Saturday, April 30, 2016

Doa Berkat, Permohonan dan Pengharapan demi Kemuliaan Allah (Mazmur 67:1-8)

Bahan Khotbah Minggu, 1 Mei 2016 (Hari Buruh)
Oleh. Pdt. Alokasih Gulo


Mazmur ini merupakan doa pujian sekaligus mewartakan pengharapan akan kemakmuran, keselamatan, dan sukacita bagi umat Tuhan dan bagi bangsa-bangsa, yang semuanya bermuara pada pemujaan Allah sumber berkat itu. Ditegaskan bahwa segala sukacita kita berasal dari anugerah Allah, dan karenanya segala macam doa pujian, doa berkat, doa permohonan dan pengharapan kita hanyalah demi kemuliaan nama-Nya di antara bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Ada beberapa alasan kita patut menyampaikan doa pujian, permohonan dan pengharapan kita hanya kepada Allah menurut mazmur ini:
1.    Dia adalah sumber segala kemakmuran bagi umat Israel, moroi khö Lowalangi fefu ngawalö wa’ebua dödö ba howuhowu ba Ndraono Gizera’eli (ay. 2, 7).
Alasan ini pada satu sisi merupakan doa harapan bangsa Israel sekaligus doa pengakuan bahwa kemakmuran yang telah dan akan didapatkan oleh bangsa Israel berasal dari Allah, Dialah yang memberkati tanah Israel sehingga memberikan hasilnya. Hal ini sangat penting disadari dan diakui oleh bangsa Israel, bahkan oleh segala bangsa, dari zaman dulu hingga zaman sekarang, supaya manusia hidup bergantung penuh pada Allah, dan tidak bersandar pada kekuatannya sendiri. Pada saat yang sama teks ini mengingatkan kita bahwa keterputusan hubungan dengan Allah berarti keterputusan hubungan dengan sumber segala kemakmuran itu. Memang ada orang yang mengatakan bahwa kemakmuran yang dia miliki merupakan hasil jerih lelahnya, usahanya, buah dari kecerdasannya, buah dari pendidikan yang telah dia peroleh. Namun, pertanyaannya ialah: siapakah yang memberi kita kekuatan untuk bekerja, belajar, dan berusaha? Siapakah yang memberikan kita kecerdasan yang kadang-kadang tidak terpikirkan sebelumnya? Siapakah sumber utama pengetahuan? Adakah yang berani mengatakan itu semua bersumber dari dirinya sendiri?! Kalau ada, maka sia-sialah Anda datang kebaktian hari ini, sebab yang datang pada kebaktian ini adalah mereka-mereka yang masih menyadari dan mengakui bahwa semua keberhasilan atau kemakmuran itu bersumber dari Tuhan; sedangkan kerja keras kita, usaha kita, kecerdasan atau pendidikan kita hanyalah media atau alat yang dipakai oleh Tuhan untuk mendatangkan kemakmuran atau keberhasilan bagi kita semua.

2.    Dia adalah sumber keselamatan bagi bangsa-bangsa, moroi khö Lowalangi wangorifi soi niha baero andrö  (ay. 3).
Doa pengharapan dan pengakuan berkat Allah bagi umat-Nya Israel kemudian mendapatkan pengakuan yang lebih luas, yaitu bahwa keselamatan bagi bangsa-bangsa (di luar Israel) berasal dari Allah saja. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa walaupun Allah yang kita kenal pertama-tama adalah Allah Israel, namun Allah itu tidak serta merta eksklusif menjadi milik Israel saja. Tidak ada yang mampu membatasi ruang gerak Allah beserta segala berkat-Nya. Pemazmur menyadari hal ini, dan pengakuan ini sangat penting baik bagi bangsa Israel sendiri sebagai umat pilihan Allah, maupun kepada bangsa-bangsa lain yang mendapatkan keselamatan ini. Bangsa-bangsa lain dapat mengenal jalan dan keselamatan yang dari Allah, sehingga bangsa-bangsa itu pun pada akhirnya akan bersyukur kepada Allah. Perhatikan dengan baik kalimat di ayat 3 ini “supaya jalan-Mu dikenal di bumi, dan keselamatan-Mu di antara segala bangsa”. Ternyata, Tuhan Allah berkenan memberi kita kemakmuran atau berkat-berkat-Nya supaya kita dapat memperkenalkan jalan Tuhan itu di bumi, supaya kita dapat memperkenalkan keselamatan itu bagi orang lain. Makanya, aneh rasanya kalau ada orang mengaku sebagai “anak-anak Tuhan” tetapi justru menjadi batu sandungan bagi sesamanya; aneh rasanya kalau ada orang yang merasa diri “saleh/suci/rohani” tetapi suka mempersulit sesamanya terutama orang-orang yang lebih lemah dari dia (lebih muda, junior, dll).

