Sunday, January 31, 2021

Ada Kuasa dalam Perkataan-Nya (Lukas 4:31-37)

Rancangan Khotbah Minggu, 31 Januari 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


31 Kemudian Yesus pergi ke Kapernaum, sebuah kota di Galilea, lalu mengajar di situ pada hari-hari Sabat. 32 Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, sebab perkataan-Nya penuh kuasa. 33 Di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan dan ia berteriak dengan suara keras: 34 “Hai Engkau, Yesus orang Nazaret, apa urusan-Mu dengan kami? Engkau datang hendak membinasakan kami? Aku tahu siapa Engkau: Yang Kudus dari Allah.” 35 Tetapi Yesus menghardiknya, kata-Nya: “Diam, keluarlah dari padanya!” Dan setan itupun menghempaskan orang itu ke tengah-tengah orang banyak, lalu keluar dari padanya dan sama sekali tidak menyakitinya. 36 Dan semua orang takjub, lalu berkata seorang kepada yang lain, katanya: “Alangkah hebatnya perkataan ini! Sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan merekapun keluar.” 37 Dan tersebarlah berita tentang Dia ke mana-mana di daerah itu.

Pada ayat-ayat sebelumnya, Yesus diusir dari kampung halaman-Nya di Nazaret saat Dia memberitakan Injil Kerajaan Allah kepada mereka dan memberitahukan siapa Dia sebenarnya, Mesias (lih. Luk. 21-30). Orang-orang dari kampung halaman-Nya sendiri tidak mengakui siapa Dia. Namun demikian, hari ini kita melihat pengakuan yang luar biasa dari mereka yang tidak percaya kepada-Nya dan tunduk kepada-Nya di Nazaret. Mereka takjub mendengar pengajaran-Nya, dan semakin takjub melihat tindakan-Nya yang membebaskan seorang yang kerasukan setan hanya dengan kata-kata saja. Orang-orang yang melihat dan mendengar Yesus sadar dan takjub bahwa ternyata “ada kuasa di dalam perkataan Yesus”, tidak seperti para pemimpin atau para rabi agama Yahudi. Mengapa perkataan Yesus penuh dengan wibawa dan kuasa? Karena Yesus memiliki otoritas ilahi yang membedakan Dia dari para pemimpin/rabi agama Yahudi lainnya.

Ada kuasa dalam perkataan Yesus ketika Dia mengajar, dan itu yang dirasakan oleh para pendengar-Nya. Kita tidak tahu apa saja yang disampaikan oleh Yesus dalam ajaran-Nya yang penuh dengan kuasa tersebut (ay. 31). Seterusnya, ada kuasa dalam perkataan Yesus ketika Dia membebaskan seorang yang kerasukan setan. Pada zaman itu, kerasukan setan atau roh jahat merupakan momok yang cukup menakutkan. Roh jahat pernah disebut sebagai legion, suatu nama yang identik dengan legium Romawi sekitar abad ke-2 SM, suatu pasukan (kelompok tentara) yang amat menakutkan dan telah meninggalkan luka traumatis bagi masyarakat. Tetapi, kedatangan Yesus telah mendatangkan harapan baru, harapan yang membuat mereka takjub di tengah-tengah situasi yang sulit. Setelah sekian lama mereka menantikan ‘pembebasan’, kini Yesus datang memberitakan kabar sukacita tersebut, kabar baik kepada orang-orang miskin, berita pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, pembebasan orang-orang yang tertindas, dan berita tahun rahmat Tuhan (lih. Luk. 4:18-19). Pada teks khotbah hari ini, diberitakan, bahwa Yesus menunjukkan salah satu contoh ‘pembebasan’ dimaksud melalui pembebasan seorang yang kerasukan setan.

