Friday, May 24, 2013

Roh Kebenaran – Roh yang Memimpin Kepada Kebenaran (Yohanes 16:12-15)


Bahan Khotbah Minggu, 26 Mei 2013
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
STT BNKP Sundermann

16:12   Masih banyak hal yang harus Kukatakan kepadamu, tetapi sekarang kamu belum dapat menanggungnya.
16:13   Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.
16:14   Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.
16:15   Segala sesuatu yang Bapa punya, adalah Aku punya; sebab itu Aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterimanya dari pada-Ku.”






Seorang ahli tentu mampu memimpin orang lain ke bidang keahliannya itu; sebaliknya aneh kalau ada orang yang tidak mempunyai kompetensi yang memadai mencoba memimpin orang lain ke bidang tertentu yang bukan bidang keahliannya. Seorang yang ahli akan mampu memimpin orang lain menurut ilmu atau keahliannya, menurut pengetahuan yang dimilikinya, menurut apa yang telah didengarnya, atau menurut pengalamannya; sebaliknya yang bukan ahli akan menceritakan sesuatu yang tidak pernah didengar atau dialaminya (itunö zi tenga fangifinia, ibaso zura si lö la’ala’a). Mari kita lihat contohnya. Ketika kita sakit, secara logika, mana yang lebih layak dipercayai untuk mengobati, seorang dokter atau seorang tukang bangunan? Tentu, yang lebih dipercaya adalah seorang dokter, karena dia memang ahli dalam hal pengobatan yang sakit. Tetapi, apabila atap rumah sudah rusak misalnya, mana yang lebih dipercaya, dokter atau tukang bangunan? Tentu, tukang bangunan bukan? Mengapa? Karena dialah yang lebih ahli dalam hal bangunan itu. Kita tentu masih bisa mencari contoh-contoh yang lain tentang hal ini.

Demikianlah halnya dengan “kebenaran”, ia memiliki ahli di atas segala ahli, yaitu Roh Kebenaran, Roh yang dari Tuhan Yesus. Itulah yang dimaksudkan oleh Yesus di ayat 2, yaitu bahwa Roh Kebenaran akan memimpin orang percaya ke dalam seluruh kebenaran. Hal ini tentunya untuk meneguhkan para murid, para pengikut, dan setiap orang yang percaya kepada-Nya karena dipastikan akan ada berbagai tantangan dalam hal mengikut Yesus (bnd. Yoh. 16:1-11), sekaligus memberi jaminan pertolongan/penyertaan akan pelayanan dan kehidupan ke depan. Walaupun Yesus sebenarnya mau mengatakan banyak hal (ay. 1), namun bagi Dia saat itu hanya ada satu hal yang paling penting untuk disampaikan, yaitu tentang Roh Kebenaran yang memimpin ke dalam seluruh kebenaran Allah, baik yang sudah didengar-Nya maupun hal-hal yang akan datang.

Tentu kita bertanya: “Apakah kebenaran yang dimaksud di sini?” Yaitu bahwa Allah telah menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus, telah menyatakan kehidupan dan pengharapan kepada umat manusia. Kebenaran inilah yang sulit dipahami oleh dunia dan malah mereka menganiaya orang-orang percaya (bnd. Yoh. 16:3). Dengan demikian, kebenaran itu sesungguhnya berasal dari Allah sendiri, bukan dari manusia, bukan dari salah satu lembaga penegak hukum apa/mana pun di dunia ini. Manusia tidak pernah menciptakan kebenaran yang sejati, hanya Allah sumbernya, dan karena itu kita harus menemukan kebenaran yang telah disediakan bagi manusia.

