Saturday, December 24, 2022

Firman telah menjadi Manusia (Yohanes 1:1-14)

Bahan Khotbah Minggu Natal I, 25 Desember 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1:1 Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah.
1:2 Ia pada mulanya bersama-sama dengan Allah.
1:3 Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatupun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.
1:4 Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia.
1:5 Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya.
1:6 Datanglah seorang yang diutus Allah, namanya Yohanes;
1:7 ia datang sebagai saksi untuk memberi kesaksian tentang terang itu, supaya oleh dia semua orang menjadi percaya.
1:8 Ia bukan terang itu, tetapi ia harus memberi kesaksian tentang terang itu.
1:9 Terang yang sesungguhnya, yang menerangi setiap orang, sedang datang ke dalam dunia.
1:10 Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya.
1:11 Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.
1:12 Tetapi semua orang yang menerima-Nya diberi-Nya kuasa supaya menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya dalam nama-Nya;
1:13 orang-orang yang diperanakkan bukan dari darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang laki-laki, melainkan dari Allah.
1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran.

Pengantar
Tema awal yang sangat penting dalam tulisan Yohanes adalah “Firman yang menjadi daging” (LAI: Firman itu telah menjadi manusia). Inilah yang kemudian kita kenal sebagai Inkarnasi Allah. Firman yang telah menjadi manusia ini sejak pada mulanya bersama-sama dengan Allah (ay. 1-3), datang untuk membawa terang (4-9), dan datang serta diam di antara manusia (10-14).

Firman Bersama-sama dengan Allah (ay. 1-3)
Menurut Yohanes, Yesus telah bersama-sama dengan Allah sejak pada mulanya (sejak penciptaan). Apa yang terjadi sekarang ialah bahwa Firman Allah yang kekal itu turun ke bumi mengambil rupa manusia, “Firman menjadi daging” (telah menjadi manusia). Ini bukanlah pertama sekali Allah terlibat dalam sejarah manusia. Sebelumnya Allah telah bekerja di dunia ini melalui perjanjian, hukum, hakim-hakim, raja-raja, dan nabi-nabi. Namun sekarang Allah melibatkan diri-Nya sendiri secara langsung, sebagai Firman Allah yang menjadi (daging) manusia dan tinggal bersama manusia dalam bentuk diri manusia.

Ungkapan “Firman bersama-sama dengan Allah” (ay. 1-2) selalu didahului dengan ungkapan khas penciptaan di kitab Kejadian, yakni “pada mulanya”. Hal ini memberi indikasi kuat bahwa injil Yohanes sedang membawa pembacanya kepada tradisi penciptaan dengan “Firman” Ilahi oleh Allah, sekaligus menjawab tantangan “rasionalitas” pikiran Yunani yang mereduksi keilahian Yesus dengan menganggap-Nya tidak berasal dari “kekekalan” (pada mulanya) dan bahwa Yesus terpisah dari Allah. Penegasan ini sangat penting untuk memberikan kepastian dan atau semacam dasar kepercayaan kepada pembacanya bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah (20:31) yang memiliki kemuliaan ilahi (1:14).

Dalam semangat yang sama, Yohanes menegaskan bahwa Firman yang bersama-sama dengan Allah itu sejak pada mulanya telah “bersama-sama” (“terlibat”) dengan Allah dalam suatu aktivitas ilahi, yakni aktivitas yang daripadanya segala sesuatu dijadikan (ay. 3), atau dalam tradisi penciptaan dikenal sebagai aktivitas penciptaan dan sejarah. Apa artinya? Yaitu bahwa Firman itu adalah Allah sendiri, Allah yang sudah ada sejak pada mulanya, Allah yang bergerak atau terlibat dalam medan sejarah “alam semesta”, Allah yang membuat segala sesuatu ada, dan karenanya Dia jugalah yang menata alam semesta ciptaan-Nya itu.

Firman itu Membawa Terang (ay. 4-9)
Dengan sangat hati-hati penulis injil ini menegaskan bahwa Yohanes bukanlah terang, dia hanyalah utusan Allah, saksi yang memberi kesaksian tentang terang itu (ay. 4-5). Sekarang, Yohanes menyampaikan kesaksiannya tentang logos itu, tentang terang tersebut.

Baiklah, Firman itu memang bersama-sama dengan Allah sejak pada mulanya, namun apa maknanya bagi para pembaca Yohanes? Apa dampak yang dihasilkan oleh Firman itu? Atau, pertanyaan yang lebih sederhana adalah mengapa Allah (harus) menjadi manusia? Karena dunia telah jatuh ke dalam kegelapan, sehingga dunia ini membutuhkan terang (bnd. ay. 5). Artinya, Allah menjadi manusia untuk membawa terang ke dunia yang telah dipenuhi oleh kegelapan. Dengan demikian, Allah datang untuk melawan kegelapan, dan itulah maksud utama dari kelahiran Yesus menurut Injil Yohanes. Dengan maksud ini kita diyakinkan bahwa di dalam Yesus ada terang yang memberi kehidupan, Dialah yang menerangi setiap orang bahkan yang ada di dalam kegelapan, dan itulah maksud kedatangan-Nya ke dalam dunia (ay. 9). Firman (logos) itu berasal dari kekekalan, sedangkan kegelapan itu tidaklah abadi. Di sini tersirat penegasan bahwa Yesus telah diberikan otoritas untuk menerangi kegelapan, sama seperti kuasa yang dimiliki-Nya untuk menghakimi (lih. 5:27). Sekarang, mau berjalan di mana? Dalam terang atau dalam kegelapan?

Firman itu Datang dan Diam di antara Manusia (ay. 10-14)
Namun, penulis Injil Yohanes tidak berhenti pada sesuatu yang abstrak, tidak berhenti pada suatu ide yang kedengarannya manis dan menjanjikan. Yohanes kemudian membuatnya lebih konkret, pertama-tama menegaskan bahwa kita semua dijadikan sebagai anak-anak Allah oleh karena kehendak Allah sendiri (ay. 12, 13), walaupun masih banyak orang yang tidak menerima Dia. Kedua, yaitu bahwa Firman yang menjadi manusia itu datang dan diam di antara manusia. Penegasan ini pada satu sisi memberi kepastian kepada setiap orang yang masih ragu-ragu akan kemungkinan “turunnya” Allah (yang ilahi) ke dalam dunia (yang materiil), dan pada sisi lain meyakinkan pembacanya untuk berani menjalani kehidupan di tengah-tengah dunia yang pada waktu itu telah dikuasai oleh kegelapan.

Lalu apa arti dari semua ini? Kerelaan Allah menjadi manusia, dan kini diam di antara manusia menunjukkan solidaritas ilahi akan dunia, menunjukkan bahwa Allah solider terhadap umat manusia dengan segala kesengsaraannya, menunjukkan bahwa Allah peduli secara nyata dengan penderitaan, kesulitan, bahkan keragu-raguan manusia. Ini merupakan berita sukacita besar, bukan saja kepada pembaca awal dari tulisan Yohanes ini, melainkan juga bagi manusia di sepanjang masa.

Pokok-pokok Renungan
1) Perayaan kelahiran Kristus menjawab keraguan kita tentang keilahian Yesus. Memang kita bisa saja tidak lagi ragu akan hal itu, tetapi dalam faktanya keraguan itu masih saja ada. Hal ini dapat dilihat misalnya pada bagian berikut:

“Suatu hari saya mengikuti kebaktian minggu di suatu jemaat BNKP yang ada di wilayah perkotaan. Saya duduk di bagian belakang bersama dengan warga jemaat biasa. Tanpa sengaja, saya melihat seorang warga jemaat sedang ber-sms-an dengan seseorang dan isi sms-nya itu adalah tentang “ilmu kekebalan tubuh” dan berbagai jimat lainnya sebelum berangkat. Saya tidak menyangka bahwa ada warga jemaat di perkotaan yang bahkan sedang mengikuti kebaktian pun masih saja melakukan praktik “kegelapan” seperti itu”. Sekarang, mau berjalan di mana? Dalam terang atau dalam kegelapan? Alai na lala bö’ö saekhu ba wa’atekiko nitörönia andrö!

2) Yohanes mungkin tidak tahu banyak tentang kisah Natal seperti yang biasa kita rayakan dewasa ini, tetapi dia tahu betul tentang semangat atau jiwa dari Inkarnasi itu, yaitu bahwa karena Yesus, perwujudan kasih karunia Allah (1:16) menjadi daging, maka kita diberikan kesempatan untuk mengenal Allah yang tidak dapat diketahui (1:18), dan mengakui diri sebagai anak-anak Allah yang dikasihi. Inilah sesungguhnya hadiah Natal itu, identitas yang baru, kesempatan yang baru, kemanusiaan yang baru, semuanya melalui Allah di dalam Kristus. Inilah hadiah Natal, dan sepantasnya menarik seluruh perhatian kita hari ini, bahkan sepanjang tahun.

Saturday, December 3, 2022

Memilih yang Baik Menjelang Hari Kristus (Filipi 1:3-11)

Khotbah Minggu Adven 2 (3 Desember 2022)
Dsiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1:3 Aku mengucap syukur kepada Allahku setiap kali aku mengingat kamu.
1:4 Dan setiap kali aku berdoa untuk kamu semua, aku selalu berdoa dengan sukacita.
1:5 Aku mengucap syukur kepada Allahku karena persekutuanmu dalam Berita Injil mulai dari hari pertama sampai sekarang ini.
1:6 Akan hal ini aku yakin sepenuhnya, yaitu Ia, yang memulai pekerjaan yang baik di antara kamu, akan meneruskannya sampai pada akhirnya pada hari Kristus Yesus.
1:7 Memang sudahlah sepatutnya aku berpikir demikian akan kamu semua, sebab kamu ada di dalam hatiku, oleh karena kamu semua turut mendapat bagian dalam kasih karunia yang diberikan kepadaku, baik pada waktu aku dipenjarakan, maupun pada waktu aku membela dan meneguhkan Berita Injil.
1:8 Sebab Allah adalah saksiku betapa aku dengan kasih mesra Kristus Yesus merindukan kamu sekalian.
1:9 Dan inilah doaku, semoga kasihmu makin melimpah dalam pengetahuan yang benar dan dalam segala macam pengertian,
1:10 sehingga kamu dapat memilih apa yang baik, supaya kamu suci dan tak bercacat menjelang hari Kristus,
1:11 penuh dengan buah kebenaran yang dikerjakan oleh Yesus Kristus untuk memuliakan dan memuji Allah.


Pengantar
Surat Filipi ini dikenal sebagai surat air mata sekaligus surat sukacita. Surat air mata, sebab ditulis ketika Paulus berada di penjara di Roma yang memaksanya meninggalkan jemaat ini sementara mereka juga mengalami berbagai penganiayaan atau pencobaan. Surat sukacita, sebab Paulus justru menganggap pemenjaraan dan penganiayaan yang dialaminya (dan dialami oleh jemaat) sebagai bagian dari iman dalam Kristus (bnd. Fil. 1:29), apalagi dia mendengar berita yang menggembirakan tentang jemaat pada waktu itu walaupun dia tidak berada di tengah-tengah mereka. Kesedihan Paulus terobati oleh karena jemaat Filipi telah menunjukkan kehidupan Kristen yang sesungguhnya sekalipun mereka dihantam oleh berbagai pencobaan. Paulus pun kemudian memberi penegasan tentang bagaimana ciri khas kehidupan orang Kristen itu, yaitu tentang sukacita, persekutuan, dan kasih mereka.

Sukacita Orang Kristen (1:4)
Ciri khas pertama dari orang Kristen dalam teks ini menyangkut sukacita. Paulus sendiri telah menunjukkan dalam dirinya, bahwa sekalipun dia saat itu berada dalam suasana yang menyedihkan, dianiaya oleh karena pemberitaan Injil Kristus, namun dia tetap bersukacita, dan itu terungkap secara jelas di pasal 4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Böi yamamalömalö wa’omuso dödömi ba khö Zo’aya! Ufuli uwa’ö: Mi’omusoi’ö dödömi!). Dengan kata-kata ini, Paulus tidak bermaksud untuk menganggap remeh atau mengabaikan begitu saja penderitaan atau pencobaan; namun bagi Paulus, berbagai penderitaan/pencobaan itu seharusnya dipahami sebagai salah satu akibat yang harus kita terima karena memilih percaya pada Kristus (1:29).

Selain itu, dalam teks renungan kita pada hari ini disebutkan bahwa sukacita orang Kristen itu dapat terlihat dalam dan melalui doa mereka (1:4), yaitu selalu membawa manusia kepada kemurahan Allah. Itulah doa orang Kristen yang penuh dengan sukacita, dapat mengubah kehidupan umat Tuhan menjadi lebih bersemangat, sebab mampu membawa diri sendiri dan orang lain ke dalam sukacita dan damai sejahtera Allah yang begitu besar. Dalam pengertian yang lebih luas, kehidupan orang Kristen seharusnya dapat mendatangkan sukacita bagi dunia di mana dia berada, mengandrö saohagölö niha ero na so ia.

Persekutuan (1:7-8)
Kehidupan orang Kristen yang benar ditandai dengan adanya “persekutuan” yang harmonis terutama dalam hal berita Injil. Maksudnya ialah bahwa orang Kristen itu haruslah pertama-tama merasa bagian dari yang lain (ay. 1:7a, 8), turut mendapat bagian dalam pekerjaan Injil, turut mengambil bagian dalam penderitaan demi Injil, dan turut mendapat bagian bersama Kristus (1:7-8). Dalam hal ini kita menjadi satu dengan Kristus, dan seterusnya menjadi satu dengan yang lain di antara orang-orang yang percaya pada Kristus Yesus.

