Renungan Ibadah Kamis Putih STT BNKP Sundermann
Kamis, 28 Maret 2013
Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si
Pada malam hari ini, kita bersekutu dalam rangka ibadah pekan suci “Kamis Putih”. Dalam bahasa Inggris dikenal istilah “Holy Thursday” (Gereja Metodis) dan “Maundy Thursday” (kadang-kadang oleh Katolik). Ada juga istilah “Covenant Thursday” yang kadang-kadang dipakai oleh Gereja Koptik Ortodoks. Gereja Maronite dan Gereja Ortodoks Siria cenderung memakai istilah “Thursday of Mysteries” (Kamis Misteri). Dalam gereja ortodoks Timur, untuk ritus Bizantine, mereka memakai istilah “Great and Holy Thursday”. Gereja Lutheran sendiri memakai kedua istilah ini, “Holy Thursday” dan “Maundy Thursday”.
Kata “Maundy” merupakan bahasa Anglo-Saxon (Inggris Kuno) untuk “pencucian-kaki”. Dalam bahasa Latin dikenal kata mandatum, artinya perintah. Pada mulanya, di Inggris, istilah ini disebut “Shere Thursday”; “shere” merupakan kata Inggris Kuno, yang ada hubungannya dengan “membersihkan”. Di Jerman, dikenal istilah “Green Thursday”, berasal dari kata “grunen” atau “greinen”, yang artinya “berkabung” – namun kemudian menyimpang menjadi “gr nen”, “green”.
Pelayanan Kamis Putih secara tradisional dan historis mengingatkan kita pada berbagai peristiwa dimana Yesus mendekati masa-masa kematian-Nya. Peristiwa dimaksud antara lain: perempuan yang meminyaki Yesus dengan parfum dari buli-buli dan mengusapnya dengan rambutnya, perjamuan malam/terakhir yang dilakukan Yesus, pembasuhan kaki para murid oleh Yesus, dan pengkhianatan yang akan dilakukan oleh Yudas dan Petrus terhadap Yesus.
Malam ini, kita akan melakukan pelayanan pembasuhan kaki. Di Palestina sendiri pada zaman Yesus, pelayanan ini sudah merupakan tradisi atau kebiasaan, dimana kaki para tamu yang hendak memasuki rumah (yang pasti sudah kotor karena jalanan yang berdebu pada musim kemarau, atau jalanan yang becek kalau musim hujan) akan dibersihkan oleh budak dengan air dalam kendi dan handuk yang sudah dipersiapkan di depan pintu masuk rumah. Dalam dunia Yunani, pekerjaan membasuh kaki seperti ini merupakan pekerjaan rendahan dan hina, yang biasa dilakukan oleh budak. Pada abad ke-4 ZB di Gereja Barat, kecuali di Roma, praktik mencuci kaki dilakukan pada ritus pembaptisan. Pada tahun 694 seluruh Gereja Spanyol diwajibkan melakukan praktik cuci kaki ini, dimana uskup dan imam harus melakukannya seperti Yesus Kristus melakukannya (ingat uskup dan imam pada waktu itu adalah pribadi-pribadi yang “untouchable”.) Sejak abad ke-12 Gereja Katolik Roma mulai memberlakukannya. Tradisi pembasuhan kaki ini kemudian berkembang, baik di kalangan gereja Katolik maupun Protestan.
Saya yakin, bahwa kita melakukan pelayanan pembasuhan kaki ini sebagai bentuk kemauan kita untuk mengikuti Tuhan Yesus. Yesus sendiri membasuh kaki murid-murid-Nya sebagai tanda perintah baru yang harus kita lakukan: “Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yoh. 13:34-35). Tradisi pembasuhan kaki dengan makna yang seperti inilah yang terus dilakukan oleh gereja sepanjang zaman.
Pembasuhan kaki yang dilakukan oleh Yesus dalam teks ini, menurut hemat saya, sudah di luar kewajaran:
§ Kalau di Nias, Yesus ini ibarat calon pengantin yang tidak lama lagi menikah, ada perubahan status, dalam teks tadi dikatakan: “Yesus telah tahu, bahwa saat-Nya sudah tiba untuk beralih dari dunia ini kepada Bapa” (ay. 1). Dalam situasi normal, Yesus sebenarnya tidak perlu menyibukkan diri lagi dengan “urusan cuci mencuci kaki itu”. Lagi pula, peralihan yang dimaksudkan di sini adalah dalam rangka menunjukkan bahwa Yesus itu sesungguhnya memiliki kuasa dan kemuliaan yang patut dibanggakan. Jadi, untuk apa mengotori diri dengan pembasuhan kaki tersebut?
§ Pelayanan pembasuhan kaki seyogianya dilakukan oleh budak kepada tamu/tuan, bawahan kepada atasan, atau murid kepada sang rabi/guru; bukan sebaliknya, Guru kepada murid.
