Saturday, April 25, 2015

Kristuslah Sumber Keselamatan dan Kesaksian Kita (Kisah Rasul 4:5-12)



Bahan Khotbah Minggu, 26 April 2015
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

4:5  Pada keesokan harinya pemimpin-pemimpin Yahudi serta tua-tua dan ahli-ahli Taurat mengadakan sidang di Yerusalem
4:6  dengan Imam Besar Hanas dan Kayafas, Yohanes dan Aleksander dan semua orang lain yang termasuk keturunan Imam Besar.
4:7  Lalu Petrus dan Yohanes dihadapkan kepada sidang itu dan mulai diperiksa dengan pertanyaan ini: “Dengan kuasa manakah atau dalam nama siapakah kamu bertindak demikian itu?”
4:8  Maka jawab Petrus, penuh dengan Roh Kudus: “Hai pemimpin-pemimpin umat dan tua-tua,
4:9  jika kami sekarang harus diperiksa karena suatu kebajikan kepada seorang sakit dan harus menerangkan dengan kuasa manakah orang itu disembuhkan,
4:10     maka ketahuilah oleh kamu sekalian dan oleh seluruh umat Israel, bahwa dalam nama Yesus Kristus, orang Nazaret, yang telah kamu salibkan, tetapi yang telah dibangkitkan Allah dari antara orang mati--bahwa oleh karena Yesus itulah orang ini berdiri dengan sehat sekarang di depan kamu.
4:11     Yesus adalah batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan--yaitu kamu sendiri--,namun ia telah menjadi batu penjuru.
4:12     Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”


Sdra/i yang dikasihi Tuhan, untuk memahami sepenuhnya teks renungan kita pada hari ini, maka sebaiknya kita melihat kembali peristiwa sebelumnya yang “dipermasalahkan” oleh para pemimpin bangsa dan agama Yahudi. Dalam pasal 3, Petrus dan Yohanes naik ke Bait Allah untuk beribadah pada pukul 3 sore. Saat mereka sedang melewati Gerbang Indah, mereka bertemu dengan seorang laki-laki yang lumpuh sejak lahirnya dan setiap hari dia ada di pintu gerbang bait Allah untuk meminta sedekah (mengemis), berharap setiap orang yang ke bait Allah itu akan memberikan uang atau sejenisnya kepadanya, toh pemberian mereka itu juga bagian dari ibadah. Petrus dan Yohanes pun melihat orang lumpuh ini ketika mereka ke Bait Allah, namun alih-alih mereka memberikan orang ini “sedekah” (seperti selama ini dia harapkan), Petrus justru menyuruh dia berjalan, tentu setelah meyakinkan dia bahwa di dalam nama Yesus Kristus ada kesembuhan. Kita tidak tahu pasti reaksi awal dari orang lumpuh ini, mungkin saja dia sedikit ragu-ragu, sehingga Petrus harus memegang tangannya dan membantu dia berdiri, seterusnya dia bisa berjalan, dia menikmati dan merayakan sukacita yang luar biasa. Ketika orang-orang, yang sebelumnya tahu bahwa dia adalah orang lumpuh, melihat laki-laki tersebut berjalan, melompat-lompat dan memuji Allah, mereka berkumpul dan menanyakan apa yang sedang terjadi (Kis. 3:1-10). Petrus memanfatkan kesempatan itu untuk memberitakan tentang Yesus, memanfaatkan kesempatan tersebut untuk bersaksi tentang Kristus yang telah bangkit dan menyembuhkan (Kis. 3:11-26). Sementara ia berkhotbah, para pemimpin bangsa Yahudi, datang di tempat kejadian untuk melihat mengapa ada semacam keributan di tempat tersebut. Ketika mereka mendengar Petrus berkhotbah dan bersaksi tentang Yesus yang telah mereka disalibkan, terutama setelah mendengar tindakan Petrus dan Yohanes yang menyembuhkan orang lumpuh tadi, mereka sangat marah. Mereka semakin geram dan marah ketika mendengar dari Petrus bahwa Yesus telah bangkit dari kematian dan telah menyembuhkan yang lumpuh, sehingga dalam kemarahan yang luar biasa mereka menangkap dan memenjarakan Petrus dan Yohanes (Kis. 4:1-3). Namun, pesan Injil telah tersampaikan dan 5000 orang diselamatkan oleh kasih karunia Allah hari itu (Kis. 4:4).

