Sunday, September 25, 2022

Ibadah disertai Rasa Cukup – Fasumangeta sifao fa’ahono dödö ba zi ho so (1 Timotius 6:6-10)

Khotbah Minggu, 25 September 2022
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

6     Memang ibadah itu kalau disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar.

7     Sebab kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar.

8     Asal ada makanan dan pakaian, cukuplah.

9     Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan.

10   Karena akar segala kejahatan ialah cinta uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.


Kita baru saja mendengar kabar bahwa salah seorang hakim agung di Indonesia tertangkap tangan KPK dengan kasus korupsi (penyuapan). Hakim merupakan wakil Allah di bumi dalam menegakkan keadilan, apalagi hakim agung. Banyak orang/pihak di Indonesia yang terjerat kasus korupsi, baik pihak eksekutif (pemerintah), legislatif (wakil rakyat), dan yudikatif (penegak hukum), bahkan rohaniwan. Agama mereka sama, yaitu UANG. Bagi orang-orang seperti ini, kalau bisa semua dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mendapatkan keuntungan (uang) bagi mereka, termasuk memanfaatkan ibadah agama (bnd. 1Tim. 6:5b).


Fenomena seperti ini sudah terjadi sejak lama, dan menurut Paulus, akar kejahatan tersebut adalah CINTA UANG (ay. 10). Dalam teks ini, Paulus tidak menganggap uang sebagai sesuatu yang jahat, tetapi CINTA UANG yang menjadi persoalan. Cinta uang yang dimaksud di sini mengarah pada keinginan yang berlebihan akan uang hingga berusaha memburunya dengan cara apa pun, dan menempatkan keinginannya mendapatkan uang tersebut di atas segala-galanya. Inilah yang menjadi akar kejahatan, dan akan terus melahirkan kejahatan lainnya di muka bumi. Pada ayat 9, Paulus memperingatkan jemaat atau para penatua pada zaman Timotius: “Tetapi mereka yang ingin kaya terjatuh ke dalam pencobaan, ke dalam jerat dan ke dalam berbagai-bagai nafsu yang hampa dan yang mencelakakan, yang menenggelamkan manusia ke dalam keruntuhan dan kebinasaan”. Pada bagian lain dalam Alkitab, Yesus pernah mengatakan bahwa para pengikut-Nya tidak dapat mengabdi kepada dua tuan, mengabdi kepada Allah dan mengabdi kepada mamon (Mat. 6:24). Godaan kejahatan karena kekayaan sangatlah kuat, dan Paulus mengingatkan kita untuk waspada.


Tentu saja nasihat Paulus ini dapat saja menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan ketakutan bagi sebagian orang, terutama mereka yang memiliki orientasi materialistis yang kuat. Atau, kita dapat saja mengatakan bahwa hanya orang munafiklah yang tidak membutuhkan uang, gereja saja membutuhkannya. Hal ini menjadi tantangan bagi kita, apalagi pada zaman modern ini, uang telah menjadi segala-galanya. Kalau kita menelusuri lebih dalam maksud perkataan Yesus maupun Paulus, maka kita akan menemukan bahwa “kekayaan” atau “cinta uang” muncul sebagai “allah palsu” yang menghalangi penyembahan yang benar kepada Allah yang sejati. Itulah sebabnya “kekayaan” atau “uang” seolah-olah dianggap sebagai sesuatu yang “jahat” dan harus dijauhi.


Namun demikian, kekayaan atau uang sebenarnya bukan sesuatu yang jahat sama sekali. Yesus maupun Paulus tidak bermaksud untuk menafikan kekayaan atau uang. Dalam Alkitab ada cerita tentang orang-orang kaya yang dermawan; ada orang-orang yang melayani Yesus dan para murid dengan kekayaan yang mereka miliki (lih. Luk. 8:3). Demikian pula, rasul Paulus memanfaatkan dukungan keuangan dari para dermawan untuk perjalanan dan kegiatan misionarisnya. Oleh karena itu, tidak tepat untuk mengatakan bahwa kekayaan materi itu jahat sama sekali dan tidak ada kebaikan di dalamnya. Kekayaan materi bisa menghalangi seseorang untuk percaya kepada Tuhan, bisa menjadi penghalang untuk mengikuti Yesus (Mrk. 10:17-22), dan bisa menghalangi kita untuk beribadah sepenuh hati kepada Tuhan. Pada sisi lain, banyak dari pelayanan gereja bergantung pada sumber keuangan anggota jemaat. Oleh sebab itu, mereka yang memiliki kekayaan harus “berbuat baik, menjadi kaya dalam kebajikan, suka memberi dan membagi dan dengan demikian mengumpulkan suatu harta sebagai dasar yang baik bagi dirinya di waktu yang akan datang untuk mencapai hidup yang sebenarnya” (1 Tim. 6:18-19).


