah pergi dan katakanlah kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia. Sesungguhnya aku telah mengatakannya kepadamu."
28:8     Mereka segera pergi dari kubur itu, dengan takut dan dengan sukacita yang besar dan berlari cepat-cepat untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus.
28:9     Tiba-tiba Yesus berjumpa dengan mereka dan berkata: "Salam bagimu." Mereka mendekati-Nya dan memeluk kaki-Nya serta menyembah-Nya.
28:10   Maka kata Yesus kepada mereka: "Jangan takut. Pergi dan katakanlah kepada saudara-saudara-Ku, supaya mereka pergi ke Galilea, dan di sanalah mereka akan melihat Aku."

Kristus Tuhan, Kristus sudah bangkit – Benar, Ia telah bangkit
 Tema Paskah BNKP Tahun 2013
“Sebab Aku Hidup dan kamu pun akan Hidup” (Yohanes 14:19b; 1 Petrus 1:3b)

Kebangkitan Yesus sebenarnya telah mulai diberitahukan ketika Injil Matius ini menyinggung soal kebangkitan orang-orang kudus (27:52-53), diteruskan kemudian dengan penguburan Yesus (27:60), dan pemeteraian/penyegelan kuburan Yesus serta penempatan para penjaga (27:66) – suatu hal yang sejajar dengan nubuatan Yesus sebelumnya di Matius 16:21 dst). Dengan demikian, secara redaksional Injil Matius, peristiwa kebangkitan Yesus sesungguhnya telah dimulai ketika para penjaga ditempatkan di kuburan-Nya (27:62-66). Demikian juga selanjutnya, peristiwa kebangkitan Yesus ini dinarasikan oleh Matius hingga ayat 20.

Oleh sebab itu, kisah kebangkitan Yesus ini dapat dibagi tiga tahap:
Tahap pertama/tahap persiapan
Penempatan penjaga-penjaga di sekitar kuburan Yesus (27:62-66) versus kedatangan perempuan yang mendekati atau menengok kuburan Yesus (28:1)

Tahap Kedua: Reaksi
Kegentaran dan ketakutan para penjaga (28:2-4) versus sukacita para perempuan itu (28:5-10)

Tahap Ketiga
Penyebarluasan berita bohong/palsu (28:11-15) versus pemberitaan kebenaran (28:16-20).

Teks khotbah hari ini (28:1-10) menyajikan “Berita Kebangkitan” yang menunjukkan bahwa Yesus itu hidup, dan karena itu kita pun hidup.
Waktu (28:1)
Peristiwa kebangkitan Yesus terjadi pada pagi hari Minggu. Ada dua Maria yang disebutkan, datang ke kuburan – yang memberi kesaksian kepada kita tentang kesetiaan mereka kepada Yesus.

Kuasa
Peristiwa “gempa bumi” mengingatkan kita pada peristiwa yang sama sebelumnya ketika Yesus mati (Mat. 27:51). Matius menyajikan peristiwa ini sebagai bagian dari kedatangan malaikat yang turun dari langit. Malaikat datang untuk menggulingkan batu kuburan yang besar itu (yang tidak dapat dilakukan oleh manusia biasa), dan untuk memberitakan bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati. Perlu diingat, bahwa kegentaran dan ketakutan para penjaga itu bukan semata-mata karena gempa bumi, melainkan karena melihat malaikat tersebut. Lebih jelasnya teks ayat 4 dalam bahasa Inggris: The guards were so afraid of him that they shook and became like dead men”. Hal ini menunjukkan adanya suatu kuasa (ay. 2a), dan adanya kemegahan pada kedatangannya (ay. 3).

Pemberitaan Malaikat (28:5-6)
Di sini, malaikat merupakan pihak yang pertama menyaksikan dan atau memberi kesaksian tentang kebangkitan Yesus. Malaikat berkata kepada kedua perempuan itu (yang sebenarnya tengah ketakutan juga, karena pesona atau gemuruh peristiwa yang mengiringi kedatangan malaikat tersebut): “Ia tidak ada di sini, sebab Ia telah bangkit, sama seperti yang telah dikatakan-Nya. Mari, lihatlah tempat Ia berbaring” (ay. 6). Sekarang kita dapat mengerti mengapa malaikat itu menggulingkan batu besar di kuburan Yesus tersebut (ay. 2). Hal itu mengindikasikan bahwa Yesus “tidak diperkenankan” muncul dari dalam kubur, sebaliknya untuk “memperkenankan” (atau memberi kesempatan) kepada para pengikut-Nya masuk ke dalam kuburan, sehingga mereka dapat melihat bahwa kuburan itu kosong. Tetapi, perlu dipertegas di sini bahwa kebangkitan Yesus tidaklah ditentukan oleh pemindahan/penggulingan batu kuburan itu, tetapi sekali lagi, untuk memberi kesempatan kepada para pengikut-Nya bahwa kuburan itu memang kosong, tanda bahwa Yesus telah bangkit dari antara orang mati. Sesungguhnya, Yesus tidak meminta (atau membutuhkan) yang lain untuk menggulingkan batu itu (tidak seperti Lazarus di Yohanes 11:44). Yesus memiliki kuasa untuk melewati semua itu, entah benda ataupun manusia, atau kuasa apa pun. Tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi Dia dari kebangkitan. Hal inilah yang diberitakan oleh malaikat kepada kedua perempuan yang datang ke kuburan Yesus.