Sdra/i, setelah menghabiskan satu malam di penjara, Petrus dan Yohanes dibawa di hadapandewan tertinggi agama Yahudi (Mahkamah Agama atau Sanhedrin yang didominasi oleh orang-orang Saduki yang tidak percaya akan kebangkitan orang mati) untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka menyembuhkan orang lumpuh, termasuk ajaran mereka tentang Yesus Kristus yang telah bangkit. Dengan sangat licik mereka mengajukan pertanyaan singkat: Dengan kuasa manakah atau dalam nama siapakah kamu bertindak demikian itu?" (ay. 7). Hana wa milaulau manö? Haniha zanehegö khömi wolau simanö? Para pemimpin Yahudi ini hendak mencari tahu legalitas tindakan Petrus dan Yohanes, sebab sejauh ini mereka belum memberikan surat kuasa bagi keduanya untuk mengajar dan menyembuhkan (bnd. misalnya dengan surat kuasa yang nantinya akan mereka berikan bagi Saulus ketika mengejar dan menganiaya pengikut Kristus, lih. Kis. 9:1-2). Pertanyaan para pemimpin Yahudi tersebut benar-benar menjebak, sebab ajaran agama mereka (PL) menegaskan bahwa hanya TUHAN sajalah yang memiliki kuasa untuk menyembuhkan, dan kalau ada nama lain yang disebutkan (oleh Petrus dan Yohanes) maka itu dianggap sebagai penghujatan terhadap TUHAN, dan akibatnya adalah hukuman mati (bnd. Ul. 13:1-5); dan itulah yang mereka harapkan, mencari alasan untuk menghukum Petrus dan Yohanes.

Sdra/i, walaupun pertanyaan ini sangat menjebak, namun oleh kuasa Roh Kudus, Petrus justru memanfaatkan kesempatan dan pertanyaan tersebut untuk memberitakan pesanInjil bagi para pemimpin Yahudi. Pemberitaan mereka sangat jelas, yaitu tentang seorang yang bernama Yesus yang telah mereka salibkan dan mati tetapi telah dibangkitkan oleh Allah dari antara orang mati, dan sekarang dalam nama Yesus itulah orang sakit (lumpuh) tersebut dapat disembuhkan, dan di dalam Yesus itu juga ada keselamatan, keselamatan bagi bangsa Israel, keselamatan bagi bangsa-bangsa, keselamatan bagi siapa pun yang percaya kepada-Nya. Untuk meyakinkan para pemimpin Yahudi itu, di ayat 11 Petrus mengutip satu teks dalam PL yang mereka percayai sebagai nubuatan tentang Mesias, yaitu Mazmur 118:22. Dengan mengutip Mazmur 118:22 ini, Petrus mengarahkan perkataan Daud tersebut untuk Yesus Kristus (bnd. Mat. 21:42; Mrk. 12:10; Luk. 20:17). Para pemimpin Yahudi telah menolak Yesus sebagai Mesias (dengan ungkapan “batu yang dibuang oleh tukang-tukang bangunan”), tetapi kemudian Yesus telah membuktikan bahwa Dia adalah batu penjuru. Dalam tradisi Israel, batu penjuru sangatlah penting, sebab batu penjuru itu berfungsi sebagai pengikat pada sebuah bangunan; artinya sebuah bangunan tidak akan kokoh kalau tidak diikatkan pada batu penjuru. Dalam konteks dan pemahaman seperti ini, Petrus menunjukkan bahwa tindakan dan pengajarannya tidak membawa orang jauh dari Allah, juga tidak sedang menghujat Allah, justru dia sedang memberitakan penggenapan nubuatan PL tentang Mesias, dan menegaskan bahwa keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Kristus yang adalah Mesias dimaksud (ay. 12).