Ada yang menarik dari kisah pembebasan orang yang kerasukan setan ini, dan kita dapat berefleksi dari kisah tersebut:

Pertama, disebutkan bahwa “di dalam rumah ibadat itu ada seorang yang kerasukan setan”. Apa? Rumah ibadat mestinya menjadi simbol kehadiran Tuhan di tengah-tengah umat-Nya, simbol sukacita dan pembebasan. Tetapi, kini seorang yang kerasukan setan itu berada dalam rumah ibadat, tempat yang diakui sebagai ‘rumah Tuhan” tersebut. Ini jelas menjadi pukulan telak bagi para pemimpin agama Yahudi, atau para pemimpin di rumah ibadat pada waktu itu. Rumah ibadat menjadi tempat yang ‘nyaman’ bagi ‘setan’ untuk memasuki diri/hidup manusia. Ironis memang kalau ternyata rumah ibadat telah menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang yang ‘kesetanan’, termasuk para pemimpin agama/ibadah yang mungkin juga ‘kesetanan’ mendengar pengajaran Yesus yang penuh dengan wibawa dan kuasa itu. Ingat peristiwa sebelumnya, ketika Yesus membaca kitab nabi Yesaya di rumah ibadat di Nazaret (Luk. 4:16-19), kemudian Yesus menyatakan siapa diri-Nya sebenarnya (Luk. 4:21), semua orang yang ada di rumah ibadat itu sangat marah dan mereka menghalau Yesus ke luar kota dan membawa Dia ke tebing gunung, tempat kota itu terletak, untuk melemparkan Dia dari tebing itu (Luk. 4:22, 28-30). Inilah contoh kasus di mana rumah ibadat telah menjadi tempat yang nyaman bagi orang-orang yang kesetanan pada waktu itu. Tetapi, kini, seperti disebutkan dalam teks khotbah hari ini, Yesus membebaskan seorang yang kerasukan setan di rumah ibadat di Kapernaum. Ini jelas berita sukacita yang besar bagi dunia, bagi orang-orang yang dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati menerima Yesus dalam hidupnya. Ada kuasa dalam perkataan Yesus, dan kuasa itu sungguh-sungguh membebaskan.

Kita tidak tahu persis mengapa rumah ibadat pada waktu itu telah menjadi tempat yang ‘nyaman’ bagi orang(-orang) yang kesetanan. Rumah ibadat tidak kekurangan para pemimpin agama, dan kegiatan-kegiatan ritual keagamaan berjalan lancar. Tetapi, ternyata itu semua tidak menjamin datangnya pembebasan dalam kehidupan umat, justru sebaliknya mereka kesetanan, bahkan para pemimpin agama pun seperti kesetanan ketika Yesus datang memberitakan kabar baik di rumah ibadat. Kita pun mestinya berefleksi secara mendalam di sini, apakah rumah ibadat kita hari ini telah menjadi tempat yang ‘nyaman’ bagi orang-orang yang kesetanan, atau sebaliknya tempat yang sungguh-sungguh mendatangkan sukacita pembebasan bagi jemaat. Sejauh manakah rumah ibadat kita menolong jemaat melewati masa-masa sulit mereka, menolong mereka terbebas dari berbagai luka traumatis mereka? Yesus datang membebaskan orang yang kerasukan setan di rumah ibadat, dan semua orang takjub melihat peristiwa tersebut. Ternyata, ada kuasa dalam perkataan Yesus, perkataan yang sungguh-sungguh membebaskan.

