Saturday, July 31, 2021

Panggilan untuk Memelihara Kesatuan Roh (Efesus 4:1-7)

Bahan khotbah Minggu, 01 Agustus 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


1 Sebab itu aku menasihatkan kamu, aku, orang yang dipenjarakan karena Tuhan, supaya hidupmu sebagai orang-orang yang telah dipanggil berpadanan dengan panggilan itu.
2 Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu.
3 Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera:
4 satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu,
5 satu Tuhan, satu iman, satu baptisan,
6 satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua.
7 Tetapi kepada kita masing-masing telah dianugerahkan kasih karunia menurut ukuran pemberian Kristus.

Panggilan utama orang-orang Kristen dalam teks ini adalah memelihara kesatuan roh. Para penerima surat harus “berusaha memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera” (4:3). Mereka harus memperlengkapi orang-orang kudus untuk pelayanan “sampai kita semua mencapai kesatuan iman dan pengetahuan tentang Anak Allah” (4:13). Penggunaan tujuh kali kata “satu” pada ayat 4-6, mengindikasikan pentingnya memelihara kesatuan jemaat. Puncaknya ialah bahwa dasar dari kesatuan dimaksud ada di dalam diri Allah sendiri (lih. ay. 6). Artinya, kesatuan jemaat mencerminkan keesaan Allah.

Kesatuan jemaat adalah cerminan dari karunia pendamaian Allah di dalam Kristus. Dalam Efesus psl 1-3, penulis surat Efesus telah menguraikan pendamaian antara orang Yahudi dan non Yahudi yang telah dilakukan Allah di dalam Kristus. Dengan kata lain, jemaat merupakan “satu kemanusiaan baru” yang diciptakan oleh Kristus. Pada pasal sebelumnya (3:9) ditegaskan bahwa Allah telah menyatukan dua kelompok yang berbeda di bawah satu rencana keselamatan di dalam Kristus. Baik orang Yahudi maupun non-Yahudi pernah hidup menurut daging (2:3), orang Yahudi dianggap “dekat” dengan Tuhan, sementara orang bukan Yahudi dianggap “jauh” (2:17). Tetapi, melalui Kristus, kedua kelompok ini bergabung bersama dan mendekat kepada Tuhan. Pesannya adalah bahwa kedua kelompok yang tadinya berseberangan ini disatukan di dalam dan melalui Kristus. Demikianlah kiranya jemaat Tuhan, memenuhi panggilannya untuk memelihara kesatuan jemaat di dalam satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa.

Baik jemaat Efesus dulu, maupun gereja masa kini, mestinya mencerminkan kesatuan ini. Kristus telah memperlengkapi jemaat-Nya dengan kasih karunia (4:7) dengan maksud supaya gereja sebagai tubuh Kristus dapat tetap hidup dalam kesatuan. Dalam rangka itulah setiap orang, setiap gereja, harus hidup dalam kerendahan hati, kelemahlembutan, dan kesabaran. Itulah panggilan kita, memelihara kesatuan roh di dalam Tuhan. Intinya adalah penting memelihara kesatuan jemaat, sebab Allah sendiri esa, tidak terpecah-belah. Dalam roh kesatuan ini ada penerimaan satu dengan yang lain, entah orang Yahudi, ataupun non Yahudi, entah bersunat ataupun tidak bersunat. Untuk itulah Kristus mati di kayu salib, untuk mendamaikan kubu-kubu yang tadinya bertentangan.

Sampai hari ini, panggilan untuk memelihara kesatuan roh, panggilan untuk memelihara kesatuan jemaat masih relevan. Relevansi panggilan ini tidak terlepas dari konteks kita (dulu dan sekarang) yang kadang-kadang berada dalam kelompok-kelompok tertentu yang saling bertentangan, bahkan kadang-kadang terbangun semacam tembok pemisah antar warga jemaat. Kelompok-kelompok atau tembok pemisah kita mungkin bukan lagi masalah Yahudi vs non-Yahudi, bukan pula masalah bersunat vs tak bersunat. Ada berbagai bentuk atau wujud ‘tembok pemisah’ kita pada zaman sekarang, yang membuat kita hidup dalam keterpisahan dan keterasingan satu dengan yang lain. Ada berbagai bentuk perseteruan kita pada zaman sekarang, walaupun mungkin kita satu jemaat atau satu desa, bahkan satu keluarga. Kita dapat menemukan fenomena tersebut dalam masyarakat kita. Kadang-kadang di berbagai tempat ada pemisahan dan perseteruan masyarakat yang dianggap “penduduk asli” dengan “pendatang”. Ada juga pengotak-ngotakan berdasarkan lingkungan/sektor, ada yang merasa paling berjasa di dalam jemaat sehingga keinginannya harus dipenuhi, dan pada saat yang sama mengabaikan orang-orang di sekitarnya. Hal ini juga dapat terjadi di dalam jemaat, kadang-kadang muncul pada saat pemilihan BPMJ. Tembok-tembok pemisah seperti inilah yang telah diruntuhkan oleh salib Kristus, dan mestinya, dengan kerendahan hati, dengan kelemahlembutan, dan dengan kesabaran yang tulus, kita saling menerima, saling melengkapi, dan saling menopang. Demikianlah kita memenuhi panggilan kita dalam memelihara kesatuan roh di dalam satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa.

Pertanyaannya ialah sejauh mana orang-orang Kristen sekarang mencerminkan kesatuan? Di beberapa tempat kita masih bisa menemukan kuatnya kesatuan jemaat, tetapi di berbagai tempat lain juga kita bisa menemukan fenomena keterpecahan jemaat, bahkan saling ‘memangsa’. Situasi keterpecahan, keterpisahan, dan keterasingan ini semakin menguat dalam masyarakat modern dengan segala dinamiknya yang amat kompleks. Oleh sebab itu, setiap orang percaya, setiap jemaat, harus berkomitmen untuk hidup berpadanan dengan panggilannya, yaitu panggilan untuk memelihara kesatuan roh di dalam Kristus. Implikasinya ialah tidak ada lagi perlakuan yang membeda-bedakan satu dengan yang lain, tidak ada lagi kelompok yang merasa ‘lebih dekat’ dengan Tuhan (dalam bahasa modern ‘merasa paling berjasa dalam jemaat’), dan tidak ada lagi kelompok yang dianggap ‘bukan siapa-siapa’ di dalam jemaat. Semuanya, satu di dalam Kristus.