Sdra/i yang dikasihi Tuhan, teks ini, pengalaman dan kesaksian Petrus dan Yohanes, hendak mengajak kita untuk mendasarkan seluruh kehidupan kita di dalam Kristus, sebab di dalam Kristuslah kita mendapatkan kesembuhan dan keselamatan. Orang yang telah berjumpa dan mengalami Kristus yang bangkit, akan mampu bersaksi bagi diri sendiri, bagi sesama, bagi si-apa pun bahwa dia telah mendapatkan keselamatan dari Kristus, dan bahwa seluruh gerak hidupnya hanya didasarkan pada Kristus yang bangkit itu. Banyak orang mencari kesembuhan, kenyamanan, dan keselamatan di dunia ini, termasuk berburu batu akik demi kesenangan, persaingan, dan juga bisnis, sampai-sampai ada orang yang tidak peduli lagi dengan keselamatan dirinya sendiri, tidak peduli lagi dengan keluarganya, dan kadang-kadang bertengkar dengan orang-orang dekatnya hanya karena mengejar kesenangan sesaat. Hadia guna tagohi zoya ngawalö na lö tobali fangohahau dödöda, hadia guna ta’eregesi dödöda wamalua soya ngawalö na lö tobali fangaro wamati dan fahasara dödöda ba khö Keriso. Zayazaya gölö! Namun, di dalam Kristus hanya ada selalu damai sejahtera, bahkan dalam ancaman, tekanan, dan masalah pun damai itu tetap ada, sebab Kristus yang menyelamatkan.

Sdra/i yang terkasih, kita juga bisa melihat dengan jelas tadi bagaimana Petrus dan Yohanes memanfaatkan kesempatan yang ada, bahkan dalam situasi terancam, untuk bersaksi tentang Kristus yang hidup, bersaksi tentang Kristus yang menang, bersaksi tentang Kristus yang menyembuhkan dan menyelamatkan. Dan, kita pun (seharusnya) hidup untuk bersaksi, menyaksikan Kristus yang menyelamatkan itu; karenanya seluruh hidup kita, seluruh gerak-gerik kita, semua perkataan kita, pergaulan kita, pelayanan kita, kegiatan kita ... haruslah dapat menjadi kesaksian tentang Kristus.

Sdra/i, hari ini kita merayakan Paskah, secara khusus para pemuda yang tergabung dalam Forum Pemuda BNKP Resort 49. Secara formal, kita terpanggil untuk menyaksikan Kristus pada hari ini, menyaksikan Kristus satu terhadap yang lain, melalui berbagai kegiatan yang kita lakukan hari ini. Perayaan ini juga kiranya menjadi kesaksian bagi orangtua kita, bagi orang-orang di sekitar kita bahwa para pemuda BNKP di resort 49 dapat bersatu dan bersekutu dalam kasih Tuhan, dan dapat menjadi agen yang mendatangkan damai sejahtera di mana pun dia berada, tobali niha solohe fa’ohahau dödö gofu heza.Namun, kesaksian kita pada hari ini harus ditindaklanjuti dalam realitas hidup sehari-hari. Para pemuda harus mampu bersaksi di mana dan kapan saja, dengan berpola hidup seperti Kristus, amuata zamati, lagulagu zamati, fariawösa ma fahuwusa zamati, feheda zamati, fa’auri zamati, da’ö ni’o’aurifagönia bongi ma’ökhö. Mengapa? Sebab, dalam Kristus ada damai sejahtera, dalam Kristus ada keselamatan, dan karena Kristus itulah maka kita berani untuk bersaksi! Dengan kuasa manakah atau dalam nama siapakah kita merayakan paskah pada hari ini? Dengan kuasa Kristus yang menyelamatkan!


[1] Bahan Khotbah Minggu, 26 April 2015, Perayaan Paskah Forum Pemuda Resort 49 BNKP Tahun 2015, oleh Pdt. Alokasih Gulö.