Perintah (28:7)
Dan segeralah pergi dan katakanlah kepada murid-murid-Nya bahwa Ia telah bangkit dari antara orang mati. Ia mendahului kamu ke Galilea; di sana kamu akan melihat Dia. Sesungguhnya aku telah mengatakannya kepadamu”.
Malaikat itu menggemakan apa yang pernah dikatakan oleh Yesus sebelumnya (lih. 26:32). Tujuannya adalah menegaskan bahwa Yesus akan memulihkan persekutuan mereka yang telah “rusak” karena kepergian (pelarian) para murid ketika Yesus dihukum mati (26:56). Lagi-lagi, ini adalah inisiatif Allah, anugerah-Nya untuk memulihkan.

Pertemuan dengan Yesus (28:8-10)
ü  Persiapan: ketakutan dan sukacita
Sebagaimana tercatat, kedua perempuan itu ketakutan, sama seperti para penjaga. Hanya saja, ketakutan kedua perempuan tersebut kemudian bercampur dengan sukacita (ay. 8) karena mendengar berita kebangkitan Yesus. Sukacita mereka di sini diekspresikan dengan “peri (berlari)” dari kubur itu untuk memberitahukannya kepada murid-murid Yesus.

ü  Kemunculan Yesus
Tiba-tiba Yesus berjumpa dengan mereka dalam perjalanan itu dan menyapa mereka. Kedua perempuan tersebut segera mengenali Dia sekalipun Yesus belum memperkenalkan diri ketika menyampaikan salam tadi. Hal ini menunjukkan bahwa tubuh Yesus yang bangkit itu bukanlah tubuh yang lain yang tidak dikenal oleh perempuan itu. Sekali lagi, kedua perempuan tersebut segera mengenali “tubuh” Yesus, karena mereka memang sudah sangat mengenal Dia sebelumnya. Bagi mereka, sosok yang bertemu dengan mereka adalah Yesus yang telah disalibkan, Dia dan bukan yang lain, yang telah bangkit dari antara orang mati.

ü  Dampak dari Kehadiran Yesus
Ayat 9b: “Mereka mendekati-Nya dan memeluk kaki-Nya serta menyembah-Nya”. Teks ini menegaskan kebangkitan tubuh Yesus secara substantif. Perhatikan kata: “memeluk kaki-Nya”, menunjukkan bahwa tubuh Yesus yang bangkit itu benar-benar nyata, dapat disentuh. Penyembahan mereka terhadap-Nya merupakan bentuk kesaksian mereka bahwa Yesus adalah Tuhan.

ü  Perintah
Yesus kembali menegaskan perintah malaikat (28:10, bnd. 28:7), untuk bertemu dengan yang lain di Galilea. Perhatikan, Yesus menyuruh kedua perempuan itu untuk memberitakan kebangkitan-Nya kepada “saudara-saudara-Nya” (ay. 10), tidak memakai kata “murid-murid-Nya” seperti dikatakan oleh malaikat sebelumnya (ay. 7). Apa artinya? Yaitu bahwa Yesus menggunakan kata yang lebih “intim” (saudara-saudara) untuk menekankan pentingnya pemulihan persekutuan mereka yang sebelumnya telah tercerai-berai ketika Yesus dihukum mati. Hanya dengan persekutuan itu (dengan saudara-saudara dan dengan Tuhan), kehadiran Allah, kehadiran Yesus yang bangkit dapat benar-benar dirasakan.

Selamat mengembangkan aplikasinya dalam konteks masing-masing
Selamat Paskah, Tuhan Yesus memberkati.
Ya'ahowu


Thursday, March 28, 2013

Saling Melayani dan Menerima Dalam Kasih dan Kerendahan Hati, Itulah Kebanggaan dan Kemuliaan yang Sesungguhnya (Yohanes 13:1-15)


Renungan Ibadah Kamis Putih STT BNKP Sundermann
Kamis, 28 Maret 2013
Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si

Pada malam hari ini, kita bersekutu dalam rangka ibadah pekan suci “Kamis Putih”. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah “Holy Thursday” (Gereja Metodis) dan “Maundy Thursday” (kadang-kadang oleh Katolik). Ada juga istilah “Covenant Thursday” yang kadang-kadang dipakai oleh Gereja Koptik Ortodoks. Gereja Maronite dan Gereja Ortodoks Siria cenderung memakai istilah “Thursday of Mysteries” (Kamis Misteri). Dalam gereja ortodoks Timur, untuk ritus Bizantine, mereka memakai istilah “Great and Holy Thursday”. Gereja Lutheran sendiri memakai kedua istilah ini, “Holy Thursday” dan “Maundy Thursday”.

