Sunday, March 9, 2014

Kebebasan dalam Ketidakbebasan (Kejadian 2:16-17 + 3:1-7)



Bahan Khotbah Minggu, 9 Maret 2014
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si
 
2:16     Lalu TUHAN Allah memberi perintah ini kepada manusia: “Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas,
2:17     tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati.”
3:1       Adapun ular ialah yang paling cerdik dari segala binatang di darat yang dijadikan oleh TUHAN Allah. Ular itu berkata kepada perempuan itu: “Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?”
3:2       Lalu sahut perempuan itu kepada ular itu: “Buah pohon-pohonan dalam taman ini boleh kami makan,
3:3       tetapi tentang buah pohon yang ada di tengah-tengah taman, Allah berfirman: Jangan kamu makan atau pun raba buah itu, nanti kamu mati.”
3:4       Tetapi ular itu berkata kepada perempuan itu: “Sekali-kali kamu tidak akan mati,
3:5       tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat.”
3:6       Perempuan itu melihat, bahwa buah pohon itu baik untuk dimakan dan sedap kelihatannya, lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian. Lalu ia mengambil dari buahnya dan dimakannya dan diberikannya juga kepada suaminya yang bersama-sama dengan dia, dan suaminyapun memakannya.
3:7       Maka terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat.



Pertama-tama perlu diingat bahwa manusia ditempatkan dalam taman Eden oleh Allah untuk menjalani hidup istirahat, tetapi bukan dalam kemalasan (ketidakaktifan). Di taman Eden, manusia justru melaksanakan tugas yang telah diberikan kepadanya oleh Allah, dan hal ini berbeda dengan kesulitan dan kegelisahan yang didapatkan kemudian ketika manusia jatuh ke dalam dosa. Di taman itu manusia berpakaian kebun, karena bumi ditujukan untuk dibudidayakan oleh manusia, sehingga bumi tidak menghasilkan tanaman yang tumbuh secara liar. Pengolahan alam, dalam hal ini taman Eden itu sesungguhnya menunjukkan pemeliharaan perkebunan ilahi, bukan saja untuk menghindari terjadinya pengrusakan taman/kebun itu dari kekuatan jahat, tetapi juga untuk menghindari terjadinya kemerosotan dalam kebun itu. Alam diciptakan untuk dikelola oleh manusia, namun tugas panggilannya di sini tidak sekadar bekerja atau berkarya di dalamnya, atau membuat alam itu tunduk kepadanya, tetapi juga untuk meningkatkan adanya semangat bagi pemuliaan sang Penciptanya.


Sekarang mari kita lihat sejenak ide dasar yang terkandung dalam Kejadian 3, yang dikenal sebagai "teologi kejatuhan". Ada banyak diskusi mengenai sifat dari kejatuhan. Dua pendekatan dasar telah diajukan(Fretheim 1994: 145-149). Yang pertama adalah kejatuhan ke bawah. Yang kedua adalah kejatuhan ke atas. Kejatuhan ke bawah jelas mengacu pada gagasan bahwa manusia berada dalam keadaan yang sempurna, tinggal pada apa yang telah digambarkan sebagai "zaman keemasan" atau "surga/firdaus" (Ries 2005: 2959) dan, karena dosa, kesempurnaan ini berakhir.Pandangan ini dilihat sebagai pandangan negatif dari kejatuhan itu, yaitu"manusia melanggar batas-batas penciptaan dan menganggap kekuatan dewa ada dalam diri mereka sendiri" (Fretheim 2005: 71). Bagian terakhir ini dipandang sebagai dasar dari kejatuhan ke atas. Berdasarkan ide ini manusia berada dalam kegelapan untuk hal-hal tertentu. Manusia berada dalam keadaan awal, bodoh, tidak dewasa, dan kelana-kelana-kanakkan. Ketika ia melintasi batas yang telah ditetapkan oleh dewa, manusia itu menjadi beradab, berpengetahuan, bijaksana, dewasa, dan lebih seperti orang dewasa. Dengan demikian, manusia diperbaiki dan bertumbuh atau, dengan kata lain, kejatuhan ke atas.

Kejatuhan ke bawah nampaknya lebih sesuai dengan konteks Kejadian 3. Namun, ada kemungkinan lain yang telah diperkenalkan dengan sangat mengesankan oleh Fretheim, yaitu jatuh ke luar atau falling out (Fretheim, 1994: 153). Hal ini berkaitan terutama dengan gagasan yang mengatakan hubungan manusia dengan Tuhan terputus ketika ia tidak taat. Hal ini sesuai dengan konteksnya dan melengkapi ide kejatuhan ke bawah dengan baik.