Dan berusahalah memelihara kesatuan Roh oleh ikatan damai sejahtera (Ef. 4:3)

Saturday, July 24, 2021

Allah Memelihara Umat-Nya / Lowalangi Zondrorogö Banua-Nia (2 Raja-Raja 4:42-44)

Khotbah Minggu, 25 Juli 2021
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

42 Datanglah seseorang dari Baal-Salisa dengan membawa bagi abdi Allah roti hulu hasil, yaitu dua puluh roti jelai serta gandum baru dalam sebuah kantong. Lalu berkatalah Elisa: “Berilah itu kepada orang-orang ini, supaya mereka makan.”
43 Tetapi pelayannya itu berkata: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” Jawabnya: “Berikanlah kepada orang-orang itu, supaya mereka makan, sebab beginilah firman TUHAN: Orang akan makan, bahkan akan ada sisanya.”
44 Lalu dihidangkannyalah di depan mereka, maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman TUHAN.

Pernahkah berada dalam kesulitan? Seperti apa rasanya?

Nas khotbah pada hari ini berbicara tentang kekurangan persediaan makanan pada zaman keterpurukan ekonomi Israel, terutama masyarakat atau rakyat biasa. Raja Yoram sedang berfokus menghadapi pemberontakan raja Moab, dengan mengajak raja Yosafat dari Yehuda, dan bersama mereka raja Edom. Biaya perang ini amat besar, sehingga perhatian pada kehidupan ekonomi rakyat banyak terabaikan. Hal ini mirip dengan situasi kita saat ini, baik di Indonesia maupun di berbagai negara di seluruh dunia. Pemerintah sedang berfokus dan berjuang habis-habisan menangani pandemi Covid-19, sehingga upaya pengembangan ekonomi terpaksa dikesampingkan. Situasi ini semakin berat pada masa-masa darurat (PPKM Darurat), roda perekonomian masyarakat hampir tidak bergerak maju. Benar bahwa ada sejumlah bansos di beberapa tempat, tetapi itu hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang kita alami akibat pandemi covid-19. Nah, seperti apa rasanya berada dalam situasi sulit seperti itu?

Tetapi, hari ini Elisa menunjukkan kepada kita bahwa kekurangan persediaan makanan tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak berbagi. Apa pun ceritanya, bagaimanapun kekurangannya secara matematis, menurut Elisa 20 roti jelai serta gandum baru itu harus dibagikan kepada 100 orang yang membutuhkan makanan pada saat itu. Pelayan Elisa hampir stres, abu dödönia, lalu dia bertanya kepada Elisa: “Bagaimanakah aku dapat menghidangkan ini di depan seratus orang?” (ay. 43). Namun, Elisa tetap menyuruh pelayan itu untuk menghidangkannya dengan keyakinan (pada TUHAN) bahwa roti jelai dan gandum itu cukup bahkan lebih bagi 100 orang (ay. 43). Syukur kepada Tuhan, keyakinan Elisa terbukti: “maka makanlah mereka dan ada sisanya, sesuai dengan firman TUHAN” (ay. 44b).

Bumi kita, dunia yang kita diami, sedang merintih kesakitan karena covid-19. Penduduk bumi dibuat tidak berdaya menghadapi virus yang ukurannya amat kecil, virus yang ukurannya tidak seberapa dibandingkan dengan ukuran tubuh manusia. Tetapi, sekali lagi, manusia menjadi tidak berdaya, semua negara babak belur, tidak peduli negara besar atau negara kecil, tidak peduli negara kaya atau negara miskin, tidak peduli pejabat atau rakyat biasa, tidak peduli pelayan gereja atau jemaat biasa, tidak peduli di kota ataupun di desa. Saat ini, kita pun semua mengeluh, berbagai masalah muncul: masalah kesehatan, masalah ekonomi, ditambah lagi berbagai masalah lain yang seringkali membuat kita stres. Dalam situasi seperti itu, kita pun bisa saja berseru kepada Tuhan, seperti seruan Yesus: “Eli, Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Saya yakin, banyak orang Kristen yang kadang-kadang mempertanyakan kemahakuasaan Allah di tengah-tengah penderitaan umat manusia saat ini, terutama karena pandemi Covid-19. Sayangnya, kita kadang-kadang tidak mampu melihat kemahakuasaan Allah itu, mungkin karena cara Allah menyatakan kuasa-Nya di tengah-tengah kesulitan itu tidak sesuai dengan rancangan dan harapan kita. Sebagian tidak mampu melihat kemahakuasaan Allah mungkin karena menginginkan Allah bertindak seperti: Power Rangers, Wonder Woman, Batman, dan Spiderman. Allah seringkali menyatakan kuasanya dalam cara yang berbeda dengan pandangan manusia secara umum.

Rasul Paulus pun pernah berada dalam situasi yang amat sulit, yang dia sebut sebagai “duri dalam daging”, dan dia tiga kali berseru kepada Tuhan supaya duri itu terbuang dari dalam dagingnya (2Kor. 12:7-8), tetapi Tuhan menjawabnya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9a). Ingat: “dalam kelemahan, kuasa Tuhan menjadi sempurna”. Apa artinya? Ternyata, Allah pun berkenan menyatakan kuasa-Nya dalam ketidakberdayaan manusia. Kemampuan bertahan dalam situasi sulit merupakan bukti nyata kuasa Tuhan yang selalu menyertai kita.

Apakah ada yang dapat memisahkan kita dari kuasa kasih Kristus? Tidak! Dalam Roma 8:35, rasul Paulus mengajukan beberapa pertanyaan penting sehubungan dengan kesulitan dan penderitaan yang kita alami: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Lalu, Paulus menyatakan keyakinannya: “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm. 8:38-39). Mari kita jadikan keyakinan Paulus ini sebagai keyakinan kita juga, bahwa apa pun jenis virusnya, apa pun variannya, apa pun kesulitannya, tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kuasa kasih Kristus. Ini tidak berarti kita tidak perlu hati-hati lagi, justru keyakinan pada kuasa Allah ini mendorong kita untuk bersikap dan bertindak dengan bijak dalam menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan, baik karena pandemi Covid-19 maupun karena berbagai faktor lainnya.

Kita tentu pernah berada dalam kesulitan, bahkan kesulitan itu kadang-kadang menghalangi kita untuk berani menghadapi kehidupan, menghambat kita untuk melangkah maju. Kita kadang-kadang berada dalam situasi dilematis, maju kena – mundur kena, sehingga kita pun pada akhirnya bimbang dan tidak berani mengambil risiko. Kita juga pernah mengalami kekurangan dalam berbagai hal, terutama kekurangan kebutuhan sehari-hari. Demikian juga, kita pernah menghadapi sakit penyakit, baik oleh diri sendiri, maupun anggota keluarga kita. Masih banyak lagi, yang pada intinya hendak menegaskan bahwa hidup tidak pernah lepas dari berbagai kesulitan. Namun, di tengah-tengah kesulitan itu Allah pasti hadir dan memberi kita kelimpahan. Dalam Mazmur 34:11 TUHAN Allah menyakinkan kita: “Singa-singa muda merana kelaparan, tetapi orang-orang yang mencari TUHAN, tidak kekurangan sesuatupun yang baik” (Ba nono zingo ambö gö ba olofo, ba ba zangalui Yehowa ba lö ambö fefu gofu hadia).