Persekutuan orang Kristen yang benar terjadi dan terjalin tidak hanya ketika ada sukacita, tetapi juga ketika menderita (dipenjara karena Injil), dalam segala hal dan situasi. Persekutuan orang Kristen sesungguhnya tidak hanya terlihat melalui “persekutuan” ketika kebaktian/ibadah bersama (kebaktian Minggu dan PA), tetapi bagaimana setiap orang percaya merasa bahwa dirinya pertama-tama merupakan bagian dari Kristus, kemudian bagian dari yang lain dalam “persekutuan” itu.

Kita boleh saja bersekutu bersama-sama melalui kebaktian minggu atau pun PA, namun itu tidak otomatis menunjukkan bahwa kita merasa bagian dari yang lain, tidak otomatis membuktikan bahwa kita telah menjadi satu dengan Kristus dan telah menjadi satu dengan yang lain dalam ibadah itu. Belum tentu! Karenanya, persekutuan kita dalam ibadah seharusnya diteruskan lagi melalui persekutuan dalam kehidupan sehari-hari dalam aneka dinamika kehidupan kita, baik sukacita maupun dukacita atau penderitaan.

Kasih yang Melimpah (1:9-10)
Kekristenan itu terkenal dengan ajaran tentang “kasih”, dan semua orang tahu tentang itu, baik orang Kristen sendiri maupun non Kristen. Paulus pun menyinggung hal itu dalam teks renungan kita pada hari ini, hanya saja dengan penekanan supaya kasih orang-orang percaya pada Kristus itu terus melimpah, bertumbuh, dan makin besar setiap hari, tidak sekadar “ikut-ikutan”, bertumbuh dalam pengetahuan dan pengertian akan yang benar dan baik. Apa artinya? Yaitu bahwa sesungguhnya kasih orang Kristen itu tidak pernah terbatas (mo’inötö), justru semakin berkembang dari waktu ke waktu, bahkan dalam berbagai penderitaan pun kasih Kristen itu justru semakin besar.

Orang Kristen yang hidup dalam kasih yang seperti ini, secara perlahan tetapi pasti terus bertumbuh dalam pengetahuan dan pengertian akan yang benar dan baik (fahöna khönia wa’aboto ba dödö ba fangi’ila satulö ba si sökhi ero ma’ökhö). Hal ini sangat penting, sebab menunjukkan bahwa orang Kristen yang benar itu telah dimurnikan atau dibersihkan dari semua yang jahat (kotor) sehingga menjadi suci/murni sekaligus menunjukkan bahwa orang Kristen yang suci/murni itu tidak pernah menyebabkan diri sendiri dan orang lain tersandung (cacat).

Ada banyak orang Kristen yang nampaknya “suci” atau tidak bercacat, tidak bercela, namun mereka “gagal” meyakinkan orang lain untuk percaya pada Kristus; ada banyak orang Kristen yang memiliki kehidupan rohani yang begitu baik, namun tidak mampu memengaruhi orang lain untuk semakin mengenal kasih Kristus dalam hidup mereka. Bukan orang Kristen dengan tipe seperti ini yang diharapkan oleh Paulus menurut teks renungan kita pada hari ini. Orang Kristen yang telah “disucikan” sesungguhnya mampu menarik orang lain kepada Kristus, dan menjadikan Kristus sebagai pusat dan arah seluruh kemuliaan, bukan dirinya sendiri. Itulah kasih yang melimpah, terus bertumbuh, semakin besar, dan mampu membawa orang lain menjadi lebih dekat kepada Kristus.

Menjelang hari Kristus, orang Kristen tentu memilih untuk melakukan yang baik, menjadi berkat bagi dunia di mana dia berada. Memilih yang baik berarti menggunakan kesempatan yang ada untuk hidup dalam kebaikan, yaitu kebaikan menurut ukuran Kristus. Di tengah dunia yang saat ini semakin edan, orang Kristen mampu memilih yang baik sebagai jalan hidupnya, dan tidak terjerumus dalam berbagai rupa ke-edan-an dunia ini.

Selamat memilih yang baik!



Saturday, October 8, 2022

Iman yang Menyelamatkan – Famati andrö Zangorifi (Lukas 17:11-19)

Khotbah Minggu, 09 Oktober 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

11 Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea.
12 Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh
13 dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!”
14 Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir.
15 Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring,
16 lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria.
17 Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu?
18 Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?”
19 Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”


Pada zaman Alkitab, baik PL maupun PB, penyakit kusta merupakan penyakit yang tidak ada obatnya.[1] Di kalangan orang Ibrani penyakit ini dianggap najis dan berbahaya, karena dapat menular. Oleh sebab itu, orang yang sakit kusta harus diasingkan dari masyarakat (Kel. 13, Kel. 14). Penyakit ini dianggap sebagai simbol dosa, penyakit dari Tuhan, sebab ada beberapa contoh kasus dimana orang kena sakit kusta setelah melakukan pelanggaran atau kesalahan.[2] Orang yang menderita kusta dinyatakan sakit dan atau sembuh oleh imama (Im. 13:1-59; 14:1-32). Apabila ia sembuh, harus diadakan upacara pentahiran oleh seorang imam (Im. 14:2-20; Luk. 1:44). Secara fisik, orang yang berpenyakit kusta tentu saja sangat menderita. Tetapi, penderitaan yang paling menyakitkan adalah penderitaan psikis. Penderitanya diasingkan, tidak boleh mendekat orang sehat, dan apa pun yang tersentuh dengannya dianggap najis. Pada zaman PB, semua penderita penyakit kusta dilarang memasuki kota Yerusalem dan kota-kota lain yang bertembok keliling. Di dalam sinagoge ada ruangan khusus yang terpencil dan sempit yang dikhususkan bagi mereka. Jadi penyakit kusta adalah penyakit yang benar-benar telah memisahkan manusia dari sesamanya.

Bisa dibayangkan betapa menderitanya orang-orang kusta pada zaman Alkitab. Tidak ada harapan kesembuhan bagi mereka, tidak ada masa depan, tidak ada kehidupan. Namun demikian, dalam teks khotbah hari ini, Lukas menunjukkan sesuatu yang amat menentukan bagi orang-orang kusta yang terpinggirkan, dan pembelajaran berharga bagi kita yang “tak terpinggirkan”. Kepedulian Yesus terhadap mereka yang terpinggirkan, yaitu kesepuluh penderita kusta, dan secara khusus paling tidak ada seorang Samaria yang merupakan kelompok masyarakat terpinggirkan pada zaman PB. Itulah misi Yesus ke dunia, menunjukkan kepedulian kepada mereka yang oleh karena berbagai faktor, terasingkan, menderita, termiskinkan, dll. Inilah misi yang sesungguhnya, kepedulian terhadap sesama, terutama kepada sesama yang sedang berada dalam situasi kurang baik. Itulah pemberitaan Injil yang sesungguhnya, pemberitaan kabar sukacita kepada orang-orang yang selama ini terpinggirkan, kurang diperhatikan, kurang dihargai dalam masyarakat, disepelekan, mengalami berbagai macam penderitaan, dll. Itulah misi Yesus, yang merupakan misi gereja kita juga.

Menarik juga melihat bagaimana Yesus menerima mereka yang selama ini dijauhi oleh masyarakat. Yesus berkenan memberikan respons terhadap teriakan mereka: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” (ay. 13). Yesus tahu bahwa kesepuluh orang kusta ini mestinya dijauhi, kalau bisa diusir, apalagi orang Samaria, tetapi Yesus tidak melakukan itu. Disebutkan bahwa Yesus merespons mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam” (ay. 14). Dalam proses itulah kemudian orang-orang penderita kusta ini sembuh. Yesus menyuruh mereka kepada imam-imam sebagai pihak yang berwenang menentukan apakah mereka sudah sembuh atau belum; dan ternyata hasilnya SEMBUH. Misi Yesus inilah yang harus kita beritakan, baik melalui kata-kata, maupun melalui pelayanan nyata kepada orang-orang yang sedang menderita di sekitar kita. Kepedulian kita akan diuji ketika kita bertemu dengan orang-orang yang selama ini terpinggirkan.

Kisah ini tidak berhenti pada kesembuhan para penderita kusta. Diceritakan lebih lanjut bahwa salah seorang dari kesepuluh orang kusta tersebut kembali kepada Yesus, memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada Yesus (ay. 15-16). Disebutkan pula bahwa orang tersebut adalah orang Samaria (yang pada zaman PB disingkirkan oleh masyarakat Yahudi). Ayat 17-18 memperlihatkan kepada kita “keheranan” Yesus atas kesembilan orang lainnya yang tidak kembali kepada-Nya, tidak seperti orang Samaria tersebut. Benar bahwa orang Samaria selama ini dianggap sebagai orang asing, tidak diterima sebagai bagian dari komunitas Yahudi/Israel. Tetapi, justru orang Samaria (orang asing) inilah yang memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada Yesus atas kesembuhan yang telah dialaminya. Yesus pun memuji iman orang Samaria tersebut. Ia berkata kepadanya: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau” (ay. 19).

Orang Samaria adalah orang yang dianggap sebagai orang asing dan tidak menyenangkan pada zaman PB, tetapi justru dialah satu-satunya orang yang datang memuliakan dan mengucap syukur kepada Allah, sedangkan kesembilan lainnya tidak diketahui lagi rimbanya. Dalam kisah ini, Yesus, oleh Lukas, menunjukkan bahwa iman seseorang itu tidak ditentukan oleh latar belakang kehidupannya, entah sebagai orang Yahudi ataupun orang Samaria (orang asing). Ketika seseorang menyadari sumber kesembuhannya dari Tuhan, dan kembali kepada Tuhan untuk memuliakan dan mengucap syukur kepada-Nya, itulah iman yang sesungguhnya. Merespons Yesus dengan benar berarti memuji dan memuliakan Allah.


[1] Pada zaman modern penyakit kusta ini dikenal sebagai lepra/hansen. Obatnya baru ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1837.

[2] Beberapa contoh kasus dimaksud: (1) Miryam dihukum Tuhan dengan penyakit kusta karena mengata-ngatai dan iri hati terhadap Musa (Bil. 12:1-2,9-10). (2) Gehazi (bujangnya Elisa) dihukum dengan kusta karena meminta pemberian dari Naaman yang sebelumnya sudah ditolak Elisa (2Raj. 5:21-27). (3) Ketika Raja Uzia merasa kuat, sombong, tinggi hati dan tidak setia kepada Tuhan maka Tuhan menghukumnya dengan penyakit kusta (2Taw. 26:16-21).

Saturday, October 1, 2022

Tak Berkesudahan Kasih Setia TUHAN – Lö Saetu Wa’ebua Dödö Yehowa (Ratapan 3:19-26)

Khotbah Minggu, 02 Oktober 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

19 “Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”
20 Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.
21 Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
24 “TUHAN adalah bagianku," kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
25 TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.
26 Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.

Sama seperti kitab Yeremia, kitab Ratapan ini juga berfokus pada kejatuhan Yerusalem dan pembuangan ke Babel. Kalau kitab Yeremia memberi penekanan lebih pada peringatan-peringatan bahwa Tuhan akan mendatangkan hukuman atas ketidaksetiaan umat-Nya, maka kitab Ratapan ini lebih pada perkabungan atas hukuman Allah yang telah ditimpakan atas umat Tuhan tersebut, terutama kehancuran Yerusalem dan Bait Allah sebagai simbol kebanggaan dan kebesaran bangsa Israel. Kehancuran ini mendatangkan kesedihan yang mendalam bagi Yeremia dkk, sehingga mereka berkabung atas kejatuhan Yerusalem dan bait Allah tersebut. Dalam kesedihan dan perkabungan itu, mereka menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami adalah akibat ketidaksetiaan mereka pada Tuhan, sekaligus mengakui bahwa selalu ada harapan baru di dalam Tuhan, bahkan di dalam kehancuran pun kasih setia Tuhan tidak pernah berkesudahan.

Pada seputar teks renungan kita pada hari ini, penulis mengungkapkan apa saja prinsip hidup sehubungan dengan penderitaan:
(1) Penderitaan haruslah ditanggung dengan harapan akan adanya keselamatan dari Allah, yaitu bahwa Allah pada akhirnya akan mendatangkan pemulihan (3:25-30). Bagaimana mungkin tidak marah atau kecewa terhadap Allah dalam penderitaan? Bagaimana mungkin Allah dianggap baik di tengah-tengah penderitaan manusia? Jawabannya adalah bahwa di tengah-tengah penderitaan manusia itu, Allah tetap setia, murah hati, dan selalu siap menerima setiap orang yang datang kepada-Nya.

