Thursday, December 31, 2015

Lö Ifakiko sa’ae Gulidanö Lowalangi (Kejadian 9:16)



Khotbah Natal Tahun 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

Tema  : Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah
           (Fa’auri si sökhi ba fa’ogaena zi no soroiyomo Lowalangi)

Tema perayaan Natal kita tahun ini dikaitkan dengan kitab Kejadian 9:16 “Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi.”

Ada beberapa “mitos” yang berkembang sehubungan dengan “busur” yang lebih dikenal sebagai “pelangi” pada zaman sekarang. Ada yang mengatakan bahwa anak-anak tidak boleh keluar rumah ketika pelangi muncul, takut mereka akan sakit; ada juga yang mengatakan kita tidak boleh menunjuk pelangi dengan jari tangan, takut jari kita nanti menjadi “bengkok” (melengkung seperti bentuk busur); dlsb. Pemahaman lain yang lebih positif sering menggunakan pelangi sebagai simbol perdamaian dan persatuan karena terdiri dari beberapa warna yang menyatu dan indah; sebagai media penghiburan dan penguatan bagi mereka yang dilanda suatu masalah karena kemunculannya setelah hujan sebagai tanda munculnya harapan baru yang indah.

Terlepas dari berbagai “mitos” dan pemahaman itu, saat ini ketika pelangi muncul banyak orang yang memahaminya sebagai tanda bahwa Allah mengingat perjanjian-Nya kepada Nuh, yaitu bahwa Dia tidak lagi memusnahkan bumi dengan air bah. Namun, mengapa Allah memakainya sebagai tanda perjanjian-Nya? Apa maksudnya?

Pada zaman kuno, manusia melihat busur sebagai simbol dari senjata ilahi yang amat dahsyat karena bentuknya yang menyerupai busur perang. Ketika Allah mengatakan bahwa Dia menaruh busur-Nya di awan, mereka memahaminya sebagai tanda bahwa Allah tidak lagi memakai senjata-Nya dalam berbagai bentuk (dalam hal ini disimbolkan oleh busur) untuk menyerang dan memusnahkan dunia (seperti yang sudah dilakukan-Nya sebelumnya melalui air bah). Dengan menaruh busur-Nya di awan, Allah hendak menegaskan bahwa kini saatnya bagi segala yang hidup di bumi untuk menjalani kehidupan yang baru tanpa permusuhan, tanpa ketakutan, tanpa penderitaan, tanpa ancaman, tanpa peperangan, dan tanpa kematian yang mengerikan. Inilah makna dari perjanjian Allah yang ditandai dengan busur di awan, suatu perjanjian untuk kelangsungan kehidupan di bumi.

Tahun ini, tema perayaan Natal di BNKP, bahkan di PGI dan natal nasional, adalah “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” (Fa’auri si sökhi ba fa’ogaena zi no soroiyomo Lowalangi). Tema ini memberi penekanan pada kehidupan yang lebih baik, hidup yang harmonis, hidup yang saling menerima, hidup dalam kebersamaan, tentu sebagai keluarga Allah. Sekilas, tema natal ini sangat menggembirakan, sebab kita memang menginginkan kehidupan yang lebih baik itu, hidup bersama sebagai keluarga Allah. Kalau malam ini kita merayakan Natal, maka sesungguhnya kita merayakan sukacita bagi dunia, yaitu bagaimana Allah dalam kasih-Nya yang begitu besar mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yoh. 3:16).

Tetapi, apa yang terjadi? Seperti apa wajah dunia saat ini? Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa saat ini kita sedang hidup di zaman yang justru terbalik dari keadaan yang seharusnya. Allah “gantung senjata” (i’irö’ö wakake-Nia ba wasuwöta Lowalangi)sebagai tanda perdamaian, namun manusia justru “angkat senjata” untuk saling menaklukkan dan memusnahkan. Allah menyerukan perdamaian, namun manusia justru menyerukan permusuhan, dan banyak orang saling membunuh dalam berbagai bentuk, karena keserakahan dan nafsu manusia untuk saling menguasai secara tidak bertanggung jawab.

Kita lihat misalnya, pada zaman sekarang kejahatan manusia semakin meningkat dengan berbagai modus. Kita bisa menyaksikan berbagai peristiwa perang di mana-mana, dan kita sedang hidup di era “perang”, bumi berada di ambang kehancuran, karena ulah manusia sendiri. Manusia saling menyerang, membunuh dan melemahkan, bahkan ada perang atau permusuhan yang dibangun atas nama agama (denominasi gereja). Lihatlah misalnya gereja-gereja kita dewasa ini, saling “mengintai” untuk mencari kelemahan denominasi gereja yang lain, sehingga tugas utamanya untuk membangun atau meningkatkan pertumbuhan jemaatnya, terabaikan. Sabölö i’angeragö fama’ala awönia, tenga fangehaogö fa’aurinia.

