Sunday, June 19, 2016

Dari “Budak Setan” menjadi “Saksi Kristus” (Lukas 8:26-39)



Rancangan Khotbah Minggu, 19 Juni 2016
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

Hari ini, kitab Injil Lukas memberitahu kita tentang seorang laki-laki yang dirasuki oleh setan-setan. Walaupun kita tidak tahu namanya, namun ada informasi tentang dia, yaitu sudah lama tidak berpakaian dan tidak tinggal dalam rumah, tetapi dalam pekuburan. Ini sebagai akibat dari penguasaan setan-setan atas dirinya dalam waktu yang lama; setan-setan itu yang mengendalikan dirinya, mengendalikan suara dan perkataannya, sungguh suatu hal yang sangat menakutkan.

Orang-orang takut terhadap laki-laki yang kerasukan setan-setan ini. Di ayat 29 disebutkan bahwa untuk menjaganya, ia dirantai dan dibelenggu, namun dia pun memutuskan segala pengikat itu. Orang-orang di sekitarnya tidak berdaya menghadapinya, sebab setan-setan yang menguasainya sangat kuat, sehingga dengan bebas setan itu menghalaunya ke tempat-tempat yang sunyi, dan tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi setan tersebut.

Setan tersebut mencoba mengambil alih kontrol kehidupan manusia di bumi, dan itulah yang terjadi dengan laki-laki tadi di tanah orang Gerasa. Alhasil, perilaku dan penampilannya pun menyerupai perilaku dan penampilan binatang buas tertentu. Intinya, setan atau roh jahat, atau apa pun yang sejenisnya berusaha merusak kehidupan manusia dengan cara apapun, tidak hanya kehidupan manusia yang dirasukinya, tetapi juga kehidupan orang-orang di sekitarnya. Sungguh sangat mengerikan!

Namun, ketika bertemu dengan Yesus, kuasa setan-setan itu tidak ada apa-apanya, mereka malah tersungkur di hadapan Yesus dan sangat ketakutan. Setan-setan itu memohon-mohon agar Yesus tidak menyiksa dan memerintahkan mereka masuk ke dalam jurang maut (ay. 28, 31). Jumlah setan itu memang cukup banyak, “legion” (ay. 30), dalam perhitungan militer dapat mencapai 6000 setan, dan dapat didukung lagi oleh 6000 setan tambahan dalam formasi tempur. Namun, sekali lagi, setan-setan yang cukup banyak dengan segala kekuatan mereka tersebut ternyata tidak berdaya di hadapan Tuhan Yesus. Perhatikan ekspresi kegentaran mereka di hadapan Yesus di ay. 28 “Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi? Aku memohon kepada-Mu, supaya Engkau jangan menyiksa aku.” Dilanjutkan lagi di ay. 31 “Lalu setan-setan itu memohon kepada Yesus, supaya Ia jangan memerintahkan mereka masuk ke dalam jurang maut.” Tanpa perlawanan sedikit pun, atas perintah Yesus, setan-setan itu meninggalkan laki-laki tadi (ay. 29), dan kemudian mereka memasuki babi-babi yang sedang mencari makan di lereng gunung (ay. 33), dan pada akhirnya babi-babi tersebut pun mengalami kehancuran (mati lemas di dalam danau). Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa setan selalu hanya mendatangkan kerusakan, kehancuran atau malapetaka bagi si-apa pun yang dirasukinya, entah manusia atau pun binatang.