Saturday, April 18, 2015

Hidup Kudus: Mempertahankan Identitas Kekristenan Dalam Dunia yang Penuh Tantangan (1 Petrus 1:13-16)



Bahan Khotbah Minggu, 19 April 2015
di Gereja AMIN Jemaat Saewe, Gido
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

1:13   Sebab itu siapkanlah akal budimu, waspadalah dan letakkanlah pengharapanmu seluruhnya atas kasih karunia yang dianugerahkan kepadamu pada waktu penyataan Yesus Kristus.
1:14   Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu,
1:15   tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu,
1:16   sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.

Tema: Lowalangi no ni’amoni’ö ba ta’amoni’ö ita göi

Ada sebuah ungkapan dalam bahasa Nias “ba lahenia oroma niha”. Ungkapan ini hendak mengatakan bahwa “identitas” seseorang akan terlihat dari bekas pijakan kakinya, entah “panjang, pendek, lebar, dll”. Artinya, seseorang itu akan terlihat dari apa yang dia tunjukkan di permukaan dalam seluruh gerak hidupnya. Ungkapan ini nampaknya berlaku juga bagi orang Kristen, yang notabenenya “anak-anak Tuhan”, atau para pengikut Kristus. Identitas kita sebagai orang Kristen, sebagai anak-anak Tuhan, sebagai pengikut Kristus, atau sebagai orang-orang Kudus, akan terlihat dalam seluruh gerak hidup kita sehari-hari. Artinya, identitas kita itu akan semakin menguat atau sebaliknya semakin memudar menurut gerak hidup yang kita tampilkan.

Persoalannya adalah bahwa dewasa ini kita sedang hidup di era yang penuh tantangan. Akibatnya, di berbagai tempat, banyak orang Kristen yang tidak berdaya menghadapi tantangan hidup, dan pada akhirnya menyerah, tidak mampu lagi mempertahankan identitas kekristenannya itu, dan bahkan cenderung mengikuti arus kehidupan yang semakin hari semakin tidak jelas. Lalu, apa yang harus kita lakukan? Atau, bagaimana seharusnya kita mempertahankan iman kita dalam dunia yang penuh tantangan ini?

Untuk menanggapi/menjawab persoalan/pertanyaan ini, Petrus menyampaikan beberapa nasihat kepada para pengikut Kristus, bagi setiap orang yang telah diselamatkan oleh Kristus dalam penderitaan-Nya, bagi setipa orang yang telah dikuduskan oleh Allah. Tiga hal bisa kita lakukan untuk hidup kudus, untuk tetap mempertahankan identitas kekristenan kita dalam dunia yang penuh tantangan:
(1)  Mempersiapkan akal budi (ay. 13)
Petrus hendak mengatakan kepada para pengikut Kristus bahwa mereka harus siap menghadapi berbagai cobaan yang mungkin saja sangat berat. Jemaat Tuhan tidak boleh merasa puas dengan iman yang nampkanya kuat selama ini tetapi belum teruji, tidak boleh terlena dengan berbagai kemudahan dan berkat selama ini sehingga kita menjadi santai dan bermalas-malasan. Orang Kristen harus berpikir dan bergumul setiap saat untuk siap sedia menghadapi berbagai tantangan yang muncul, salah satunya dengan menyingkirkan hal-hal yang tidak penting dalam hidup ini. Na amaedola gö, böi tarörö ita ba hua ba böi tarörö ita ba kua, ösinia ni’ofaönai’öda ma nisia’agöda. So zi lö moguna ba gotalua zoya ngawalö, ba so zabölö moguna ba gotalua zoguna. Sabölö moguna nisia’agöda.
(2)  Waspada (ay. 13)
Kata “waspada” dalam teks ini berarti harus menjauhkan diri dari kemabukan, tetapi bisa juga berarti memantapkan diri dalam pikiran-pikiran. Orang Kristen tidak boleh mabuk, baik akibat minuman yang memabukkan maupun akibat pikiran-pikiran atau maksud-maksud yang memabukkan. Dari waktu ke waktu banyak orang Kristen yang mudah terbawa arus kehidupan yang nampaknya menyenangkan namun menjerumuskan. Kita juga bisa menyaksikan adanya orang Kristen yang tiba-tiba memiliki semangat yang berapi-api dalam kegiatan tertentu, tetapi ketika ada tantangan maka terjadi kemunduran, hulö galitö niwuwui idanö, hulö lagata’ö nono mbago. Banyak orang Kristen yang juga ikut-ikutan dalam kebiasaan dunia ini, katanya biar tidak ketinggalan zaman, gaul terus (sampai-sampai yang ubanan pun gaul). Demikianlah kehidupan orang-orang yang dikuasai oleh hawa nafsu (ay. 14), hidup menurut seleranya dan keinginannya sendiri, hidup untuk memuaskan hasratnya, hidup yang konsumeris dan hedonistis. Hadia zalua, tenga hadia zi tola u’a, hiza i haniha zi tola u’a.