Selain itu, ada unsur pendisiplinan di balik penderitaan yang kita alami. Penderitaan atau kesusahan akan dapat menolong kita untuk lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam hidup ini. Saya tidak bermaksud supaya kita mencari “gara-gara” untuk mengalami penderitaan atau kesusahan atau masalah, tidak! Tetapi, siapakah yang bisa menjamin bahwa perjalanan hidup ini akan mulus tanpa masalah? Tidak ada bukan? Karena itu, ketika kita mengalami suatu penderitaan atau kesusahan hidup, maka ingatlah bahwa itu merupakan salah satu cara yang dapat dipakai oleh Tuhan untuk mendisiplinkan kita untuk kemudian menjadi lebih dewasa, bukan semakin cengeng; penderitaan dan kesusahan juga dapat menolong kita untuk semakin rendah hati, bahkan kita pun harus menjadi lebih siap dan lebih dewasa menanggapi setiap penderitaan itu (bnd. Rat. 3:29-30). Bagaimanakah kita menjadi orang yang sabar kalau tidak pernah mengalami kesulitan hidup? Bagaimanakah kita menguji kesabaran seseorang? Dengan memberinya kesulitan atau tantangan, bukan? Lagipula, bukankah Allah telah menyediakan pertolongan bagi orang-orang yang berharap kepada-Nya?

Atas dasar itulah penderitaan harus ditanggung oleh umat Tuhan, sebab pada akhirnya Allah akan mendatangkan pemulihan. Di sinilah terletak pengharapan umat Tuhan yang menderita, pengharapan akan datangnya keselamatan yang dari Allah. Itulah bagian kita, demikian diakui oleh penulis kitab ini di ayat 24. Apa artinya? Yaitu bahwa pengharapan kita hanya di dalam Tuhan saja, menantikan pertolongan-Nya saja, hanya mencari Tuhan ketika kita berada dalam kesusahan, dan mengungkapkan keluh kesah hidup kita kepada-Nya, sebab segala beban hidup hanya dapat ditanggung di dalam Tuhan saja. Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat. 11:28-30). Kiranya janji kasih setia Tuhan ini menjadi sumber semangat baru bagi kita untuk tetap hidup dalam pengharapan.

(2) Penderitaan itu hanyalah sementara dan dalam penderitaan itu pun Allah selalu menunjukkan rasa sayang dan kasih setia-Nya (lih. Rat. 3:31-32). Ada sebuah ungkapan klasik: “Sejahat-jahatnya harimau, tidak akan memakan anaknya sendiri.” Atau ungkapan lain yang tidak kalah puitisnya, “Di balik awan yang gelap, selalu ada matahari yang siap menerangi bumi.” Benar bahwa kehancuran Yerusalem, kesusahan dan penderitaan yang dialami oleh umat Tuhan berasal dari Allah sebagai hukuman atas ketidaksetiaan mereka terhadap Tuhan. Tetapi, pemazmur mengatakan: “TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam” (Mzm. 103:8-9). Apa artinya? Yaitu bahwa penderitaan atau kesusahan hidup, apapun sumbernya, tidak pernah berlangsung sepanjang hidup kita, kalaupun kita harus menanggung suatu penderitaan maka Allah selalu menyatakan kasih setia-Nya pada kita. Atau, adakah di antara kita hari ini orangtua yang setiap detik selalu marah dan menghukum anak-anaknya? Adakah anak-anak di tempat ini yang sepanjang hidupnya selalu dimarahi dan dihukum oleh orangtuanya? Tidak ada, bukan? Sebab, orangtua selalu menunjukkan kasihnya terhadap anak-anaknya sekalipun kadang-kadang memarahi dan menghukum mereka. Tuhan Allah jauh melebihi orangtua, yaitu bahwa Dia selalu, dan akan selalu menyayangi umat yang telah dihukum-Nya itu. Atas dasar inilah kita harus tetap memiliki pengharapan di dalam Tuhan, dan karena pengharapan itulah kita harus tetap semangat menjalani kehidupan kita dalam takut akan Tuhan.

(3) Allah tidak pernah bersukacita atau merasa senang atas penderitaan umat-Nya (Lih. Rat. 3:33). Adakah orangtua yang merasa senang karena melihat anak-anaknya hidup dalam kesusahan? Adakah orangtua yang merasa bahagia karena anaknya berada dalam kesakitan? Tidak ada, bukan? Secara umum, orangtua justru akan sedih kalau anaknya berada dalam kesusahan, kesulitan, atau mengalami suatu sakit penyakit, karena itu orangtua berusaha menolong anak-anaknya. Tuhan tentunya jauh melebihi hati dan tindakan orangtua tersebut. Allah pun sedih kalau umat-Nya jatuh dalam kesulitan. Bahkan, ketika Allah sendiri menghukum umat-Nya, Dia sebenarnya melakukan itu dengan “berat hati”, Dia “terpaksa” memberikan pembelajaran “tegas” bagi umat-Nya, supaya mereka tidak jatuh terlalu jauh dalam kehancuran. Tuhan Allah tidak pernah berusaha dengan sengaja mempersulit hidup kita, Dia justru menawarkan pertolongan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Jadi, jangan pernah beranggapan bahwa “berurusan” dengan Tuhan itu selalu sulit, tidak! Berurusan dengan Tuhan justru menolong kita untuk keluar dari situasi sulit. Karena itu, kita harus tetap berharap pada Tuhan, bahwa dalam kesulitan apa pun, Dia tetap menolong, Dia tetap menyayangi dan mengasihi kita.

Sunday, September 25, 2022

Ibadah disertai Rasa Cukup – Fasumangeta sifao fa’ahono dödö ba zi ho so (1 Timotius 6:6-10)

Khotbah Minggu, 25 September 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

6     Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.

7     Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.

8     Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.

9     Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.

10   Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.


Kita baru saja mendengar kabar bahwa salah seorang hakim agung di Indonesia tertangkap tangan KPK dengan kasus korupsi (penyuapan). Hakim merupakan wakil Allah di bumi dalam menegakkan keadilan, apalagi hakim agung. Banyak orang/pihak di Indonesia yang terjerat kasus korupsi, baik pihak eksekutif (pemerintah), legislatif (wakil rakyat), dan yudikatif (penegak hukum), bahkan rohaniwan. Agama mereka sama, yaitu UANG. Bagi orang-orang seperti ini, kalau bisa semua dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan (uang) bagi mereka, termasuk memanfaatkan ibadah agama (bnd. 1Tim. 6:5b).


Fenomena seperti ini sudah terjadi sejak lama, dan menurut Paulus, akar kejahatan tersebut adalah CINTA UANG (ay. 10). Dalam teks ini, Paulus tidak menganggap uang sebagai sesuatu yang jahat, tetapi CINTA UANG yang menjadi persoalan. Cinta uang yang dimaksud di sini mengarah pada keinginan yang berlebihan akan uang hingga berusaha memburunya dengan cara apa pun, dan menempatkan keinginannya mendapatkan uang tersebut di atas segala-galanya. Inilah yang menjadi akar kejahatan, dan akan terus melahirkan kejahatan lainnya di muka bumi. Pada ayat 9, Paulus memperingatkan jemaat atau para penatua pada zaman Timotius: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan”. Pada bagian lain dalam Alkitab, Yesus pernah mengatakan bahwa para pengikut-Nya tidak dapat mengabdi kepada dua tuan, mengabdi kepada Allah dan mengabdi kepada mamon (Mat. 6:24). Godaan kejahatan karena kekayaan sangatlah kuat, dan Paulus mengingatkan kita untuk waspada.


Tentu saja nasihat Paulus ini dapat saja menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan ketakutan bagi sebagian orang, terutama mereka yang memiliki orientasi materialistis yang kuat. Atau, kita dapat saja mengatakan bahwa hanya orang munafiklah yang tidak membutuhkan uang, gereja saja membutuhkannya. Hal ini menjadi tantangan bagi kita, apalagi pada zaman modern ini, uang telah menjadi segala-galanya. Kalau kita menelusuri lebih dalam maksud perkataan Yesus maupun Paulus, maka kita akan menemukan bahwa “kekayaan” atau “cinta uang” muncul sebagai “allah palsu” yang menghalangi penyembahan yang benar kepada Allah yang sejati. Itulah sebabnya “kekayaan” atau “uang” seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang “jahat” dan harus dijauhi.


Namun demikian, kekayaan atau uang sebenarnya bukan sesuatu yang jahat sama sekali. Yesus maupun Paulus tidak bermaksud untuk menafikan kekayaan atau uang. Dalam Alkitab ada cerita tentang orang-orang kaya yang dermawan; ada orang-orang yang melayani Yesus dan para murid dengan kekayaan yang mereka miliki (lih. Luk. 8:3). Demikian pula, rasul Paulus memanfaatkan dukungan keuangan dari para dermawan untuk perjalanan dan kegiatan misionarisnya. Oleh karena itu, tidak tepat untuk mengatakan bahwa kekayaan materi itu jahat sama sekali dan tidak ada kebaikan di dalamnya. Kekayaan materi bisa menghalangi seseorang untuk percaya kepada Tuhan, bisa menjadi penghalang untuk mengikuti Yesus (Mrk. 10:17-22), dan bisa menghalangi kita untuk beribadah sepenuh hati kepada Tuhan. Pada sisi lain, banyak dari pelayanan gereja bergantung pada sumber keuangan anggota jemaat. Oleh sebab itu, mereka yang memiliki kekayaan harus “berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” (1 Tim. 6:18-19).


Jadi, hal yang sangat penting adalah sikap manusia terhadap kekayaan atau uang tersebut. Kekayaan atau uang dapat menjadi jerat bagi kita kalau kita menempatkannya sebagai pusat kehidupan kita. Kekayaan atau uang dapat menjadi sesuatu yang jahat apabila kita mencintainya dan memburunya dengan menghalalkan segala cara, termasuk memanfaatkan ibadah kepada Tuhan sebagai kesempatan untuk mendapatkan kekayaan atau uang. Kekayaan atau uang dapat menjadi masalah serius dalam hidup kita apabila kita mencarinya dalam kekuatiran atau dengan keinginan yang berlebihan sampai mengalahkan cinta kita kepada Tuhan.


Seperti apa sikap yang baik terhadap kekayaan atau uang? Pada ayat 6, Paulus menegaskan rahasia penting supaya kekayaan atau uang tidak menjadi persoalan dalam hidup manusia, yaitu “rasa cukup”, dan pada ayat 8, Paulus menegaskannya kembali: “asal ada makanan dan pakaian, cukuplah”. Kata “merasa cukup” di sini berarti merasa senang, merasa puas, dan merasa bahagia disertai dengan rasa syukur atas apa yang ada dalam hidupnya, atas apa yang telah dicapai atau diperolehnya sampai saat ini. Konsep dasar kata Yunani autarkeia berarti kecukupan atau kepuasan yang muncul dari dalam diri seseorang, tidak dipengaruhi oleh keadaan di luar dirinya. Dengan kata ini, Paulus hendak menegaskan bahwa “rasa cukup” yang baik itu berasal dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Orang boleh saja memiliki kekayaan atau uang yang banyak, tetapi belum tentu dia merasa cukup atau merasa bahagia dengan itu. Ada juga orang yang tidak memiliki kekayaan atau uang yang banyak, hidup sederhana, tetapi dia merasa cukup, merasa puas, dan merasa bahagia. Saya pernah mengamati ikan lele, lö la’ila wa’abusora, gofu hawa’oya öbe göra ba lagaga manö, la’a nasa nawöra, afuriata oya zimate, mate ba wa’abuso.


Uang atau kekayaan dapat digunakan untuk kebaikan dan juga kejahatan, tetapi pokok persoalan adalah CINTA akan uang. Nafsu akan uang dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan lebih banyak uang dan meningkatkan kekayaan duniawi, itulah yang menjadi akar kejahatan dalam hidup ini. Tentu saja, cinta uang bukanlah satu-satunya sumber kejahatan, masih banyak sumber lain dari kejahatan di bumi ini. Namun demikian, cinta uang adalah salah satu akar kejahatan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam berbagai dosa dan kejahatan lainnya. Banyak orang yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang yang banyak. Ato niha “sangisö” ba gana’a (gokhöta), afuriata ilau “wangisu” ena’ö oya isöndra.


Paulus mengingatkan kita bahwa “kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar” (ay. 7). Kita lahir tanpa membawa apa-apa, dan akan mati tanpa membawa apa-apa juga. Oleh sebab itu, hati-hatilah terhadap keinginan untuk menjadi kaya, atau keinginan untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin, sebab dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam godaan. Dengan sikap memburu uang kita dapat terjebak dalam kekuatiran akan kekayaan yang kita miliki, dan tentu saja kita dapat saja terjebak dalam berbagai keinginan daging yang dapat mempermalukan diri kita sendiri.


Seperti yang disampaikan di awal khotbah ini, bahwa banyak orang yang melakukan korupsi, baik pejabat pemerintahan, legislatif, yudikatif, maupun keagamaan (rohaniwan). Banyak orang yang “oleh karena memburu uang telah menyimpang dari iman dan menyiksa diri dengan berbagai-bagai duka” (ay. 10). Maka, waspadalah! Uang memang penting, tetapi bukan segala-galanya. Jangan merusak hidupmu dengan CINTA UANG! Nikmatilah hidupmu apa adanya, kebahagiaan itu berasal dari diri sendiri dan dari Allah. Pergunakanlah kekayaan atau apa pun yang kita miliki untuk kebaikan bagi sesama dan bagi kemuliaan nama Tuhan. Itulah inti Injil yang kita beritakan di dunia zaman modern ini.