Perang dan permusuhan ini terjadi juga dalam keluarga. Sekarang ini, banyak keluarga Kristen yang “hancur” karena berbagai konflik yang tidak bisa ditangani dengan baik. Permusuhan dalam berbagai bentuk terjadi dalam keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga besar. Anggota keluarga saling bermusuhan, tidak bertegur sapa, bahkan saling menghujat. Bagaimana mungkin membangun persekutuan yang memuji dan memuliakan Tuhan kalau masing-masing anggota keluarga hanya mementingkan ego sendiri, mau menang sendiri, dan tidak ada yang mau mengalah untuk kebaikan bersama? Jadi, perayaan natal malam ini haruslah menjadi kesempatan bagi kita untuk belajar saling menerima, memaafkan, dan membangun kebersamaan dalam keluarga, sebab Tuhan Allah sendiri telah menyerukan dan memulai perdamaian itu.

Simanö göi alua watitisa dan fa’udusa ba gotalua zi fatalifusö, faoma la’a nawöra. Na tahaogö ta’osisi’ö, ya’ita bakha ba jemaat andre, bakha ba mbanuada andre, oi sifatalifusö; ba hadia i zasese alua? Famadöni soya ngawalö, fanahönahö tödö, fatötöisa, ba fama’ala awö. So zabu tödö na omuso dödö nawönia, so göi zomuso tödö na abu dödö nawönia. Hadia soroiyomo Lowalangi ita sa’ae na simanö?

Demikian juga di lingkungan gereja dan masyarakat. Benar bahwa ada berbagai perbedaan di antara para pelayan, termasuk perbedaan di desa kita ini. Namun, apakah dengan perbedaan itu kita harus saling membunuh? Apakah dengan perbedaan itu kita harus saling menghujat dan memfitnah? Apakah dengan perbedaan itu kita harus saling melemahkan? Apakah dengan perbedaan itu kita harus saling “unjuk gigi” dalam segala keangkuhan? Apakah kita harus mempertahankan ego dan pembenaran diri dan memaksa orang lain yang harus mengalah? Kalau itu yang terjadi, maka perang tidak bisa dihindari. Maka, tidak perlu bertanya kepada Allah mengapa semua kekacauan di dunia ini terjadi, sebab manusialah sumber masalahnya. Sejak zaman Nuh, Allah sudah memutuskan untuk tidak lagi memusnahkan bumi, namun manusia justru merusaknya karena keserakahan yang tidak terbendung. Sejak zaman Nuh, Allah menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi bumi, namun manusia justru menciptakan permusuhan, ketakutan, penderitaan, ancaman, peperangan, dan kematian yang mengerikan.

Karena itu, perayaan natal malam ini haruslah menjadi kesempatan bagi kita untuk berefleksi bahwa dalam kasih-Nya Allah menginginkan kehidupan kita yang lebih beradab, dan kita pun memiliki tanggung jawab untuk menciptkan kehidupan dimaksud, mulai dalam keluarga, lingkungan, gereja, dan masyarakat, sebab kita semua adalah keluarga Allah (soroiyomo Lowalangi).


[1] Khotbah Natal BNKP Jemaat Tuhemberua Resort 23, Minggu, 03 Januari 2016, oleh: Pdt. Alokasih Gulö, M.Si

Sunday, December 27, 2015

Allah Gantung Busur, tetapi Manusia Angkat Senjata (Kejadian 9:16)



Refleksi atas Tema Natal BNKP tahun 2015 (Kejadian 9:16)

Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]

Tema     : Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah (Fa’auri si sökhi ba fa’ogaena zi no soroiyomo Lowalangi)
Subtema : Melalui perayaan natal, marilah kita meningkatkan kebersamaan membangun persekutuan untuk memuji dan memuliakan Tuhan dalam pelayanan kepada keluarga, lingkungan gereja dan masyarakat.