Kedua, disebutkan bahwa ‘setan’ (roh jahat) yang ada dalam diri orang tersebut sangat mengenal Yesus sebagai orang Nazaret, dan malah mengakui Yesus sebagai ‘Yang Kudus dari Allah’ (ay. 34). Pada peristiwa sebelumnya, di rumah ibadat di Nazaret (lih. Luk. 4:16), orang-orang kampung halaman-Nya di Nazaret tersebut, tidak mengakui Yesus, mereka malah menolak dan mengusir-Nya. Tetapi, sekarang, sosok yang telah kerasukan setan itu, justru sangat mengenal dan mengakui ‘keilahian’ Yesus. Narasi ini jelas menjadi pukulan memalukan bagi orang-orang Nazaret yang telah menolak Yesus di tempat mereka. Ironis memang, setan pun malah lebih mengenal dan mengakui Yesus daripada manusia ‘beragama’. Ini tidak berarti bahwa kita mesti menjadi seperti setan untuk mengenal dan mengakui Yesus. Setan itu pun malah diusir, tetapi paling tidak peristiwa tersebut (seharusnya) menjadi ‘cambuk’ bagi manusia yang ‘menolak’ Yesus sebagai Tuhan yang membebaskan. Sangatlah memalukan kalau orang-orang yang mengaku beragama perilakunya justru lebih ‘setan dari setan’. Orang-orang Nazaret di rumah ibadat mengusir Yesus, sebaliknya Yesus justru mengusir setan di rumah ibadat di Kapernaum. Betapa degilnya hati orang-orang yang mengaku beragama di Nazaret itu.

Benarlah sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa “beragama belum tentu ber-Tuhan”. Fenomena seperti ini banyak terjadi hingga hari ini, termasuk di kalangan orang Kristen, ‘beragama tetapi tidak ber-Tuhan’. Di dunia ini kita tidak kekurangan orang-orang yang beragama, sayangnya banyak yang hanya mabuk agama, tetapi miskin kemanusiaannya. Lihatlah betapa ritus-ritus keagamaan kita masih dapat dilakukan bahkan pada masa-masa pandemi Covid-19 ini. Lihatlah rumah-rumah ibadat kita yang berdiri dengan megah, termasuk di masa-masa sulit karena pandemi Covid-19 ini. Kita patut berbangga dengan itu, sebab pandemi Covid-19 tidak mampu menghentikan kita dari kegiatan ibadah ritual keagamaan kita, bahwa kesulitan ekonomi tidak mampu menghentikan kita dari berbagai acara yang mungkin saja menghabiskan banyak uang, termasuk pembangunan rumah ibadat yang megah. Tetapi, sejauh manakah semuanya itu menolong kita merasakan dan mengalami kehadiran Yesus dalam hidup kita? Sejauh manakah semuanya itu menolong kita terbebas dari berbagai kuasa kegelapan, kuasa setan, kuasa roh jahat, yang dapat mewujud dalam perbuatan yang tidak baik? Sejauh manakah gereja kita mendatangkan sukacita pembebasan bagi dunia ini, secara khusus bagi orang-orang di sekitar kita? Sejauh manakah kegiatan-kegiatan gerejani kita sungguh-sungguh merefleksikan kesederhanaan dan keamanan dari Covid-19? Bukankah kita bisa melakukannya secara virtual yg jelas jauh lebih sederhana dan aman? Bukankah selama ini kita menyerukan spiritualitas yang sederhana dengan istilah keugaharian? Atau, jangan-jangan kehadiran kita malah menjadi momok yang menakutkan bagi keluarga, bagi masyarakat, dan bagi siapa pun? Tetapi, orang-orang yang telah menerima Yesus, akan merasakan kuasa-Nya. Sungguh, ada kuasa dalam perkataan Yesus, kuasa yang membebaskan kita semua.

--- selamat berefleksi ---

Saturday, January 16, 2021

Berjumpa dengan Yesus, Percaya kepada-Nya (Yohanes 1:43-51)

Rancangan Khotbah Minggu, 17 Januari 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