Merasa kurang merupakan salah satu penyakit manusia, termasuk orang-orang Kristen. Ada banyak contoh di sekitar kita tentang orang-orang yang selalu “merasa kurang”, dan kadang-kadang berjalan bukan pada jalan Tuhan karena merasa jalan Tuhan terlalu “ribet”, terlalu panjang, dan banyak proses yang harus ditempuh. Kita sedang hidup di era serba “instant”, serba cepat, siap saji. Akibatnya banyak orang yang menempuh jalan pintas hanya untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dan tidak bisa melihat bahwa sesungguhnya Allah mampu menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia, bahkan mampu melipatgandakan kebutuhan manusia itu. TUHAN menjaga semua orang yang mengasihi-Nya (Mazmur 145:20a).

Ba wa’atebaida, ba wa lö fa’abölöda, ba wökhöda, ba gameta’uö börö dungö corona, faduhu dödöda wa tanga Yehowa sabölö zi lö faröi khöda.

Allah Memelihara Umat-Nya / Lowalangi Zondrorogö Banua-Nia





Friday, July 23, 2021

Tangan Tuhan Penuh Kuasa (2 Raja-raja 3:4-20)

Renungan tentang Tuhan yang berkuasa
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo


4 Mesa, raja Moab, adalah seorang peternak domba; sebagai upeti ia membayar kepada raja Israel seratus ribu anak domba dan bulu dari seratus ribu domba jantan.
5 Tetapi segera sesudah Ahab mati, memberontaklah raja Moab terhadap raja Israel.
6 Keluarlah raja Yoram pada waktu itu dari Samaria, lalu ia memeriksa barisan seluruh orang Israel.
7 Selanjutnya ia menyuruh orang kepada Yosafat, raja Yehuda, dengan pesan: "Raja Moab telah memberontak terhadap aku! Maukah engkau bersama-sama aku berperang melawan Moab?" Jawabnya: "Aku akan maju. Kita sama-sama, aku dan engkau, rakyatku dan rakyatmu, kudaku dan kudamu."
8 Lagi ia bertanya: "Melalui jalan manakah kita akan maju?" Jawabnya: "Melalui padang gurun Edom!"
9 Maka berjalanlah raja Israel dan raja Yehuda dan raja Edom. Tetapi sesudah mereka berkeliling tujuh hari perjalanan jauhnya, maka tidak terdapat air untuk tentara dan untuk hewan yang mengikuti mereka.
10 Lalu berkatalah raja Israel: "Wahai, TUHAN telah memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan Moab!"
11 Tetapi bertanyalah Yosafat: "Tidak adakah di sini seorang nabi TUHAN, supaya dengan perantaraannya kita meminta petunjuk TUHAN?" Lalu salah seorang pegawai raja Israel menjawab, katanya: "Di sini ada Elisa bin Safat, yang dahulu melayani Elia."
12 Berkatalah Yosafat: "Memang padanya ada firman TUHAN." Sesudah itu pergilah raja Israel dan Yosafat dan raja Edom kepada Elisa.
13 Tetapi berkatalah Elisa kepada raja Israel: "Apakah urusanku dengan engkau? Pergilah kepada para nabi ayahmu dan kepada para nabi ibumu." Jawab raja Israel kepadanya: "Jangan begitu, sebab TUHAN memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan orang Moab!"
14 Berkatalah Elisa: "Demi TUHAN semesta alam yang hidup, yang di hadapan-Nya aku menjadi pelayan: jika tidak karena Yosafat, raja Yehuda, maka sesungguhnya aku ini tidak akan memandang dan melihat kepadamu.
15 Maka sekarang, jemputlah bagiku seorang pemetik kecapi." Pada waktu pemetik kecapi itu bermain kecapi, maka kekuasaan TUHAN meliputi dia.
16 Kemudian berkatalah ia: "Beginilah firman TUHAN: Biarlah di lembah ini dibuat parit-parit,
17 sebab beginilah firman TUHAN: Kamu tidak akan mendapat angin dan hujan, namun lembah ini akan penuh dengan air, sehingga kamu serta ternak sembelihan dan hewan pengangkut dapat minum.
18 Dan itupun adalah perkara ringan di mata TUHAN; juga orang Moab akan diserahkan-Nya ke dalam tanganmu.
19 Kamu akan memusnahkan segala kota yang berkubu dan segala kota pilihan; kamu akan menumbangkan segala pohon yang baik; kamu akan menutup segala mata air dan kamu akan merusakkan segala ladang yang baik dengan batu-batu."
20 Keesokan harinya ketika orang mempersembahkan korban, datanglah dengan tiba-tiba air dari arah Edom, lalu penuhlah negeri itu dengan air.

Kisah ini bercerita tentang ketidakberdayaan raja Israel, Yoram, menghadapi pemberontakan raja Moab setelah kematian Ahab. Sebelumnya, raja Moab memang tunduk bahkan selalu membawa upeti kepada raja Ahab, tetapi ceritanya menjadi berbeda ketika Ahab sudah mati dan digantikan oleh anaknya Yoram. Pada ayat 2-3 sebelumnya disebutkan bahwa raja Yoram ini melakukan yang jahat di mata TUHAN, dan masih berpaut kepada dosa Yerobeam bin Nebat yang mengakibatkan orang Israel berdosa pula. Sekarang, raja Yoram ini harus menghadapi pemberontakan Mesa, raja Moab.