Tema perayaan Natal kita tahun ini dikaitkan dengan kitab Kejadian 9:16 “Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi.” Teks ini sendiri tentunya sangat terkait dengan peristiwa air bah ketika Allah memusnahkan segala yang hidup di bumi dengan menggunakan “banjir besar”. Peristiwa air bah ini sebenarnya memberi kita suatu pelajaran betapa bumi pada mulanya musnah karena ulah manusia sendiri, yang oleh penulis kitab Kejadian membahasakannya sebagai akibat dari dosa-dosa manusia. Namun, kita juga melihat bahwa Allah memulihkan bumi ini lewat penyelamatan Nuh dan keluarganya beserta segala binatang yang diikutsertakan di dalam bahteranya. Demikian juga selanjutnya, setelah peristiwa air bah itu, Allah menegaskan perjanjiannya dengan Nuh bahwa Dia tidak akan memusnahkan bumi lagi dengan air bah seperti yang telah terjadi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan penempatan busur-Nya di awan. Pertanyaannya ialah mengapa harus dengan busur di awan? Apa pesan yang hendak disampaikan?

Sejak zaman kuno, “busur” atau yang lebih kita kenal pada zaman sekarang “pelangi”, merupakan fenomena alam yang biasanya muncul tidak lama setelah hujan. Banyak orang yang terkagum-kagum dengan keindahan warna pelangi, seringkali dijadikan sebagai media penghiburan dan penguatan bagi mereka yang dilanda suatu masalah; seringkali juga dipahami sebagai simbol perdamaian. Namun, apa sebenarnya makna busur ini dalam pemahaman kuno? Dan mengapa Allah memakainya sebagai tanda perjanjian-Nya? Apa maksudnya?

Pertama, bentuk “busur” di awan menyerupai bentuk busur prajurit perang, dan merupakan salah satu senjata yang sangat ditakuti pada zaman kuno, karena kemampuannya membunuh atau melumpuhkan musuh dari jarak jauh. 


Kedua, secara harfiah dan menurut konteksnya, kata busur dalam teks ini berlatar belakang peperangan, yaitu Allah memusnahkan “musuh-musuh-Nya” dengan air bah. Maka, busur ini sering dimaknai sebagai gambaran prajurit Allah (warrior God). Tentu, Allah memiliki segala senjata yang amat dahsyat untuk melumpuhkan bahkan memusnahkan lawan-lawan-Nya, dan Dia sudah melakukan itu melalui peristiwa air bah.

Ketiga, setelah Allah memusnahkan segala yang hidup dengan air bah karena kejahatan mereka, maka Allah kemudian “menggantung” busur-Nya itu di awan. Dalam hal ini, busur yang tadinya dianggap sebagai simbol “senjata ilahi” yang amat dahsyat itu, kini “digantung” di awan (being laid aside) dan tidak akan diambil/dipakai lagi untuk berperang, tidak akan dipakai lagi untuk membunuh, dan hal ini menunjukkan bahwa pemusnahan ilahi telah berlalu, dan kini Allah sendiri menyerukan dan memulai gencatan senjata, sebab perang atau permusuhan hanya akan membawa penderitaan dan pemusnahan yang tiada henti.[2]Kini Allah menegaskan bahwa Dia tidak lagi menyerang, tidak lagi melenyapkan atau memusnahkan bumi (Kej. 9:11), Dia tidak lagi menggunakan air bah untuk menunjukkan kekuatan-Nya yang tak terbendung itu. Allah menyerukan perdamaian, dan itulah sebabnya “pelangi” sering dipakai sebagai simbol perdamaian. Sekarang dan untuk seterusnya, umat manusia sendiri dan segala makhluk hidup, memiliki tanggung jawab atas penguasaan bumi. Karena itu, tema yang diangkat dari teks ini hendak menegaskan bahwa Allah telah memberikan “mandat” kepada manusia untuk  “berkuasa” (bnd. Kej. 1:26), tentunya kekuasaan yang bertanggung jawab, kekuasaan yang mendatangkan perdamaian.

Tahun ini, tema perayaan Natal di BNKP, bahkan di PGI, adalah “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” (Fa’auri si sökhi ba fa’ogaena zi no soroiyomo Lowalangi). Tema ini memberi penekanan pada kehidupan yang lebih baik, hidup yang harmonis, hidup yang saling menerima, hidup dalam kebersamaan, tentu sebagai keluarga Allah.

Sayang sekali, kita sedang hidup di zaman yang justru terbalik dari seruan Allah tadi. Kalau Allah “gantung senjata” sebagai tanda perdamaian, manusia justru “angkat senjata” untuk saling menaklukkan dan memusnahkan. Kalau Allah menyerukan perdamaian, manusia justru menyerukan permusuhan, dan banyak orang saling membunuh dalam berbagai bentuk, karena nafsu manusia untuk saling menguasai secara tidak bertanggung jawab.