Mari tetap bersatu dalam memberitakan Injil, baik pada saat memiliki uang, maupun pada saat tidak memilikinya; baik pada saat berlimpah, maupun pada saat berkekurangan. Doa Yesus supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tetap bersatu (Yoh. 17:21-23), hendak menegaskan bahwa kita jangan tercerai berai hanya oleh karena himpitan kekayaan atau sebaliknya himpitan kemiskinan/kekurangan. Dalam situasi apa pun, kita tetap bersatu, ya bersatu untuk memberitakan Injil.

Saturday, September 3, 2022

Di Hadapan Allah tidak ada yang Tersembunyi – Lö Sitobini Tanö Föna Lowalangi (Mazmur 139:17-24)

Rancangan Khotbah Minggu, 04 September 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

17 Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya!
18 Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.
19 Sekiranya Engkau mematikan orang fasik, ya Allah, sehingga menjauh dari padaku penumpah-penumpah darah,
20 yang berkata-kata dusta terhadap Engkau, dan melawan Engkau dengan sia-sia.
21 Masakan aku tidak membenci orang-orang yang membenci Engkau, ya TUHAN, dan tidak merasa jemu kepada orang-orang yang bangkit melawan Engkau?
22 Aku sama sekali membenci mereka, mereka menjadi musuhku.
23 Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku;
24 lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!


Mazmur 139 secara umum merupakan ekspresi kekaguman pemazmur akan kemahatahuan Allah dalam berbagai cara. Secara khusus pada teks renungan pada hari ini, ay. 17-24, pemazmur menyatakan keheranannya akan pikiran dan tindakan Allah, baik bagi diri pemazmur maupun atas orang-orang yang jahat. Pada akhirnya, pemazmur memohon kiranya Allah menuntun dia dalam perjalanan yang benar hingga kekekalan.

Dua ayat pertama pada teks khotbah hari ini (ay. 17-18) menunjukkan ketidakmampuan pemazmur memahami pikiran Allah. Menurutnya, pikiran Allah itu sulit dipahami dan tak terhitung banyaknya oleh manusia seperti pemazmur. Dengan kata lain, pemazmur hendak menyatakan kegakumannya terhadap Allah yang telah memelihara dirinya walaupun dia berada di tengah-tengah para pembenci Allah. Pikiran Allah atas dirinya selalu dalam rangka pemeliharaan yang penuh cinta kasih.

Selain itu, ekspresi pemazmur di ayat 17-18 ini mengindikasikan kesadarannya akan kemahatahuan Allah atas dirinya dan manusia lainnya termasuk orang-orang jahat. Allah mengawasi manusia dengan cara-Nya sendiri, sama seperti Dia memelihara manusia dengan cara-Nya yang unik. Demikianlah cara Allah menyatakan diri-Nya kepada manusia, sungguh tak terselami oleh pikiran manusia. Rasul Paulus mengatakan: “O, alangkah dalamnya kekayaan, hikmat dan pengetahuan Allah! Sungguh tak terselidiki keputusan-keputusan-Nya dan sungguh tak terselami jalan-jalan-Nya! Sebab, siapakah yang mengetahui pikiran Tuhan? Atau siapakah yang pernah menjadi penasihat-Nya? Atau siapakah yang pernah memberikan sesuatu kepada-Nya, sehingga Ia harus menggantikannya? Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:33-36).

Bagaimana dengan orang fasik yang membenci Tuhan? Menurut pemazmur, Allah pun memiliki cara sendiri untuk mengatasi mereka. Allah, misalnya, bisa saja mematikan mereka dengan cara-Nya sendiri, tetapi Allah pun bisa saja seperti “membiarkan” mereka entah supaya mereka bertobat atau malah sedang mencari waktu yang tepat untuk menghukum mereka. Kita tidak tahu! Bukankah pemazmur sudah mengatakan bahwa “pikiran Allah itu sulit”?

Namun demikian, entah dengan cara apa pun, pemazmur meyakini bahwa Allah tidak mungkin membiarkan begitu saja orang-orang fasik yang membenci Tuhan bertindak sesuka hati tanpa pengawasan dan tindakan tegas Allah. Keyakinan ini mendorong pemazmur untuk tetap berada di sisi Tuhan, dan mengambil sikap membenci para pembuat kejahatan. Membenci orang-orang fasik dan menjadi musuh para pembenci Tuhan di sini berarti tidak ikut dalam komplotan para penjahat itu apa pun risikonya.

Pada akhirnya, pemazmur mempersilakan Tuhan untuk menyelidiki dirinya, sebab dia sadar bahwa Tuhan pasti mengenal isi hatinya. Di tengah-tengah situasi dunia yang diisi oleh orang-orang jahat, pemazmur memohon kiranya Tuhan menuntun dia ke jalan yang benar. Pemazmur mengungkapkan kata-kata ini untuk meyakinkan Tuhan bahwa dia sungguh-sungguh berada di jalan Tuhan, dan sungguh-sungguh tidak mau bergabung dengan kelompok orang-orang fasik. Pemazmur seolah-oleh berkata: “Kalau Tuhan ragu dengan komitmen saya untuk hidup di jalan yang benar dan melawan orang-orang jahat, maka silakan periksa/uji diriku, bukankah Engkau tahu isi hatiku?”

Tema minggu ini adalah “di hadapan Allah tidak ada yang tersembunyi” (lö sitobini tanö föna Lowalangi). Pikiran Allah sulit kita pahami, baik pikiran-Nya untuk pemeliharaan dan keselamatan kita, maupun pikiran-Nya atas para pelaku kejahatan. Namun demikian, satu hal yang pasti adalah bahwa Allah tahu semuanya bahkan isi hati kita yang tersembunyi sekalipun. Oleh sebab itu, ketika merasa telah menjadi orang baik, maka sebenarnya tidak perlu ada keraguan entah Tuhan tahu atau tidak, percaya saja bahwa Tuhan tahu apa pun kebaikan yang kita lakukan. Demikian juga dengan kejahatan, tidak perlu ada keraguan kita entah Tuhan tahu atau tidak. Tidak ada kejahatan yang sempurna, di hadapan Allah tidak ada yang tersembunyi. Implikasinya adalah bahwa kita tidak perlu bersandiwara menjalani kehidupan ini. Kita tidak perlu bersandiwara seolah-olah kita baik padahal jahat; tidak perlu bersandiwara untuk menutupi kejahatan kita. Jalani saja kehidupan ini apa adanya, jalani dalam kebenaran, dan yakinlah tidak ada satu pun yang tersembunyi di hadapan Tuhan.

--- selamat merenungkan Firman Tuhan ---

Saturday, August 27, 2022

Menyangkal Diri, Memikul Salib dan Mengikut Yesus – Ositengagö Ndra’ugö, Lu’i Röfau, ba O’ö Yesu (Matius 16:21-28)

Khotbah Minggu, 28 Agustus 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

21 Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.
22 Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegor Dia, katanya: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.”
23 Maka Yesus berpaling dan berkata kepada Petrus: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”
24 Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.
25 Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.
26 Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?
27 Sebab Anak Manusia akan datang dalam kemuliaan Bapa-Nya diiringi malaikat-malaikat-Nya; pada waktu itu Ia akan membalas setiap orang menurut perbuatannya.
28 Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya di antara orang yang hadir di sini ada yang tidak akan mati sebelum mereka melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya.”

Teks ini sebaiknya dipahami dalam hubungan dengan perikop sebelumnya ketika Petrus menyatakan pengakuan yang luar biasa bahwa Yesus adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Mat. 16:13-20, khususnya ayat 16). Yesus pun mengapresiasi pengakuan Petrus tersebut, dan menyebutnya “berbahagia” (Mat. 16:17), serta memberi kepercayaan kepadanya bahkan termasuk kunci Kerajaan Surga (Mat. 16:18-19).

Namun demikian, tidak lama kemudian, Petrus yang tadinya mendapatkan apresiasi dari Yesus, kini mendapatkan kecaman keras dari Yesus yang sama, bahkan menyebut Petrus seperti iblis: “Enyahlah Iblis. Engkau suatu batu sandungan bagi-Ku, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia” (ay. 23).

Kata-kata Yesus yang sangat keras ini muncul karena Petrus menyampaikan pernyataan yang bertolak belakang dengan pengakuannya sebelumnya tentang kemesiasan Yesus setelah mendengar bahwa Yesus, Sang Mesias, akan menanggung banyak penderitaan. Petrus tidak setuju dengan pernyataan Yesus akan penderitaan yang akan ditanggung-Nya tersebut, dan karena itu dia mengatakan: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau” (ay. 22). Di sini jelas bahwa Petrus mewakili kelompok para murid dan pengikut Yesus, bahkan para pembaca awal Injil Matius, bahwa Mesias itu mestinya datang dan hidup dalam kemenangan dan kejayaan besar, bukan malah menanggung banyak penderitaan. Petrus dkk tidak memahami dan sulit menerima Mesias yang menderita. Hal ini juga menggambarkan ketidaksediaan mereka dalam menanggung risiko akibat mengikut Yesus, Sang Mesias itu. Mereka masih belum memiliki mental pejuang, dan karena itu tidak siap menderita atas nama salib.

Lalu Yesus menjelaskan kepada Petrus dan para pendengar lainnya, tentang apa artinya bagi Dia menjadi Mesias dan apa artinya bagi kita untuk mengikuti Dia sebagai Mesias. It is not a golden way, but rather via dolorosa (bukan jalan emas melainkan jalan penderitaan). Itulah yang terjadi dengan Yesus, Sang Mesias, harus menanggung banyak penderitaan bahkan dibunuh, tetapi kemudian akan dibangkitkan pada hari ketiga. Di sini Yesus hendak memberikan pencerahan kepada para murid dan pengikut-Nya, bahwa diri-Nya harus menempuh jalan berliku dan penuh penderitaan, tetapi jalan itulah yang justru menghantarkan-Nya kepada kemuliaan Bapa, baik ketika dibangkitkan dari antara orang mati, maupun ketika melihat Anak Manusia datang sebagai Raja dalam Kerajaan-Nya (ay. 27-28).

Apa artinya bagi kita?
Yesus telah menyatakan kepada ara murid dulu bahwa Dia akan menanggung banyak penderitaan, dan Dia sudah menunjukkan ketaatan-Nya pada jalan salib itu, sungguh suatu pengorbanan besar bagi keselamatan umat manusia. Kalau Yesus berbicara tentang pengorbanan-Nya yang nyata di sini, Dia hendak mengatakan bahwa jika seseorang ingin menjadi pengikut-Nya, maka mereka harus bersedia menyangkal diri, memikul salib mereka dan mengikuti Dia. Tentu saja manusia memikirkan nyawanya, dan berusaha untuk menyelamatkannya. Dalam pergumulan yang luar biasa di Taman Getsemani pun, dalam natur kemanusiaan-Nya, Yesus mencoba menyelamatkan nyawa-Nya tanpa melalui jalan salib, tetapi tidak bisa. Jalan penderitaan itu harus ditempuh, dan justru jalan itulah yang mendatangkan keselamatan dan kemuliaan yang sesungguhnya.

Itulah sebabnya Yesus mengingatkan kita bahwa “barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya? Dan apakah yang dapat diberikannya sebagai ganti nyawanya?” (ay. 25-26). Intinya adalah tidak ada gunanya kita berusaha mencari keselamatan diri dengan cara sendiri, apalagi dengan jalan mudah dan jalan pintas. Satu-satunya jalan yang memberikan jaminan keselamatan dan kehidupan adalah mengikut Yesus. Tetapi, ingat, mengikut Yesus itu harus siap menyangkal diri dan memikul salib.

Menyangkal diri berarti bersedia untuk melepaskan diri dari “kenyamanan” duniawi selama ini demi mengikut Yesus. Menyangkal diri berarti bersedia melepaskan diri dari alkoholisme, pornografi, narkoba, dan kenakalan-kenakalan lainnya. Menyangkal diri berarti bersedia melepaskan diri dari kecanduan game dan judi online, bahkan kecanduan internet lainnya yang juga telah hampir memperbudak kita. Beberapa dari kita memang tidak mau melepaskan kenyamanannya selama ini, bahkan ada orang yang justru semakin terjerumus dalam berbagai kenyamanan dan kenikmatan duniawi sampai pada akhirnya lupa diri dan lupa Tuhan.

Memikul salib berarti menanggung apa yang seharusnya tidak dia pikul. Itulah yang terjadi dengan Yesus, menanggung banyak penderitaan yang seharusnya tidak Dia pikul. Kalau mau menjadi pengikut Yesus, maka kita harus memikul salib, bersedia menanggung apa yang seharusnya tidak kita tanggung, terutama penderitaan. Persoalannya ialah bahwa banyak generasi muda Kristen yang tidak bersedia menempuh jalan sulit dalam menjalani kehidupannya. Yesus menghendaki para murid dan pengikut-Nya untuk memiliki mental yang kuat menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi akibat mengikut Yesus. Latihlah dan biasakanlah dirimu untuk berani menghadapi dan menjalani kesulitan, “Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Fil. 1:29).

Mampukah kita untuk menderita bagi Kristus? Kalau Kristus yang hidup di dalam kita, maka kita akan mampu menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Yesus.

Galatia 2:20a: “namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku.”

Sunday, August 14, 2022

Mengikut Yesus secara Total – Folo’ö khö Yesu Sindruhundruhu (Lukas 12:49-53)

Khotbah Minggu, 14 Agustus 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

49 “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala!
50 Aku harus menerima baptisan, dan betapakah susahnya hati-Ku, sebelum hal itu berlangsung!
51 Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan.
52 Karena mulai dari sekarang akan ada pertentangan antara lima orang di dalam satu rumah, tiga melawan dua dan dua melawan tiga.
53 Mereka akan saling bertentangan, ayah melawan anaknya laki-laki dan anak laki-laki melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya.”