Awalnya, raja Yoram mencoba menyiapkan diri menghadapi raja Moab tersebut, tetapi kemudian dia merasa tidak bisa mengatasinya kalau hanya sendiri. Itulah sebabnya dia mengajak raja Yehuda, Yosafat, untuk ikut bersama dengan dia dalam peperangan tersebut, seterusnya raja Edom pun ikut dalam barisan mereka. Secara matematis, sebenarnya pasukan tiga kerajaan (Israel, Yehuda, dan Edom) dapat dengan mudah mengalahkan satu kerajaan yang memberontak tersebut (Moab). Namun demikian, setelah mengalami kesulitan mendapatkan air di padang gurun Edom, nyali ketiganya, terutama raja Yoram, menciut. Raja Yoram stres sendiri menghadapi situasi sulit tersebut, dia putus asa, dan dalam ketidakberdayaannya dia mengatakan: “Wahai, TUHAN telah memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan Moab” (ay. 10). Untunglah, ada raja Yosafat di antara mereka, raja Yehuda yang baik dan takut akan TUHAN. Dia lebih optimis, masih berupaya mencari alternatif lain yang lebih baik dalam situasi yang amat sulit tersebut (ay. 11). Dia raja yang takut akan TUHAN, dan tetap mendengarkan suara TUHAN ketika hendak melakukan sesuatu, terutama ketika berada dalam situasi sulit. Dipanggillah nabi Elisa, nabi yang bermusuhan dengan keluarga Ahab. Nabi Elisa ini sangat kritis terhadap raja Ahab yang hidup jauh dari TUHAN, hidup jauh dari kebaikan. Walaupun pada dasarnya Elisa tidak mau lagi berurusan dengan keluarga Ahab, tetapi kehadiran dan permohonan Yosafat, raja Yehuda, membuatnya mau menolong mereka. Pada akhirnya, nabi Elisa menyampaikan berita sukacita, bahwa dalam situasi yang teramat sulit itu, kuasa Tuhan dapat hadir, dan kuasa Tuhan itu melebihi ekspektasi manusia. Elisa menegaskan bahwa di padang gurun itu, TUHAN mampu mendatangkan air hingga berlimpah. Angin dan hujan memang menandakan adanya air, tetapi kuasa TUHAN melampaui angin dan hujan. Kuasa TUHAN tidak bergantung pada angin dan hujan, sebaliknya angin dan hujan bergantung pada kuasa TUHAN. Apa pun kesulitan yang dihadapi, entah ketiadaan air di padang gurun, ketiadaan kebutuhan pasukan Israel, Yehuda, dan Edom, atau pun musuh yang kuat seperti Moab, bagi TUHAN semua itu adalah perkara ringan. Dan TUHAN membuktikan kuasa-Nya yang besar itu, dapat kita baca di ayat 20: “Keesokan harinya ketika orang mempersembahkan korban, datanglah dengan tiba-tiba air dari arah Edom, lalu penuhlah negeri itu dengan air”. Ini menjadi pertanda bahwa TUHAN akan memberikan kemenangan bagi ketiga kerajaan tersebut, kemenangan besar atas kerajaan Moab (ay. 18-19).

Sebenarnya, kita dapat belajar banyak hal dari teks bacaan kita hari ini. Salah satu yang terpenting dan relevan dengan kondisi kita saat ini adalah bahwa kuasa TUHAN selalu nyata sekalipun kita berada dalam situasi yang sulit. Bumi kita, dunia yang kita diami, sedang merintih kesakitan karena covid-19. Penduduk bumi dibuat tidak berdaya menghadapi virus yang ukurannya amat kecil, virus yang ukurannya tidak seberapa dibandingkan dengan ukuran tubuh manusia. Tetapi, sekali lagi, manusia menjadi tidak berdaya, semua negara babak belur, tidak peduli negara besar atau negara kecil, tidak peduli negara kaya atau negara miskin, tidak peduli pejabat atau rakyat biasa, tidak peduli pelayan gereja atau jemaat biasa, tidak peduli di kota ataupun di desa. Saat ini, kita pun semua mengeluh, berbagai masalah muncul: masalah kesehatan, masalah ekonomi, ditambah lagi berbagai masalah lain yang seringkali membuat kita stres. Dalam situasi seperti itu, kita pun bisa saja berseru kepada Tuhan, seperti seruan Yesus: “Eli, Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Saya yakin, banyak orang Kristen yang kadang-kadang mempertanyakan kemahakuasaan Allah di tengah-tengah penderitaan umat manusia saat ini, terutama karena pandemi Covid-19. Sayangnya, kita kadang-kadang tidak mampu melihat kemahakuasaan Allah itu, mungkin karena cara Allah menyatakan kuasa-Nya di tengah-tengah kesulitan itu tidak sesuai dengan rancangan dan harapan kita. Sebagian tidak mampu melihat kemahakuasaan Allah mungkin karena menginginkan Allah bertindak seperti: Power Rangers, Wonder Woman, Batman, dan Spiderman. Allah seringkali menyatakan kuasanya dalam cara yang berbeda dengan pandangan manusia secara umum.

Rasul Paulus pun pernah berada dalam situasi yang amat sulit, yang dia sebut sebagai “duri dalam daging”, dan dia tiga kali berseru kepada Tuhan supaya duri itu terbuang dari dalam dagingnya (2Kor. 12:7-8), tetapi Tuhan menjawabnya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9a). Ingat: “dalam kelemahan, kuasa Tuhan menjadi sempurna”. Apa artinya? Ternyata, Allah pun berkenan menyatakan kuasa-Nya dalam ketidakberdayaan manusia. Kemampuan bertahan dalam situasi sulit merupakan bukti nyata kuasa Tuhan yang selalu menyertai kita.

Apakah ada yang dapat memisahkan kita dari kuasa kasih Kristus? Tidak! Dalam Roma 8:35, rasul Paulus mengajukan beberapa pertanyaan penting sehubungan dengan kesulitan dan penderitaan yang kita alami: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Lalu, Paulus menyatakan keyakinannya: “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm. 8:38-39). Mari kita jadikan keyakinan Paulus ini sebagai keyakinan kita juga, bahwa apa pun jenis virusnya, apa pun variannya, apa pun kesulitannya, tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kuasa kasih Kristus. Ini tidak berarti kita tidak perlu hati-hati lagi, justru keyakinan pada kuasa Allah ini mendorong kita untuk bersikap dan bertindak dengan bijak dalam menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan, baik karena pandemi Covid-19 maupun karena berbagai faktor lainnya. Dalam ketidakberdayaan dan dalam kehati-hatian kita, kita percaya bahwa kuasa Tuhan tetap menyertai kita dalam berbagai cara dan bentuk. Oleh sebab itu, mari selalu menyerahkan hidup kita kepada Tuhan, mari kita memasrahkan diri kita dalam tangan Tuhan yang penuh kuasa. Amin.

Wednesday, July 21, 2021

Kedatangan Raja yang Adil dan Jaya (Raja Sion) (Zakharia 9:9-10)

Renungan tentang Raja Sion
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo

9:9 Bersorak-soraklah dengan nyaring, hai puteri Sion, bersorak-sorailah, hai puteri Yerusalem! Lihat, rajamu datang kepadamu; ia adil dan jaya. Ia lemah lembut dan mengendarai seekor keledai, seekor keledai beban yang muda.
9:10 Ia akan melenyapkan kereta-kereta dari Efraim dan kuda-kuda dari Yerusalem; busur perang akan dilenyapkan, dan ia akan memberitakan damai kepada bangsa-bangsa. Wilayah kekuasaannya akan terbentang dari laut sampai ke laut dan dari sungai Efrat sampai ke ujung-ujung bumi.