Siapakah yang tidak ingin mengenal kebenaran Allah itu? Atau, siapakah orang yang merasa tidak membutuhkan kebenaran yang diberitakan oleh Roh Kebenaran tersebut? Sebagai orang percaya kepada Kristus, kita tentunya ingin mengenal kebenaran Allah, kita pasti membutuhkannya. Lalu, siapakah orang yang ingin hidup dalam ketidakpastian, keragu-raguan, kebingungan, dan ketidakbenaran? Sebagai orang percaya, kita tentunya ingin hidup di dalam kepastian dan kebenaran. Maka, hari ini, penulis Injil Yohanes memberitahu kita bahwa “kepastian, jaminan hidup dan pengharapan, serta kebenaran” hanya ada di dalam Allah yang telah menyatakan diri-Nya dalam Yesus Kristus; dan untuk mengalami kebenaran itu, kita harus dipimpin oleh Roh Kebenaran, Dialah ahli kebenaran tersebut, yang pasti mampu memimpin kita kepada kebenaran, kepada pengenalan yang lebih akrab dengan Tuhan, kepada hidup dan pengharapan. Ibarat sebuah perjalanan, Dialah “tour-guide” bahkan “driver”perjalanan dimaksud. Ya’ia zanuturu ma sangombakha lala khöda ba wanöndra si duhu andrö moroi khö Lowalangi. Dia tahu semua tentang kebenaran yang kita butuhkan, termasuk hal-hal yang akan datang. Atas dasar itulah Roh Kebenaran menjadi pemandu atau pemimpin yang paling tepat bagi kita untuk masuk dalam seluruh kebenaran Allah itu.

Kebenaran yang diberitakan oleh Roh Kebenaran ini tidak bisa diperjualbelikan, dan tidak didapatkan di lembaga manapun di dunia ini. Sekali lagi, kebenaran yang sejati itu berasal dari Allah sendiri, dan Dia menyediakan itu bagi umat manusia, kita termasuk di dalamnya. Tapi, bagaimana?

Merujuk pada khotbah Minggu perayaan pentakosta yang lalu (Yoh. 14:15-26), dan diperkuat oleh perumpamaan tentang pokok anggur yang benar (Yoh. 15), persekutuan yang erat dengan Sumber Roh Kebenaran itu akan membuat kita dapat menemukan kebenaran yang sejati. Maka, kita mesti hidup semakin dekat dengan Yesus sehingga kita semakin mengenal Dia sepenuhnya. Tentu kita bisa bayangkan apabila kita sudah semakin mengenal Yesus, kita akan semakin merasakan atau mengalami kehadiran kebenaran-Nya dalam hidup kita.

Sunday, May 19, 2013

Pergi untuk Kembali – Kembali untuk Menolong (Yohanes 14:15-26)

Bahan Khotbah Minggu, 19 Mei 2013
(Pentakosta I)
Pdt. Alokasih Gulo, M.Si

14:15    Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku.
14:16    Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya,
14:17    yaitu Roh Kebenaran. Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu.
14:18    Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu.
14:19    Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamu pun akan hidup.
14:20   Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu.
14:21    Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Aku pun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.”
14:22    Yudas, yang bukan Iskariot, berkata kepada-Nya: “Tuhan, apakah sebabnya maka Engkau hendak menyatakan diri-Mu kepada kami, dan bukan kepada dunia?”
14:23    Jawab Yesus: “Jika seorang mengasihi Aku, ia akan menuruti firman-Ku dan Bapa-Ku akan mengasihi dia dan Kami akan datang kepadanya dan diam bersama-sama dengan dia.
14:24   Barangsiapa tidak mengasihi Aku, ia tidak menuruti firman-Ku; dan firman yang kamu dengar itu bukanlah dari pada-Ku, melainkan dari Bapa yang mengutus Aku.
14:25    Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu;
14:26   tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.