Di sini, Petrus menasihati kita semua untuk tetap mempertahankan kekokohan iman, mempertahankan identitas kekristenan kita dalam dunia yang penuh tantangan, dalam dunia yang penuh daya tarik.
(3)  Meletakkan pengharapan kita seluruhnya pada kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita pada waktu penyataan Yesus Kristus. Inilah salah satu ciri khas orang Kristen, yaitu bahwa kita hidup dalam pengharapan. Hidup dalam pengharapan inilah yang dapat memampukan kita bertahan menghadapi berbagai tantangan dan pencobaan pada masa kini. Seseorang dapat bertahan dalam perjuangan, berusaha dan berjerih payah untuk menjalani kehidupannya, bahkan dalam penderitaan sekali pun, hanya jika dia merasa yakin bahwa semuanya itu dapat membawanya pada suatu kepastian, yaitu bahwa perjuangan iman tidak pernah sia-sia. Sebaliknya, orang Kristen yang tidak yakin atau ragu-ragu, pada awalnya mungkin berjuang dengan gigih, tetapi lama kelamaan semangat hidupnya semakin memudar, dan akhirnya ciri khasnya sebagai orang Kristen tidak nampak sama sekali. Orang yang tidak hidup dalam pengharapan sesungguhnya menjalani kehidupannya dalam kebodohan (ay.14), sebab dia mengenal Allah hanya dalam kuasa dan misteri-Nya, tetapi tidak mengenal-Nya dalam kasih. Tobini khönia wa no Lowalangi solomasi Zo’aya ya’ita Yesu Keriso, lualuania taya wanötönania ba khö Keriso andrö. Hidup yang dijalani tanpa pengharapan dan tujuan yang jelas adalah sia-sia.

Orang yang hidup dalam pengharapan akan mampu mensyukuri segala kasih karunia yang telah diterimanya, bahkan termasuk penderitaan, sebab di Filipi 1:29 Rasul Paulus mengatakan: “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia”. Artinya, mengikut Kristus bukan hanya dalam sukacita, melainkan juga dalam penderitaan, kesulitan, kesusahan, bahkan kematian.

Saudara/i yang terkasih, kita adalah umat pilihan Tuhan, umat-Nya yang kudus. Kudus berarti berbeda. Orang Kristen disebut kudus karena memang berbeda dari yang lain, yaitu bahwa kita adalah milik Allah yang dipilih-Nya sendiri untuk suatu tugas ilahi di dunia, dan dipilih untuk hidup bagi Allah di dunia ini. Hal ini akan terlihat dalam ketaatan kita akan hukum-hukum Allah (ay. 14-16), bukan menurut selera kita sendiri. Orang Kristen adalah manusia yang kehidupannya dipenuhi oleh Kristus. Kehidupannya pun berbeda, ber-identitaskan Kristen. Sekali pun ada banyak tantangan dan ada banyak hal-hal yang menarik di dunia ini, tetapi orang Kristen sejati pasti mampu mempertahankan identitasnya sebagai orang kudus pilihan Allah.