3.     Dia memerintah bangsa-bangsa dengan adil, atulö/adölö wanguhuku Lowalangi dozi soi (ay. 5).
Kalau pada bagian sebelumnya ditegaskan alasan mengapa bangsa-bangsa harus bersyukur kepada Allah (ay. 3, 6), maka pada bagian ini dinyatakan alasan konkret mengapa semua bangsa harus memuji dan bersyukur kepada Allah, yaitu bahwa Dia mengadili bangsa-bangsa dengan adil. Kita semua sudah tahu bagaimana realitas penegakkan keadilan di antara bangsa-bangsa, seringkali jauh dari prinsip-prinsip keadilan. Dari zaman dulu sampai sekarang, seringkali rakyat kecil yang jauh dari panggung kekuasaan, hanya bermimpi tentang pemerintahan yang adil, tetapi tidak pernah menikmatinya. Sekarang, melalui mazmur ini, ditegaskan bahwa Allah akan memerintah, atau dalam bahasa aslinya menghakimi bangsa-bangsa dengan adil.

Siapa yang tidak bersukacita kalau keadilan dapat dihadirkan dalam kehidupan ini? Siapa yang tidak bersyukur kalau pemerintah atau penguasa pada akhirnya harus tunduk pada pemerintahan atau keadilan Allah? Memang, ada saja orang yang merasa diri berada “di atas angin”, tidak tersentuh oleh hukum dan keadilan (mungkin karena dia memiliki pengaruh, kekayaan, backing, dll) sehingga seringkali mempermainkan hukum dan keadilan; tetapi apakah Allah akan berdiam diri? TIDAK! Suatu saat Tuhan Allah akan menunjukkan keadilan-Nya kepada mereka. 

4.     Dia menuntun suku-suku bangsa di atas bumi, Lowalangi zamatörö soi niha misa (ay. 5).
Terakhir, mazmur ini mengungkapkan alasan penting mengapa harus memuji dan bersyukur kepada Allah, yaitu bahwa Allah itu yang menuntun suku-suku bangsa di atas bumi, dalam bahasa aslinya berarti memerintah. Alasan ini terkait erat dengan bagian sebelumnya ketika Allah memerintah bangsa-bangsa dengan adil.

Penegasan ini sangat penting bagi bangsa Israel, sebab mereka sudah tahu persis bagaimana pemerintahan bangsa-bangsa lain di sekitar mereka pada zaman itu, dan sekarang mereka diberi kepastian bahwa semua bangsa itu harus tunduk di bawah kekuasaan Allah, dan Allah dengan segala kekuasaan-Nya itu pasti memerintah mereka dengan adil sebagaimana ditegaskan pada bagian sebelumnya. Pada saat yang sama penegasan ini mengingatkan pemerintah bangsa-bangsa lain yang biasanya cenderung otoriter dan menindas, bahwa pada akhirnya Allah sendiri yang akan memerintah mereka dengan keadilan-Nya, karenanya mereka pun harus menundukkan diri kepada Allah. Mazmur ini tentu menjadi kabar sukacita bagi semua orang, terutama mereka yang selama ini jauh dari panggung kekuasaan atau bahkan mereka yang selama ini mengalami ketidakadilan. Allah akan memerintah bangsa-bangsa dengan adil, siapa yang tidak bersyukur? Ha niha zi lö mangandrö saohagölö na I’ohe ba wa’adölö ma ba wa’atulö wanguhuku soi niha Lowalangi?

Tujuan dari seluruh bagian dalam mazmur ini adalah supaya bangsa-bangsa semua bersyukur kepada Allah, ena’ö dozi soi niha aboto ba dödöra ba lasuno Lowalangi (ay. 4, 6). Artinya, semua suku bangsa akan tunduk dan menyatakan pengakuan terhadap kekuasaan Allah, dan kita semua menyatakan pujian syukur hanya kepada-Nya saja.

Selamat berefleksi, Tuhan memberkati.