Kata “Maundy” merupakan bahasa Anglo-Saxon (Inggris Kuno) untuk “pencucian-kaki”. Dalam bahasa Latin dikenal kata mandatum, artinya perintah. Pada mulanya, di Inggris, istilah ini disebut “Shere Thursday”; “shere” merupakan kata Inggris Kuno, yang ada hubungannya dengan “membersihkan”. Di Jerman, dikenal istilah “Green Thursday”, berasal dari kata “grunen” atau “greinen”, yang artinya “berkabung” – namun kemudian menyimpang menjadi “gr nen”, “green”.

Pelayanan Kamis Putih secara tradisional dan historis mengingatkan kita pada berbagai peristiwa dimana Yesus mendekati masa-masa kematian-Nya. Peristiwa dimaksud antara lain: perempuan yang meminyaki Yesus dengan parfum dari buli-buli dan mengusapnya dengan rambutnya, perjamuan malam/terakhir yang dilakukan Yesus, pembasuhan kaki para murid oleh Yesus, dan pengkhianatan yang akan dilakukan oleh Yudas dan Petrus terhadap Yesus.

Malam ini, kita akan melakukan pelayanan pembasuhan kaki. Di Palestina sendiri pada zaman Yesus, pelayanan ini sudah merupakan tradisi atau kebiasaan, dimana kaki para tamu yang hendak memasuki rumah (yang pasti sudah kotor karena jalanan yang berdebu pada musim kemarau, atau jalanan yang becek kalau musim hujan) akan dibersihkan oleh budak dengan air dalam kendi dan handuk yang sudah dipersiapkan di depan pintu masuk rumah. Dalam dunia Yunani, pekerjaan membasuh kaki seperti ini merupakan pekerjaan rendahan dan hina, yang biasa dilakukan oleh budak. Pada abad ke-4 ZB di Gereja Barat, kecuali di Roma, praktik mencuci kaki dilakukan pada ritus pembaptisan. Pada tahun 694 seluruh Gereja Spanyol diwajibkan melakukan praktik cuci kaki ini, dimana uskup dan imam harus melakukannya seperti Yesus Kristus melakukannya (ingat uskup dan imam pada waktu itu adalah pribadi-pribadi yang “untouchable”.) Sejak abad ke-12 Gereja Katolik Roma mulai memberlakukannya. Tradisi pembasuhan kaki ini kemudian berkembang, baik di kalangan gereja Katolik maupun Protestan.

Saya yakin, bahwa kita melakukan pelayanan pembasuhan kaki ini sebagai bentuk kemauan kita untuk mengikuti Tuhan Yesus. Yesus sendiri membasuh kaki murid-murid-Nya sebagai tanda perintah baru yang harus kita lakukan: Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:34-35). Tradisi pembasuhan kaki dengan makna yang seperti inilah yang terus dilakukan oleh gereja sepanjang zaman.

Pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus dalam teks ini, menurut hemat saya, sudah di luar kewajaran ("abnormal"):
§  Kalau di Nias, Yesus ini ibarat calon pengantin yang tidak lama lagi menikah, ada perubahan status, dalam teks tadi dikatakan: “Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa” (ay. 1). Dalam situasi normal, Yesus sebenarnya tidak perlu menyibukkan diri lagi dengan “urusan cuci mencuci kaki itu”. Lagi pula, peralihan yang dimaksudkan di sini adalah dalam rangka menunjukkan bahwa Yesus itu sesungguhnya memiliki kuasa dan kemuliaan yang patut dibanggakan. Jadi, untuk apa mengotori diri dengan pembasuhan kaki tersebut?
§  Pelayanan pembasuhan kaki seyogianya dilakukan oleh budak kepada tamu/tuan, bawahan kepada atasan, atau murid kepada sang rabi/guru; bukan sebaliknya, Guru kepada murid.
§  Ada kutipan nyanyian Nias: “No nasa mesokho ba ölau nasa nasio”. Intinya adalah rasa sakit, pedih dan perih karena dikhianati oleh orang terdekat. Itulah sebenarnya yang dialami Yesus, dikhianati oleh Yudas dan Petrus.

Tetapi, begitulah cara Yohanes mengisahkan sesuatu tentang Yesus, diramu sedemikian rupa sehingga pembacanya yang masih normal pun sulit untuk memahami dan menerimanya. Hanya para pembaca yang “tidak normal”-lah yang berusaha mencari tahu makna di balik peristiwa itu, dan kemudian menerimanya sebagai bagian dari karya Allah.