[1] Bahan Khotbah Minggu, 19 April 2015, di Gereja AMIN Jemaat Saewe, Gidö, dalam rangka kunjungan dan sosialisasi STT BNKP Sundermann, Pdt. Alokasih Gulö, M.Si.

Monday, April 13, 2015

Meresponi Misteri Karya Allah dengan Pembaharuan Hidup Seutuhnya (Roma 11:33 – 12:8)



Bahan Khotbah Jumat Agung, 3 April 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si[1]

11:33 O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!
11:34 Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?
11:35 Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya?
11:36 Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
12:1   Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
12:2   Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
12:3   Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.
12:4   Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,
12:5   demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.
12:6   Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.
12:7   Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar;
12:8   jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.

Teks renungan kita pada hari ini (dan ayat-ayat di sekitarnya) berbicara tentang misteri karya Allah dalam ketidaktaatan manusia, dan bagaimana seharusnya kita meresponi misteri karya-Nya itu. Pertama-tama, Paulus menunjukkan bahwa walaupun Kristus telah datang ke dunia hingga mati di kayu salib, namun selalu ada saja manusia (termasuk umat Israel) yang justru menunjukkan ketidaktaatan mereka kepada Allah. Namun, menurut Paulus, Allah tidak menyesali ketidaktaatan manusia tersebut, Dia justru menggunakan ketidaktaatan itu untuk semakin menyatakan kemurahan-Nya kepada orang yang masih membutuhkan kemurahan itu (bnd. ay.30-31). Dengan kata lain, dalam ketidaktaatan itu Allah justru menunjukkan kemurahan-Nya (bnd. ay. 32). Mungkin ada orang yang mempertanyakan atau malah menjadi bingung akan sikap atau keputusan Allah ini. Orang yang tidak taat bisa saja merasa “bangga” atau “bermegah” dalam ketidaktaatannya itu, toh Tuhan akan menunjukkan kemurahan-Nya nanti, dan hal ini akan mendorong mereka untuk terus hidup dalam ketidaktaatan. Sementara itu, orang lain yang taat, bisa saja merasa tidak ada gunanya hidup taat, toh sama saja dengan mereka yang tidak taat, sama-sama menerima kemurahan Allah. Tunggu dulu, masih ada lagi yang lebih membingungkan atau mungkin menggelisahkan kita. Bagaimana mungkin Yesus yang kita percaya sebagai Tuhan itu mati di kayu salib?  Apakah itu artinya Tuhan mati? Bagaimana mungkin Tuhan yang kita percaya telah memberitakan kemurahan dan keselamatan dari Allah justru mati dengan cara yang sama dengan kematian penjahat/pemberontak melalui penyaliban itu? Ah, ada-ada saja, aneh bin ajaib!

Namun, Paulus melihat ini semua sebagai misteri karya Allah yang sangat dalam, yang tidak mampu diselami oleh manusia. Paulus sendiri tidak berusaha memberi penjelasan memuaskan tentang misteri karya Allah tersebut, sebab menurutnya tidak ada seorang pun yang mampu menyelaminya, tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskannya, dan tidak ada seorang pun yang mampu mempengaruhi hikmat, pengetahuan, dan keputusan Allah (ay. 33-35). Sikap Allah itu mutlak, tidak boleh diganggu gugat oleh si-apa pun, sudah final dan mengikat hingga selama-lamanya (ay. 36). Sebaliknya, Paulus mengajak kita untuk memuji sekaligus mengakui misteri karya Allah tersebut, yaitu bahwa Allah dalam kemurahan-Nya berkenan menyelamatkan orang-orang yang pada awalnya tidak diperhitungkan dalam keselamatan Israel. No edöna Lowalangi ba wa’ebua dödö-Nia andrö wangorifi dozi niha si lö irai so ba “gahe zura” wangorifi luo no.