Kita lihat misalnya, pada zaman sekarang kejahatan manusia semakin meningkat dengan berbagai modus. Kita bisa menyaksikan berbagai peristiwa perang di mana-mana, dan kita sedang hidup di era “perang”, yang oleh Paus Fransiskus mengingatkan kemungkinan terjadinya perang dunia ke-3. Perang antar suku, perang antar negara, bahkan perang atas nama agama, terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Kita bisa menyaksikan peristiwa kekerasan di berbagai tempat, penutupan rumah ibadah, hingga munculnya kelompok-kelompok radikal berwujud terorisme yang menakutkan.

Perang dan permusuhan ini terjadi juga dalam di tempat di mana kita berada. Kita mulai misalnya dalam keluarga. Sekarang ini, banyak keluarga Kristen yang “hancur” karena berbagai konflik yang tidak bisa ditangani dengan baik. Suami memusuhi isterinya, demikian sebaliknya; orangtua memusuhi anak-anaknya, demikian sebaliknya. Ada orangtua yang bersikap sopan kepada orang lain, tetapi kepada anaknya sendiri sering kasar, demikian sebaliknya. Ada suami yang merasa menyesal menikah dengan isterinya yang nampak semakin “keriput”, demikian sebaliknya. Ada ibu-ibu yang lebih duluan upload foto anaknya yang sakit di sosial media dan tidak berusaha mencari obat seperti dilakukan oleh ibu-ibu pada masa lalu. Ada anak-anak yang menganggap orangtuanya terlalu kolot, terlalu membatasi, dlsbg. Ada bapak-bapak gaul, ibu-ibu gaul, bahkan kakek-nenek gaul. Anggota keluarga saling bermusuhan, tidak bertegur sapa, bahkan saling menghujat. Bagaimana mungkin membangun persekutuan yang memuji dan memuliakan Tuhan kalau masing-masing anggota keluarga hanya mementingkan ego sendiri, mau menang sendiri, dan tidak ada yang mau mengalah untuk kebaikan bersama? Jadi, natal seharusnya menjadi kesempatan bagi kita untuk belajar saling menerima, memaafkan, dan membangun kebersamaan dalam keluarga, sebab Tuhan Allah sendiri telah menyerukan dan memulai perdamaian itu.

Demikian juga di lingkungan gereja dan masyarakat. Benar bahwa ada berbagai perbedaan di antara personalia komisi-komisi, termasuk perbedaan di antara para pelayan (BPMJ dan Majelis Jemaat). Benar bahwa ada berbagai perbedaan kita di dalam masyarakat, termasuk perbedaan kepentingan politik. Namun, apakah dengan perbedaan itu kita harus “saling membunuh”? Apakah dengan perbedaan itu kita harus saling menghujat dan memfitnah? Apakah dengan perbedaan itu kita harus saling melemahkan? Apakah dengan perbedaan itu kita harus saling “unjuk gigi” dalam segala keangkuhan? Apakah kita harus mempertahankan ego dan pembenaran diri dan memaksa orang lain yang harus mengalah? Kalau itu yang terjadi, maka perang tidak bisa dihindari. Maka, natal seharusnya menjadi kesempatan bagi kita semua untuk hidup dalam perdamaian, hidup dalam keharmonisan di lingkungan gereja dan masyarakat.

Kembali ke teks tema natal kita: “Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi.” Allah berkenan “gantung busur” demi terciptanya perdamaian dan keharmonisan di bumi ini, bagaimana mungkin kita justru “angkat senjata” untuk saling memusnahkan? Seharusnya, dan itulah makna natal, kita memegang mandat dari Allah untuk berkuasa, berkuasa mendatangkan perdamaian, keharmonisan dan kebersamaan di bumi ini, sebab kita semua adalah keluarga Allah (soroiyomo Lowalangi).


[1] Khotbah Natal Bersama Komisi-Komisi BNKP Jemaat Sihare’ö Resort 26, Minggu, 27 Desember 2015, oleh: Pdt. Alokasih Gulö, M.Si
[2] Ingat misalnya istilah dalam dunia sepakbola, kalau ada pemain yang pensiun maka dipakai istilah “gantung sepatu”, artinya berhenti bermain bola.

Allah Memperhitungkan Iman sebagai Kebenaran (Roma 4:18-25)

Rancangan khotbah Minggu, 25 Februari 2024 Disiapkan oleh: Pdt. Alokasih Gulo 18 Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Ab...