Ternyata,
Pertama,Yesus tidak “mabuk” dalam kebanggaan yang memang patut Dia dapatkan itu, justru sebaliknya Dia merendahkan diri serendah-rendahnya ketika Dia sudah pasti berada dalam kemuliaan-Nya tersebut. Itulah kasih!
Terkadang orang merasa terlalu terhormat untuk melakukan hal-hal yang rendah, merasa terlalu penting untuk melakukan tugas-tugas yang kasar. Tidak demikian halnya dengan Yesus. Dia tahu bahwa Dia adalah Tuhan, namun Dia justru membasuh kaki murid-murid-Nya.

Kedua, Di antara rombongan Yesus itu tidak ada yang berstatus budak, semuanya bos, paling tidak ‘nge-bos’. Sementara itu, seharusnya ada yang membasuh kaki mereka, dan tradisinya adalah bahwa para murid haruslah membasuh kaki Rabi/Guru. Namun, Yesus melakukan hal yang sebaliknya; Dia, sebagai Guru, membasuh kaki murid-murid-Nya. Apakah ini hanya sekadar “pencitraan”, atau karena tidak ada seorang pun dari murid yang berinisiatif membasuh kaki sang Guru, atau mengapa? Ternyata, kebanggaan dan kemuliaan Yesus adalah ketika Dia merasa dekat dengan Bapa-Nya (karena sebentar lagi akan beralih dari dunia kepada Bapa), dan kedekatan dengan Sang Bapa itu mendorong Dia untuk melayani para murid dalam kerendahan hati.
Orang semakin dekat dengan Allah akan membawa dia semakin dekat dengan sesama. Semakin dekat dengan Allah, semakin sering berjumpa dengan Allah, akan mendorong tumbuhnya kepekaan/solidaritas/pelayanan terhadap sesama, bukan sebaliknya. Maka, sangatlah mengherankan kalau semakin tinggi status/tingkat seseorang, tetapi semakin lebar juga jurang pemisah di antara mereka; kalau bisa, dia malah memperdalam dan memperlebar lagi jurang/gap pemisah itu, sehingga sesamanya yang statusnya lebih rendah tidak mungkin lagi melewatinya. Jangankan orang lain, dia sendiri pun kadang bingung dengan gap yang tadinya dia buat sendiri. Jangankan membasuh kaki, melakukan tugas-tugas asrama saja, wah ... gengsi gede-gedean.

Ketiga, Yesus tahu betul bahwa Dia akan dikhianati oleh orang-orang dekat-Nya, Yudas dan Petrus; tetapi Dia tidak terjebak dalam perasaan sakit hati yang buta, benci dan dendam yang menghabiskan energi. Dalam kemanusiaan-Nya Yesus tahu betul betapa menyakitkan dikhianati oleh orang dekat, tetapi dalam kesakitan itu kasih Yesus semakin besar kepada manusia.
Adalah hal yang wajar kalau kita marah terhadap orang yang telah berbuat salah kepada kita; wajar kalau kita membenci orang yang telah menghina dan menyakiti kita; wajar kalau kita menyindir dengan segala cara/metode orang yang sudah mengecewakan kita. Namun, Yesus justru menghadapi luka yang paling menyakitkan dan pengkhianatan itu dengan kerendahan hati yang paling besar dan kasih yang tiada bandingannya. Ini namanya “MENCINTA HINGGA TERLUKA” (bukan MENCINTA HINGGA BABAK BELUR).

Pelayanan pembasuhan kaki, pada satu sisi merupakan bentuk pelayanan kita satu terhadap yang lain, sekaligus bentuk keterbukaan kita dalam menerima sesama dan pelayanan yang ditujukan kepada kita, kedua-duanya dalam kasih dan kerendahan hati. Melayani sesama saja tidak cukup, mesti diikuti dengan kesediaan kita menerima yang lain (sama seperti Petrus yang pada awalnya enggan menerima pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus kepadanya). Di sinilah ada relasi timbal-balik; dan inilah kebanggaan dan kemuliaan kita, SALING MELAYANI DAN MENERIMA DALAM KASIH DAN KERENDAHAN HATI.

Saling Melayani dan Menerima Dalam Kasih dan Kerendahan Hati, Itulah Kebanggaan dan Kemuliaan yang Sesungguhnya (Yohanes 13:1-15)


Renungan Ibadah Kamis Putih STT BNKP Sundermann
Kamis, 28 Maret 2013
Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si

Pada malam hari ini, kita bersekutu dalam rangka ibadah pekan suci “Kamis Putih”. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah “Holy Thursday” (Gereja Metodis) dan “Maundy Thursday” (kadang-kadang oleh Katolik). Ada juga istilah “Covenant Thursday” yang kadang-kadang dipakai oleh Gereja Koptik Ortodoks. Gereja Maronite dan Gereja Ortodoks Siria cenderung memakai istilah “Thursday of Mysteries” (Kamis Misteri). Dalam gereja ortodoks Timur, untuk ritus Bizantine, mereka memakai istilah “Great and Holy Thursday”. Gereja Lutheran sendiri memakai kedua istilah ini, “Holy Thursday” dan “Maundy Thursday”.