Teks khotbah hari ini dapat menimbulkan kebingungan bahkan kegelisahan bagi kita, terutama bagi orang yang selama ini menganggap bahwa Yesus selalu menghadirkan perdamaian. Tetapi, hari ini, melalui teks ini, Yesus menyampaikan sesuatu yang terbalik dari pemahaman umum tentang kehadiran-Nya. Dia seolah-olah membenarkan terjadinya berbagai perpecahan atau perpisahan dalam keluarga, jemaat, dan masyarakat kita akhir-akhir ini. Bisa saja ada orang yang membenarkan pertentangannya dalam jemaat atau masyarakat atas nama mengikut Yesus; bisa saja ada orang yang membenarkan ketidakpeduliannya dalam keluarga atas nama mengikut Yesus; bisa saja ada anak yang membenarkan pemberontakannya kepada orang tuanya atas nama mengikut Yesus; dan bisa saja ada orang yang menghadirkan api perselisihan dan perpecahan di mana-mana atas nama mengikut Yesus. Tetapi, apakah Yesus bermaksud seperti itu?

Kalau membaca lebih cermat teks dan konteks nas khotbah hari ini, maka kita akan menemukan bahwa persoalan yang hendak ditampilkan bukanlah masalah pertentangan, perselisihan atau perpecahan itu sendiri, melainkan bagaimana kita menanggapi berbagai konsekuensi yang timbul karena mengikut Yesus. Dengan kata lain, pertentangan hanyalah salah satu dari sekian banyak konsekuensi yang bisa saja muncul karena mengikut Yesus. Ada saatnya kita tidak bisa menghindar dari sesuatu yang buruk karena memilih ikut Yesus secara total. Tentu saja, mengikut Yesus tidak selalu berakibat buruk, sebab dalam realitasnya, banyak kedamaian yang kita nikmati karena mengikut Yesus.

Bagaimanakah mengikut Yesus dapat menimbulkan hal-hal yang tidak kita harapkan? Mari kita lihat satu per satu misi Yesus menurut teks khotbah hari ini.

Misi I : Membawa (melemparkan) Api
Dalam Alkitab, api merupakan gambaran yang multivalen. Api dapat mewakili kehadiran Allah (tiang api, Kel. 13:21-22), lidah api pada saat pencurahan Roh Kudus (Kis. 2:1-4), gambaran dari penghakiman eskatologis, pemusnahan bala tentara Setan (Why. 20:7-10), menandakan penyucian/pemurnian (Za. 13:9; Mal. 3:2-3), dan Simeon menggambarkan maksud dari kedatangan Yesus di Luk. 2:34-35 “Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata kepada Maria, ibu Anak itu: “Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu tanda yang menimbulkan perbantahan -- dan suatu pedang akan menembus jiwamu sendiri--,supaya menjadi nyata pikiran hati banyak orang.” Jadi, maksud Yesus dengan pernyataan misi-Nya “membawa api” ini adalah bahwa kerajaan Allah yang Dia wujudkan itu menunjukkan kehadiran Allah yang sekaligus mendatangkan penghakiman dan pemurnian. Tentu kita mengharapkan kebenaran itu harus diungkapkan, dan karena itu perlu api pemurnian. Pemurnian itu menyakitkan, terutama bagi kita yang mungkin saja memiliki banyak “kotoran” yang menempel pada diri kita. Mengikut Yesus secara total berarti siap untuk dimurnikan, siap untuk dibersihkan, walaupun bisa saja terasa sakit.

Misi II : Menerima Baptisan
Baptisan yang diterima oleh Yesus dalam teks ini tidak dalam pengertian baptisan secara umum. Melalui pernyataan-Nya ini, dan masih dalam konteks penghakiman dan penyucian (pemurnian), dengan bahasa kiasan Yesus hendak memberitahukan apa yang bakal terjadi dengan diri-Nya, yaitu tentang penyaliban-Nya, itulah sebabnya di ayat 50 dengan jelas Dia mengatakan bahwa hati-Nya susah sebelum baptisan itu berlangsung. Ini sangat menarik, sebab Orang yang mewujudkan kerajaan dan kehadiran Allah di dunia ini (yaitu Yesus) tidak sekadar memberitahukan api penghakiman dan pemurnian itu, tetapi diri-Nya sendiri sekaligus menanggung penghakiman dan pemurnian tersebut. Pada satu sisi baptisan merupakan janji sukacita bagi kita, tetapi pada sisi lain baptisan mendatangkan kesakitan yang luar biasa bagi Yesus. Mengikut Yesus secara total berarti siap menanggung sisi lain dari baptisan yang kita terima, sisi yang bisa saja mendatangkan kesakitan bagi kita.

Misi III : Membawa Pemisahan (pertentangan)
Konsekuensi dari api + baptisan untuk penghakiman dan pemurnian yang ditanggung dan diberitakan oleh Yesus adalah terjadinya pertentangan atau pemisahan. Ini memang merupakan konsekuensi “buruk” yang tidak dapat dielakkan. Selalu ada risiko dari keputusan kita mengikut Yesus. Di dunia ini ada banyak godaan kekayaan, status, dan kekuasaan, dan mereka yang tidak siap meninggalkan kenyamanan duniawi itu akan melawan/menentang kehadiran kerajaan Allah. Oleh sebab itu, Yesus – walaupun secara prinsip hendak mewujudkan pemerintahan yang penuh dengan kedamaian – namun dalam faktanya juga “terpaksa” membawa pertentangan atau pemisahan, yang bisa saja berakibat pada terganggunya relasi dalam keluarga yang selama ini sudah sangat akrab (mis. selama ini ada keluarga yang sudah terbiasa nyaman dengan segala kemudahan dan kemewahan karena “berkat” Tuhan melalui pekerjaan sang suami/istri/ayah, lalu ybs mengambil keputusan untuk mencukupkan dirinya dengan gajinya, tidak lagi melakukan korupsi, dll, dan tentu hal ini berdampak pada penghasilan keluarga, berdampak lagi pada pemenuhan kebutuhan dan kemewahan seisi keluarga itu. Apakah itu tidak menjadi persoalan?).

Ketiga misi Yesus dalam rangka mewujudkan kerajaan Allah inilah yang tidak diketahui oleh orang banyak pada waktu itu, bahkan tanda-tandanya saja pun tidak diketahui, padahal mereka bisa melihat, menilai, atau membedakan tanda-tanda alam (hujan atau panas). Itulah sebabnya Yesus mengecam mereka, bahkan menyebut mereka sebagai orang-orang munafik, pura-pura tidak tahu dengan tanda-tanda kedatangan kerajaan Allah yang sudah ada di hadapan mereka, mereka masih berada dalam paradigma lama, mengharapkan pemerintahan baru dengan bendera atau senjata perang, padahal Yesus mewujudkan pemerintahan baru itu dengan jalan yang tidak biasa, jalan kesederhanaan, jalan penderitaan, dan jalan salib. Inilah yang tidak bisa diterima oleh akal manusia, apalagi pada zaman sekarang yang sudah terbiasa dengan segala kemudahan, kenyamanan, kesenangan dan kemewahan, sulit menerima dan menjalani kesederhanaan, kesulitan, penderitaan, dan sejenisnya. Mengikut Yesus secara totoal, tidak hanya sekadar bersedia meninggalkan perangkap kekuasaan dan kenikmatan duniawi ini, tetapi juga menyiapkan diri untuk menghadapi suatu perlawanan, pertentangan, bahkan pemisahan karena tidak semua orang berkenan menerima kerajaan Allah seperti yang diberitakan oleh Yesus.

Hanya orang-orang yang bertahan sampai pada kesudahannya yang akan selamat (Mat. 24:13).

Sunday, August 7, 2022

Allah sendirilah Hakim – Lowalangi samösa Zanguhuku (Mazmur 50:1-6)

Khotbah Minggu, 07 Agustus 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Mazmur Asaf. Yang Mahakuasa, TUHAN Allah, berfirman dan memanggil bumi, dari terbitnya matahari sampai kepada terbenamnya.
2 Dari Sion, puncak keindahan, Allah tampil bersinar.
3 Allah kita datang dan tidak akan berdiam diri, di hadapan-Nya api menjilat, sekeliling-Nya bertiup badai yang dahsyat.
4 Ia berseru kepada langit di atas, dan kepada bumi untuk mengadili umat-Nya:
5 “Bawalah kemari orang-orang yang Kukasihi, yang mengikat perjanjian dengan Aku berdasarkan korban sembelihan!”
6 Langit memberitakan keadilan-Nya, sebab Allah sendirilah Hakim.

Teks khotbah hari ini (ay. 1-6) merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan ayat-ayat setelahnya (ay. 7-21). Oleh sebab itu, teks khotbah ini harus dipahami dalam satu kesatuan dengan seluruh ayat dalam pasal 50 ini. Mazmur 50 secara keseluruhan menyatakan dua dakwaan umum terhadap Israel, yaitu tentang praktik penyembahan atau ibadah mereka yang tidak diterima Tuhan (ay. 7-15), dan tentang kekosongan dan kemunafikan mereka (ay. 16-21). Atas kedua dakwaan tersebut, Allah menegaskan bahwa Dia adalah Hakim yang akan menghakimi mereka dalam keadilan-Nya.

Dalam ayat 7-15, dakwaan pertama, Allah mengecam praktik penyembahan Israel. Pada prinsipnya, Allah tidak menolah ibadah umat kepada-Nya, tetapi Allah menolak penyembahan yang menggantikan ibadah yang sejati kepada Allah. Ada semacam penyalahartian dan penyalahgunaan ibadah di Israel, terutama berkenaan dengan pemberian persembahan (ibadah korban). Bangsa Israel membayangkan bahwa persembahan adalah pemberian mereka kepada Tuhan. Dengan pemahaman seperti ini, bangsa Israel menempatkan diri mereka sebagai pihak yang memenuhi kebutuhan Tuhan. Mereka adalah subjek dan Allah merupakan objek dari penyembahan dan persembahan manusia. Ada klaim yang salah dengan pemahaman dan praktik ibadah seperti ini, yaitu bahwa merekalah yang memiliki apa yang seharusnya menjadi milik Tuhan.

Sebenarnya, tidak salah menyampaikan persembahan kepada Allah, itu malah merupakan bagian dari perjanjian Allah dengan umat-Nya. Masalahnya adalah bangsa Israel mulai melihat pengorbanan mereka sebagai sesuatu yang dibutuhkan Tuhan, sebagai sesuatu yang Tuhan andalkan. Pemahaman seperti ini mirip dengan praktik ibadah paganisme di sekitar Israel kuno, dimana umat merawat, memeliharan, dan memberikan makanan kepada para dewa. Dengan memberikan pengorbanan, para penyembah menjadikan para dewa sebagai klien atau pelanggan mereka yang siap sedia. Dengan kata lain, apabila manusia memberikan pengorbanan kepada para dewa, maka manusia pun dapat mengubah dewa tersebut menjadi hamba manusia yang akan melakukan apa yang diinginkan oleh manusia. Distorsi penyembahan seperti inilah yang secara perlahan tetapi pasti mematikan manusia itu sendiri, merayap ke dalam pikiran kita seperti ular yang mendesis.

Sikap seperti inilah yang dikecam oleh Allah, bertentangan dengan prinsip iman yang sesungguhnya, mengingkari perjanjian mereka dengan Tuhan. Maka, Allah sendiri yang akan menjadi Hakim yang adil atas mereka. Itulah sebabnya pemazmur menegaskan kepemilikan dan kekuasaan Allah atas seluruh ciptaan, untuk menyadarkan bangsa Israel akan kesalahan mereka dalam penyembahan dan pemberian korban kepada Allah. Apapun yang dipersembahkan oleh manusia kepada Allah, itu bukan pemberian kita seolah-olah kitalah yang memenuhi kebutuhan Tuhan. Persembahan yang disampaikan oleh manusia merupakan tindakan syukur kita atas semua yang telah dilakukan dan diberikan oleh Tuhan kepada umat-Nya. Bukan Allah yang membutuhkan pengorbanan (penyembahan dan persembahan) manusia, sebaliknya kita yang membutuhkan Allah. Apabila umat Tuhan tidak taat pada perjanjian ibadah seperti ini, maka Allah sendiri yang akan menjadi Hakim yang adil atas kita.

Dalam ayat 16-21, dakwaan kedua, keluhan serupa diajukan terhadap Israel. Pada dakwaan pertama, Allah, sebagaimana disampaikan oleh pemazmur mengeluhkan praktik beribadah bangsa Israel, sedangkan pada dakwaan kedua ini Allah mengeluhkan kekosongan dan kemunafikan bangsa yang mengaku beribadah kepada Tuhan itu. Mereka mempertontonkan ibadah (penyembahan dan persembahan) yang kelihatannya saleh, tetapi sesungguhnya penuh dengan kehampaan dan kemunafikan. Dalam realitasnya, mereka justru menjalani kehidupan yang rakus dan predator. Secara lahiriah, mereka rajin beribadah, seolah-olah taat pada keputusan Tuhan. Namun demikian, dalam kenyataannya, mereka hidup dengan cara yang bertentangan dengan kehendak Tuhan, seolah-olah Tuhan tidak berdaya untuk menegakkan kehendak-Nya sendiri. Mereka melakukan apa yang baik menurut keinginan mereka, dan merasa bahwa Allah tidak bisa bertindak apa-apa atas mereka, sebab mereka sudah memberikan persembahan kepada-Nya.

