Monday, April 13, 2015

Meresponi Misteri Karya Allah dengan Pembaharuan Hidup Seutuhnya (Roma 11:33 – 12:8)



Bahan Khotbah Jumat Agung, 3 April 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, S.Th, M.Si[1]

11:33 O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya!
11:34 Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya?
11:35 Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya?
11:36 Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
12:1   Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
12:2   Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.
12:3   Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi dari pada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing.
12:4   Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama,
12:5   demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain.
12:6   Demikianlah kita mempunyai karunia yang berlain-lainan menurut kasih karunia yang dianugerahkan kepada kita: Jika karunia itu adalah untuk bernubuat baiklah kita melakukannya sesuai dengan iman kita.
12:7   Jika karunia untuk melayani, baiklah kita melayani; jika karunia untuk mengajar, baiklah kita mengajar;
12:8   jika karunia untuk menasihati, baiklah kita menasihati. Siapa yang membagi-bagikan sesuatu, hendaklah ia melakukannya dengan hati yang ikhlas; siapa yang memberi pimpinan, hendaklah ia melakukannya dengan rajin; siapa yang menunjukkan kemurahan, hendaklah ia melakukannya dengan sukacita.

Teks renungan kita pada hari ini (dan ayat-ayat di sekitarnya) berbicara tentang misteri karya Allah dalam ketidaktaatan manusia, dan bagaimana seharusnya kita meresponi misteri karya-Nya itu. Pertama-tama, Paulus menunjukkan bahwa walaupun Kristus telah datang ke dunia hingga mati di kayu salib, namun selalu ada saja manusia (termasuk umat Israel) yang justru menunjukkan ketidaktaatan mereka kepada Allah. Namun, menurut Paulus, Allah tidak menyesali ketidaktaatan manusia tersebut, Dia justru menggunakan ketidaktaatan itu untuk semakin menyatakan kemurahan-Nya kepada orang yang masih membutuhkan kemurahan itu (bnd. ay.30-31). Dengan kata lain, dalam ketidaktaatan itu Allah justru menunjukkan kemurahan-Nya (bnd. ay. 32). Mungkin ada orang yang mempertanyakan atau malah menjadi bingung akan sikap atau keputusan Allah ini. Orang yang tidak taat bisa saja merasa “bangga” atau “bermegah” dalam ketidaktaatannya itu, toh Tuhan akan menunjukkan kemurahan-Nya nanti, dan hal ini akan mendorong mereka untuk terus hidup dalam ketidaktaatan. Sementara itu, orang lain yang taat, bisa saja merasa tidak ada gunanya hidup taat, toh sama saja dengan mereka yang tidak taat, sama-sama menerima kemurahan Allah. Tunggu dulu, masih ada lagi yang lebih membingungkan atau mungkin menggelisahkan kita. Bagaimana mungkin Yesus yang kita percaya sebagai Tuhan itu mati di kayu salib?  Apakah itu artinya Tuhan mati? Bagaimana mungkin Tuhan yang kita percaya telah memberitakan kemurahan dan keselamatan dari Allah justru mati dengan cara yang sama dengan kematian penjahat/pemberontak melalui penyaliban itu? Ah, ada-ada saja, aneh bin ajaib!

Namun, Paulus melihat ini semua sebagai misteri karya Allah yang sangat dalam, yang tidak mampu diselami oleh manusia. Paulus sendiri tidak berusaha memberi penjelasan memuaskan tentang misteri karya Allah tersebut, sebab menurutnya tidak ada seorang pun yang mampu menyelaminya, tidak ada seorang pun yang mampu menjelaskannya, dan tidak ada seorang pun yang mampu mempengaruhi hikmat, pengetahuan, dan keputusan Allah (ay. 33-35). Sikap Allah itu mutlak, tidak boleh diganggu gugat oleh si-apa pun, sudah final dan mengikat hingga selama-lamanya (ay. 36). Sebaliknya, Paulus mengajak kita untuk memuji sekaligus mengakui misteri karya Allah tersebut, yaitu bahwa Allah dalam kemurahan-Nya berkenan menyelamatkan orang-orang yang pada awalnya tidak diperhitungkan dalam keselamatan Israel. No edöna Lowalangi ba wa’ebua dödö-Nia andrö wangorifi dozi niha si lö irai so ba “gahe zura” wangorifi luo no.