43 Pada keesokan harinya Yesus memutuskan untuk berangkat ke Galilea. Ia bertemu dengan Filipus, dan berkata kepadanya: “Ikutlah Aku!”
44 Filipus itu berasal dari Betsaida, kota Andreas dan Petrus.
45 Filipus bertemu dengan Natanael dan berkata kepadanya: “Kami telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret.”
46 Kata Natanael kepadanya: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?”
47 Kata Filipus kepadanya: “Mari dan lihatlah!” Yesus melihat Natanael datang kepada-Nya, lalu berkata tentang dia: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!”
48 Kata Natanael kepada-Nya: “Bagaimana Engkau mengenal aku?” Jawab Yesus kepadanya: “Sebelum Filipus memanggil engkau, Aku telah melihat engkau di bawah pohon ara.”
49 Kata Natanael kepada-Nya: “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!”
50 Yesus menjawab, kata-Nya: “Karena Aku berkata kepadamu: Aku melihat engkau di bawah pohon ara, maka engkau percaya? Engkau akan melihat hal-hal yang lebih besar dari pada itu.”
51 Lalu kata Yesus kepadanya: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.”


Kita sebaiknya memahami teks ini dengan cermat, apalagi kalau dihubungkan langsung dengan tema Minggu, 17 Januari 2021, Tuhan mengenalmu. Mengapa? Sebab, bisa saja muncul khotbah yang mengintimidasi jemaat kalau hanya berfokus pada tema “Tuhan mengenalmu”, yang sepintas sesuai dengan perkataan Yesus di ayat 48. Ada godaan besar untuk ‘mengintimidasi’ jemaat bahwa Tuhan mengenal apa pun yang dia lakukan, biasanya dihubungkan dengan perbuatan jahat.

Benar bahwa Tuhan mengenal setiap jemaat, mengenal apa pun yang kita lakukan. Saya percaya dengan kemahatahuan Allah, tidak ada yang tersembunyi di hadapan-Nya. Tetapi, kalau pun teks khotbah hari ini digiring hanya pada tema “Tuhan mengenalmu”, maka dari perkataan Yesus di ayat 48, tidak ada indikasi bahwa yang dikenal oleh Tuhan pada diri Natanael adalah perbuatan jahatnya. Dengan jelas tampak bahwa Yesus melihat Natanael di bawah pohon ara. Perkataan ini pun memiliki korelasi dengan perkataan Yesus sebelumnya tentang Natanael di ayat 47: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” Jadi, justru amat positif. Itulah sebabnya, kita mesti hati-hati memahami teks ini, supaya kita jangan terjebak dalam khotbah yang justru mengintimidasi warga jemaat. Secara teologis, Allah memang mengenal segala perbuatan yang kita lakukan, termasuk perbuatan jahat, tetapi teks ini tidak berbicara tentang itu.

Ucapan-ucapan Yesus kepada Natanael dalam teks ini merupakan kelanjutan dari sikapnya yang skeptis atas informasi yang disampaikan oleh Filipus kepadanya, yaitu bahwa mereka telah menemukan Dia, yang disebut oleh Musa dalam kitab Taurat dan oleh para nabi, yaitu Yesus, anak Yusuf dari Nazaret (ay. 45). Alih-alih percaya, Natanael malah bertanya: “Mungkinkah sesuatu yang baik datang dari Nazaret?” (ay. 46). Pertanyaan Natanael ini cukup menohok, mengindikasikan ketidakmungkinan munculnya yang baik dari Nazaret. Kita tidak tahu persis apa maksud Natanael dengan pertanyaannya ini. Ada yang beranggapan bahwa pada zaman itu ada semacam persaingan antar kota atau antar wilayah, sehingga orang yang berasal dari satu kota/wilayah tidak akan memuji kota/wilayah lainnya. Kebetulan, Natanael berasal dari kota Kana, dan sekarang dia berbicara tentang Nazaret, dan dia tidak bisa memujinya. Ada juga anggapan yang mengatakan bahwa pada waktu itu secara umum hampir semua kota/wilayah di daerah Yudea cukup bobrok, termasuk Nazaret. Anggapan lain yang tampaknya lebih mudah diterima adalah bahwa pada waktu itu kota Nazaret merupakan kota kecil yang terpinggirkan, sehingga kesan orang tentang kota ini cukup negatif. Ada semacam pelabelan negatif (stigma) atas kota ini, dan stigma itu sudah menjadi konsumsi publik, termasuk Natanael. Jadi, Natanael merasa heran atau merasa aneh saja kalau Yesus yang telah dinubuatkan dalam kita PL berasal dari Nazaret. Sebenarnya, dalam kata-kata Natanael ini tersirat pengakuan bahwa Yesus adalah sesuatu atau seseorang yang baik, dan menurut pemahaman Natanael yang dipengaruhi oleh stigma negatif tadi, tidak mungkin yang baik itu berasal dari Nazaret.