Situasi Yehuda pada Zaman Zakharia
Hampir dapat dipastikan bahwa zaman Zakharia adalah zaman pasca pembuangan. Zaman ini dipenuhi dengan ketidakpastian, zaman yang penuh dengan keragu-raguan, zaman kelemah-letih-lesuan di seluruh penjuru negeri Israel. Mengapa? Karena mereka baru saja mengalami masa-masa pahit, dibuang ke negeri orang, Babilonia, dengan demikian harus meninggalkan tanah perjanjian, tanah leluhur mereka selama kurang lebih 70 tahun lamanya.

Kita bisa membayangkan seperti apa tanah atau kampung halaman yang telah ditinggalkan dalam kurun waktu yang cukup lama itu! Tanah Yehuda berubah menjadi hutan, tanah yang seolah-olah tanpa kehidupan manusia di dalamnya. Dan, sekarang, mereka diberi kesempatan “pulang kampung”, antara suka dan tidak suka. Mengapa? Pada satu sisi, mereka tidak nyaman dan tidak merasakan kedamaian tinggal di negeri orang dengan status “orang-orang buangan”, sehingga sudah sangat wajar kalau mereka juga “sangat merindukan” kampung halamannya tersebut. Namun, pada sisi lain, mereka juga sudah dapat membayangkan seperti apa tanah atau kampung halaman mereka yang sudah lama ditinggalkan itu, sudah menjadi “kota sangat tua”. Dan, memang ternyata setelah mereka sampai di tanah leluhur mereka itu, mereka harus bekerja keras untuk membangun kembali kota mereka yang telah hancur dulu, kota mereka yang sudah usang karena ditinggalkan penduduknya, ibarat “kota mati”.

Mereka harus memulai hidup baru, usaha yang baru untuk kelangsungan hidup mereka, harus membangun kembali rumah-rumah mereka, dan yang tidak kalah pentingnya juga adalah harus membangun kembali bait Allah yang telah dihancurkan dulu, termasuk tembok-tembok kota Yerusalem, dan berbagai bangunan lain di negeri itu. Kita sudah dapat membayangkan betapa sulitnya kehidupan mereka.

Namun, masalahnya belum berhenti sampai di situ saja. Perasaan-perasaan gagal pasti menguasi mereka; mereka sangat kecewa dengan situasi mereka itu; dan banyak di antara mereka yang kehilangan semangat untuk membangun kembali negeri mereka itu, tentu dengan berbagai alasan, tentu dengan berbagai perasaan “negatif” yang terus menghantui mereka. Untuk apakah kita membangun? Untuk apa ini semua, kalau toh kemudian dihancurkan oleh peperangan? Untuk apa hidup ini kalau toh pada akhirnya selalu gagal/hancur? Bandingkan misalnya masa-masa darurat pasca gempa bumi di Nias. Untuk apa? Untuk apa? Dan untuk apa? Galau.com, pesimis.com, depresi.com, enjel.com (enggak jelas).

Tuhan Mengingat Umat-Nya
Dalam situasi yang seperti itulah tampil nabi sekaligus imam Zakharia.[1] Zakharia berarti Tuhan mengingat. Pilihan nama ini memang sangat cocok dengan kitab ini sendiri karena menjelaskan bagaimana Tuhan mengingat umat pilihan-Nya, mengingat janji-janji-Nya, dan akan setia pada mereka.[2] Zakharia mulai melaksanakan tugasnya sebagai nabi dan imam di antara orang-orang Yahudi yang telah kembali dari pembuangan di Babilonia dua bulan setelah Hagai melaksanakan tugasnya (1:1; 7:1; bnd. Neh. 12:10-16; Hag. 1:1). Dalam arti tertentu, pesan keduanya saling melengkapi, atau lebih tepatnya pemberitaan Zakharia melengkapi pemberitaan Hagai.

Zakharia melaksanakan tugasnya dalam rangka mendukung upaya restorasi komunitas Yahudi yang baru saja kembali dari pembuangan pada waktu itu, dia memotivasi mereka untuk menyelesaikan pembangunan bait Allah dan mempersembahkan kembali diri mereka bagi Tuhan dengan harapan akan berkat-berkat-Nya. Dengan demikian tema sentral kitab ini adalah “dorongan, motivasi dan pengharapan”. Kunci akan pengharapan terletak pada kedatangan Mesias dan penggulingan kekuasaan yang jahat, serta pendirian kerajaan-Nya di bumi.

Sang nabi sangat prihatin terhadap kondisi bangsa itu, sehingga dia mencoba membangkitkan semangat bangsanya yang telah melemah dan menjadi pesimis itu untuk membangun kembali Bait Allah dan komunitas mereka. Mengapa? Karena ternyata bangsa itu menjalani kehidupan mereka dalam kelesuan dan tanpa pengharapan. Maka, kedelapan penglihatan Zakharia pada pasal 1-8 menunjukkan aspek kekuasaan Allah yang menaklukkan si-apa pun yang bangsa itu takutkan, sekaligus memberikan harapan baru bagi mereka.

Kedatangan Raja Pengharapan
Teks renungan kita pada hari ini merupakan salah satu bagian yang paling penting dalam pengharapan bangsa itu. Pengharapan ini lazim disebut sebagai pengharapan mesianis, baik bagi tradisi orang-orang Yahudi maupun orang-orang Kristen. Orang Yahudi melihat bahwa di dalam teks ini terkandung dasar bagi pengharapan mesianis kerajaan secara politik, sementara Perjanjian Baru dan kekristenan melihatnya sebagai nubuatan akan kemenangan/kedatangan Yesus Kristus ke Yerusalem pada hari Minggu sebelum penyaliban-Nya (Mat. 25:5; Yoh. 12:15). Meskipun pemenuhan nubuatan ini masih dalam perdebatan, namun ada keyakinan pasti bahwa tokoh dari keturunan Daud digambarkan di sini, satu orang, yang rendah hati, mengendarai keledai muda, ibarat seorang pemenang yang masuk ke ibu kota Yerusalem. Maka, sangatlah wajar kalau bangsa itu diajak untuk bersukacita, sebab yang datang bukanlah sekadar raja seperti raja duniawi, melainkan seorang raja yang membawa kedamaian, keadilan, dan kejayaan.