Lalu, bagaimana kita seharusnya meresponi sikap, tindakan atau karya Allah yang penuh misteri itu? Bagaimana kita seharusnya meresponi kemurahan hati Allah tersebut? Bagaimana kita meresponi kekayaan, hikmat, pengetahuan, dan keputusan Allah yang tak terselidiki dan tak terselami oleh akal manusia itu? Apakah kita bermegah di dalamnya apalagi dalam ketidaktaatan kita (ganuno ba wa lö molo’ö)? Apakah kita meneruskan ketidaktaatan itu sebab kemurahan Tuhan juga tetap ada (hadia tatohugö manö gamuata wa lö molo’ö andrö ena’ö falukha ita wa’ahakhö dödö Lowalangi; hadia ta’osofökhö manö ita ena’ö la’omasi’ö ma lahaogöhaogö khöda)? Atau, apakah kita patut merasa kesal dan kecewa karena ketaatan kita seolah-olah tidak berguna sebab yang tidak taat pun memperoleh kemurahan Allah tersebut (fabalö)? Tidak seperti itu!

Paulus justru mengajak kita semua untuk menjadikan misteri karya penyelamatan Allah tersebut sebagai dasar bagi kita semua untuk mempersembahkan seluruh eksistensi kita hanya kepada Tuhan. Dengan cara apa? Apakah dengan memotong atau mengambil salah satu bagian tubuh kita ini untuk kemudian dipersembahkan bagi Tuhan? Atau cukup dengan memuji Tuhan setiap saat dalam kebaktian? Cukupkah dengan melayani Tuhan? Atau seperti apa?

Bagi Paulus, mempersembahkan tubuh berarti mengalami pembaharuan hidup seutuhnya, menjadi lain dari yang lain, lain dari dunia ini, lain dari gaya hidup dunia ini, lain dari pola pikir dunia ini, lain dari mereka yang tidak mengenal Allah. Intinya, orang yang percaya bahwa dia telah menerima kemurahan Allah, wajib menunjukkan “nilai lebih” dalam seluruh gerak hidupnya, “nilai lebih” yang mengandung kebaikan dan kesempurnaan dalam Kristus, tohude ba zi sökhi, to’ese ba wa’amo’ahonoa. Sebab, kalau tidak, kalau hidup kita sama saja dengan dunia ini, apa artinya kita menjadi pengikut Kristus yang mengaku percaya kepada-Nya, dan yang mengaku telah menerima kemurahan Allah? Kalau kita tidak mampu menunjukkan “nilai lebih” dalam seluruh gerak hidup kita, lalu apa artinya kita rajin beribadah, apalagi dalam minggu-minggu sengsara ini, kebaktian di malam hari (Rabu abu, Kamis Putih), dan hari ini mengenang kematian Tuhan Yesus di kayu salib? Apa gunanya kita mengikuti perjamuan kudus kalau pada akhirnya kita tidak mampu memberi kesaksian hidup yang baik dan benar?

Mungkin saja kita bertanya, “nilai lebih” apa yang diminta oleh Paulus? Apakah dengan mengenakan pakaian “khas penderitaan dan kematian” Kristus? Apakah dengan bermuka muram karena mencoba menghayati penderitaan dan kematian Kristus? Atau seperti apa? Nilai lebih dimaksud dapat ditunjukkan dengan:
(1)   Berpikir dan menguasai diri menurut ukuran iman yang dikaruniakan Allah kepada kita (12:3). Dalam bahasa Nias dituliskan: “böi fayawa zamösana, ha ndrohundrohu, era’era zatuatua yamu’alui, dali zu’asu’a wamati andrö, nindrohugö Lowalangi ba zamösana”.
(2)   Menggunakan secara tulus karunia Allah dalam hidup kita masing-masing untuk saling menerima dan saling membangun kehidupan bersama (12:4-8). No fabö’öbö’ö mbuala ba zamösana, ba hiza no moroi khö Lowalangi fefu da’ö; andrö lö tola lö göi mu’oguna’ö ia ba wanundreheni zambua zamösana, ba ba wamasindro boto Keriso, soroi ba dödö.



[1] Khotbah Jumat Agung, 3 April 2015, di Jemaat BNKP Hebron, oleh Pdt. Alokasih Gulö.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...