Kata “Maundy” merupakan bahasa Anglo-Saxon (Inggris Kuno) untuk “pencucian-kaki”. Dalam bahasa Latin dikenal kata mandatum, artinya perintah. Pada mulanya, di Inggris, istilah ini disebut “Shere Thursday”; “shere” merupakan kata Inggris Kuno, yang ada hubungannya dengan “membersihkan”. Di Jerman, dikenal istilah “Green Thursday”, berasal dari kata “grunen” atau “greinen”, yang artinya “berkabung” – namun kemudian menyimpang menjadi “gr nen”, “green”.

Pelayanan Kamis Putih secara tradisional dan historis mengingatkan kita pada berbagai peristiwa dimana Yesus mendekati masa-masa kematian-Nya. Peristiwa dimaksud antara lain: perempuan yang meminyaki Yesus dengan parfum dari buli-buli dan mengusapnya dengan rambutnya, perjamuan malam/terakhir yang dilakukan Yesus, pembasuhan kaki para murid oleh Yesus, dan pengkhianatan yang akan dilakukan oleh Yudas dan Petrus terhadap Yesus.

Malam ini, kita akan melakukan pelayanan pembasuhan kaki. Di Palestina sendiri pada zaman Yesus, pelayanan ini sudah merupakan tradisi atau kebiasaan, dimana kaki para tamu yang hendak memasuki rumah (yang pasti sudah kotor karena jalanan yang berdebu pada musim kemarau, atau jalanan yang becek kalau musim hujan) akan dibersihkan oleh budak dengan air dalam kendi dan handuk yang sudah dipersiapkan di depan pintu masuk rumah. Dalam dunia Yunani, pekerjaan membasuh kaki seperti ini merupakan pekerjaan rendahan dan hina, yang biasa dilakukan oleh budak. Pada abad ke-4 ZB di Gereja Barat, kecuali di Roma, praktik mencuci kaki dilakukan pada ritus pembaptisan. Pada tahun 694 seluruh Gereja Spanyol diwajibkan melakukan praktik cuci kaki ini, dimana uskup dan imam harus melakukannya seperti Yesus Kristus melakukannya (ingat uskup dan imam pada waktu itu adalah pribadi-pribadi yang “untouchable”.) Sejak abad ke-12 Gereja Katolik Roma mulai memberlakukannya. Tradisi pembasuhan kaki ini kemudian berkembang, baik di kalangan gereja Katolik maupun Protestan.

Saya yakin, bahwa kita melakukan pelayanan pembasuhan kaki ini sebagai bentuk kemauan kita untuk mengikuti Tuhan Yesus. Yesus sendiri membasuh kaki murid-murid-Nya sebagai tanda perintah baru yang harus kita lakukan: Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:34-35). Tradisi pembasuhan kaki dengan makna yang seperti inilah yang terus dilakukan oleh gereja sepanjang zaman.

Pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus dalam teks ini, menurut hemat saya, sudah di luar kewajaran:
§  Kalau di Nias, Yesus ini ibarat calon pengantin yang tidak lama lagi menikah, ada perubahan status, dalam teks tadi dikatakan: “Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa” (ay. 1). Dalam situasi normal, Yesus sebenarnya tidak perlu menyibukkan diri lagi dengan “urusan cuci mencuci kaki itu”. Lagi pula, peralihan yang dimaksudkan di sini adalah dalam rangka menunjukkan bahwa Yesus itu sesungguhnya memiliki kuasa dan kemuliaan yang patut dibanggakan. Jadi, untuk apa mengotori diri dengan pembasuhan kaki tersebut?
§  Pelayanan pembasuhan kaki seyogianya dilakukan oleh budak kepada tamu/tuan, bawahan kepada atasan, atau murid kepada sang rabi/guru; bukan sebaliknya, Guru kepada murid.
§  Ada kutipan nyanyian Nias: “No nasa mesokho ba ölau nasa nasio”. Intinya adalah rasa sakit, pedih dan perih karena dikhianati oleh orang terdekat. Itulah sebenarnya yang dialami Yesus, dikhianati oleh Yudas dan Petrus.

Tetapi, begitulah cara Yohanes mengisahkan sesuatu tentang Yesus, diramu sedemikian rupa sehingga pembacanya yang masih normal pun sulit untuk memahami dan menerimanya. Hanya para pembaca yang “tidak normal”-lah yang berusaha mencari tahu makna di balik peristiwa itu, dan kemudian menerimanya sebagai bagian dari karya Allah.