Orang Israel haruslah “bersorak-sorak” sebab Raja mereka “datang” kepada mereka (bnd. Zef. 3:15). Mengapa? Karena raja yang datang ini merupakan raja yang adil yang membawa keselamatan bagi bangsa-Nya. Dengan demikian, bangsa Israel tidak perlu menjadi pesimis menyikapi kehidupan, tidak perlu lemas membangun negeri mereka, sebab ketakutan dan ancaman dari berbagai arah akan segera lenyap dengan kedatangan raja besar mereka, Mesias yang dinantikan. Itulah nanti yang ditegaskan di ayat 10, yaitu bahwa segala simbol peperangan, simbol yang mendatangkan ketakutan bagi manusia, akan dilenyapkan oleh kekuasaan sang raja damai itu. Refleksinya sederhana:

“Kalau kita tahu pasti bahwa Penolong/Penyelamat akan datang, mengapa kita tidak bersemangat membangun negeri? Kalau sudah pasti akan ada Raja yang mampu mengatasi masalah kita, untuk apa kita kuatir dan takut? Untuk apa kita menenggelamkan diri dalam ketakutan yang tiada hentinya, dalam mimpi buruk yang kita ciptakan sendiri?”

Namun, perlu disadari bahwa “raja” dimaksud, tidak seperti raja-raja dunia, tidak seperti raja Persia atau Babilonia, raja siapa pun di dunia ini yang selalu datang dalam kemegahan mereka. Raja damai yang datang ini datang dalam “kerendahan hati”, tidak angkuh, tidak sombong, dan tidak arogan. Itulah sebabnya Zakharia menggambarkan kerendahan hati raja ini dengan mengendarai “seekor keledai, keledai beban yang muda” (bnd. Kej. 49:11; Mat. 21:1-9; Mrk. 11:1-10; Luk. 19:28-38; Yoh. 12:12-15).

Di dunia Timur Dekat kuno, penguasa/raja umumnya mengendarai keledai apabila mereka datang dalam kedamaian (Hak. 5:10; 10:4; 12:14; 2 Sam. 16:2; 1 Raj. 1:33), dan sebaliknya mereka akan mengendarai kuda ketika berperang. Ayat ini memberikan alasan mengapa bangsa Israel harus bersorak-sorai, yaitu karena kedatangan raja mereka menandakan datangnya kedamaian di seluruh penjuru negeri. Raja-raja dunia pada dunia kuno pada waktu itu datang dengan membawa ketakutan, tetapi raja Israel dalam teks ini, yang dikenal dengan istilah Mesias, datang dengan membawa sukacita. Siapakah di antara kita yang tidak bergembira kalau ada kedamaian? Siapakah yang tidak bersukacita kalau kota yang kita diami ini bebas dari pencuri, koruptor, dll?

Ayat 10 memberikan alasan kedua mengapa bangsa Israel harus bersukacita, yaitu karena kedatangan sang raja menegaskan bahwa Dia segera mendirikan kerajaan-Nya yang penuh kedamaian, keadilan, dan kejayaan. Kereta pertempuran, kuda perang, busur perang, menandakan seluruh senjata yang dipakai dalam peperangan kuno; jadi ayat 10 ini menunjukkan penghancuran seluruh senjata dimaksud. Penulis kitab-kitab Injil percaya bahwa Yesus merupakan Raja yang akan datang (Mat. 21:5; Yoh. 12:15; bnd. Why. 19:11-16). Tuhan akan mengakhiri perang di Israel, dan akan membangun kedamaian di dunia, dengan proklamasi kekuasaan-Nya (bnd. Yes. 2:4; 9:5-7; 11:1-10; Mik. 5:10-15). Perlu dicatat bahwa kerajaan Mesias di sini dapat dipahami dalam pengertian yang luas, tidak hanya bagi bangsa Israel. Menegaskan kembali alasan sukacita kita di ayat 9, siapakah yang tidak bergembira kalau keluarga, lingkungan, jemaat, masyarakat, kota, bangsa dan negara yang didiaminya dipenuhi dengan kedamaian, keadilan, dan kejayaan?

Tuhan akan memerintah melalui Raja ini atas Israel, dan kekuasaan-Nya akan menjangkau seluruh dunia, dari sungai Efrat di Timur hingga ujung dunia (bnd. Mzm. 72:8-11; Yes. 66:18). Dalam kedua ayat ini, Mesias bertolak belakang dengan raja yang justru mendatangkan ketakutan/penderitaan bagi orang lain (misalnya di ayat 1-8). Demikianlah Raja yang akan datang itu, pasti datang membawa keselamatan bagi kita semua, segala ketakutan/penderitaan akan dilenyapkannya, karena itu sangatlah wajar kalau kita bersukacita menyambut kedatangan-Nya.



                                                                        
[1] Menurut pasal 1:1, Zakharia bernubuat pada bulan ke delapan tahun 520 SZB. Kedelapan penglihatan malamnya terjadi pada tahun ini (1:7), ketika dia masih muda (2:4). Dia menyampaikan pesan di pasal 7 – 8 pada tahun 518 SZB (7:1). Nehemia menyebutkan Zakharia sebagai kepala keluarga imam ketika Yoyakhim menggantikan Yosua, yang adalah imam besar (Neh. 12:12, 16). Hal ini mengindikasikan bahwa penguasa besar di negeri pembuangan pada waktu itu adalah raja Artaxerses I (465 – 424 SZB). Beberapa ahli menduga Nehemia yang menulis pasal 9 -14 pada masa kemudian kehidupannya, namun kita tidak sedang membahas itu sekarang.

[2] Zakharia ini merupakan putra Berekhya anak Dido (1:1, 7; bnd. Ezra 5:1; 6:14; Neh. 12:4, 16). Sama seperti Yeremia dan Yehezkiel, Zakharia merupakan seorang nabi sekaligus imam. Dia sangat familiar dengan hal-hal imam (bnd. psl. 3; 6:9-15; 9:8, 15; 14:16, 20, 21). Dia masih muda ketika menjadi nabi (2:4), kemungkinan besar dia lahir di Babilonia dan kembali ke tanah Yehuda sekitar tahun 536 SZB bersama dengan Zerubabel dan Yosua. Dia menjadi imam kepala dalam restorasi komunitas Yahudi pada waktu itu.

Tuesday, July 20, 2021

Menjadi Ciptaan Baru (2 Korintus 5:16-21)

Renungan tentang Ciptaan Baru
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo


5:16 Sebab itu kami tidak lagi menilai seorang jugapun menurut ukuran manusia. Dan jika kami pernah menilai Kristus menurut ukuran manusia, sekarang kami tidak lagi menilai-Nya demikian.
5:17 Jadi siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru: yang lama sudah berlalu, sesungguhnya yang baru sudah datang.
5:18 Dan semuanya ini dari Allah, yang dengan perantaraan Kristus telah mendamaikan kita dengan diri-Nya dan yang telah mempercayakan pelayanan pendamaian itu kepada kami.
5:19 Sebab Allah mendamaikan dunia dengan diri-Nya oleh Kristus dengan tidak memperhitungkan pelanggaran mereka. Ia telah mempercayakan berita pendamaian itu kepada kami.
5:20 Jadi kami ini adalah utusan-utusan Kristus, seakan-akan Allah menasihati kamu dengan perantaraan kami; dalam nama Kristus kami meminta kepadamu: berilah dirimu didamaikan dengan Allah.
5:21 Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah.