Teks renungan kita pada hari ini berbicara tentang janji dan kepastian dari Yesus kepada murid-murid-Nya, karena Dia akan segera meninggalkan mereka. Ibarat orangtua kepada anak-anak-Nya, Yesus menyampaikan kata-kata perpisahan kepada murid-murid-Nya, kata-kata wejangan, dan peneguhan hati untuk tetap setia dan taat kepada-Nya. Beberapa kali Yesus memberitahukan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia akan segera pergi, segera meninggalkan mereka (Yoh. 12:8, 35; 13:33; 14:2,4, 18-19). Bahkan, injil Yohanes ini memberi tempat yang cukup panjang tentang bagaimana Yesus “berpamitan” kepada murid-murid-Nya, mulai dari pasal 11 sampai pasal 14. Dengan berbagai cara, Yesus mengungkapkan bahwa Dia akan pergi meninggalkan murid-murid-Nya, dan bahkan menegaskan bahwa kepergian-Nya itu haruslah terjadi. Jadi, kita bisa bayangkan bagaimana situasi yang terjadi pada waktu itu, baik dalam diri Yesus sendiri, terlebih-lebih para murid yang akan ditinggalkan oleh Sang Guru Agung mereka. Mereka sudah bersama-sama selama beberapa tahun, telah mengalami dan menikmati suka-duka kehidupan bersama, dan hidup mereka telah diubahkan oleh perjumpaan dengan Yesus itu. Tapi, mereka akan berpisah, tidak akan lama lagi. Yesus sendiri dikatakan “terharu” (Yoh. 12:27; 13:21), dan murid-murid-Nya bingung, galau, dan gelisah. Para murid beberapa kali menanyakan apa yang dimaksud Yesus tentang ucapan perpisahannya itu, ke mana Dia pergi, jalan mana yang harus ditempuh, dan siapakah Bapa itu.

Dapatlah dipahami kalau para murid mengalami kebingungan, kegalauan, dan kegelisahan karena Yesus akan berpisah dengan mereka. Sang Guru akan pergi, Sang Pengayom akan meninggalkan mereka, Orangtua mereka akan pergi, sementara mereka merasa belum siap untuk ditinggalkan seperti itu, apalagi dalam suasana yang cukup mencekam pada waktu itu. Tentu, aneka pertanyaan kegalauan dan kegelisahan muncul dalam benak mereka, berbagai perasaan bergejolak dalam diri mereka. Apakah dengan kepergian Yesus kita juga bubar? Bagaimanakah nanti persekutuan kecil kita ini? Bagaimanakah nanti masa depan kita ini? Kita sudah “terlanjur” bersama dengan Yesus, tetapi sekarang Dia malah pergi? Apakah kita dapat bertahan tanpa Dia di tengah-tengah situasi yang serba tidak jelas ini? Apakah kita mampu menjalankan tugas-tugas seperti yang pernah Dia lakukan dan percayakan kepada kita? Bagaimana ini?

Yesus tahu semua gejolak jiwa para murid, oleh karena itu Dia pertama-tama memberi kepastian kepada mereka, bahwa Dialah jalan dan kebenaran dan hidup itu (Yoh. 14:6), sehingga mereka tidak perlu gelisah dan kuatir; mereka pasti memiliki hidup! Inilah kepastian pertama dari pihak Yesus.

Sekarang, melalui teks renungan pada hari ini, Yesus juga meminta kepastian tanggapan dari para murid. Karena Yesus telah mengasihi mereka, maka sekarang dan ke depan mereka juga harus membuktikan kasih mereka kepada-Nya, yaitu patuh atau taat pada ajaran Yesus. Logikanya adalah bahwa hanya dengan kepatuhan Yesus memperlihatkan kasih-Nya kepada Bapa, dan hanya dengan kepatuhan juga para murid menunjukkan kasih kepada Yesus. Ha folo’ö oroisan ma famahaö Yesu dandra sebua wa no tatema wa’omasi Lowalangi, ba ha folo’ö andrö dandra wa ta’omasi’ö göi Lowalangi andrö (ay. 15, 21, 23, 24).