Filipus pun tidak berdebat dengan Natanael, mungkin dia menganggap bahwa pertanyaan tersebut wajar saja. Sebaliknya, dia mengajak Natanael untuk melihat sendiri Yesus yang berasal dari Nazaret tersebut. William Barclay pernah mengatakan bahwa satu-satunya cara untuk meyakinkan seseorang tentang supremasi Kristus adalah dengan menghadapkan dia dengan Kristus. Alhasil, Natanael berjumpa dengan Yesus, dan malah Yesus memberikan semacam pujian tentang dia: “Lihat, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya!” (ay. 47). Yesus mengakui kejujuran Natanael yang mengakui langsung kondisi riil umat Israel secara umum pada waktu itu, sulit menemukan hal yang baik dalam diri mereka. Selain itu, Yesus mengapresiasi kejujuran Natanael yang sebenarnya secara tersirat mengakui bahwa Yesus itu baik, dan “tidak mungkin ‘Yesus yang baik’ itu berasal dari Nazaret” (yang tidak baik).

Nah, menanggapi parkataan Yesus di ayat 47 tadi, Natanael pun penasaran. Dia ingin tahu dan bertanya kepada Yesus: “Bagaimana Engkau mengenal aku?” (ay. 48a). Lihatlah, perjumpaan dengan Yesus mengubahkan hidup Natanael, mengubah menjadi lebih baik. Tadinya, Natanael bersikap skeptis ketika mendengar informasi tentang Yesus dari Filipus, tetapi sekarang, setelah berjumpa dengan Yesus, sikapnya berubah, dari sikap yang tidak peduli (skeptis) menjadi sikap yang ingin tahu, dan ini merupakan tanda awal kepercayaannya kepada Yesus. Lalu, Yesus pun memberitahu bagaimana Dia mengenal Natanael, bahwa “sebelum Filipus memanggil dia, Yesus telah melihatnya di bawah pohon ara” (ay. 48b). Kata-kata Yesus ini merupakan pengantar pada hal besar yang hendak Dia sampaikan nanti kepada Natanael di ayat 51. Yesus telah melihat Natanael sebelum Filipus memanggil dia, padahal Natanael merasa belum pernah bertemu dengan Yesus sebelumnya. Ini sungguh luar biasa, suatu kemampuan supernatural yang (dalam pandangan Natanael) tidak mungkin dimiliki oleh manusia biasa. Tetapi, inti perkataan Yesus bukan di sini; pesan pentingnya bukan pada tema tentang Yesus (telah) melihat/mengenal Natanael (sebelum Filipus memanggilnya). Sekali lagi, kata-kata Yesus ini merupakan pengantar kepada berita eskatologis yang amat besar di ayat 51 nanti.

Ketakjuban Natanael atas ‘kemampuan supernatural’ Yesus yang telah melihatnya di bawah pohon ara, semakin menguatkan sikapnya yang sudah berubah tadi, dan kini dia sampai pada pengakuan atas diri Yesus: “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel!” (ay. 49). Di sini, Natanael menyebutkan tiga gelar Yesus sekaligus: Rabi, Anak Allah, dan Raja. Sebelumnya, Andreas telah menyebutkan gelar Yesus sebagai Mesias (Yoh. 1:41). Gelar-gelar Yesus ini memiliki sejarah dan dimensi teologis yang amat panjang, dan sulit untuk menguraikannya di sini. Intinya adalah bahwa perjumpaan dengan Yesus telah mengubahkan sikap Natanael, dan perubahan sikap itu telah menggiringnya pada kepercayaan dan pengakuan akan Yesus berasal dari Allah.