Lihatlah dampak dari perjumpaan laki-laki yang dirasuki setan tadi dengan Yesus! Dirinya sendiri mengalami kesembuhan total, bahkan disebutkan dia mengalami keselamatan (ay. 35, 36). Kehidupannya berubah total, baik perilaku maupun penampilannya, termasuk suaranya. Secara singkat dikatakan: “ia telah berpakaian dan sudah waras – no monukha, no döhö wa’owöhö” (ay. 35). Setelah Yesus tidak mengizinkannya ikut bersama Yesus dalam perjalanan-Nya, laki-laki itu pun kemudian menjadi saksi Kristus, “Orang itupun pergi mengelilingi seluruh kota dan memberitahukan segala apa yang telah diperbuat Yesus atas dirinya” (ay. 39). Kalau sebelumnya dia dikontrol, dikendalikan, dan dikuasai oleh setan-setan (roh jahat) yang tentunya berlawanan dengan Allah, kini dia sendiri yang memberitahukan kepada orang-orang di seluruh kota itu bahwa ternyata Yesus memiliki kuasa yang jauh lebih besar dari kuasa setan-setan tersebut, dan kuasa Yesus itulah yang telah menyelamatkan dirinya sehingga dia menjadi “waras” kembali, kemanusiaannya dipulihkan. Sungguh suatu perubahan yang luar biasa, dari “budak setan” menjadi “saksi Kristus”.

Lalu, bagaimana dengan orang-orang di sekitarnya? Dua kali disebutkan bahwa “mereka sangat takut” (ay. 35, 37). Kita tidak tahu apa yang ada dalam pikiran penduduk kampung itu sehingga mereka “sangat ketakutan” dan bahkan kemudian menyuruh Yesus pergi dari tanah mereka (lih. ay. 37). Apakah mereka takut karena kawanan babi mereka menjadi semacam “tumbal” demi kesembuhan laki-laki tersebut? Atau, mereka takut karena masih “belum menerima” realitas bahwa ternyata laki-laki tersebut telah sembuh dan kini Penyembuhnya itu ada di hadapan mereka? Atau, mereka takut karena asumsi bahwa tidak mungkin roh jahat (setan-setan) itu keluar dari laki-laki tersebut kalau bukan pemimpin roh jahat sendiri yang mengusirnya (bnd. Markus 3:22, dengan istilah Beelzebul, penghulu setan)? Kita tidak tahu dengan pasti!

Bagaimana dengan setan-setan yang banyak itu? Mereka pun menjadi sangat ketakutan berhadapan dengan Yesus, inilah yang disebut “ata’u zameta’u”, karena mereka sadar bahwa Yesus memiliki kuasa untuk menyiksa mereka bahkan mengirim mereka ke dalam jurang maut, jurang penyiksaan mereka. Memang, kehadiran atau perjumpaan dengan Yesus dengan segala kuasa-Nya itu dapat menimbulkan berbagai tanggapan atau reaksi, mulai dari reaksi yang positif (senang, bersyukur, dll) hingga reaksi yang negatif (takut, marah, kecewa, kesal, dll).

Setan-setan, atau roh jahat, atau apa pun istilah/sebutan yang tepat untuk mereka, dengan segala macam bentuk atau perwujudan mereka, selalu berusaha mengambil alih kontrol atas kehidupan manusia sejak dulu sampai sekarang. Mereka pun sangat cerdik, sudah bermetamorfosis! Kadang-kadang memang masih mempertahankan “wujud dan cara” lama mereka merasuki dan merusak kehidupan manusia seperti yang terjadi pada laki-laki di tanah Gerasa tadi, namun sekarang banyak yang muncul dengan “perilaku, penampilan, perwujudan” yang baru, lebih halus, mungkin lebih “santun”. Mereka masuk di berbagai bidang kehidupan, termasuk melalui kehidupan beragama (bergereja), bahkan “mengakui/memuji” Tuhan (bnd. pengakuan setan tadi di ay. 28: Apa urusan-Mu dengan aku, hai Yesus Anak Allah Yang Mahatinggi?). Walaupun demikian, daya rusaknya jauh lebih parah, merusak sendi-sendi kehidupan manusia, dan yang sangat mengerikan adalah orang-orang yang telah dirasukinya bahkan orang-orang di sekitarnya tidak sadar bahwa mereka sedang dikuasai oleh berbagai setan atau roh jahat atau yang sejenisnya itu. Ia semacam virus HIV yang secara perlahan tetapi pasti menggerogoti saraf kehidupan manusia, dan secara perlahan juga merusaknya ... hingga pada akhirnya manusia itu pun tidak berdaya lagi mengatasinya. Mengerikan memang!