Ternyata, Pertama,Yesus tidak “mabuk” dalam kebanggaan yang memang patut Dia dapatkan itu, justru sebaliknya Dia merendahkan diri serendah-rendahnya ketika Dia sudah pasti berada dalam kemuliaan-Nya tersebut. Itulah kasih!
Terkadang orang merasa terlalu terhormat untuk melakukan hal-hal yang rendah, merasa terlalu penting untuk melakukan tugas-tugas yang kasar. Tidak demikian halnya dengan Yesus. Dia tahu bahwa Dia adalah Tuhan, namun Dia justru membasuh kaki murid-murid-Nya.

Kedua, Di antara rombongan Yesus itu tidak ada yang berstatus budak, semuanya bos, paling tidak ‘nge-bos’. Sementara itu, seharusnya ada yang membasuh kaki mereka, dan tradisinya adalah bahwa para murid haruslah membasuh kaki Rabi/Guru. Namun, Yesus melakukan hal yang sebaliknya; Dia, sebagai Guru, membasuh kaki murid-murid-Nya. Apakah ini hanya sekadar “pencitraan”, atau karena tidak ada seorang pun dari murid yang berinisiatif membasuh kaki sang Guru, atau mengapa? Ternyata, kebanggaan dan kemuliaan Yesus adalah ketika Dia merasa dekat dengan Bapa-Nya (karena sebentar lagi akan beralih dari dunia kepada Bapa), dan kedekatan dengan Sang Bapa itu mendorong Dia untuk melayani para murid dalam kerendahan hati.
Orang semakin dekat dengan Allah akan membawa dia semakin dekat dengan sesama. Semakin dekat dengan Allah, semakin sering berjumpa dengan Allah, akan mendorong tumbuhnya kepekaan/solidaritas/pelayanan terhadap sesama, bukan sebaliknya. Maka, sangatlah mengherankan kalau semakin tinggi status/tingkat seseorang, tetapi semakin lebar juga jurang pemisah di antara mereka; kalau bisa, dia malah memperdalam dan memperlebar lagi jurang/gap pemisah itu, sehingga sesamanya yang statusnya lebih rendah tidak mungkin lagi melewatinya. Jangankan orang lain, dia sendiri pun kadang bingung dengan gap yang tadinya dia buat sendiri. Jangankan membasuh kaki, melakukan tugas-tugas asrama saja, wah ... gengsi gede-gedean.

Ketiga, Yesus tahu betul bahwa Dia akan dikhianati oleh orang-orang dekat-Nya, Yudas dan Petrus; tetapi Dia tidak terjebak dalam perasaan sakit hati yang buta, benci dan dendam yang menghabiskan energi. Dalam kemanusiaan-Nya Yesus tahu betul betapa menyakitkan dikhianati oleh orang dekat, tetapi dalam kesakitan itu kasih Yesus semakin besar kepada manusia.
Adalah hal yang wajar kalau kita marah terhadap orang yang telah berbuat salah kepada kita; wajar kalau kita membenci orang yang telah menghina dan menyakiti kita; wajar kalau kita menyindir dengan segala cara/metode orang yang sudah mengecewakan kita. Namun, Yesus justru menghadapi luka yang paling menyakitkan dan pengkhianatan itu dengan kerendahan hati yang paling besar dan kasih yang tiada bandingannya. Ini namanya “MENCINTA HINGGA TERLUKA” (bukan MENCINTA HINGGA BABAK BELUR).

Pelayanan pembasuhan kaki, pada satu sisi merupakan bentuk pelayanan kita satu terhadap yang lain, sekaligus bentuk keterbukaan kita dalam menerima sesama dan pelayanan yang ditujukan kepada kita, kedua-duanya dalam kasih dan kerendahan hati. Melayani sesama saja tidak cukup, mesti diikuti dengan kesediaan kita menerima yang lain (sama seperti Petrus yang pada awalnya enggan menerima pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus kepadanya). Di sinilah ada relasi timbal-balik; dan inilah kebanggaan dan kemuliaan kita, SALING MELAYANI DAN MENERIMA DALAM KASIH DAN KERENDAHAN HATI.

Sunday, March 10, 2013

Perumpamaan tentang Ayah yang Mengampuni (Lukas 15:11-32)


Bahan Khotbah Minggu, 10 Maret 2013
Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si