Yesus pun ‘mengoreksi’ dasar kepercayaan Natanael, yang tampaknya masih ‘terpesona’ atas kemampuan supernatural Yesus yang telah melihatnya di bawah pohon ara (lih. ay. 50a). Menurut Yesus, tidaklah baik kalau percaya kepada-Nya karena sesuatu yang tampaknya ‘menakjubkan’ (mukjizat). Itu bukanlah inti dari iman, itu bukan ukuran iman, dan itu bukan orientasi iman. Maka, Yesus mengatakan bahwa akan ada hal-hal yang lebih besar dari sekadar hal-hal supernatural tadi. Itulah yang Dia tegaskan di ayat 51: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia.” Kata-kata Yesus ini ada hubungannya dengan mimpi Yakub, yang melihat sebuah tangga yang didirikan di bumi dan ujungnya sampai di langit, dan tampak malaikat-malaikat Allah turun naik di tangga itu (Kej. 28:12). Yesus memaknai baru mimpi Yakub tersebut, dan mengarahkannya secara eskatologis kepada diri-Nya. Di sini pun Yesus menyebut gelar “Anak Manusia”, yang dapat dibaca dalam Daniel 7:13-14, di mana Anak Manusia diberikan “kekuasaan dan kemuliaan dan kerajaan” dan “suatu kekuasaan yang kekal yang tidak akan berlalu.” Artinya, hal yang terpenting adalah bahwa dengan iman kita akan melihat pemuliaan Yesus sendiri, para malaikat pun melayani Dia. Pada satu sisi, Yesus adalah sosok yang rendah hati sampai mati di kayu salib, tetapi pada sisi lain Dia kemudian dimuliakan, dan makhluk-makhluk surgawi pun menyembah Dia.

Jadi, perjumpaan dengan Yesus sesungguhnya dapat mengubah kehidupan kita menjadi lebih baik; lebih percaya pada hal-hal yang jauh lebih substansial. Kita berjumpa dengan Yesus, bahkan Dia selalu menyertai kita. Kita pun percaya kepada-Nya, yakin akan hal-hal besar yang akan kita lihat menuju pada pemuliaan Yesus.

--- selamat berefleksi ---

Saturday, January 9, 2021

Kemahakuasaan TUHAN (Mazmur 29:1-11)

Rancangan Khotbah Minggu, 10 Januari 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


1 Mazmur Daud. Kepada TUHAN, hai penghuni sorgawi, kepada TUHAN sajalah kemuliaan dan kekuatan!
2 Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, sujudlah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan!
3 Suara TUHAN di atas air, Allah yang mulia mengguntur, TUHAN di atas air yang besar.
4 Suara TUHAN penuh kekuatan, suara TUHAN penuh semarak.
5 Suara TUHAN mematahkan pohon aras, bahkan, TUHAN menumbangkan pohon aras Libanon.
6 Ia membuat gunung Libanon melompat-lompat seperti anak lembu, dan gunung Siryon seperti anak banteng.
7 Suara TUHAN menyemburkan nyala api.
8 Suara TUHAN membuat padang gurun gemetar, TUHAN membuat padang gurun Kadesh gemetar.
9 Suara TUHAN membuat beranak rusa betina yang mengandung, bahkan, hutan digundulinya; dan di dalam bait-Nya setiap orang berseru: “Hormat!”
10 TUHAN bersemayam di atas air bah, TUHAN bersemayam sebagai Raja untuk selama-lamanya.
11 TUHAN kiranya memberikan kekuatan kepada umat-Nya, TUHAN kiranya memberkati umat-Nya dengan sejahtera!


