Renungan tentang Tuhan yang berkuasa
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo
4 Mesa, raja Moab, adalah seorang peternak domba; sebagai upeti ia membayar kepada raja Israel seratus ribu anak domba dan bulu dari seratus ribu domba jantan.
5 Tetapi segera sesudah Ahab mati, memberontaklah raja Moab terhadap raja Israel.
6 Keluarlah raja Yoram pada waktu itu dari Samaria, lalu ia memeriksa barisan seluruh orang Israel.
7 Selanjutnya ia menyuruh orang kepada Yosafat, raja Yehuda, dengan pesan: "Raja Moab telah memberontak terhadap aku! Maukah engkau bersama-sama aku berperang melawan Moab?" Jawabnya: "Aku akan maju. Kita sama-sama, aku dan engkau, rakyatku dan rakyatmu, kudaku dan kudamu."
8 Lagi ia bertanya: "Melalui jalan manakah kita akan maju?" Jawabnya: "Melalui padang gurun Edom!"
9 Maka berjalanlah raja Israel dan raja Yehuda dan raja Edom. Tetapi sesudah mereka berkeliling tujuh hari perjalanan jauhnya, maka tidak terdapat air untuk tentara dan untuk hewan yang mengikuti mereka.
10 Lalu berkatalah raja Israel: "Wahai, TUHAN telah memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan Moab!"
11 Tetapi bertanyalah Yosafat: "Tidak adakah di sini seorang nabi TUHAN, supaya dengan perantaraannya kita meminta petunjuk TUHAN?" Lalu salah seorang pegawai raja Israel menjawab, katanya: "Di sini ada Elisa bin Safat, yang dahulu melayani Elia."
12 Berkatalah Yosafat: "Memang padanya ada firman TUHAN." Sesudah itu pergilah raja Israel dan Yosafat dan raja Edom kepada Elisa.
13 Tetapi berkatalah Elisa kepada raja Israel: "Apakah urusanku dengan engkau? Pergilah kepada para nabi ayahmu dan kepada para nabi ibumu." Jawab raja Israel kepadanya: "Jangan begitu, sebab TUHAN memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan orang Moab!"
14 Berkatalah Elisa: "Demi TUHAN semesta alam yang hidup, yang di hadapan-Nya aku menjadi pelayan: jika tidak karena Yosafat, raja Yehuda, maka sesungguhnya aku ini tidak akan memandang dan melihat kepadamu.
15 Maka sekarang, jemputlah bagiku seorang pemetik kecapi." Pada waktu pemetik kecapi itu bermain kecapi, maka kekuasaan TUHAN meliputi dia.
16 Kemudian berkatalah ia: "Beginilah firman TUHAN: Biarlah di lembah ini dibuat parit-parit,
17 sebab beginilah firman TUHAN: Kamu tidak akan mendapat angin dan hujan, namun lembah ini akan penuh dengan air, sehingga kamu serta ternak sembelihan dan hewan pengangkut dapat minum.
18 Dan itupun adalah perkara ringan di mata TUHAN; juga orang Moab akan diserahkan-Nya ke dalam tanganmu.
19 Kamu akan memusnahkan segala kota yang berkubu dan segala kota pilihan; kamu akan menumbangkan segala pohon yang baik; kamu akan menutup segala mata air dan kamu akan merusakkan segala ladang yang baik dengan batu-batu."
20 Keesokan harinya ketika orang mempersembahkan korban, datanglah dengan tiba-tiba air dari arah Edom, lalu penuhlah negeri itu dengan air.
Kisah ini bercerita tentang ketidakberdayaan raja Israel, Yoram, menghadapi pemberontakan raja Moab setelah kematian Ahab. Sebelumnya, raja Moab memang tunduk bahkan selalu membawa upeti kepada raja Ahab, tetapi ceritanya menjadi berbeda ketika Ahab sudah mati dan digantikan oleh anaknya Yoram. Pada ayat 2-3 sebelumnya disebutkan bahwa raja Yoram ini melakukan yang jahat di mata TUHAN, dan masih berpaut kepada dosa Yerobeam bin Nebat yang mengakibatkan orang Israel berdosa pula. Sekarang, raja Yoram ini harus menghadapi pemberontakan Mesa, raja Moab.