Tapi, lagi-lagi Yesus tahu kalau para murid itu sangat gelisah, sekalipun Dia sudah memberi kepastian tentang diri-Nya dan meminta mereka mengasihi Dia melalui kepatuhan dan ketaatan pada ajaran-Nya. Yesus tahu kalau para murid merasa tidak berdaya meneruskan pengajaran-Nya, merasa belum siap, dan merasa takut/kuatir. Oleh karenanya, Yesus menegaskan bahwa mereka akan dianugerahkan penolong/penghibur, yaitu Roh Kudus (ay. 16-18, 26); dan pencurahan Roh Kudus itulah yang kita rayakan pada hari ini.

Roh Kudus yang dimaksud di sini bukanlah sekadar penolong atau penghibur seperti dalam pemahaman umum, yaitu ketika kita mengalami masa-masa dukacita. Istilah yang dipakai untuk “Roh Kudus” dalam bahasa Yunani adalah "parakletos".William Barclay menjelaskan bahwa istilah ini menunjuk pada “seorang yang dipanggil datang karena sangat dibutuhkan”. Nah, Yesus menjanjikan hal ini kepada murid-murid-Nya, yaitu bahwa pasti ada “Pribadi” yang akan menolong mereka dalam menjalani masa depan mereka, menyertai mereka sebagai bukti bahwa Yesus sebenarnya tidak meninggalkan mereka begitu saja (ay. 16, 17, 18); dan “Penolong” itulah juga yang memampukan mereka nanti untuk mengingat dan meneruskan ajaran Tuhan Yesus kepada dunia ini (ay. 26). Jadi, tidak perlu ada kekuatiran, kegalauan, dan kegelisahan lagi, sebab Yesus selalu menyertai setiap orang yang percaya kepada-Nya, Dia akan menganugerahkan Roh Kudus bagi orang-orang beriman; dan hal ini sulit dipahami dan diterima oleh dunia (ay. 17, 19).

Namun, mungkin muncul pertanyaan, bagaimana kita dapat “memperoleh” Roh Kudus itu? Atau, apakah dengan menjadi orang Kristen, kita otomatis dinaungi oleh Roh Kudus, dan Dia tetap di dalam kita? Seharusnya begitu! Tetapi, pada pasal selanjutnya (Yoh. 15), Yesus mengingatkan murid-murid-Nya betapa pentingnya mempertahankan atau menjaga persekutuan yang erat dengan Sumber Roh Kudus itu, Pokok Anggur yang benar. Hanya dengan pertalian, keterikatan, dan persekutuan dengan Sang Pokok itu, Roh Kudus tetap berkarya di dalam hidup dan pelayanan/pekerjaan kita. Itulah juga maksud dari kata-kata Yesus di awal tadi, yakni menuruti segala perintah dan ajaran-Nya.

Dengan demikian, orang percaya selalu mendapat penyertaan dari Tuhan, selalu mendapat anugerah penghiburan dan pertolongan dari Roh Kudus. Jadi, tidak ada alasan bagi kita untuk tidak meneruskan perkataan, pengajaran, perintah, dan tindakan Tuhan Yesus di dunia ini, sebab segala sesuatu telah dpersiapkan-Nya bagi kita. Hanya, kita perlu membuka diri dalam menerima Roh Kudus dan karya-Nya di dalam hidup kita. Dia datang dan memasuki setiap orang yang percaya kepada-Nya sekaligus mau menerima kedatangan-Nya.