Bangsa itu lupa pada perjanjian mereka dengan Allah, bahwa mereka seharusnya menunjukkan ketaatan yang tulus dan jujur di hadapan Allah. Oleh karena pelanggaran seperti ini, Allah tampil dan akan menjadi Hakim atas mereka, Hakim yang adil. Allah hanya meminta kepada manusia: “setialah dan tepati janjimu pada-Ku, seperti Aku menepati janji-Ku kepadamu.” Jangan pernah membayangkan bahwa kita bisa mengibuli Allah. Tidak akan ada satu pun yang tersembunyi di hadapan Hakim yang adil itu. Kasus Brigadir J yang viral dalam beberapa minggu terakhir, bisa saja tidak terungkap 100%, tetapi di hadapan Allah, Hakim yang adil, semuanya akan terlihat dengan jelas. Manusia tidak bisa merekayasa kasusnya di hadapan Allah, sebab Dia sudah tahu semuanya.

Banyak orang yang gagal dalam ibadah, bukan karena tidak melakukannya, melainkan karena beribadah dengan pemahaman dan cara yang salah. Banyak orang beribadah, tetapi beribadah dalam kesalahpahaman dengan arah dan orientasi yang salah. Kita bisa melihat, bahkan mungkin terlibat di dalamnya, betapa ibadah kita dewasa ini mengalami distorsi atau penyimpangan yang tidak sesuai lagi dengan kehendak Allah. Bukankah banyak orang Kristen yang beribadah secara teratur, tetapi tidak sungguh-sungguh menghayati dan menghidupi ibadahnya itu? Bukankah banyak orang Kristen yang secara lahiriah beribadah secara rutin, tetapi dalam hidupnya sehari-hari justru menunjukkan ketidaktaatan kepada Tuhan yang dia sembah itu? Bukankah banyak orang Kristen yang merasa sudah memberikan persembahan kepada Tuhan, tetapi di dalamnya penuh dengan kehampaan dan kemunafikan? Bukankah ada orang Kristen yang dapat memuji Tuhan dengan penuh semangat di dalam gereja atau dalam persekutuan-persekutuan doa, tetapi kemudian menjadi “monster” dalam keluarga, di tempat kerja, dan dalam kehidupan sehari-hari? Atas hal-hal seperti ini, Allah tampil sebagai Hakim, Dia menyatakan penghakiman-Nya yang tegas.

Allah tidak akan berdiam diri melihat manusia yang seolah-olah beribadah kepada-Nya tetapi sesungguhnya hanya sebagai kamuflase untuk menutupi kebobrokannya. Allah datang sebagai Hakim dengan segala keperkasaan dan kemahakuasaan-Nya. Manusia akan melihat sendiri bahwa Allah adalah Hakim, dan “Langit memberitakan keadilan-Nya, sebab Allah sendirilah Hakim” (Mzm. 50:6).

Saturday, June 18, 2022

Tobali Ono Lowalangi moroi ba Wamati khö Yesu Keriso (Galatia 3:23-29)

Khotbah Minggu, 19 Juni 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

23 Sebelum iman itu datang kita berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan.
24 Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman.
25 Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun.
26 Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus.
27 Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus.
28 Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus.
29 Dan jikalau kamu adalah milik Kristus, maka kamu juga adalah keturunan Abraham dan berhak menerima janji Allah.


Faruka niha Keriso si so ba mbanua Galatia andre, so niha Yehuda so göi Ndrawa Heleni, so nifotöi sokhö (tuan) ba so göi zawuyu (hamba). No fabö’öbö’ö lala wa’aurira, ba alua göi wamaehumaehunia niha ba da’ö hewa’ae no tobali ira niha Keriso. So wamahaö moroi ba niha Keriso-Yehuda wa awena tola musöndra wangorifi na mu’o’ö goroisa, tenga ha famati khö Yesu Keriso manö. Lamane göi niha Keriso si tenga niha Yehuda mege, lö moguna sa’ae goroisa, lö manö amakhaitania ba khö Keriso. Faoma itegu ira Faulo ba wamahaöra da’e, ihöndrögö sibai wanguma’ö wa ha ba khö Keriso so wangorifi, tenga ba wolo’ö oroisa; ba lö göi fao dödö Waulo ba niha si lö ba dödö oroisa, imane wanguma’ö: “ba no tobali samamaha yaʼita goroisa andrö, ba khö Keriso, enaʼö moroi ba wamati andrö atulö ita, iwaʼö Lowalangi” (ay. 24). Eluahania, no sia’a goroisa andrö fatua lö na tohare Yesu Keriso, ba iada’e Yesu Keriso samösa sa’ae zia’a, Ya’ia Zangorifi niha, tenga oroisa. Moguna goroisa tobali samamaha ma samobawa lala (penuntun) ba khö Keriso.

Ba hewisa me no tohare Yesu Keriso? Hadia zoguna? Famati! Da’ö zoguna, famati ba khö Keriso, tenga sa’ae barö gamatöröwa goroisa so niha, ba tenga göi da’ö geluaha tola ilaulau manö zomasi dödönia niha. Me no so Keriso, aefa niha moroi ba wangosawuyu horö, aefa niha moroi ba wamatörö goroisa, ba iada’e so ira barö wamatörö Yesu Keriso. Lö irai iwa’ö Yesu ba he göi ira sinenge-Nia wa lö eluaha goroisa. Imane Yesu: “böi miwaʼö tödömi, ba wowuʼai oroisa, awö zura zamaʼeleʼö andrö, möi ndraʼo; tenga ba wowuʼai, ba woloʼö oroisa möi ndraʼo” (Mat. 5:17). Aefa niha moroi barö mbawa goroisa, börö me no isalahini niha Yesu Keriso wolo’ö fefu oroisa andrö, ba iada’e no ba khö Keriso so niha, ba fa’auri Keriso zi so khöra. Da’ö sambua geluaha wamayagö idanö ba khö Keriso, tandra wa ba khö Keriso so niha, nukha Keriso ni’oguna’ö, tenga nukha goroisa, tenga nukha zawuyu, tenga göi nukha horö (ay. 27). Modanedane ba da’e, tekaoni dozi samati “ono Lowalangi moroi ba wamati andrö khö Keriso Yesu” (ay. 26).

Andrö börö da’ö, me no ba khö Keriso so zamati, me tenga sa’ae barö mbawa goroisa so ira, ba lö moguna sa’ae mufaehufaehusi niha molo’ö bosi wa’auri zamösana. Da’ö niwa’ö Waulo ba ayati 28: “Ba daʼö lö niha Yehuda, ba lö Dawa Heleni, lö sawuyu ba lö si tenga sawuyu, lö ira matua, ba lö ira alawe; dozi ami sa, ba ha samösa, ba khö Keriso Yesu”. Lö fao dödö Waulo na so niha Keriso samaehumaehuni awönia, lö faudu da’ö iwa’ö ba nösi wamati niha Keriso. I’ila Faulo sa wa tebai mu’osilömilagö wa so niha Yehuda ba gotalua zamati khö Yesu, so Ndrawa Heleni, so zawuyu, so zi tenga sawuyu, so ndra matua, so ndra alawe. Ba hiza, tebai mubali’ö danedane wa’afaehufaehu da’ö ba wangöhöndrögö awö, ma ba wayawasa khö nawö. Imane wanguma’ö: “dozi ami sa, ba ha samösa, ba khö Keriso Yesu” (ay. 28b).

Hadia geluaha wehede Waulo “dozi ami sa, ba ha samösa, ba khö Keriso Yesu” ba zurania andre? Ya’ia da’ö, dozi niha samati ba khö Keriso ba no ha sambua ira ba khö Keriso Yesu, ha samösa zangorifi ya’ira, fagölögölö manö, lö fabö’ö zangorifi niha Yehuda moroi ba Ndrawa Heleni, lö fabö’ö zangorifi si tenga sawuyu moroi ba zawuyu, lö fabö’ö zangorifi ira matua moroi ba ndra alawe. Ha samösa zangorifi fefu, ya’ia Yesu Keriso. Niha Yehuda sanema’ö oroisa, ha ba khö Yesu lasöndra wangorifi. Dawa Heleni si lö manema’ö oroisa niha Yehuda, ha ba khö Yesu lasöndra wangorifi. Simanö göi zawuyu awö zi tenga sawuyu, ira matua ba ira alawe. Sedöna iwa’ö Faulo ba da’e ya’ia da’ö wa tanö föna Lowalangi, ma ba khö Keriso, no oi fagölögölö manö niha, no oi mamazökhi horö ira fefu, ba hiza no i’orifi ira Keriso Yesu, fefu oi sanema ondröita dali gamabu’ula li Lowalangi khö Gaberahamo (ay. 29).

No te’efa’ö ita moroi ba wangosawuyu hörö, no te’efa’ö ita moroi ba wamatörö zi lö sökhi, owuawua dödöda iada’e. Ba hiza, tenga da’ö geluaha, tola manö tafalua zomasi dödöda, irege tebai sa’ae nifatörö wa’aurida. Tenga da’ö geluaha ena’ö tatörö lala nösi niha, satulönia faoma talau zi sökhi, tatolo nawöda moroi ba wa’omasi andrö (Gal. 5:13).

So niha sanguma’ö ba ginötö andre wa lö salania na tafalua zi lö sökhi asala böi olifu ita wangondrasi ahe röfa Yesu dania. Niha sangaohangaoha zamalua simane da’e, sanandrawaisi halöwö Geheha Zo’aya ba wa’aurinia. Atulö sa wa no i’orifi ita Yesu Keriso, isasai horöda do-Nia andrö ni’amoni’ö, ba hiza böi tobali fa’aganunoda da’ö wolau si lö atulö wanguma’ö “ibologö sa dödö-Nia dania So’aya na möido zui tanö föna-Nia wangandrö fangefa horö”. Tenga amuata niha Keriso sindruhu zimanö, amuata niha baero samotöi ya’ia niha Keriso.

Hewisa niha samati ba khö Keriso, niha si no aefa moroi ba wangosawuyu zi lö sökhi? Hewisa ia ba wahasambuata? Imane Faulo mege: “ha samösa ba khö Keriso Yesu”, ha sambua ira ba wahasambuata ba khö Keriso Yesu. Andrö lö faudu ba lö moadu na so niha ifakiko wahasara dödö ba khö Keriso, ma ibali’ö ia börö wamabali orahua mbanua niha Keriso. Niha samati khö Yesu, i’ila irorogö wahasambuata ba khö Keriso Yesu, tobali ia samaeri orahua mbanua niha Keriso, tobali howuhowu ia gofu heza so ia.

Hewisa göi gamuata niha samati ba khö Keriso ba wariawösa ba nawönia? Satulönia, niha samati ba lö ifaehufaehunia niha molo’ö dadaoma ma fetaro bakha ba mbanua ba ba wamareta.

Asese tesöndra nasa niha samaehumaehuni awönia niha, abölö ifosumange niha si so fetaro salawa (pejabat, nga’ötö mbalugu/si’ulu), ba lö ba dödönia niha si to’ölö manö (siwarawara, masyarakat biasa). Fataria alua zimane da’e göi ba halöwö ba gosali, so nifotöi “tokoh agama” ba so nifotöi banua niha Keriso sato (si to’ölö, warga jemaat biasa). Abölö lafonaha wehede ndra “tokoh agama” (pejabat, niha so kefe, segebua ame’ela ba gosali, btn), la’o’ö manö niwa’öra, ba lö sa lafondrondrongo wehede mbanua niha Keriso sigide’ide. Lö faudu ba gamuata zamati zimane da’e, börö me sindruhunia ha samösa ma ha sambua ita ba khö Keriso, fagölögölö sanema ondröita ita khö Lowalangi. Na Lowalangi samösa, lö ebua zambuana dödö-Nia ba niha, ba hana dania wa ya’ita andre tafaehufaehuni wamaigi awöda niha?

So ösa ndra sohalöwö ba wamareta ba ba gosali, ha sambua daokania na ikaoni ia niha si so dadaoma salawa, alio ia wanema li ba HP, alio ia wo-sms ma W.A, ba na niha si to’ölö, ma niha niwa’önia tounia so wetaro da’ö, ba i’osilömamondrongo ma i’osolifugö na so wogaoni da’ö ba HP/sms/W.A.

So göi nasa gamuata ni’ilada ba gotalua mbanua niha Keriso, ni’ilada ba wa’auri sero ma’ökhö, ya’ia da’ö famaehumaehuni niha molo’ö ngasi ndra matua ba ngasi ndra alawe. Tesöndra nasa ba gotalua mbanua niha Keriso sabölö mamosumange ira matua moroi ba ndra alawe, so ösa göi zi lö mamonahia ma’ifu fehede ndra alawe, he yomo ba nomo, he ba gotalua wa’atalifusöta, he ba mbanua, ba he göi bakha ba gosali. Abölö lafonaha wehede ndra matua, hulö na alawa mbosi ndra matua moroi ba ndra alawe, ba sindruhunia ha sa sambua ita mege iwa’ö Faulo ba khö Keriso, lö ira matua ba lö ira alawe.