Lalu, bagaimana kita seharusnya meresponi sikap, tindakan atau karya Allah yang penuh misteri itu? Bagaimana kita seharusnya meresponi kemurahan hati Allah tersebut? Bagaimana kita meresponi kekayaan, hikmat, pengetahuan, dan keputusan Allah yang tak terselidiki dan tak terselami oleh akal manusia itu? Apakah kita bermegah di dalamnya apalagi dalam ketidaktaatan kita (ganuno ba wa lö molo’ö)? Apakah kita meneruskan ketidaktaatan itu sebab kemurahan Tuhan juga tetap ada (hadia tatohugö manö gamuata wa lö molo’ö andrö ena’ö falukha ita wa’ahakhö dödö Lowalangi; hadia ta’osofökhö manö ita ena’ö la’omasi’ö ma lahaogöhaogö khöda)? Atau, apakah kita patut merasa kesal dan kecewa karena ketaatan kita seolah-olah tidak berguna sebab yang tidak taat pun memperoleh kemurahan Allah tersebut (fabalö)? Tidak seperti itu!

Paulus justru mengajak kita semua untuk menjadikan misteri karya penyelamatan Allah tersebut sebagai dasar bagi kita semua untuk mempersembahkan seluruh eksistensi kita hanya kepada Tuhan. Dengan cara apa? Apakah dengan memotong atau mengambil salah satu bagian tubuh kita ini untuk kemudian dipersembahkan bagi Tuhan? Atau cukup dengan memuji Tuhan setiap saat dalam kebaktian? Cukupkah dengan melayani Tuhan? Atau seperti apa?

Bagi Paulus, mempersembahkan tubuh berarti mengalami pembaharuan hidup seutuhnya, menjadi lain dari yang lain, lain dari dunia ini, lain dari gaya hidup dunia ini, lain dari pola pikir dunia ini, lain dari mereka yang tidak mengenal Allah. Intinya, orang yang percaya bahwa dia telah menerima kemurahan Allah, wajib menunjukkan “nilai lebih” dalam seluruh gerak hidupnya, “nilai lebih” yang mengandung kebaikan dan kesempurnaan dalam Kristus, tohude ba zi sökhi, to’ese ba wa’amo’ahonoa. Sebab, kalau tidak, kalau hidup kita sama saja dengan dunia ini, apa artinya kita menjadi pengikut Kristus yang mengaku percaya kepada-Nya, dan yang mengaku telah menerima kemurahan Allah? Kalau kita tidak mampu menunjukkan “nilai lebih” dalam seluruh gerak hidup kita, lalu apa artinya kita rajin beribadah, apalagi dalam minggu-minggu sengsara ini, kebaktian di malam hari (Rabu abu, Kamis Putih), dan hari ini mengenang kematian Tuhan Yesus di kayu salib? Apa gunanya kita mengikuti perjamuan kudus kalau pada akhirnya kita tidak mampu memberi kesaksian hidup yang baik dan benar?

Mungkin saja kita bertanya, “nilai lebih” apa yang diminta oleh Paulus? Apakah dengan mengenakan pakaian “khas penderitaan dan kematian” Kristus? Apakah dengan bermuka muram karena mencoba menghayati penderitaan dan kematian Kristus? Atau seperti apa? Nilai lebih dimaksud dapat ditunjukkan dengan:
(1)   Berpikir dan menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kita (12:3). Dalam bahasa Nias dituliskan: “böi fayawa zamösana, ha ndrohundrohu, era’era zatuatua yamu’alui, dali zu’asu’a wamati andrö, nindrohugö Lowalangi ba zamösana”.
(2)   Menggunakan secara tulus karunia Allah dalam hidup kita masing-masing untuk saling menerima dan saling membangun kehidupan bersama (12:4-8). No fabö’öbö’ö mbuala ba zamösana, ba hiza no moroi khö Lowalangi fefu da’ö; andrö lö tola lö göi mu’oguna’ö ia ba wanundreheni zambua zamösana, ba ba wamasindro boto Keriso, soroi ba dödö.



[1] Khotbah Jumat Agung, 3 April 2015, di Jemaat BNKP Hebron, oleh Pdt. Alokasih Gulö.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...