Mazmur ini merupakan himne pujian kepada TUHAN, Allah bangsa Israel. Dapat juga dikatakan bahwa mazmur ini merupakan himne anti-Baal, dewa orang Kanaan, yang dipercaya bertanggung jawab atas hujan (air) dan badai (guntur). Tentu saja kepercayaan Kanaan ini tidak dapat diterima oleh bangsa Israel, yang diwakili oleh pemazmur. Mazmur 29 menjelaskan bahwa TUHAN adalah Allah hujan dan badai yang sejati, bukan Baal, dewa Kanaan itu. Dengan demikian, mazmur ini hendak membentengi bangsa Israel dari pengaruh Baal yang begitu kuat, dengan penekanan bahwa hujan dan badai merupakan ciptaan TUHAN dan tunduk di bawah kuasa Allah Israel. Oleh sebab itu, segala kemuliaan dan penyembahan diberikan hanya untuk TUHAN saja, bukan untuk yang lain.

Pemazmur menggambarkan kemahakuasaan TUHAN Allah dengan menyebutkan kekuatan suara-Nya yang mengatasi kekuatan alam semesta, antara lain: air, guntur, dan pohon aras Libanon. Kata “suara TUHAN” (yang kuat) muncul sebanyak 7 kali dalam teks ini, yaitu di ayat 3, 4 (dua kali), 5, 7, 8, dan 9. Litani berulang ini dinyanyikan berjamaah secara berulang, dengan maksud supaya umat TUHAN sungguh-sungguh meyakini bahwa TUHANlah yang berkuasa atas segala sesuatu, dan bahwa dewa bangsa Kanaan tidak berdaya menghadapi TUHAN, serta kesombongan pohon aras Libanon tertunduk di hadapan TUHAN. Dengan kata lain, pengulangan litani ini diharapkan dapat memberikan semacam “efek afektif” umat TUHAN, sungguh-sungguh merasakan kemahakuasaan Allah. Ini mirip dengan menyanyikan suatu lagu rohani singkat tetapi berulang-ulang dalam kebaktian KKR, memengaruhi jemaat secara afektif, sehingga mereka sungguh-sungguh merasakan ‘kehadiran’ Allah dalam hidupnya.

Suara TUHAN sangat kuat mengatasi segala kekuatan apa pun yang ada di alam semesta ini. Dalam kisah penciptaan disebutkan: “Tuhan berkata, ‘Jadilah terang,’ maka ada terang” (Kej. 1:3). Dengan firman-Nya, Tuhan menciptakan cakrawala, mengumpulkan air bersama di satu tempat, menghasilkan tumbuh-tumbuhan, memasang benda-benda penerang di langit, serta menciptakan berbagai jenis binatang dan akhirnya menciptakan manusia (Kej. 1:6-27).

Demikianlah kuatnya suara TUHAN, tidak bisa dibatasi dan tidak bisa dihalangi oleh tembok apa pun, tidak bisa dihentikan oleh arus manapun, musuh-musuh-Nya tidak berdaya mendengar suara-Nya. Bagi orang percaya, suara TUHAN merupakan suara yang meneduhkan, yang mendatangkan sukacita, suara yang membuktikan penyertaan-Nya, suara yang dapat membuat segala ciptaan seperti rusa dan hutan menyembah-Nya dengan hormat dan kemuliaan. Tetapi suara TUHAN itu menjadi tanda malapetaka bagi lawan-lawan Allah, sama seperti pohon aras yang konon terkenal keras dan kuat tetapi patah dan tumbang, padang gurun pun gemetar mendengar kekuatan suara TUHAN yang tidak dapat dibendung itu.