Niha Keriso si no tobali ono Lowalangi moroi ba wamati, so khönia gamuata nono Lowalangi andrö simane si no muzarazara moroi yawa mege.

Saturday, June 11, 2022

Tuhan kita Mulia dan Agung – Solakhömi ba Salawa Yehowa andrö (Mazmur 8:1-10)

Khotbah Minggu, 12 Juni 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Gitit. Mazmur Daud.
2 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi! Keagungan-Mu yang mengatasi langit dinyanyikan.
3 Dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu telah Kauletakkan dasar kekuatan karena lawan-Mu, untuk membungkamkan musuh dan pendendam.
4 Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang-bintang yang Kautempatkan:
5 apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?
6 Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
7 Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kauletakkan di bawah kakinya:
8 kambing domba dan lembu sapi sekalian, juga binatang-binatang di padang;
9 burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut, dan apa yang melintasi arus lautan.
10 Ya TUHAN, Tuhan kami, betapa mulianya nama-Mu di seluruh bumi!


Mazmur 8 pada satu sisi merupakan himne pujian yang ditujukan kepada Tuhan, tetapi pada sisi lain berbicara tentang manusia, baik menyangkut kekuasaan yang dimilikinya maupun menyangkut hubungannya dengan ciptaan lainnya. Secara sederhana pemazmur menegaskan bahwa kekuasaan atau kedaulatan manusia (atas ciptaan lainnya) hanya dapat dipahami dengan baik dan atau harus ditempatkan dalam terang kedaulatan ilahi, Sumber kekuasaan/kedaulatan yang sesungguhnya.

Pujian kepada TUHAN dalam teks ini hendak menyatakan bahwa TUHAN itu sungguh mulia, agung, dan penuh kuasa. Pemazmur menegaskan bahwa TUHAN (Yahweh) adalah Tuhan, Penguasa. Kata-kata yang menegaskan ketuhanan dan kedaulatan TUHAN merupakan kata-kata yang biasa digunakan untuk seorang raja (lih. 1Raj. 1:11, 43, 47). Pujian dan penegasan ini sekaligus merupakan pengakuan akan kekuasaan Allah atas seluruh ciptaan, dan tidak ada satu pun musuh yang dapat bertahan di hadapan-Nya. Wilayah kekuasaan TUHAN meliputi seluruh bumi, dan bahwa seluruh ciptaan berada di bawah kedaulatan-Nya.

Frasa “dari mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu …” (ay. 3) agak sulit dipahami. Namun demikian, frasa ini sepertinya hendak menunjukkan kekuatan Tuhan yang mengatasi “musuh dan pendendam”, yaitu segala kekuatan kekacauan yang pernah Tuhan kalahkan dalam penciptaan. Kata-kata pemazmur ini mengingatkan kita pada kisah penciptaan langit dan bumi dalam Kejadian 1. Pada kisah penciptaan tersebut, Tuhan Allah mengubah kekacaubalauan (yang dibahasakan dengan kalimat “bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya”) menjadi suatu keteraturan yang begitu indah, sehingga “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej. 1:31).

Ekspresi pemazmur dalam teks ini mencerminkan kekaguman atas karya Allah yang luar biasa. Pada ayat 4 pemazmur menggambarkan langit dengan ungkapan yang indah sebagai “buatan jari TUHAN”, serta bulan dan bintang-bintang ditempatkan sedemikian rupa oleh TUHAN sehingga menghasilkan suatu tatanan kosmos yang luar biasa. Mengagumi keajaiban penciptaan alam semesta hanya mungkin muncul dari dalam diri orang yang sungguh-sungguh menghayati keindahan karya Allah dalam hidupnya. Semakin kita dekat dengan TUHAN, semakin kita melihat dan menikmati kemuliaan dan keagungan karya-karya-Nya. Alam semesta diciptakan sedemikian rupa dalam tatanan yang begitu indah: bulan dan bintang-bintang dengan cahayanya yang lembut pada malam hari, matahari dengan cahayanya yang terang pada siang hari, bumi (lautan dan daratan) dengan segala isinya yang melimpah. Sungguh, Tuhan kita mulia dan agung!

Kemuliaan dan keagungan TUHAN semakin nyata dengan pemberian “kekuasaan” bagi manusia yang diciptakan-Nya. Tetapi ada kesadaran yang amat dalam di sini, bahwa manusia sebenarnya tidak “pantas” menerima sebagian dari kekuasaan ilahi itu. Hal ini terungkap melalui pertanyaan-pertanyaan di ayat 5: “apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya? Apakah anak manusia, sehingga Engkau mengindahkannya?” Pertanyaan seperti ini terungkap juga di Mazmur 144:3 “Ya TUHAN, apakah manusia itu, sehingga Engkau memperhatikannya, dan anak manusia, sehingga Engkau memperhitungkannya?” Pemazmur pun dengan singkat memperjelas seperti apakah manusia itu: “Manusia sama seperti angin, hari-harinya seperti bayang-bayang yang lewat” (Mzm. 144:4). Kata-kata ini mengingatkan kita akan kefanaan manusia, kerapuhan kita sebagai manusia. Hanya orang yang sadar akan kefanaan dan kerapuhannya yang mampu mengisi hidupnya dengan sesuatu yang “kekal”, sesuatu yang bisa menolong dirinya mendekatkan diri dengan Allah yang kekal. Persoalannya ialah banyak manusia yang mengisi hidupnya dengan banyak hal yang sebenarnya “fana” seolah-olah dia tidak akan berlalu, sehingga dia lupa untuk mengabdikan dirinya untuk TUHAN.

Namun demikian, di sini, di Mazmur 8, tanpa mengabaikan kefanaan dan kerapuhan manusia, pemazmur menemukan kemuliaan dan keagungan TUHAN yang begitu menakjubkan, yaitu bahwa Allah yang menetapkan tatanan langit sebenarnya amat peduli terhadap manusia, untuk kita, untuk saya. Itulah maksud dari pertanyaan pemazmur di ayat 5. Berefleksi dari Kejadian 1:26-27, bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah, pemazmur menyatakan bahwa manusia, hanyalah manusia biasa, dibuat sedikit kurang dari ilahi (ayat 6a). Kita menyandang gambar dan rupa Allah di dunia. Seperti Allah Tuhan kita, kita “dimahkotai” dengan “kemuliaan dan kehormatan” (ayat 6b). Dengan kata lain, dalam hubungan kita dengan dunia, kita mencerminkan karakter Tuhan sebagai Yang Berdaulat.

Tuhan telah memberi kita “kekuasaan” atas dunia ciptaan-Nya, dan meletakkan segala sesuatu di bawah kaki kita (ayat 7). Jangkauan kekuasaan kita, seperti milik Tuhan, mencakup segalanya, dari hewan peliharaan hingga hewan liar, burung, dan makhluk laut (ayat 8-9). Kita dibuat untuk berbagi dalam pemerintahan Tuhan atas dunia, untuk melayani sebagai perwakilan dari kekuasaan Tuhan sendiri. Namun demikian, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, kekuasaan atau kedaulatan manusia (atas ciptaan lainnya) harus ditempatkan dalam terang kedaulatan ilahi, Sumber kekuasaan/kedaulatan yang sesungguhnya. Tuhanlah yang sesungguhnya berdaulat atas seluruh ciptaan, dan manusia diberi semacam kepercayaan untuk berkuasa atas ciptaan-ciptaan itu. Tuhan telah menyediakan segala sesuatu bagi kita, Dia pun menginginkan kebaikan kita, dan memampukan kita untuk mencerminkan citra Allah dalam tata kelola yang benar dari sesama makhluk di alam semesta ini. Jadi, tidak ada kekuasaan dan kedaulatan mutlak dari manusia; kedaulatan yang mutlak itu hanya milik Allah.

Dunia yang ada di kaki kita (ay. 7) bukan untuk kita injak-injak semena-mena. Kita justru ditugaskan untuk merawat, memelihara, dan mengelolanya untuk kebaikan semua, sama seperti Allah pada mulanya menciptakan dengan amat baik. Dalam kekuasaan kita atas ciptaan lainnya, kita harus mengingat perjanjian dan perintah Tuhan, dan tidak mencari kebaikan kita sendiri dengan mengorbankan dunia sekitar kita. Menjadi manusia yang segambar dan serupa dengan Allah berarti bertanggung jawab atas sesama makhluk, dan kita harus mengambil tanggung jawab itu dengan sangat serius.

Selain itu, Mazmur 8 pada satu sisi mengakui kekuasaan kita, tetapi pada sisi lain mengingatkan kita akan kerendahan hati kita. Kita masing-masing masih menjadi manusia normal yang terpesona menatap bintang-bintang dengan takjub. Kita menyandang gambar dan rupa Allah, tetapi kita bukanlah Tuhan; kita masih dan tetap manusia biasa. Oleh sebab itu, kita harus menyadari adanya keterbatasan kita dalam menjalankan tanggung jawab kita atas ciptaan Tuhan di dunia ini. Kita juga diingatkan bahwa kita adalah bagian dari ciptaan yang dikaruniakan Allah kepada kita kekuasaan. Kita tidak berdiri terpisah dari sesama makhluk, tetapi kita berdiri bersama mereka.

Semua makhluk, termasuk manusia, hidup dalam ketergantungan satu sama lain. Semakin kita memiliki kekuasaan atas ciptaan, kita juga bergantung pada ciptaan lain tersebut untuk kesejahteraan kita. Kedaulatan kita tidak pernah bisa berarti bahwa kita menempatkan diri kita di atas ciptaan lain. Sebagai “tuan” atas ciptaan lain, kita sebenarnya adalah pelayannya. Dengan menyadari dan menerapkan kekuasaan dan kedaulatan seperti ini, maka kemuliaan dan keagungan Tuhan semakin nyata dalam diri kita dan siptaan lainnya.

Saturday, June 4, 2022

Hidup dalam Roh – Sauri ba Geheha (Roma 8:8-11)

Khotbah Minggu Pentakosta I, 05 Juni 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

8:8 Mereka yang hidup dalam daging, tidak mungkin berkenan kepada Allah.
8:9 Tetapi kamu tidak hidup dalam daging, melainkan dalam Roh, jika memang Roh Allah diam di dalam kamu. Tetapi jika orang tidak memiliki Roh Kristus, ia bukan milik Kristus.
8:10 Tetapi jika Kristus ada di dalam kamu, maka tubuh memang mati karena dosa, tetapi roh adalah kehidupan oleh karena kebenaran.
8:11 Dan jika Roh Dia, yang telah membangkitkan Yesus dari antara orang mati, diam di dalam kamu, maka Ia, yang telah membangkitkan Kristus Yesus dari antara orang mati, akan menghidupkan juga tubuhmu yang fana itu oleh Roh-Nya, yang diam di dalam kamu.


Dalam teks khotbah hari ini, Paulus mempertentangkan dua asas hidup, yaitu hidup dalam daging dan hidup dalam Roh. Menurutnya, hidup dalam daging merupakan hidup lama (di bawah Hukum Taurat) yang berorientasi pada hal-hal yang bersifat daging (ukuran/standar/keinginan daging), sedangkan hidup dalam Roh merupakan hidup baru (dalam kasih karunia Kristus) yang berorientasi pada hal-hal yang “rohani” (ukuran/standar/ keinginan Roh). Keinginan daging adalah maut, sedangkan keinginan Roh adalah hidup dan damai sejahtera (ay. 6). Hidup dalam daging berpusat pada diri sendiri, memusuhi Allah, tidak berkenan kepada Allah dan benar-benar tidak mampu untuk menaati hukum Allah (ay. 7-8), sedangkan hidup dalam Roh berarti Roh Allah diam di dalam dirinya dan dia beroleh kehidupan oleh karena kebenaran (ay. 9, 10).

Paulus (sengaja) memaparkan kedua asas hidup ini dengan mempertentangkannya, supaya manusia (Kristen Yahudi dan non Yahudi di Roma) dapat melihat keduanya dengan jelas, terang benderang, termasuk akibat dari masing-masing asas hidup itu, dan pada akhirnya manusia dapat mengambil keputusan yang tepat untuk memilih hidup dalam Roh (dalam kasih karunia Yesus Kristus) atau sebaliknya hidup dalam daging (di bawah Hukum Taurat). Dengan sangat tegas Paulus mengatakan bahwa hidup dalam Roh berarti Roh Allah diam di dalam dirinya, dan karenanya manusia dibimbing pada kehidupan dan damai sejahtera, sedangkan hidup dalam daging berarti bermusuhan dengan Allah, dan karenanya membawa manusia pada maut (“kematian”).

Pertanyaannya sekarang ialah apa yang dimaksud dengan hidup dalam Roh dan hidup dalam daging itu?

Hidup dalam daging berarti permusuhan dengan Allah, tidak takluk kepada hukum Allah, sulit taat pada hukum Allah, tidak berkenan kepada Allah, bukan milik Kristus, tubuh mati karena dosa dan menuju kepada maut (tidak ada pengharapan), dikuasai oleh dosa.

Hidup dalam Roh berarti Roh Allah diam/tinggal di dalam dirinya, milik Kristus, tubuh mati karena dosa tetapi menuju pada kehidupan, ada pengharapan akan kebangkitan (ay. 11)

Manusia memang memiliki tabiat untuk hidup dalam daging, tetapi manusia dapat memilih untuk mengikuti kehendak tabiat itu atau sebaliknya melawannya dengan hidup di dalam Roh Allah. Tentu, setiap pilihan mempunyai akibatnya sendiri, dan manusia tidak dapat lagi menghindar dari akibat pilihannya itu.