Awalnya, raja Yoram mencoba menyiapkan diri menghadapi raja Moab tersebut, tetapi kemudian dia merasa tidak bisa mengatasinya kalau hanya sendiri. Itulah sebabnya dia mengajak raja Yehuda, Yosafat, untuk ikut bersama dengan dia dalam peperangan tersebut, seterusnya raja Edom pun ikut dalam barisan mereka. Secara matematis, sebenarnya pasukan tiga kerajaan (Israel, Yehuda, dan Edom) dapat dengan mudah mengalahkan satu kerajaan yang memberontak tersebut (Moab). Namun demikian, setelah mengalami kesulitan mendapatkan air di padang gurun Edom, nyali ketiganya, terutama raja Yoram, menciut. Raja Yoram stres sendiri menghadapi situasi sulit tersebut, dia putus asa, dan dalam ketidakberdayaannya dia mengatakan: “Wahai, TUHAN telah memanggil ketiga raja ini untuk menyerahkan mereka ke dalam tangan Moab” (ay. 10). Untunglah, ada raja Yosafat di antara mereka, raja Yehuda yang baik dan takut akan TUHAN. Dia lebih optimis, masih berupaya mencari alternatif lain yang lebih baik dalam situasi yang amat sulit tersebut (ay. 11). Dia raja yang takut akan TUHAN, dan tetap mendengarkan suara TUHAN ketika hendak melakukan sesuatu, terutama ketika berada dalam situasi sulit. Dipanggillah nabi Elisa, nabi yang bermusuhan dengan keluarga Ahab. Nabi Elisa ini sangat kritis terhadap raja Ahab yang hidup jauh dari TUHAN, hidup jauh dari kebaikan. Walaupun pada dasarnya Elisa tidak mau lagi berurusan dengan keluarga Ahab, tetapi kehadiran dan permohonan Yosafat, raja Yehuda, membuatnya mau menolong mereka. Pada akhirnya, nabi Elisa menyampaikan berita sukacita, bahwa dalam situasi yang teramat sulit itu, kuasa Tuhan dapat hadir, dan kuasa Tuhan itu melebihi ekspektasi manusia. Elisa menegaskan bahwa di padang gurun itu, TUHAN mampu mendatangkan air hingga berlimpah. Angin dan hujan memang menandakan adanya air, tetapi kuasa TUHAN melampaui angin dan hujan. Kuasa TUHAN tidak bergantung pada angin dan hujan, sebaliknya angin dan hujan bergantung pada kuasa TUHAN. Apa pun kesulitan yang dihadapi, entah ketiadaan air di padang gurun, ketiadaan kebutuhan pasukan Israel, Yehuda, dan Edom, atau pun musuh yang kuat seperti Moab, bagi TUHAN semua itu adalah perkara ringan. Dan TUHAN membuktikan kuasa-Nya yang besar itu, dapat kita baca di ayat 20: “Keesokan harinya ketika orang mempersembahkan korban, datanglah dengan tiba-tiba air dari arah Edom, lalu penuhlah negeri itu dengan air”. Ini menjadi pertanda bahwa TUHAN akan memberikan kemenangan bagi ketiga kerajaan tersebut, kemenangan besar atas kerajaan Moab (ay. 18-19).
Sebenarnya, kita dapat belajar banyak hal dari teks bacaan kita hari ini. Salah satu yang terpenting dan relevan dengan kondisi kita saat ini adalah bahwa kuasa TUHAN selalu nyata sekalipun kita berada dalam situasi yang sulit. Bumi kita, dunia yang kita diami, sedang merintih kesakitan karena covid-19. Penduduk bumi dibuat tidak berdaya menghadapi virus yang ukurannya amat kecil, virus yang ukurannya tidak seberapa dibandingkan dengan ukuran tubuh manusia. Tetapi, sekali lagi, manusia menjadi tidak berdaya, semua negara babak belur, tidak peduli negara besar atau negara kecil, tidak peduli negara kaya atau negara miskin, tidak peduli pejabat atau rakyat biasa, tidak peduli pelayan gereja atau jemaat biasa, tidak peduli di kota ataupun di desa. Saat ini, kita pun semua mengeluh, berbagai masalah muncul: masalah kesehatan, masalah ekonomi, ditambah lagi berbagai masalah lain yang seringkali membuat kita stres. Dalam situasi seperti itu, kita pun bisa saja berseru kepada Tuhan, seperti seruan Yesus: “Eli, Eli, lama sabakhtani? Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mat. 27:46). Saya yakin, banyak orang Kristen yang kadang-kadang mempertanyakan kemahakuasaan Allah di tengah-tengah penderitaan umat manusia saat ini, terutama karena pandemi Covid-19. Sayangnya, kita kadang-kadang tidak mampu melihat kemahakuasaan Allah itu, mungkin karena cara Allah menyatakan kuasa-Nya di tengah-tengah kesulitan itu tidak sesuai dengan rancangan dan harapan kita. Sebagian tidak mampu melihat kemahakuasaan Allah mungkin karena menginginkan Allah bertindak seperti: Power Rangers, Wonder Woman, Batman, dan Spiderman. Allah seringkali menyatakan kuasanya dalam cara yang berbeda dengan pandangan manusia secara umum.
Rasul Paulus pun pernah berada dalam situasi yang amat sulit, yang dia sebut sebagai “duri dalam daging”, dan dia tiga kali berseru kepada Tuhan supaya duri itu terbuang dari dalam dagingnya (2Kor. 12:7-8), tetapi Tuhan menjawabnya: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (2Kor. 12:9a). Ingat: “dalam kelemahan, kuasa Tuhan menjadi sempurna”. Apa artinya? Ternyata, Allah pun berkenan menyatakan kuasa-Nya dalam ketidakberdayaan manusia. Kemampuan bertahan dalam situasi sulit merupakan bukti nyata kuasa Tuhan yang selalu menyertai kita.
Apakah ada yang dapat memisahkan kita dari kuasa kasih Kristus? Tidak! Dalam Roma 8:35, rasul Paulus mengajukan beberapa pertanyaan penting sehubungan dengan kesulitan dan penderitaan yang kita alami: “Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang?” Lalu, Paulus menyatakan keyakinannya: “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Rm. 8:38-39). Mari kita jadikan keyakinan Paulus ini sebagai keyakinan kita juga, bahwa apa pun jenis virusnya, apa pun variannya, apa pun kesulitannya, tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kuasa kasih Kristus. Ini tidak berarti kita tidak perlu hati-hati lagi, justru keyakinan pada kuasa Allah ini mendorong kita untuk bersikap dan bertindak dengan bijak dalam menghadapi berbagai kesulitan dan penderitaan, baik karena pandemi Covid-19 maupun karena berbagai faktor lainnya. Dalam ketidakberdayaan dan dalam kehati-hatian kita, kita percaya bahwa kuasa Tuhan tetap menyertai kita dalam berbagai cara dan bentuk. Oleh sebab itu, mari selalu menyerahkan hidup kita kepada Tuhan, mari kita memasrahkan diri kita dalam tangan Tuhan yang penuh kuasa. Amin.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?