Sunday, March 2, 2014

Mengalami Kehadiran Yesus yang Dimuliakan (Matius 17:1-9)



Bahan Khotbah Minggu, 2 Pebruari 2014
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

17:1    Enam hari kemudian Yesus membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes saudaranya, dan bersama-sama dengan mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Di situ mereka sendiri saja.
17:2    Lalu Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang.
17:3    Maka nampak kepada mereka Musa dan Elia sedang berbicara dengan Dia.
17:4    Kata Petrus kepada Yesus: “Tuhan, betapa bahagianya kami berada di tempat ini. Jika Engkau mau, biarlah kudirikan di sini tiga kemah, satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia.”
17:5    Dan tiba-tiba sedang ia berkata-kata turunlah awan yang terang menaungi mereka dan dari dalam awan itu terdengar suara yang berkata: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia.”
17:6    Mendengar itu tersungkurlah murid-murid-Nya dan mereka sangat ketakutan.
17:7    Lalu Yesus datang kepada mereka dan menyentuh mereka sambil berkata: “Berdirilah, jangan takut!”
17:8    Dan ketika mereka mengangkat kepala, mereka tidak melihat seorang pun kecuali Yesus seorang diri.
17:9    Pada waktu mereka turun dari gunung itu, Yesus berpesan kepada mereka: “Jangan kamu ceriterakan penglihatan itu kepada seorang pun sebelum Anak Manusia dibangkitkan dari antara orang mati.”




Ada satu pertanyaan mendasar yang muncul di tengah-tengah para pembaca Matius sehubungan dengan teks renungan pada hari ini (yang biasanya dikenal sebagai peristiwa transfigurasi Yesus), bahkan mewarnai seluruh Injil Matius ini, yaitu apakah Yesus memang Mesias yang dari Allah? Pertanyaan ini muncul karena:
·         Mereka adalah keturunan Yahudi yang sudah sangat lama menanti-nantikan kedatangan Mesias dan mereka sedang berada dalam pergumulan besar karena sedang dijajah oleh bangsa lain.
·         Mesias yang mereka nanti-nantikan itu dari awal kedatangan hingga sepanjang hidupnya “mestinya” selalu dalam segala kemuliaan dan kekuasaan. Kitab Daniel misalnya mengafirmasi penantian yang seperti ini (lih. Dan. 7:13-14).
·         Mesias yang datang itu “mestinya” tidak mengalami penderitaan. Dalam hal ini mereka telah melupakan fakta dan nubuatan tentang hamba Tuhan yang menderita sebagaimana diberitakan oleh nabi Yesaya (Yes. 53:2-3).

Sekarang mari kita melihat Yesus. Yesus datang dari awal bukan dalam kemuliaan dan kekuasaan, sebaliknya dalam kehinaan dan keterpurukan. Selain itu, Yesus yang datang justru “harus” mengalami penderitaan, dan itulah yang diberitahukan oleh Yesus sebelumnya kepada murid-murid-Nya (Mat. 16:21-28). Dengan demikian, “wajarlah” kalau mereka memiliki keragu-raguan akan kemesiasan Yesus itu, bahkan Petrus sendiri telah berusaha “menolak” penderitaan yang harus dialami oleh Yesus (Mat. 16:22). Nah, kisah Yesus yang dimuliakan ini (Mat. 17:1-13) hendak menjawab pertanyaan dan keragu-raguan itu! Secara sederhana penulis Injil Matius mengajak para pembacanya untuk “bersama-sama dengan Petrus, Yakobus, dan Yohanes” ikut “merasakan dan mengalami” kemesiasan Yesus itu, sehingga dengan demikian tidak ada lagi keragu-raguan dalam mengikut Yesus sebagai Tuhan.

Ada beberapa pengalaman menarik para murid dalam teks ini:
·         Pengalaman bersama Yesus ke sebuah gunung yang tinggi (ay. 1). Dalam tradisi Israel, ekspedisi pendakian gunung ini mengingatkan mereka akan kisah Musa dan Elia ketika naik ke gunung Sinai (Kel. 19:20; 34:4-5; 1 Raj. 19:8). Mereka memahami Allah dapat ditemui di gunung yang tinggi, dan penulis Matius sengaja menggiring pembacanya ke arah itu, yaitu pengalaman bertemu dengan Allah.
·         Pengalaman melihat Yesus yang dimuliakan, bersama dengan Musa dan Elia (ay. 2-3). Kedua tokoh PL ini merupakan tokoh penting dalam tradisi Israel, bahkan Elia sendiri sering dikaitkan dengan Mesias (Mat. 16:13-14). Peristiwa ini telah menggiring mereka pada sebuah keterpesonaan dan kekaguman yang luar biasa akan kemuliaan Tuhan yang tidak pernah terjadi sebelumnya, sehingga Petrus sendiri mengekspresikan rasa kagumnya itu dengan menawarkan pendirian tiga kemah (ay. 4). Tawaran Petrus untuk mendirikan “kemah” ini sendiri (Yun. skanas) dapat mengingatkan pembaca Yahudi akan kemah pertemuan pada zaman PL dimana Musa bertemu dengan Allah (Kel. 27:21; 29:4; Bil. 1:1).
·         Pengalaman mendengar suara dari dalam awan yang memproklamasikan atau meneguhkan kemesiasan Yesus (ay. 5). Suara dari dalam awan tentu mengingatkan mereka peristiwa penting dalam PL ketika Allah datang dan berbicara dari dalam awan kepada bangsa Israel (Kel. 19:9). Pada waktu itu bangsa Israel gemetaran berhadapan dengan TUHAN (Kel. 19:16), dan itu juga yang terjadi dalam diri murid-murid ketika Yesus dimuliakan (ay. 6).
·         Pengalaman mendapatkan ketenangan kembali dari Yesus setelah sebelumnya mengalami ketakutan yang luar biasa (ay. 7). Hal ini menunjukkan bahwa kuasa kemuliaan Allah memang menakutkan tetapi sekaligus menenteramkan.