Teks ini harus dipahami dalam konteks keseluruhan pasal 15. Pada ayat 1 dan 2 dikatakan bahwa orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat bersungut-sungut kepada Yesus karena ternyata Dia menerima orang-orang berdosa dan malah makan bersama dengan orang-orang berdosa itu. Lalu Yesus menanggapi mereka dengan tiga perumpamaan, yaitu ttg upaya yang penuh keberanian dalam mencari domba yang hilang dan sukacita setelah menemukannya, keuletan dalam mencari dirham yang hilang dan sukacita setelah menemukannya, dan dalam teks kita ttg ayah yang mengampuni anaknya yang “telah hilang” dan sukacita besar setelah menemukannya. Jadi, perumpamaan-perumpamaan ini memberi penekanan pada betapa pentingnya orang-orang yang hilang (“berdosa”) bagi Tuhan Yesus, dan karenanya bagi para murid juga. Pentingnya orang-orang yang hilang ini (terutama para pemungut cukai dan orang-orang berdosa) digambarkan melalui upaya (Allah) mencari mereka dan sukacita yang ada setelah mereka ditemukan. Pada saat yang sama, perumpamaan-perumpamaan ini hendak memberi penghiburan dan pengharapan kepada mereka yang hilang (yang disingkirkan oleh orang-orang Farisi dan ahli Taurat) bahwa mereka itu penting bagi Tuhan. Secara khusus dalam teks khotbah hari ini, isu utama yang hendak diangkat adalah tentang betapa pentingnya “penyesalan dosa dan pertobatan di hadapan Allah, dan Allah sendiri sangat mau mengampuni”. Dalam konteks seperti itulah teks ini dipahami.

Pertama-tama, harus kita sadari bahwa penekanan utama teks ini lebih pada sang ayah dan reaksinya baru kemudian pada anaknya yang berbalik kepadanya itu. Hal ini juga nampak pada respon sang ayah pada kemarahan anaknya yang sulung. Karenanya, teks ini lebih baik ditempatkan di bawah topik “Perumpamaan ttg Ayah yang Mengampuni” (dan bukan ttg Anak yang Hilang, atau Ono Selungu, LAI).

Perumpamaan ini memang menarik, dan dalam batas tertentudapat dipahami secara alegoris. Sang ayah menggambarkan Allah, anak bungsu mewakili mereka yang hilang (lih. ay. 1), dan anak sulung menggambarkan orang-orang dan para pemimpin yang suka mencari pembenaran diri (lih. ay. 2) atau mereka yang menganggap diri telah melayani Allah, paling layak di hadapan Allah tetapi memperlakukan dengan “kasar” (tidak manusiawi) dan menutup pintu pengampunan bagi yang orang berdosa. Perumpamaan ini diceritakan sedemikian rupa untuk menggambarkan hubungan orangtua-anak sekaligus rivalitas (persaingan) yang terjadi di antara anak (dhisulung dan bungsu); dan intinya adalah bahwa orang-orang yang hilang harus menyesali dosa-dosanya dan bertobat di hadapan Tuhan, dan Allah sendiri sangat mau untuk mengampuni. Berita sukacita seperti inilah yang hendak disampaikan oleh Yesus melalui perumpamaannya ini. Allah itu Pengampun dan Pengasih yang tiada taranya!

Perumpamaan ini dimulai dengan permintaan anak bungsu untuk mendapatkan bagiannya (hak) dari harta sang Ayah. Salam konteks Yahudi, anak yang bungsu berhak mendapatkan sebanyak setengah dari apa yang diterima oleh yang sulung (lih. Ul. 21:17). Selain itu, dalam tradisi Yahudi, kuranglah tepat membagi harta terlalu dini; namun perumpamaan ini mengisahkan betapa sang ayah bermurah hati memenuhi permintaan anaknya. Hal ini menggambarkan kebebasan yang diberikan oleh Allah bagi manusia untuk menjalani kehidupannya sendiri. Dan, sebagaimana kita baca dalam teks ini, setelah permintaannya dipenuhi, anak bungsu memboroskan semua bagian yang telah didapatkannya itu (ay. 13), dan akibatnya adalah bahwa dia sendiri mengalami penderitaan yang paling hina (ay. 14-16). Setelah itu, dia merenungkan kehidupannya yang sudah jatuh sedemikian rupa (ay. 17), dan dari refleksi ini dia bertekad untuk “kembali” kepada sang ayah dengan suatu pengakuan yang luar biasa: Bapa, aku telah berdosa terhadap sorga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa”(ay. 18-21).