Saturday, April 23, 2016

Keselamatan bagi Semua (Kis. Rasul 11:1-18)


Bahan Khotbah Minggu, 24 April 2016
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]

11:1   Rasul-rasul dan saudara-saudara di Yudea mendengar, bahwa bangsa-bangsa lain juga menerima firman Allah.
11:2   Ketika Petrus tiba di Yerusalem, orang-orang dari golongan yang bersunat berselisih pendapat dengan dia.
11:3   Kata mereka: “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.”
11:4    Tetapi Petrus menjelaskan segala sesuatu berturut-turut, katanya:
11:5   “Aku sedang berdoa di kota Yope, tiba-tiba rohku diliputi kuasa ilahi dan aku melihat suatu penglihatan: suatu benda berbentuk kain lebar yang bergantung pada keempat sudutnya diturunkan dari langit sampai di depanku.
11:6   Aku menatapnya dan di dalamnya aku lihat segala jenis binatang berkaki empat dan binatang liar dan binatang menjalar dan burung-burung.
11:7   Lalu aku mendengar suara berkata kepadaku: Bangunlah, hai Petrus, sembelihlah dan makanlah!
11:8    Tetapi aku berkata: Tidak, Tuhan, tidak, sebab belum pernah sesuatu yang haram dan yang tidak tahir masuk ke dalam mulutku.
11:9   Akan tetapi untuk kedua kalinya suara dari sorga berkata kepadaku: Apa yang dinyatakan halal oleh Allah, tidak boleh engkau nyatakan haram!
11:10  Hal itu terjadi sampai tiga kali, lalu semuanya ditarik kembali ke langit.
11:11  Dan seketika itu juga tiga orang berdiri di depan rumah, di mana kami menumpang; mereka diutus kepadaku dari Kaisarea.
11:12  Lalu kata Roh kepadaku: Pergi bersama mereka dengan tidak bimbang! Dan keenam saudara ini menyertai aku. Kami masuk ke dalam rumah orang itu,
11:13  dan ia menceriterakan kepada kami, bagaimana ia melihat seorang malaikat berdiri di dalam rumahnya dan berkata kepadanya: Suruhlah orang ke Yope untuk menjemput Simon yang disebut Petrus.
11:14  Ia akan menyampaikan suatu berita kepada kamu, yang akan mendatangkan keselamatan bagimu dan bagi seluruh isi rumahmu.
11:15  Dan ketika aku mulai berbicara, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, sama seperti dahulu ke atas kita.
11:16  Maka teringatlah aku akan perkataan Tuhan: Yohanes membaptis dengan air, tetapi kamu akan dibaptis dengan Roh Kudus.
11:17  Jadi jika Allah memberikan karunia-Nya kepada mereka sama seperti kepada kita pada waktu kita mulai percaya kepada Yesus Kristus, bagaimanakah mungkin aku mencegah Dia?”
11:18  Ketika mereka mendengar hal itu, mereka menjadi tenang, lalu memuliakan Allah, katanya: “Jadi kepada bangsa-bangsa lain juga Allah mengaruniakan pertobatan yang memimpin kepada hidup.”

Pengantar
Apa yang akan kita lakukan, atau yang akan kita katakan, terhadap seseorang dalam komunitas kita yang telah melanggar kesepakatan/keputusan bersama? Apakah kita akan mendiamkan dan tidak mempertanyakannya?
Atau, bagaimanakah sikap kita apabila ada di antara warga desa kita yang melanggar kesepakatan, keputusan, dan tradisi adat istiadat yang sekian lama kita junjung tinggi? Apakah bapak/ibu tua-tua adat membiarkannya begitu saja?
Atau, bagaimana kalau ada kesepakatan serta tradisi gereja yang sudah sekian lama kita terima tetapi kemudian dilanggar oleh orang-orang tertentu? Apakah bapak/ibu majelis jemaat, BPMJ atau tokoh jemaat mendiamkannya saja?
Saya yakin bahwa kita tidak akan berdiam diri saja; kita tentu mempertanyakannya dan bahkan mengecamnya!
Kira-kira seperti itulah yang terjadi dengan komunitas Kristen mula-mula, ketika Petrus (bersunat) makan bersama dengan orang tidak bersunat, yang telah dilarang keras dalam hukum adat istiadat Yahudi.