Jadi, hal yang sangat penting adalah sikap manusia terhadap kekayaan atau uang tersebut. Kekayaan atau uang dapat menjadi jerat bagi kita kalau kita menempatkannya sebagai pusat kehidupan kita. Kekayaan atau uang dapat menjadi sesuatu yang jahat apabila kita mencintainya dan memburunya dengan menghalalkan segala cara, termasuk memanfaatkan ibadah kepada Tuhan sebagai kesempatan untuk mendapatkan kekayaan atau uang. Kekayaan atau uang dapat menjadi masalah serius dalam hidup kita apabila kita mencarinya dalam kekuatiran atau dengan keinginan yang berlebihan sampai mengalahkan cinta kita kepada Tuhan.


Seperti apa sikap yang baik terhadap kekayaan atau uang? Pada ayat 6, Paulus menegaskan rahasia penting supaya kekayaan atau uang tidak menjadi persoalan dalam hidup manusia, yaitu “rasa cukup”, dan pada ayat 8, Paulus menegaskannya kembali: “asal ada makanan dan pakaian, cukuplah”. Kata “merasa cukup” di sini berarti merasa senang, merasa puas, dan merasa bahagia disertai dengan rasa syukur atas apa yang ada dalam hidupnya, atas apa yang telah dicapai atau diperolehnya sampai saat ini. Konsep dasar kata Yunani autarkeia berarti kecukupan atau kepuasan yang muncul dari dalam diri seseorang, tidak dipengaruhi oleh keadaan di luar dirinya. Dengan kata ini, Paulus hendak menegaskan bahwa “rasa cukup” yang baik itu berasal dari dalam diri sendiri, bukan dari luar. Orang boleh saja memiliki kekayaan atau uang yang banyak, tetapi belum tentu dia merasa cukup atau merasa bahagia dengan itu. Ada juga orang yang tidak memiliki kekayaan atau uang yang banyak, hidup sederhana, tetapi dia merasa cukup, merasa puas, dan merasa bahagia. Saya pernah mengamati ikan lele, lö la’ila wa’abusora, gofu hawa’oya öbe göra ba lagaga manö, la’a nasa nawöra, afuriata oya zimate, mate ba wa’abuso.


Uang atau kekayaan dapat digunakan untuk kebaikan dan juga kejahatan, tetapi pokok persoalan adalah CINTA akan uang. Nafsu akan uang dan keinginan yang kuat untuk mendapatkan lebih banyak uang dan meningkatkan kekayaan duniawi, itulah yang menjadi akar kejahatan dalam hidup ini. Tentu saja, cinta uang bukanlah satu-satunya sumber kejahatan, masih banyak sumber lain dari kejahatan di bumi ini. Namun demikian, cinta uang adalah salah satu akar kejahatan yang dapat menjerumuskan manusia ke dalam berbagai dosa dan kejahatan lainnya. Banyak orang yang menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan uang yang banyak. Ato niha “sangisö” ba gana’a (gokhöta), afuriata ilau “wangisu” ena’ö oya isöndra.


Paulus mengingatkan kita bahwa “kita tidak membawa sesuatu apa ke dalam dunia dan kitapun tidak dapat membawa apa-apa ke luar” (ay. 7). Kita lahir tanpa membawa apa-apa, dan akan mati tanpa membawa apa-apa juga. Oleh sebab itu, hati-hatilah terhadap keinginan untuk menjadi kaya, atau keinginan untuk mendapatkan uang sebanyak mungkin, sebab dapat menyebabkan kita jatuh ke dalam godaan. Dengan sikap memburu uang kita dapat terjebak dalam kekuatiran akan kekayaan yang kita miliki, dan tentu saja kita dapat saja terjebak dalam berbagai keinginan daging yang dapat mempermalukan diri kita sendiri.


Seperti yang disampaikan di awal khotbah ini, bahwa banyak orang yang melakukan korupsi, baik pejabat pemerintahan, legislatif, yudikatif, maupun keagamaan (rohaniwan). Banyak orang yang “oleh karena memburu uang telah menyimpang dari iman dan menyiksa diri dengan berbagai-bagai duka” (ay. 10). Maka, waspadalah! Uang memang penting, tetapi bukan segala-galanya. Jangan merusak hidupmu dengan CINTA UANG! Nikmatilah hidupmu apa adanya, kebahagiaan itu berasal dari diri sendiri dan dari Allah. Pergunakanlah kekayaan atau apa pun yang kita miliki untuk kebaikan bagi sesama dan bagi kemuliaan nama Tuhan. Itulah inti Injil yang kita beritakan di dunia zaman modern ini.


Mari tetap bersatu dalam memberitakan Injil, baik pada saat memiliki uang, maupun pada saat tidak memilikinya; baik pada saat berlimpah, maupun pada saat berkekurangan. Doa Yesus supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tetap bersatu (Yoh. 17:21-23), hendak menegaskan bahwa kita jangan tercerai berai hanya oleh karena himpitan kekayaan atau sebaliknya himpitan kemiskinan/kekurangan. Dalam situasi apa pun, kita tetap bersatu, ya bersatu untuk memberitakan Injil.

No comments:

Post a Comment

Apa yang ada di pikiranmu?

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...