Tetapi, pada hari ini, di samping berita yang mengerikan itu, ada juga berita yang sangat menggembirakan, berita yang dapat mengalahkan kengerian kuasa setan itu. Berita besar itu adalah bahwa ternyata ada Tuhan Yesus yang memiliki kuasa yang jauh lebih kuat dari setan itu, dan kuasa Tuhan Yesus itu hadir untuk membebaskan manusia dari jerat si jahat, menyelamatkan manusia dari pengrusakan si setan dengan segala perwujudannya itu. Bagaimana caranya? Setiap orang harus “berjumpa” dengan Yesus, dan perjumpaan dengan Dia pasti mendatangkan pembebasan dan keselamatan. Dan, orang yang sudah berjumpa dengan Yesus, sudah mengalami pembebasan dan keselamatan dari Allah, pasti mengalami perubahan, pasti mampu menjadi saksi Kristus di mana pun mereka berada. “Pulanglah ke rumahmu dan ceriterakanlah segala sesuatu yang telah diperbuat Allah atasmu” (ay. 39a).


[1] Khotbah Minggu, 19/06/16, di BNKP Jemaat Wenieli, Resort 26

Saturday, June 4, 2016

Pemulihan Kehidupan di "Masa Depan" (Wahyu 22:1-5)



Rancangan Khotbah Minggu, 5 Juni 2016

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo[1]
Kita sudah tahu bersama bahwa sejak kejatuhan manusia pertama dalam dosa sampai saat ini, kehidupan kita di dunia ini seringkali jauh dari “tanda-tanda kehidupan” itu sendiri, sebab dalam banyak kasus (disadari atau pun tidak) hidup kita justru “terhanyut” dalam arus kehidupan yang semakin menggila – semakin menguatirkan – semakin menakutkan – semakin mematikan. Orang-orang beriman sendiri pun tidak dapat “membebaskan diri” dari situasi kehidupan yang tidak pasti tersebut, mau tidak mau harus dijalani/dihadapi. Pertanyaannya adalah apakah kita (sebagai orang beriman) akan terus menerus menjalani kehidupan yang seperti itu? Bagaimanakah ke depannya? Hadia manö lualua wamatida?Teks renungan kita pada hari ini memberikan kita gambaran tentang kehidupan dan dunia “masa depan” tersebut.

Di ayat 1 dan 2 pasal 22 ini, malaikat Tuhan memperlihatkan atau menunjukkan kepada Yohanes sebuah sungai air kehidupan (ay. 1-2). Tentang “sungai  kehidupan” ini sendiri dapat dibaca di kitab Zakharia 14:8, dan Yehezkiel 47:1-12. Namun, sedikit berbeda dengan kitab-kitab PL tersebut, di kitab Wahyu ini ada penekanan bahwa tempat sumber sungai kehidupan itu adalah takhta Allah dan Anak Domba (Yesus Kristus). Dari takhta yang terletak pada titik tertinggi kota itulah Yohanes melihat mengalir sungai air kehidupan yang sangat jernih (ibarat kristal yang tembus cahaya dan jernih seperti kaca). Ini merupakan sebuah penegasan bahwa sumber kehidupan yang sesungguhnya berasal dari Tuhan Allah yang kita kenal melalui Yesus Kristus (Anak Domba). Inilah semacam jaminan pertama dan utama, yaitu bahwa Tuhan Yesus akan mengalirkan kehidupan bagi setiap orang yang tetap teguh beriman kepada-Nya, sungguh suatu pemulihan kehidupan yang didambakan oleh setiap orang.

Tidak hanya itu, Yohanes pun melihat adanya pohon-pohon kehidupan di tengah-tengah jalan kota (Yerusalem baru), yaitu pohon-pohon yang memberi kehidupan kekal kepada orang-orang yang memakan buahnya. Pohon-pohon kehidupan itu berada di dekat jalan utama kota itu, sehingga buahnya pun mudah dipetik. Penglihatan tentang pohon kehidupan yang buahnya mudah dipetik ini mengingatkan kita pada pohon kehidupan di Taman Eden (firdaus); kalau sejak zaman dulu manusia dijauhkan dari pohon kehidupan di Taman Eden (Adam dan Hawa), kini pohon kehidupan itu diberikan kembali kepada manusia. Kehidupan yang “hilang” karena ulah manusia sejak zaman dulu itu, kini “hadir” kembali dari takhta Allah dan Anak Domba. Tuhan sungguh-sungguh memulihkan kehidupan umat-Nya menjadi seperti sedia kala (sebelum kejatuhan manusia dalam dosa), suatu kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan.