(Selamat mengembangkan renungan Anda) 


Sunday, May 5, 2013

Kasih yang Tulus – Dasar Seluruh Kehidupan (Roma 12:9-12)


Bahan Khotbah Minggu, 5 Mei 2013
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si


Ay.
Roma 12:9-12
12:9
Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.
Ba wangomasi’ö awö andrö, ba böi faruka wamini tödö. Mi’ogorofi zi lö sökhi andrö, mi’olembai zi sökhi.
12:10
Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat.
Fangomasi’ö talifusö andrö, ba ya moroi ba dödömi, faoma mihulö nawömi wamosumange ya’ia.
12:11
Janganlah hendaknya kerajinanmu kendor, biarlah rohmu menyala-nyala dan layanilah Tuhan.
Ba wa’owölö’ölö andrö, ba böi atage ami; ya’atarö dödömi, ya enoni Zo’aya ami.
12:12
Bersukacitalah dalam pengharapan, sabarlah dalam kesesakan, dan bertekunlah dalam doa!
Mi’omusoi’ö dödömi ba wanötöna andrö, mitaha dödömi na göna ami famakao; böi mifamalömalö wangandrö.

Teks ini seluruhnya berpusatkan pada “kasih”. Paulus mencoba menggambarkan gagasannya tentang “kasih” itu kepada jemaat Kristen di Roma, walaupun dia sendiri belum mengetahui pasti apa dan bagaimana sebenarnya situasi atau pengharapan dan pergumulan jemaat itu. Di sini Paulus mengajak jemaat untuk menjalani seluruh kehidupan mereka di dalam kasih, dengan menggunakan dua kata Yunani, yaitu kata agapedi ayat 9, dan kata philia (φιλαδελφίᾳ) di ayat 10.

Penggunaan kata agape di ayat 9 hendak menegaskan bahwa dasar dari perbuatan kasih adalah kasih Allah di dalam Yesus Kristus, yaitu kasih yang tulus dan penuh pengorbanan. Dengan kasih inilah orang percaya dapat meneruskannya dalam relasi dengan sesama, dalam pekerjaan, dan dalam menjalani dinamika kehidupan yang penuh tantangan. Berikut adalah prinsip-prinsip kasih yang seharusnya diterapkan dalam kehidupan.

a.      Kasih kepada Sesama (Agape dan Philia)
-          Tidak berpura-pura. Maksudnya adalah kasih yang tidak munafik, lö faruka wamini tödö, lö falimosa, bukan kasih yang manis di permukaan tetapi penuh kejahatan di dalam (ha ba mbawa no idölö, alösö dali zoroma ba hörö ba hiza no rederedeö bakha zindruhu nösinia).
-          Tidak berniat jahat (menjauhi yang jahat), atau tidak menjahati apa dan siapa pun. Hal ini ada hubungannya dengan prinsip sebelumnya, tentang kasih yang tidak berpura-pura.
-          Berniat baik (dalam rangka melakukan yang baik). Demikianlah kasih agape itu, selalu dalam rangka kebaikan, bukan kejahatan. Tentu kita mengatakan bahwa kasih itu pasti untuk kebaikan, tetapi dalam faktanya tidak selalu demikian! Mengapa? Karena kalau kasih itu hanya “kepura-puraan” maka niatnya juga bukan untuk kebaikan melainkan untuk kejahatan. Itulah sebabnya Paulus mendorong para pembaca suratnya ini supaya apa pun yang dilakukan, termasuk kasih, haruslah dalam rangka melakukan yang baik, dan lagi-lagi bukan dalam kepura-puraan.
-          Tulus (seperti kasih dalam keluarga, khususnya orangtua kepada anaknya, kasih philia). Paulus menggunakan kata “philadelphia” yang berarti ikatan kasih yang terjadi di dalam keluarga.  Kasih yang ditujukan kepada sesama anggota keluarga. Kasih di dalam keluarga ini merupakan contoh kasih yang tulus, yaitu kasih orangtua kepada anak-anaknya, kasih yang keluar dengan sendirinya, tanpa dipaksa, dan tanpa mengharapkan imbalan. Orangtua mengasihi anaknya, dan pastilah orangtua tahu bahwa anaknya tidak mampu untuk membayar pengorbanan yang sudah mereka berikan. Demikianlah seharusnya kasih kita satu kepada yang lain.
-          Saling mendahului dalam memberi hormat. Di sini Paulus menegaskan untuk tidak saling berebut hormat seperti dalam budaya Romawi, sebaliknya berlomba dalam memberi hormat satu dengan yang lain. Itu hanya bisa dilakukan dalam kasih.

