Saturday, October 1, 2022

Tak Berkesudahan Kasih Setia TUHAN – Lö Saetu Wa’ebua Dödö Yehowa (Ratapan 3:19-26)

Khotbah Minggu, 02 Oktober 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

19 “Ingatlah akan sengsaraku dan pengembaraanku, akan ipuh dan racun itu.”
20 Jiwaku selalu teringat akan hal itu dan tertekan dalam diriku.
21 Tetapi hal-hal inilah yang kuperhatikan, oleh sebab itu aku akan berharap:
22 Tak berkesudahan kasih setia TUHAN, tak habis-habisnya rahmat-Nya,
23 selalu baru tiap pagi; besar kesetiaan-Mu!
24 “TUHAN adalah bagianku," kata jiwaku, oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya.
25 TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia.
26 Adalah baik menanti dengan diam pertolongan TUHAN.

Sama seperti kitab Yeremia, kitab Ratapan ini juga berfokus pada kejatuhan Yerusalem dan pembuangan ke Babel. Kalau kitab Yeremia memberi penekanan lebih pada peringatan-peringatan bahwa Tuhan akan mendatangkan hukuman atas ketidaksetiaan umat-Nya, maka kitab Ratapan ini lebih pada perkabungan atas hukuman Allah yang telah ditimpakan atas umat Tuhan tersebut, terutama kehancuran Yerusalem dan Bait Allah sebagai simbol kebanggaan dan kebesaran bangsa Israel. Kehancuran ini mendatangkan kesedihan yang mendalam bagi Yeremia dkk, sehingga mereka berkabung atas kejatuhan Yerusalem dan bait Allah tersebut. Dalam kesedihan dan perkabungan itu, mereka menyadari bahwa penderitaan yang mereka alami adalah akibat ketidaksetiaan mereka pada Tuhan, sekaligus mengakui bahwa selalu ada harapan baru di dalam Tuhan, bahkan di dalam kehancuran pun kasih setia Tuhan tidak pernah berkesudahan.

Pada seputar teks renungan kita pada hari ini, penulis mengungkapkan apa saja prinsip hidup sehubungan dengan penderitaan:
(1) Penderitaan haruslah ditanggung dengan harapan akan adanya keselamatan dari Allah, yaitu bahwa Allah pada akhirnya akan mendatangkan pemulihan (3:25-30). Bagaimana mungkin tidak marah atau kecewa terhadap Allah dalam penderitaan? Bagaimana mungkin Allah dianggap baik di tengah-tengah penderitaan manusia? Jawabannya adalah bahwa di tengah-tengah penderitaan manusia itu, Allah tetap setia, murah hati, dan selalu siap menerima setiap orang yang datang kepada-Nya.

Selain itu, ada unsur pendisiplinan di balik penderitaan yang kita alami. Penderitaan atau kesusahan akan dapat menolong kita untuk lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam hidup ini. Saya tidak bermaksud supaya kita mencari “gara-gara” untuk mengalami penderitaan atau kesusahan atau masalah, tidak! Tetapi, siapakah yang bisa menjamin bahwa perjalanan hidup ini akan mulus tanpa masalah? Tidak ada bukan? Karena itu, ketika kita mengalami suatu penderitaan atau kesusahan hidup, maka ingatlah bahwa itu merupakan salah satu cara yang dapat dipakai oleh Tuhan untuk mendisiplinkan kita untuk kemudian menjadi lebih dewasa, bukan semakin cengeng; penderitaan dan kesusahan juga dapat menolong kita untuk semakin rendah hati, bahkan kita pun harus menjadi lebih siap dan lebih dewasa menanggapi setiap penderitaan itu (bnd. Rat. 3:29-30). Bagaimanakah kita menjadi orang yang sabar kalau tidak pernah mengalami kesulitan hidup? Bagaimanakah kita menguji kesabaran seseorang? Dengan memberinya kesulitan atau tantangan, bukan? Lagipula, bukankah Allah telah menyediakan pertolongan bagi orang-orang yang berharap kepada-Nya?