§ Ada kutipan nyanyian Nias: “No nasa mesokho ba ölau nasa nasio”. Intinya adalah rasa sakit, pedih dan perih karena dikhianati oleh orang terdekat. Itulah sebenarnya yang dialami Yesus, dikhianati oleh Yudas dan Petrus.
Tetapi, begitulah cara Yohanes mengisahkan sesuatu tentang Yesus, diramu sedemikian rupa sehingga pembacanya yang masih normal pun sulit untuk memahami dan menerimanya. Hanya para pembaca yang “tidak normal”-lah yang berusaha mencari tahu makna di balik peristiwa itu, dan kemudian menerimanya sebagai bagian dari karya Allah.
Ternyata, Pertama,Yesus tidak “mabuk” dalam kebanggaan yang memang patut Dia dapatkan itu, justru sebaliknya Dia merendahkan diri serendah-rendahnya ketika Dia sudah pasti berada dalam kemuliaan-Nya tersebut. Itulah kasih!
Terkadang orang merasa terlalu terhormat untuk melakukan hal-hal yang rendah, merasa terlalu penting untuk melakukan tugas-tugas yang kasar. Tidak demikian halnya dengan Yesus. Dia tahu bahwa Dia adalah Tuhan, namun Dia justru membasuh kaki murid-murid-Nya.
Kedua, Di antara rombongan Yesus itu tidak ada yang berstatus budak, semuanya bos, paling tidak ‘nge-bos’. Sementara itu, seharusnya ada yang membasuh kaki mereka, dan tradisinya adalah bahwa para murid haruslah membasuh kaki Rabi/Guru. Namun, Yesus melakukan hal yang sebaliknya; Dia, sebagai Guru, membasuh kaki murid-murid-Nya. Apakah ini hanya sekadar “pencitraan”, atau karena tidak ada seorang pun dari murid yang berinisiatif membasuh kaki sang Guru, atau mengapa? Ternyata, kebanggaan dan kemuliaan Yesus adalah ketika Dia merasa dekat dengan Bapa-Nya (karena sebentar lagi akan beralih dari dunia kepada Bapa), dan kedekatan dengan Sang Bapa itu mendorong Dia untuk melayani para murid dalam kerendahan hati.
Orang semakin dekat dengan Allah akan membawa dia semakin dekat dengan sesama. Semakin dekat dengan Allah, semakin sering berjumpa dengan Allah, akan mendorong tumbuhnya kepekaan/solidaritas/pelayanan terhadap sesama, bukan sebaliknya. Maka, sangatlah mengherankan kalau semakin tinggi status/tingkat seseorang, tetapi semakin lebar juga jurang pemisah di antara mereka; kalau bisa, dia malah memperdalam dan memperlebar lagi jurang/gap pemisah itu, sehingga sesamanya yang statusnya lebih rendah tidak mungkin lagi melewatinya. Jangankan orang lain, dia sendiri pun kadang bingung dengan gap yang tadinya dia buat sendiri. Jangankan membasuh kaki, melakukan tugas-tugas asrama saja, wah ... gengsi gede-gedean.
Ketiga, Yesus tahu betul bahwa Dia akan dikhianati oleh orang-orang dekat-Nya, Yudas dan Petrus; tetapi Dia tidak terjebak dalam perasaan sakit hati yang buta, benci dan dendam yang menghabiskan energi. Dalam kemanusiaan-Nya Yesus tahu betul betapa menyakitkan dikhianati oleh orang dekat, tetapi dalam kesakitan itu kasih Yesus semakin besar kepada manusia.
Adalah hal yang wajar kalau kita marah terhadap orang yang telah berbuat salah kepada kita; wajar kalau kita membenci orang yang telah menghina dan menyakiti kita; wajar kalau kita menyindir dengan segala cara/metode orang yang sudah mengecewakan kita. Namun, Yesus justru menghadapi luka yang paling menyakitkan dan pengkhianatan itu dengan kerendahan hati yang paling besar dan kasih yang tiada bandingannya. Ini namanya “MENCINTA HINGGA TERLUKA” (bukan MENCINTA HINGGA BABAK BELUR).
Pelayanan pembasuhan kaki, pada satu sisi merupakan bentuk pelayanan kita satu terhadap yang lain, sekaligus bentuk keterbukaan kita dalam menerima sesama dan pelayanan yang ditujukan kepada kita, kedua-duanya dalam kasih dan kerendahan hati. Melayani sesama saja tidak cukup, mesti diikuti dengan kesediaan kita menerima yang lain (sama seperti Petrus yang pada awalnya enggan menerima pembasuhan kaki yang dilakukan Yesus kepadanya). Di sinilah ada relasi timbal-balik; dan inilah kebanggaan dan kemuliaan kita, SALING MELAYANI DAN MENERIMA DALAM KASIH DAN KERENDAHAN HATI.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?