Konkretnya, kebahagiaan hidup yang digambarkan dalam penglihatan Yohanes ini: ada kelimpahan sama seperti buah pohon yang berlimpah-limpah itu (berbuah tiap-tiap bulan, berbuah sepanjang tahun, bukan pohon musiman seperti durian); tidak ada lagi penyakit sebab daun-daun pohon itu sendiri menyembuhkan orang-orang dari segala bangsa (bukan hanya menyembuhkan bangsa Israel). Penglihatan ini tentunya menjadi sumber penghiburan, penguatan dan pengharapan umat Tuhan, untuk tetap teguh di dalam iman sekalipun sedang berada di situasi yang sangat sulit. Kalau sebelumnya umat Tuhan sering mengalami kekurangan dan menderita berbagai penyakit, kini Tuhan sendiri memulihkannya menjadi kehidupan yang berkelimpahan dan tiada penyakit. Siapa yang tidak meng-impikan kehidupan yang seperti ini?

Kebahagiaan hidup di Yerusalem baru ini dipertegas lagi di ayat 3: “tidak akan ada lagi laknat”. Kalau Allah pernah “mengutuk” manusia di taman eden karena ulah manusia sendiri (lih. Kej. 3), kini “kutuk” (laknat) itu tidak ada lagi, kehidupan yang sempat “terkutuk” kini “dipulihkan” kembali. Kalau pada zaman dulu manusia diusir dari “taman kehidupan” yang dapat diartikan sebagai situasi “jauh dari Allah”, kini di Yerusalem baru dapat beribadah kepada-Nya (ay. 3), bahkan dapat melihat wajah-Nya (ay. 4) serta nama-Nya tertulis di dahi mereka (ay. 4). Ini semua merupakan ekspresi pengharapan dan kebahagian umat Tuhan, bahwa dunia baru datang, dan dalam dunia baru itu ada kehidupan baru dengan segala kelimpahan, ketiadaan penyakit, dan ketiadaan laknatnya. Allah dan Anak Domba sendiri dari takhta-Nya akan mengalirkan kehidupan bagi setiap orang yang teguh percaya kepada-Nya, mengalirkan kehidupan yang penuh dengan kebahagiaan, kehidupan impian semua orang, jauh melampaui slogan “Nias Pulau Impian”.

Terakhir, kabar besarnya adalah bahwa di dunia baru itu, “Tuhan Allah sendiri yang akan menerangi umat-Nya, dan umat-Nya itu akan memerintah sebagai raja sampai selama-lamanya (ay. 5).” Kalau sebelumnya umat Tuhan harus hidup di bawah cahaya dan kekuasaan raja-raja duniawi, dimana mereka tidak bisa menikmati kebebasan dan kehidupan yang lebih manusiawi, kini bersama Tuhan orang-orang percaya tersebut memerintah sebagai raja bahkan sampai selama-lamanya. Ini merupakan pembalikkan atau pemulihan kehidupan yang sangat ekstrem, dan itu (hanya) bisa dilakukan oleh Tuhan, dan (hanya) bisa dirasakan oleh setiap orang yang teguh beriman kepada Tuhan Yesus. Demikianlah kehidupan “masa depan” orang-orang yang tetap teguh percaya kepada Yesus, masa depan mereka sangat menjanjikan, ada jaminan kehidupan kekal yang penuh kebahagiaan dari Tuhan sendiri. Lualua wamati saro ba fa’auri si lö aetu, haga Zo’aya lö aefa’aefa ba wa’aurira, ba fao ira awö Zo’aya ba wa’asalawa irugi zi lö aetu!



[1] Khotbah Minggu, 05/06/2016, di kebaktian siang BNKP Jemaat Hosiana.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...