b.      Kasih yang Menjadi Dasar dalam Melaksanakan Tugas
Paulus menyemangati para pembacanya untuk tetap rajin dan tidak kendor. Dalam melakukan sesuatu pekerjaan, pelayanan, bahkan kasih itu sendiri, seharusnya tidak sporadis (tidak kendor), sebaliknya terus menerus (menyala-nyala). So wehede niwaö ndra satua: “ha ba mböröta humöngöhöngö, ba gamozua döhö manö; hulö lakata’ö nono mbago”. Ungkapan ini sering ditujukan kepada orang-orang yang pada awalnya bersemangat tetapi kemudian semakin lama semakin tidak jelas dan bahkan hilang dari “peredaran”. Hal ini tentu disebabkan oleh berbagai faktor, biasanya faktor materi; namun Paulus menegaskan bahwa orang yang telah berakar, bertumbuh atau hidup di dalam kasih yang tulus, kasih yang tidak berpura-pura, kasih yang tidak memiliki niat jahat, dan kasih yang berniat baik, pasti tetap semangat dalam melakukan setiap pekerjaannya, walaupun ada banyak faktor yang bisa saja menyurutkan semangatnya. Coba bayangkan orang yang hidup tanpa semangat, layu bukan? Orang yang hidup tanpa semangat, malas bukan? Atau bagaimana?

c.      Mampu Menjalani Dinamika Kehidupan karena Kasih
Hidup tidak pernah bebas dari tantangan atau pergumulan, tetapi orang yang hidup dalam kasih, atau yang menjalani kehidupannya dengan penuh kasih yang tulus, akan:
-          Bersukacita dalam pengharapan: dia tetap bersukacita karena dia memiliki harapan di dalam kasih Kristus. Orang yang tidak memiliki harapan apa pun, pasti tidak bersemangat, dan bahkan cenderung menyalahkan kehidupan ini. Kita boleh hilang banyak hal, tetapi jangan sampai kehilangan pengharapan. Dalam pengharapan itulah kita tetap bersukacita.
-          Sabar dalam kesesakan
Bersabar bukan berarti menyerah, atau ndrimo, sebaliknya bersabar menunjukkan ketegaran dan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup di dunia ini. Dan, hanya orang yang hidup di dalam kasih agape-lah yang mampu bersabar dalam kesesakan.
-          Bertekun dalam doa
Sebagai tindak lanjut atau malah sebagai sumber dari sukacita dan ketegaran menjalani kehidupan yang penuh kesulitan, adalah bertekun dalam doa. Bertekun berarti bersungguh-sungguh dan terus menerus melakukan sesuatu, dalam hal ini doa. Ketekunan dalam doa yang dimaksud di sini sama dengan prinsip pertama dari kasih tadi, yaitu tidak berpura-pura, tidak sporadis, tenga modesao, bukan kamuflase, bukan sekadar obat penenang (obat bius), bukan semacam shock-therapy, tetapi dilakukan dalam kesungguhan, ketulusan, dan kasih itu sendiri.

Dengan demikian, hidup di dalam kasih menurut teks ini, tidak sekadar mengasihi dalam pengertian umum, tidak juga hanya agapeyang sedikit lebih idealis, tetapi juga philia yang lebih realistis dan menyentuh kehidupan manusia. Kita dapat memiliki kehidupan yang lebih baik hanya karena kasih; kasih ini jugalah yang dapat menolong kita untuk membangun relasi yang lebih sehat dengan sesama, melakukan tugas kita dengan penuh semangat, dan menjalani kehidupan dengan sukacita walaupun penuh dengan tantangan. Semuanya karena kasih.






Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...