Pertama-tama dulu kita mesti menyadari bahwa perikop 2 Korintus 5:17 merupakan bagian dari pasal 5:16-21 dan tercakup dalam surat pembelaan Paulus tentang kerasulannya. Dengan menceritakan pengalamannya sendiri, secara khusus pengalaman perjumpaannya dengan Tuhan, sekaligus menegaskan pusat teologianya yang disebut dengan teologi salib, Paulus berusaha menanggapi berbagai serangan dari lawan-lawan yang mempersoalkan kerasulannya tersebut. Bagi Paulus, kematian dan kebangkitan Kristus merupakan tindakan penyelamatan Allah. Ia mendamaikan diri-Nya dengan dunia, sehingga setiap yang berada di dalam Kristus adalah ciptaan baru. Ungkapan ini mempunyai latar belakang Perjanjian Lama, yang menyinggung tentang penciptaan dalam kitab Kejadian, dimana Allah yang pencipta itu tidak membiarkan ciptaan yang telah jatuh ke dalam kuasa dosa tersebut semakin dikuasai kerajaan duniawi; sebaliknya Ia membaharuinya, yang dilaksanakan dengan pendamaian melalui kematian dan kebangkitan Yesus Kristus.

Ayat 17 ini tidak saja berhubungan dengan perubahan pengenalan Kristus dari ukuran/menurut daging kepada pengenalan di dalam Kristus itu sendiri menurut Roh (ay.16), tetapi juga menunjukkan hubungan dengan ciptaan baru. Kata “di dalam Kristus” merupakan ringkasan pokok yang mewarnai teologi Paulus dan sangat berarti dalam penebusan manusia. Dalam frase ini Paulus membicarakan bahwa “di dalam Kristus”, Dia oleh tubuh-Nya telah menanggung penghukuman Allah terhadap dosa kita. Jadi kata ini dalam ayat 17 menyatakan bahwa siapa yang ada di dalam Kristus adalah ciptaan baru.

Ungkapan ciptaan baru ini menyatakan tindakan atau perbuatan Allah yang adalah pencipta. Oleh karena dunia telah tenggelam ke dalam kuasa dosa, dan telah rusak, maka Kristus datang menebusnya melalui kematian dan kebangkitan-Nya. Kemenangan Kristus itu menyatakan pendamaian antara Allah dan manusia, sehingga membawa zaman baru, yaitu “keadaan baru dalam Kristus”, dimana zaman lama telah berlalu, dan zaman baru telah datang. Maka, setiap yang berada di dalam Kristus adalah ciptaan baru, berada dalam zaman/situasi baru, dan berada dalam rangkulan kasih Allah. Jadi, ciptaan baru merupakan hasil dari penebusan Kristus melalui salib, sehingga yang “berada di dalam Kristus” adalah ciptaan yang baru, yang melalui Yesus Kristus, Allah melepaskan semua manusia dari kuasa kegelapan dan mengantarnya di dalam kerajaan Anak yang dikasihi-Nya sebagai terang (bnd. 2 Kor. 4:6). Intinya adalah bahwa di dalam Kristus, manusia telah menjadi ciptaan baru karena telah beroleh pendamaian oleh salib Kristus; dan manusia yang telah menjadi ciptaan baru itu dipercayakan menjadi utusan Kristus untuk memberitakan kabar pendamaian bagi manusia dan dunia.

Menjadi ciptaan baru dalam konteks kita saat ini, tidak sekadar adanya pergantian tahun, atau pergantian bulan dari bulan Januari ke Februari, minggu, atau pun hari. Tidak juga sekadar bahwa “tahun yang lama” itu telah berlalu (atau malah dianggap masa lalu), dan saatnya sekarang digantikan oleh “tahun yang baru”. Tidak juga sekadar ganti kalender baru, atau malah ada yang “rumah” baru, atau “status” baru. Menjadi ciptaan baru dalam konteks kita saat ini pertama-tama menunjukkan bahwa kita masing-masing telah beroleh pendamaian oleh salib Kristus karena kita memang telah “berjumpa” dengan Dia, dan kemudian kita telah diberi kepercayaan menjadi utusan Kristus dalam memberitakan kabar pendamaian itu di sekitar kita, bagi manusia, bagi segala makhluk dan dunia.

Pertama, telah beroleh pendamaian oleh salib Kristus, dan itu akan dinikmati apabila masing-masing telah “berjumpa” dengan Kristus. Berjumpa dengan Kristus berarti telah mengalami sendiri karya penyelamatan Kristus itu, walaupun secara kasat mata belum melihat langsung Yesus (sama seperti rasul Paulus). Mengalami sendiri karya penyelamatan Yesus berarti telah hidup bersama dengan Yesus.

Kedua, menjadi utusan Kristus untuk memberitakan kabar pendamaian bagi manusia dan dunia. Ini penting, sebab orang yang telah menerima pendamaian Kristus, haruslah mampu menjadi saksi-saksi Kristus terhadap sesamanya, sehingga orang lain itu pun dapat menikmati pendamaian yang dari Kristus tersebut. Berdamai dengan Kristus berarti berdamai juga dengan sesama. Tidak mungkin mengatakan telah memperoleh pendamaian dari Tuhan, sementara relasi dengan sesama kurang harmonis. Tidak mungkin mengatakan telah mengalami penebusan dari Tuhan, kalau masih sulit menerima satu dengan yang lain. Menjadi utusan Kristus dalam pemberitaan kabar pendamaian berarti hidup di dalam damai itu sendiri, termasuk dalam relasi dan penerimaan sesama.

Selamat menjadi ciptaan baru!

Saturday, July 17, 2021

Kristus yang Mempersatukan dan Mendamaikan (Efesus 2:11-22)

Bahan Khotbah Minggu, 18 Juli 2021
Disiapkan oleh Pdt. Alokasih Gulo


11 Karena itu ingatlah, bahwa dahulu kamu--sebagai orang-orang bukan Yahudi menurut daging, yang disebut orang-orang tak bersunat oleh mereka yang menamakan dirinya "sunat", yaitu sunat lahiriah yang dikerjakan oleh tangan manusia, --
12 bahwa waktu itu kamu tanpa Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel dan tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan dan tanpa Allah di dalam dunia.
13 Tetapi sekarang di dalam Kristus Yesus kamu, yang dahulu "jauh", sudah menjadi "dekat" oleh darah Kristus.
14 Karena Dialah damai sejahtera kita, yang telah mempersatukan kedua pihak dan yang telah merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan,
15 sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera,
16 dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.
17 Ia datang dan memberitakan damai sejahtera kepada kamu yang "jauh" dan damai sejahtera kepada mereka yang "dekat",
18 karena oleh Dia kita kedua pihak dalam satu Roh beroleh jalan masuk kepada Bapa.
19 Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah,
20 yang dibangun di atas dasar para rasul dan para nabi, dengan Kristus Yesus sebagai batu penjuru.
21 Di dalam Dia tumbuh seluruh bangunan, rapih tersusun, menjadi bait Allah yang kudus, di dalam Tuhan.
22 Di dalam Dia kamu juga turut dibangunkan menjadi tempat kediaman Allah, di dalam Roh.