TUHAN Allah memang amat perkasa dan penuh keagungan. Air yang besar berada di bawah kendali-Nya, entah air hujan (air dalam awan di langit), air sungai, dan air laut atau pun samudera raya yang cukup ditakuti pada zaman kuno. Air bah yang pada zaman Nuh telah menjadi momok yang begitu menakutkan dan mematikan, justru menjadi tempat TUHAN bersemayam. Kekuatan-Nya mengatasi segala kekuatan yang cukup ditakuti di langit, guntur, sebab suara TUHAN sendiri dapat menyemburkan api yang dahsyat. Ketika langit mengguntur dengan suara kerasnya, itu pertanda badai akan datang, dan para pelaut takut, tetapi suara TUHAN mengatasi semuanya itu. Suara-Nya penuh keagungan, memiliki kekuatan dan pengaruh yang amat kuat.

Di ayat 5a disebutkan bahwa suara TUHAN mematahkan pohon aras (di Libanon). Pohon aras adalah pohon terbesar dan paling berharga di wilayah itu. Pohon aras bisa mencapai ketinggian 120 kaki (36 meter) dengan diameter delapan kaki (2,5 meter). Pohon ini merupakan satu-satunya pohon di wilayah itu yang cukup besar untuk pembangunan gedung-gedung yang sangat besar, seperti istana atau kuil. Pohon ini tahan terhadap serangan serangga yang biasanya merusak kayu. Aromanya juga harum, begitu disukai dan dibanggakan pada waktu itu. Pohon ini tumbuh berlimpah di pegunungan yang tertutup salju di Libanon di sebelah utara Israel.

Namun demikian, betapa pun kuatnya, pohon aras itu tetap tunduk pada suara gemuruh TUHAN. Suara badai TUHAN bisa mematahkan bahkan menumbangkannya. Dalam teks ini, pemazmur berbicara secara metaforis, ia tidak sekadar berbicara tentang pohon. Pohon aras Libanon berfungsi sebagai metafora untuk wilayah yang pada waktu itu dijadikan sebagai tempat penyembahan Baal. Jadi, pemazmur menegaskan bahwa TUHAN tidak hanya bisa mematahkan pohon aras itu, tetapi juga bisa mematahkan dewa-dewa palsu bangsa Kanaan tersebut, menghancurleburkan kuil-kuilnya hingga berkeping-keping.

Tetapi, pemazmur tidak hanya menggambarkan kemahakuasaan TUHAN dengan penekanan pada kekalahan dewa bangsa lain dengan segala simbolnya itu. Pemazmur menegaskan bahwa kemahakuasaan TUHAN dapat membuat “gunung Libanon melompat-lompat seperti anak lembu, dan gunung Siryon seperti anak banteng” (ay. 6). Libanon dan Siryon adalah tempat di utara Israel yang dipenuhi dengan pemujaan Baal. Mereka tampak perkasa dan tidak tergoyahkan, tetapi mereka akan menari ketika TUHAN berbicara. Baal adalah dewa badai Kanaan, yang dikenal sebagai “Penunggang Awan” dan sering digambarkan dengan tongkat di satu tangan dan tombak petir di tangan lainnya.

Jadi, mazmur ini menggunakan metafora air, guntur, dan pohon aras untuk menggambarkan kekuasaan TUHAN atas negara Baal dan mereka yang menyembah Baal. Pemazmur juga menggambarkan suara TUHAN menggunakan petir untuk membentuk kembali hutan (atau wilayah Baal) sesuai dengan rancangan yang dimaksudkan-Nya. Suara TUHAN mengguncang hutan belantara, mengguncang padang gurun Kadesh (ayat 8), representasi dari alam liar yang seringkali tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Tetapi, dalam tangan TUHAN semuanya itu dapat diatasi, semua tunduk kepada-Nya.

Cukup banyak dan cukup luas sebenarnya gambaran kemahakuasaan TUHAN yang hendak disampaikan dalam mazmur ini. Intinya adalah bahwa TUHAN duduk dalam takhta-Nya dan memerintah untuk selama-lamanya. Bagi TUHANlah segala pujian, hormat, dan kemuliaan.

--- selamat berefleksi ---

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...