Penjelasan Teks
Teks ini dengan jelas berkaitan dengan persoalan yang muncul di ay. 1-2, yaitu tentang kehadiran rasul Petrus di rumah non-Yahudi (tidak bersunat) yang bernama Kornelius. Tentu kita sudah mengetahui bagaimana kisah pertemuan Petrus dan kehadirannya di rumah Kornelius, dan bagaimana Allah berkarya di keluarga itu. Kornelius ini adalah seorang perwira pasukan yang disebut pasukan Italia, dan dia tinggal di Kaisarea (Kis. 10:1). Dia memang baik, saleh dan takut akan Allah, banyak memberi sedekah kepada umat Yahudi, serta senantiasa berdoa kepada Allah (Kis. 10:2). Namun, secara lahiriah dia bukanlah golongan Yahudi, bukan juga golongan bersunat, jadi sebaik dan sesaleh apa pun dia tetap bukan bagian dari kaum Yahudi. Dan, menurut keputusan adat kebiasaan Yahudi, orang bersunat (kaum Yahudi) tidak boleh makan bersama-sama dengan orang-orang yang tidak bersunat (non Yahudi) karena mereka dianggap orang kafir. Pengaruh keputusan adat istiadat yang cukup ketat ini tentu masih terasa bagi Yahudi pada zaman itu, temasuk orang-orang Kristen pada masa-masa awal kelahirannya. Maka tidak mengherankan kalau ada pemahaman bahwa berita keselamatan, berita tentang Yesus yang telah mati dan bangkit, hanya ditujukan kepada kaum Yahudi/Israel, tidak kepada bangsa-bangsa lain, dalam hal ini termasuk Kornelius itu. Tetapi ternyata, Petrus hadir, bertemu dan bahkan makan dengan salah satu keluarga non-Yahudi, yaitu Kornelius tersebut. Hal ini menimbulkan persoalan atau perdebatan di antara orang-orang dari golongan Yahudi (bersunat), dan mempertanyakan tindakan Petrus tersebut, dan bahkan mereka menyalahkan, mengkritik dan menyudutkan dia. Lebih jelasnya di ayat 3 mereka berkata: “Engkau telah masuk ke rumah orang-orang yang tidak bersunat dan makan bersama-sama dengan mereka.”

Karenanya, dengan bijak rasul Petrus menanggapi “pertanyaan, kritikan atau kecaman” mereka tentang kehadiran, pertemuan, dan makan bersamanya dengan keluarga Kornelius tersebut. Itulah yang dia jelaskan mulai dari ayat 4 sampai ayat 17 di pasal 11 ini. Petrus mengakui bahwa bukan karena kehendaknya sendiri dia datang, bertemu dan makan bersama dengan keluarga Kornelius yang non-Yahudi itu, bukan karena rencananya, dan bukan karena alasan manusia saja. Tuhan Allahlah yang “memaksa” atau “menyuruh” dia untuk datang ke rumah Kornelius dan memberitakan berita keselamatan di dalam Kristus (lih. Kis. 10). Awalnya Petrus tidak memahaminya, bahkan mungkin tidak mau memberitakan berita keselamatan itu kepada bangsa-bangsa lain, tetapi pada akhirnya dia harus mengalah, dia harus tunduk kepada Sang Pengutus, untuk menyatakan kasih keselamatan bagi bangsa-bangsa lain di dalam Kristus Yesus. Tidak hanya itu, Petrus memberi kesaksian nyata tentang bagaimana bangsa-bangsa lain itu (dhiKornelius dan keluarganya) bisa juga menerima Roh Kudus sama seperti ketika para pengikut Kristus golongan Yahudi (bersunat) menerima-Nya.

Apa artinya?
Bangsa-bangsa lain juga (tidak bersunat) sama dengan bangsa/orang Yahudi (bersunat) dalam hal penerimaan Roh Kudus (ay. 15).
Peristiwa datangnya Roh Kudus kepada bangsa-bangsa lain lewat pemberitaan para rasul, membuktikan atau menggenapi perkataan Yesus sebelumnya (ay. 16).
Allah berkenan menyatakan kasih karunia-Nya dengan mengaruniakan keselamatan dan mencurahkan Roh Kudus-Nya kepada siapa pun yang Dia kehendaki, dan tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi-Nya (ay. 17).
Kasih karunia Allah berlaku kepada semua orang dari berbagai latar belakang kehidupan, dan karenanya karunia itu memimpin semua orang pada pertobatan (ay. 18). Ini adalah kesadaran, pengakuan dan pujian orang-orang yang tadinya mengkritik Petrus, bahwa bangsa-bangsa lain juga “layak” mendapatkan kasih karunia Allah, dan mereka (golongan bersunat) adalah alat Tuhan untuk memberitakan kasih karunia itu di dalam Kristus.