Hidup dalam daging berarti mencari, mengusahakan, memberi perhatian, mengarahkan kehidupannya pada hal-hal lahiriah yang dapat menyenangkan dirinya sendiri, tidak peduli apakah itu tidak benar. Ukuran/standar yang dipakai dalam hidupnya adalah kesenangan/kesukaan dirinya, bukan kesenangan/kesukaan Kristus. Seringkali memakai standar ganda, kalau sesuatu itu, termasuk firman Tuhan dapat memuaskan kehendaknya, maka dia menerimanya, tetapi apabila tidak sesuai dengan keinginannya maka dia akan menolaknya, paling tidak mencari-cari alasan untuk tidak taat pada firman Tuhan (mis. ba gulidanõ nasa so ita, lõ manõ so’ahonoa niha andre, dll).

Sebaliknya, orang yang hidup dalam Roh, selalu menempatkan Allah dan firman-Nya sebagai standar/ukuran dari semua yang dia lakukan, termasuk pelayanan yang dia lakukan.

Setelah memperhadapkan manusia pada kedua asas hidup ini, Paulus mengingatkan jemaat Kristen bahwa mereka (oleh kasih karunia Tuhan Yesus) tidak hidup dalam daging, tetapi dalam Roh, mereka tidak hidup menurut ukuran daging, tetapi ukuran Roh Kristus, mereka tidak dipengaruhi lagi oleh lingkungan dunia yang semakin edan, tetapi tetap dalam jati dirinya sebagai orang-orang yang telah beroleh kasih karunia Kristus, orang-orang yang hidup di dalam Roh. Semuanya ini dapat terlihat dalam kelakuan manusia itu sendiri. Banyak orang yang pada akhirnya tidak dapat mempertahankan jati dirinya sebagai orang Kristen di tengah-tengah dunia yang penuh dengan “godaan” ini, banyak orang yang “menyerah” pada keinginan duniawi. Seorang perokok misalnya, bertekad untuk mengurangi bahkan berhenti merokok, dan dia bisa melakukannya selama beberapa hari/minggu, namun suatu saat dia merokok dengan alasan sulit menolak tawaran teman-teman.

Hidup dalam daging berarti berada dalam lingkungan pengaruh daging itu, terhanyut dalam pengaruh lingkungan yang penuh dengan “racun kehidupan” atau “virus kehidupan” yang merusak. Karena itu, hidup dalam Roh berarti mencabut diri dari pengaruh lingkungan yang merusak itu, dan itu hanya terjadi apabila Roh Allah diam di dalam kita. Fao ita ba zatuatua ba atuatua gõi ita, fao ita ba zowõhõwõhõ ba owõhõwõhõ gõi ita. Ini tidak berarti bahwa kita harus menutup diri dari sesama atau dari lingkungan di mana kita berada, tetapi bagaimana kita harus mampu melakukan filter terhadap berbagai pengaruh dunia yang semakin memprihatinkan ini.

Dalam ayat 5-8 Paulus menggali lebih jauh ke dalam kehidupan lama. Sekali lagi daging dan Roh dikontraskan. Bahasa yang digunakan Paulus adalah bahasa pola pikir. Pola pikir adalah apa yang orang pikirkan, apa yang mereka fokuskan (ayat 5). Ketika orang fokus pada daging, hasilnya adalah kematian, baik fisik maupun spiritual dalam hal keterpisahan dari Tuhan. Itulah sebabnya pola pikir kedagingan menghasilkan permusuhan kepada Tuhan (ayat 6-7) dan mengapa "mereka yang ada di dalam daging tidak dapat menyenangkan Tuhan" (ayat 8). Karena "mereka yang hidup dalam daging" telah salah mengarahkan hidup mereka jauh dari Tuhan, mereka tidak dapat hidup seperti yang Tuhan inginkan dan jelas tidak dapat menyenangkan Tuhan. Tetapi ketika orang berfokus pada Roh, hasilnya adalah kehidupan dan kedamaian (ayat 6).

Dengan melihat dengan jelas ayat-ayat sebelumnya, Paulus dalam ayat 9-11 meminta orang-orang percaya Roma untuk “tidak hidup dalam daging,sebaliknya mereka harus “berada di dalam Roh.” Bagaimana mereka tahu bahwa “Roh Allah diam di dalam” mereka? Kehadiran Roh menandai mereka yang menjadi milik Kristus (ayat 9). Selanjutnya, Kristus ada di dalam mereka, dan meskipun tubuh mati, “Roh adalah hidup karena kebenaran.” “Roh adalah hidup” dalam arti memberi hidup. Roh berdiam di dalam tubuh yang mati dalam baptisan sehubungan dengan dosa (6:3-4) dan memberinya hidup. Dan melalui Roh yang sama itu, Allah yang telah membangkitkan Yesus dari kematian akan menghidupkan tubuh-tubuh orang percaya yang fana. 


Sunday, May 29, 2022

Orang Benar Berseru, TUHAN menjawab – Fe’ao Dödö Niha Satulö, Ifondrondrongo Yehowa (Mzm. 17:1-6)

Khotbah Minggu, 29 Mei 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

1 Doa Daud. Dengarkanlah, TUHAN, perkara yang benar, perhatikanlah seruanku; berilah telinga akan doaku, dari bibir yang tidak menipu.
2 Dari pada-Mulah kiranya datang penghakiman: mata-Mu kiranya melihat apa yang benar.
3 Bila Engkau menguji hatiku, memeriksanya pada waktu malam, dan menyelidiki aku, maka Engkau tidak akan menemui sesuatu kejahatan; mulutku tidak terlanjur.
4 Tentang perbuatan manusia, sesuai dengan firman yang Engkau ucapkan, aku telah menjaga diriku terhadap jalan orang-orang yang melakukan kekerasan;
5 langkahku tetap mengikuti jejak-Mu, kakiku tidak goyang.
6 Aku berseru kepada-Mu, karena Engkau menjawab aku, ya Allah; sendengkanlah telinga-Mu kepadaku, dengarkanlah perkataanku.


Permohonan yang Jujur dan Terbuka
Dalam Mazmur 17, Daud menggambarkan dirinya sedang berada dalam keadaan yang memprihatinkan. Mazmur 17 adalah permohonannya yang sungguh-sungguh kepada TUHAN, dia tidak menyembunyikan apa pun. Ini menunjukkan betapa dekatnya Daud dengan TUHAN; itulah sebabnya dia menceritakan dengan gamblang kondisinya dan menyampaikan permohonannya dengan jujur kepada TUHAN.

Pada ayat 1 dan 2, pemazmur memohon dengan sangat agar TUHAN memperhatikannya. Permohonannya ini menjadi lebih kuat pada ayat 6-9, ketika dia memohon kepada Tuhan untuk menyelamatkan orang-orang yang mencari perlindungan dari musuh mereka. Pemazmur ingin TUHAN melakukan sesuatu, yaitu memberikan pembebasan dan perlindungan dari orang-orang jahat yang mengelilingi kehidupannya. Musuh-musuh Daud ini ada hubungannya misalnya dengan Saul (yang mengejar dan menginginkan kematiannya), anaknya Absalom (yang memberontak), dll.

Permohonan Daud pada ayat 1-2 dan 6-9 berfungsi sebagai penanda kesetiaannya yang kuat terhadap cara-cara TUHAN (ayat 3-5). Dengan kata lain, di tengah penderitaan, pemazmur menegaskan bahwa dia tidak mengikuti jalan orang fasik tetapi telah menjalani kehidupan yang dicirikan oleh kebenaran. Oleh sebab itu, pemazmur memohon TUHAN untuk melihat dan memeriksa dengan sepenuhnya kehidupan pemazmur dan mencari bukti pelanggarannya. Daud bahkan memohon TUHAN untuk melakukan pemeriksaan ini di malam hari, dalam kegelapan, ketika pikiran, sikap, dan perilaku seseorang yang sebenarnya mungkin paling sulit disembunyikan. Ungkapan-ungkapan permohonan seperti ini menunjukkan bahwa pemazmur sepenuhnya yakin bahwa TUHAN tidak akan menemukan apa pun yang buruk dalam dirinya, yang dapat dijadikan alasan bahwa orang-orang jahat boleh mengancamnya. Daud dengan jujur dan yakin menunjukkan bahwa hanya kepatuhan yang teguh pada jalan TUHAN yang terus dia lakukan dalam hidupnya.

Hubungan yang Aktif dan Hidup
Secara keseluruhan, Mazmur ini hendak menyarankan dua hal. Pertama, bahwa hubungan antara pemazmur dan TUHAN adalah hubungan yang aktif, bukan pasif. Pemazmur memohon TUHAN untuk mendengarkan secara aktif seruannya, dan memberikan bukti yang kuat tentang kesetiaannya kepada TUHAN, dan akhirnya dia memohon TUHAN untuk bertindak melawan musuh-musuhnya atas nama pemazmur. Secara implisit, hal ini menunjukkan hubungan timbal balik yan aktif: Daud menunjukkan kesetiaan – TUHAN memberikan perlindungan. Dalam hubungan yang dekat seperti inilah ada semacam jaminan bahwa doa permohonan pemazmur didengarkan oleh TUHAN. Bersama TUHAN, manusia dapat menghadapi situasi apa pun dalam hidupnya.

Kedua, Mazmur ini menunjukkan bahwa hubungan aktif antara pemazmur dan TUHAN berada dalam kondisi yang “rentan” tetapi komunikasi mereka sangat jujur. Kedekatan pemazmur dengan TUHAN tidak menjadi jaminan bahwa pemazmur bebas dari berbagai ancaman dan persoalan. Pemazmur boleh saja memiliki hubungan yang aktif dan dekat dengan TUHAN, tetapi ancaman, tantangan, dan persoalan tetap saja hadir dalam hidupnya. Namun demikian, pemazmur tidak berniat untuk memutuskan hubungan dengan TUHAN, sebaliknya dia terus membangun komunikasi yang intens dengan TUHAN. Dengan sangat terbuka, dia menceritakan apa pun yang dia alami, dan tanpa ragu-ragu dia mengungkapkan kesetiannya kepada TUHAN. Daud memohon TUHAN untuk mendengarkan dan memperhatikan seruannya (ay. 1-2); tanpa ragu Daud memohon TUHAN untuk memberikan telinga-Nya (untuk mendengarkan seruannya) dan mata-Nya (untuk memperhatikan situasinya). Komunikasi seperti ini hanya mungkin terjadi di antara dua pihak yang begitu dekat, dan itulah Daud dengan TUHAN. Demikianlah orang yang dekat dengan TUHAN, dapat menyampaikan keluh kesahnya dalam doa dengan jujur dan gamblang tanpa keraguan. TUHAN tentu saja mendengarkan seruan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Dia. Mazmur ini mengajak kita untuk memahami bahwa kita tidak perlu menjadi sempurna untuk menyatakan ketidakbersalahan kita kepada Tuhan. Memang, tidak ada orang yang sempurna, tetapi hubungan yang dekat dengan Tuhan dapat memberikan semacam pengharapan bahwa Tuhan akan menjawab doa-doa kita.

Mengikuti Teladan Pemazmur
Dengan permohonan yang sungguh-sungguh, Mazmur 71 mengingatkan kita bahwa kita dapat menanggung beban dan kekhawatiran kita yang terdalam kepada Tuhan dengan keyakinan, seperti yang telah dilakukan oleh pemazmur. Sama seperti pemazmur, kita dapat memohon Tuhan untuk melindungi kita dari hal-hal yang mungkin merugikan atau mengancam kehidupan kita. Ingat kembali nasihat Yakobus satu minggu yang lalu (22-05-2022), bahwa kalau kita berada dalam situasi tertentu yang tidak menguntungkan, berdoalah (lih. Yakobus 5:13-16). Ketika kita berada dalam situasi sulit, hal pertama dan utama yang harus kita lakukan adalah berdoa, curhat kepada TUHAN, bukan curhat di medsos.

Mazmur 17 juga mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan Tuhan haruslah aktif dan hidup, ada hubungan timbal balik yang saling menguntungkan. Seperti yang telah ditunjukkan oleh pemazmur, hubungan ini paling baik diungkapkan bukan saja ketika kita memandang Tuhan sebagai Pahlawan surgawi yang kepada-Nya kita meminta bantuan ketika berada dalam kesulitan, melainkan ketika kita mempertahankan perjanjian dan kedekatan kita dengan Tuhan. Dengan demikian, kita dapat dengan yakin menghadapi situasi apa pun, sebab kita percaya bahwa Tuhan pasti menyertai kita, entah dalam situasi buruk ataupun situasi baik.

Tentu saja, kita tidak punya pilihan selain berpartisipasi dalam hubungan ini dengan percaya diri. Pemazmur telah memberikan contoh luar biasa bagi kita. Kita menyuarakan permohonan dan keluh kesah kita kepada Tuhan, dan Dia akan menjawab (ayat 6). Tuhan akan menunjukkan kasih setia-Nya (Mzm. 17:7), seperti yang telah dilakukan, sedang, dan akan terus Dia dilakukan untuk semua orang yang berlindung kepada-Nya.

Aku berseru kepada-Mu, karena Engkau menjawab aku, ya Allah; sendengkanlah telinga-Mu kepadaku, dengarkanlah perkataanku (Mazmur 17:6)





Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...