Kisah ini merupakan kisah pengalaman akan kehadiran Allah yang hendak menyatakan kemesiasan Yesus, dan memberitahukan kita bahwa kehinaan dan penderitaan pun pada akhirnya akan menjadi kemuliaan besar, dan itulah yang telah terbukti melalui Yesus. Kerendahan yang menjadi kemuliaan ini diekspresikan oleh Paulus kepada jemaat Kristen di Filipi: “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!” (Fil. 2:8-11).

Sama seperti para pembaca awalnya, teks renungan kita pada hari ini hendak menjawab segala pertanyaan dan keragu-raguan kita akan “kuasa” Tuhan di zaman yang serba tidak jelas dan tidak menentu ini, apalagi di tengah-tengah kondisi bangsa dan negara yang semakin kacau. Kita juga diajak untuk ikut mengalami kehadiran Tuhan yang penuh kuasa di saat-saat kita kesulitan mendapatkan air di musim kemarau yang panjang ini dan telah mendatangkan kekuatiran yang besar dalam diri kita kalau-kalau hujan tidak turun dalam waktu yang lama. Banyak orang yang diliputi kecemasan yang luar biasa karena berbagai “peristiwa alam” yang dirasa aneh, jangan-jangan akan datang bencana yang jauh lebih besar di daerah kita, jangan-jangan ini semua pertanda dunia akan kiamat. Ingat misalnya kebakaran rumah bahkan gedung gereja yang seolah-olah tidak dapat diselamatkan oleh Tuhan, demikian juga dengan kebakaran kebun/hutan di beberapa tempat di Nias ini, bahkan di luar Nias. Mudah-mudahan pernah mendengar juga peristiwa matinya ikan-ikan di sungai Nou minggu yang lalu dan telah menimbulkan berbagai asumsi spekulatif, dan bahkan mendatangkan kegelisahan di tengah-tengah masyarakat. Masih banyak lagi peristiwa yang dapat membuat kita takut, gemetar, dan ragu-ragu! Dalam situasi yang seperti ini (tetapi tanpa mengurangi tanggung jawab manusia atas kerusakan alam) Yesus datang dan menyentuh kita sambil berkata: “anak-Ku, jemaat-Ku, bangunlah, jangan takut!”

Kata-kata Yesus yang meneguhkan dan menenteramkan ini bukanlah sekadar penghiburan kosong! Peristiwa transfigurasi-Nya (dengan segala bentuk proklamasi kemesiasan-Nya) memberi kepastian kepada kita bahwa Tuhan mampu membuktikan kekuasaan sekaligus pertolongan bagi orang yang percaya kepada-Nya. Tentu, keragu-raguan yang berlebihan dan tanpa dasar akan sangat menghalangi kita untuk melihat, merasakan, dan mengalami “kehadiran” Tuhan itu dalam kehidupan kita. Kita dapat menyorot-balik (flashback) bagaimana Tuhan sebenarnya telah dan selalu menjawab setiap kebimbangan kita dalam menjalani kehidupan yang sering membingungkan ini. Seringkali Tuhan memberikan pertolongan di saat-saat dan dengan cara yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Suara dari dalam awan: “Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan, dengarkanlah Dia”, boleh saja membuat kita gemetar dan tersungkur ketakutan, tetapi pada akhirnya Tuhan Yesus datang dan menguatkan kita dengan suatu perkataan yang sangat menyentuh kehidupan kita: “anak-Ku, bangunlah, jangan takut!” Alamilah kehadiran Yesus dalam hidupmu, maka engkau akan tahu betapa Tuhan memang adalah Mesias yang dari Allah, Mesias yang menyelamatkan kita. Amin.


[1] Bahan Khotbah Minggu, 2 Pebruari 2014 di Jemaat BNKP Hebron Lölömoyo, oleh Pdt. Alokasih Gulö

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...