Teks ini mengajak kita untuk menyadari dan melakukan 2 (dua) hal penting:
Pertama, bahwa kasih karunia Allah itu berlaku untuk semua, sesuai dengan kehendak Allah itu sendiri. Karenanya, siapa pun, termasuk orang-orang Kristen, tidak berhak mengatur Allah apalagi menghalang-halangi-Nya untuk memberi kasih karunia-Nya kepada orang lain. Kita harus mengakui hal ini, yaitu bahwa Tuhan pun menginginkan orang lain yang mungkin tidak “sesaleh” kita untuk mengalami keselamatan dan karya Roh Kudus. Saya kadang-kadang prihatin mendengar kesaksian orang-orang percaya, terutama para “aktivis” gereja dan hamba Tuhan, yang mengklaim bahwa hanya orang Kristen-lah yang diselamatkan, sedangkan orang-orang beragama lain itu tidak diselamatkan. Dari kesaksian ini kemudian dibangun pemahaman yang menempatkan dirinya sebagai orang Kristen “lebih rohani” daripada yang non-Kristen, bahkan ada yang membangun tembok pemisah dengan orang lain yang tidak seiman dengan dirinya, yang kemudian memicu terjadinya ketegangan dan bahkan konflik atas nama Tuhan. Ah, mungkin ini terlalu jauh. Baiklah, mari kita lihat di antara kita sendiri, sesama Kristen. Kadang-kadang ada pemahaman yang menganggap bahwa hanya “gereja tertentu” yang memiliki Roh Kudus sedangkan “gereja lain” itu sudah menjadi duniawi, tidak ada karya Roh Kudus. Lebih spesifik lagi, kadang-kadang terdengar kesaksian yang bersifat menghakimi, yaitu bahwa dirinya adalah hamba Tuhan yang sudah bertobat dan penuh dengan Roh Kudus, sedangkan hamba Tuhan “yang satu” itu masih belum bertobat dan tidak memiliki Roh Kudus. Ini semua termasuk bentuk-bentuk kesombongan rohani yang seringkali tidak disadari dan mungkin tidak mau disadari. Selama kita menganggap diri “lebih rohani, lebih hebat, lebih agamais, lebih populer, lebih bijak ... dst” dari orang lain, maka sulit bagi kita untuk menerima dan mengakui bahwa Tuhan pun berkenan berkarya atas orang lain tersebut, bahkan kalau bisa pun kita “mengontrol” Allah supaya menyalurkan kasih dan berkat-Nya hanya kepada orang-orang tertentu saja sesuai kehendak kita, bukan lagi kehendak Tuhan. Pertanyaannya sederhana, “Siapakah kita sehingga kita merasa berhak menentukan siapa yang diselamatkan dan siapa yang tidak diselamatkan? Siapakah kita sehingga merasa kecewa ketika Tuhan memberkati orang-orang yang mungkin tidak sejalan atau tidak searah dengan kita?” Adakah orang yang memiliki kuasa untuk menghalangi kasih dan berkat Tuhan bagi orang lain bahkan bagi semua orang?

Kedua, bahwa orang yang telah menerima kasih karunia, dipanggil untuk menjadi alat Tuhan untuk memberitakan dan memimpin orang lain kepada kasih karunia yang membawa kehidupan. Nah, seharusnya kita “menyibukkan” diri dengan tugas ini, bukan dengan membatasi ruang gerak Allah dalam menyelamatkan orang-orang yang dikehendaki-Nya. Kita mestinya berpikir dan berbuat sesuatu yang dapat membawa orang-orang yang selama ini mungkin masih “jauh” dari jalan-jalan Tuhan untuk semakin dekat kepada Tuhan. Dan, kita sulit membawa mereka dekat kepada Tuhan selama kita menghakimi mereka sebagai orang-orang berdosa (seolah-olah kita jauh lebih suci), apalagi kalau kita memakai teks-teks tertentu dalam Alkitab untuk mendiskreditkan mereka. Kalau pun mereka berdosa (sama seperti kita juga tidak luput dari dosa), maka cara terbaik adalah dengan menunjukkan kepedulian dan kasih Allah atas mereka (sama seperti kita juga telah menerima dan merasakannya), tentu melalui kata-kata, relasi, dan tindakan kita sehari-hari. Keselamatan yang dari Tuhan dianugerahkan bagi kita dan juga bagi orang lain, dan pekerjaan kita adalah meneruskan pemberitaan tentang kasih dan keselamatan yang dari Allah itu kepada orang-orang di sekitar kita.



[1] Khotbah Minggu, 24/04/2016, di BNKP Jemaat Petrus Ombölata, Resort 2.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...