Pada ayat 20, inti dari perumpaan ini mulai diekspresikan: “Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia”. Tindakan sang ayah ini sebenarnya telah “melawan” tata cara atau tradisi Timur Tengah, dimana tidak ada ayah yang akan menyambut anaknya yang telah “sesat” seperti anak bungsu ini. Namun, justru pada “pembelokkan” atau “keanehan” inilah Yesus biasanya menempatkan “poin/inti” dari pesan-Nya. Secara harafiah, sang ayah mengalungkan dirinya sendiri pada leher sang anak bungsu (ay. 20, Yun. epepesen epi ton trachlon). Artinya, sang ayah sangatlah senang, bersukacita, dan bersemangat menyambut kepulangan anaknya yang telah hilang; dia “menyerahkan” dirinya sendiri untuk menerima kembali anaknya yang bungsu itu. Dia malah tidak memperhitungkan dan mengingat-ingat lagi “kebobrokan” yang telah dilakukan oleh anaknya itu, sekalipun sang anak mengingatnya (lih. ay. 21). Sungguh suatu pengampunan yang luar biasa! Penyambutan dan sukacita sang ayah terhadap anaknya yang pulang merupakan pesan utama yang hendak disampaikan oleh perumpamaan ini (ay. 22-24). Pesan ini ditegaskan melalui kata-kata: anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali”(ay. 24). Pesan yang sama juga diekspresikan kembali pada ayat 32 sebagai bagian dari tanggapan sang ayah terhadap keberatan anaknya yang sulung.
Seandainya Allah mengingat-ingat dosa kita, siapakah yang dapat bertahan? Siapakah yang berani mengatakan bahwa dia tidak memiliki dosa dan kesalahan? Siapakah yang berani mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan pengampunan dan kasih sayang Allah? Setiap saat kita terjerumus dalam berbagai dosa dan kesalahan, terjebak dalam berbagai keinginan yang menyusahkan Allah, dan menyusahkan orang lain, dan pada akhirnya menyusahkan diri sendiri. Kita harus menyadari hal itu, menyesali dan bertobat; Allah Mahapengampun, Dia mau menerima kita apa adanya ketika kita merendahkan diri di hadapan-Nya.

Pengampunan dan kasih sayang sang ayah memang tiada henti-hentinya. Setelah menunjukkan pengampunan dan kasih yang luar biasa kepada anaknya yang bungsu, dia kemudian menemui anaknya yang sulung, yang pada saat itu sedang marah, dan karenanya sang ayah berusaha menenangkannya. Anak sulung menyampaikan pembelaan dan keberatannya sebagaimana diungkapkan pada ayat 29-30. Keberatan anak sulung ini sangatlah serius --“Sayalah yang paling layak”. Dia hendak mengatakan kepada ayahnya: “Engkau tidak tahu berterima kasih ayah, ini tidak adil!” Nah, persoalan anak sulung ini adalah sikapnya yang suka membenarkan diri sendiri, dan hanya fokus pada dirinya. Itulah sebabnya dia tidak bersukacita ketika adiknya “pulang” ke rumah. Anak sulung ini terlalu dikuasai oleh “kebutuhan yang sangat egoistis” dengan mengatasnamakan prinsip keadilan dan kepatutan diperlakukan istimewa oleh sang ayah. Demikianlah para pemimpin Yahudi yang digambarkan oleh Yesus melalui perumpamaan ini.
Omuso dödönia na abu dödö nawönia ma na te’ala nawönia, ba abu dödönia na omuso dödö nawönia ma na to’ese wa’asökhi wa’auri nawönia. Ato niha lö i’ila mörö na ohahau dödö nawönia, na no so halöwö nawönia, na no isöndra gönia awönia.

Sang ayah berusaha menenangkan anak sulung. Dia menyatakan:Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu” (ay. 31). Artinya, tidak ada alasan untuk “cemburu” dan “keberatan”; toh semua kan milikmu juga, sukacitamu juga! Bagi sang ayah, keadilan sesungguhnya adalah menerima kembali “yang hilang” dengan sukacita dan perayaan kegembiraan. Orang yang hilang haruslah disambut masuk ke dalam keluarga Allah dengan penuh sukacita. Yesus, nampaknya, keluar jalur, keluar dari tradisi selama ini dalam memperlakukan orang-orang yang hilang. Yesus menyampaikan pesan-Nya yang luar biasa, yaitu bahwa “transformasi” sangat diperlukan untuk saling menerima, saling mengampuni, dan saling bersukacita; karena Allah sendiri telah berusaha mencari yang hilang, mengampuni orang berdosa, dan Dia bersukacita karena yang hilang itu telah ditemukan, Dia bergembira karena yang sesat telah kembali kepada-Nya. Kalau Allah sendiri berkenan untuk itu, mengapa kita tidak???
Pernahkah kita menyadari betapa seringnya kita sulit menerima dan mengampuni sesama kita? Bukankah kita sering “ikut arus” masyarakat yang selalu “mengucilkan” mereka yang “dianggap” berdosa, seolah-olah kita ini lebih suci dari mereka? Bukankah kita sering mencari-cari alasan untuk membenarkan diri sendiri, dan menganggap diri sebagai orang yang paling layak di hadapan Allah, serta selalu menilai orang lain dengan ukuran keadilan/kepatutan dari perspektif kita sendiri? Kalau Allah sendiri berkenan mengampuni orang yang berdosa, berkenan mencari dan menerima mereka (dan kita) yang hilang, mengapa kita sulit melakukannya? Dalam kerangka inilah, kita perlu melakukan transformasi total, yang tentunya dimulai dari diri sendiri. Rasul Paulus mengatakan: “Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru, yang lama sudah berlalu sesungguhnya yang baru sudah datang” (2 Korintus 5:17).


(Silakan kembangkan aplikasinya menurut perenungan dan konteks masing-masing.
Selamat melayani, Tuhan Memberkati.)

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...