Atas dasar itulah penderitaan harus ditanggung oleh umat Tuhan, sebab pada akhirnya Allah akan mendatangkan pemulihan. Di sinilah terletak pengharapan umat Tuhan yang menderita, pengharapan akan datangnya keselamatan yang dari Allah. Itulah bagian kita, demikian diakui oleh penulis kitab ini di ayat 24. Apa artinya? Yaitu bahwa pengharapan kita hanya di dalam Tuhan saja, menantikan pertolongan-Nya saja, hanya mencari Tuhan ketika kita berada dalam kesusahan, dan mengungkapkan keluh kesah hidup kita kepada-Nya, sebab segala beban hidup hanya dapat ditanggung di dalam Tuhan saja. Yesus berkata, “Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan” (Mat. 11:28-30). Kiranya janji kasih setia Tuhan ini menjadi sumber semangat baru bagi kita untuk tetap hidup dalam pengharapan.

(2) Penderitaan itu hanyalah sementara dan dalam penderitaan itu pun Allah selalu menunjukkan rasa sayang dan kasih setia-Nya (lih. Rat. 3:31-32). Ada sebuah ungkapan klasik: “Sejahat-jahatnya harimau, tidak akan memakan anaknya sendiri.” Atau ungkapan lain yang tidak kalah puitisnya, “Di balik awan yang gelap, selalu ada matahari yang siap menerangi bumi.” Benar bahwa kehancuran Yerusalem, kesusahan dan penderitaan yang dialami oleh umat Tuhan berasal dari Allah sebagai hukuman atas ketidaksetiaan mereka terhadap Tuhan. Tetapi, pemazmur mengatakan: “TUHAN adalah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih setia. Tidak selalu Ia menuntut, dan tidak untuk selama-lamanya Ia mendendam” (Mzm. 103:8-9). Apa artinya? Yaitu bahwa penderitaan atau kesusahan hidup, apapun sumbernya, tidak pernah berlangsung sepanjang hidup kita, kalaupun kita harus menanggung suatu penderitaan maka Allah selalu menyatakan kasih setia-Nya pada kita. Atau, adakah di antara kita hari ini orangtua yang setiap detik selalu marah dan menghukum anak-anaknya? Adakah anak-anak di tempat ini yang sepanjang hidupnya selalu dimarahi dan dihukum oleh orangtuanya? Tidak ada, bukan? Sebab, orangtua selalu menunjukkan kasihnya terhadap anak-anaknya sekalipun kadang-kadang memarahi dan menghukum mereka. Tuhan Allah jauh melebihi orangtua, yaitu bahwa Dia selalu, dan akan selalu menyayangi umat yang telah dihukum-Nya itu. Atas dasar inilah kita harus tetap memiliki pengharapan di dalam Tuhan, dan karena pengharapan itulah kita harus tetap semangat menjalani kehidupan kita dalam takut akan Tuhan.

(3) Allah tidak pernah bersukacita atau merasa senang atas penderitaan umat-Nya (Lih. Rat. 3:33). Adakah orangtua yang merasa senang karena melihat anak-anaknya hidup dalam kesusahan? Adakah orangtua yang merasa bahagia karena anaknya berada dalam kesakitan? Tidak ada, bukan? Secara umum, orangtua justru akan sedih kalau anaknya berada dalam kesusahan, kesulitan, atau mengalami suatu sakit penyakit, karena itu orangtua berusaha menolong anak-anaknya. Tuhan tentunya jauh melebihi hati dan tindakan orangtua tersebut. Allah pun sedih kalau umat-Nya jatuh dalam kesulitan. Bahkan, ketika Allah sendiri menghukum umat-Nya, Dia sebenarnya melakukan itu dengan “berat hati”, Dia “terpaksa” memberikan pembelajaran “tegas” bagi umat-Nya, supaya mereka tidak jatuh terlalu jauh dalam kehancuran. Tuhan Allah tidak pernah berusaha dengan sengaja mempersulit hidup kita, Dia justru menawarkan pertolongan bagi setiap orang yang percaya kepada-Nya. Jadi, jangan pernah beranggapan bahwa “berurusan” dengan Tuhan itu selalu sulit, tidak! Berurusan dengan Tuhan justru menolong kita untuk keluar dari situasi sulit. Karena itu, kita harus tetap berharap pada Tuhan, bahwa dalam kesulitan apa pun, Dia tetap menolong, Dia tetap menyayangi dan mengasihi kita.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...