Pada teks khotbah hari ini penulis surat Efesus berfokus pada rekonsiliasi orang Yahudi dan non-Yahudi. Rekonsiliasi kedua belah pihak ini merupakan bagian dari misi Allah, yakni misi untuk mendamaikan umat manusia dan membebaskan manusia itu dari dosa dan kematian menuju kehidupan. Misi rekonsiliasi ilahi ini dalam praksisnya mewujud dalam perbaikan hubungan antara orang Yahudi dan non-Yahudi. Pokok persoalan perseteruan keduanya adalah masalah sunat. Orang Yahudi telah disunat, sementara orang non-Yahudi belum disunat.

Dalam masyarakat kita saat ini, hal sunat ini mungkin tidak terlalu dipersoalkan, tidak menjadi sumber perseteruan. Namun, hal ini berbeda pada zaman awal kelahiran dan penyebaran kekristenan. Ada perseteruan antara orang yang telah disunat (orang Yahudi) dengan orang yang tidak disunat (non-Yahudi). Ayat 11-12 teks renungan kita berfokus pada orang non-Yahudi yang dikucilkan dan dipisahkan. Mengapa? Karena mereka adalah “orang-orang yang tidak bersunat”. Penulis surat Efesus menggambarkan situasi orang-orang non-Yahudi ini sebagai orang yang “terpisah atau jauh dari Kristus, tidak termasuk kewargaan Israel, tidak mendapat bagian dalam ketentuan-ketentuan yang dijanjikan, tanpa pengharapan, dan tanpa Allah di dalam dunia”. Ini jelas bukan situasi yang menyenangkan, baik karena perseteruan dengan Tuhan (kalau belum menerima Kristus) maupun perseteruan antara orang Yahudi dan non-Yahudi (karena masalah sunat).

Situasi perseteruan di atas harus segera diakhiri, harus ada rekonsiliasi dan penyatuan mereka. Rekonsiliasi dan penyatuan ini hanya dapat terjadi oleh darah Kristus, darah yang tumpah di kayu salib (ay. 13-16). Pada satu sisi, penulis surat Efesus mengnigatkan orang-orang non-Yahudi tentang situasi mereka sebelum menerima Kristus (ay. 12) dan setelah menerima Kristus. Ia menjelaskan kepada mereka bahwa Kristuslah yang telah menyelesaikan perseteruan mereka, tidak ada lagi tembok pemisah, Kristus telah mempersatukan mereka. Pada sisi lain, penulis surat Efesus juga hendak mengingatkan orang-orang bersunat (Yahudi) bahwa mestinya tidak lagi ada pemisahan dan perseteruan apabila telah sungguh-sungguh menerima Kristus. Kristuslah yang mempersatukan dan mendamaikan. Kristulah yang membuat kedua belah pihak beroleh jalan kepada Bapa, Kristulah yang mengakhiri pengotak-ngotakan dalam masyarakat (dengan istilah orang asing dan pendatang), Kristulah yang membuat semuanya menjadi kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, Kristuslah dasar dari bangunan kehidupan orang-orang yang telah menerima-Nya.

Pemisah-misahan (pengotak-ngotakan) dan perseteruan dapat kita temukan dalam masyarakat kita sampai hari ini. Sumber masalahnya mungkin bukan lagi tentang sunat, atau tentang Hukum Taurat seperti pada zaman dulu dalam kekristenan mula-mula. Ada berbagai bentuk ‘tembok pemisah’ kita pada zaman sekarang, yang membuat kita hidup dalam keterpisahan dan keterasingan satu dengan yang lain. Ada berbagai bentuk perseteruan kita pada zaman sekarang, walaupun mungkin kita satu jemaat atau satu desa, bahkan satu keluarga. Kita dapat menemukan fenomena tersebut dalam masyarakat kita. Lihatlah misalnya stigma dalam masyarakat Indonesia saat ini dengan sebutan “kadrun” dan “cebong”, atau “buzzeRp” dan “taliban”, dll. Kadang-kadang di berbagai tempat ada pemisahan dan perseteruan masyarakat yang dianggap “penduduk asli” dengan “pendatang”. Hal ini juga dapat terjadi di dalam jemaat, kadang-kadang muncul pada saat pemilihan BPMJ. Kita bisa menambah daftar pemisahan dan perseteruan ini sesuai dengan konteks kita masing-masing.

Apakah kita masih meneruskan pemisahan dan perseteruan itu? Apakah kita nyaman dengan situasi seperti itu? Siapakah yang merasa nyaman hidup dalam pemisahan dan perseteruan? Siapa? Hayo …

Hari ini, penulis surat Efesus mengingatkan kita bahwa Kristuslah yang mempersatukan dan mendamaikan kita. Orang-orang yang telah menerima Kristus, mestinya tidak lagi menciptakan keterpisahan dan perseteruan dalam berbagai bentuk. Orang yang sungguh-sungguh telah menerima Kristus justru berupaya untuk hidup dalam kesatuan dan perdamaian satu dengan yang lain. Darah Kristuslah yang telah menyelamatkan kita, yang telah mempersatukan dan mendamaikan kita. Oleh sebab itu, berhentilah membangun tembok atau jurang pemisah antara satu dengan yang lain; berhentilah melabeli orang/kelompok tertentu hanya karena berbeda dengan kita; berhentilah menciptakan dan memperparah permusuhan dalam jemaat dan masyarakat kita … sudahilah semua itu.

Saat ini, oleh karena kasih Kristus, oleh karena darah Kristus, mari hidup dalam kesatuan, hidup dalam perdamaian. Kita memang tidak mungkin menghilangkan perbedaan, tetapi biarlah perbedaan itu menjadi pewarna kehidupan kita untuk saling menopang, bukan untuk dipertentangkan. Pada hakikatnya, Kristus telah mempersatukan dan mendamaikan kita melalui peristiwa salib, lalu masihkah kita menafikan dan mengkhianati pengorbanan Yesus tersebut?


Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...