Bahan Khotbah Natal (bongi ni'amoni'ö), Jumat, 25 Desember 2015
Oleh: Pdt. Alokasih Gulo, M.Si[1]
Tema : Fa’auri si sökhi ba fa’ogaena zi no soroiyomo Lowalangi (fahela 1 Moze 9:16) Hidup Bersama sebagai keluarga Allah
13:16 Maka bangkitlah Paulus. Ia memberi isyarat dengan tangannya, lalu berkata: “Hai orang-orang Israel dan kamu yang takut akan Allah, dengarkanlah!
13:17 Allah umat Israel ini telah memilih nenek moyang kita dan membuat umat itu menjadi besar, ketika mereka tinggal di Mesir sebagai orang asing. Dengan tangan-Nya yang luhur Ia telah memimpin mereka keluar dari negeri itu.
13:18 Empat puluh tahun lamanya Ia sabar terhadap tingkah laku mereka di padang gurun.
13:19 Dan setelah membinasakan tujuh bangsa di tanah Kanaan, Ia membagi-bagikan tanah itu kepada mereka untuk menjadi warisan mereka
13:20 selama kira-kira empat ratus lima puluh tahun. Sesudah itu Ia memberikan mereka hakim-hakim sampai pada zaman nabi Samuel.
13:21 Kemudian mereka meminta seorang raja dan Allah memberikan kepada mereka Saul bin Kish dari suku Benyamin, empat puluh tahun lamanya.
13:22 Setelah Saul disingkirkan, Allah mengangkat Daud menjadi raja mereka. Tentang Daud Allah telah menyatakan: Aku telah mendapat Daud bin Isai, seorang yang berkenan di hati-Ku dan yang melakukan segala kehendak-Ku.
13:23 Dan dari keturunannyalah, sesuai dengan yang telah dijanjikan-Nya, Allah telah membangkitkan Juruselamat bagi orang Israel, yaitu Yesus.
13:24 Menjelang kedatangan-Nya Yohanes telah menyerukan kepada seluruh bangsa Israel supaya mereka bertobat dan memberi diri dibaptis.
13:25 Dan ketika Yohanes hampir selesai menunaikan tugasnya, ia berkata: Aku bukanlah Dia yang kamu sangka, tetapi Ia akan datang kemudian dari padaku. Membuka kasut dari kaki-Nyapun aku tidak layak.
13:26 Hai saudara-saudaraku, baik yang termasuk keturunan Abraham, maupun yang takut akan Allah, kabar keselamatan itu sudah disampaikan kepada kita.
Pidato Paulus dalam teks ini muncul sebagai responnya atas permintaan para pejabat rumah ibadat (sinagoge) Yahudi di Antiokhia: “... Saudara-saudara, jikalau saudara-saudara ada pesan untuk membangun dan menghibur umat ini, silakanlah!” (Kis. 13:15b). Pada pasal/ayat sebelumnya pun dapat dibaca dengan jelas bahwa pidato Paulus ini merupakan bagian dari perjalanan misionernya kepada bangsa-bangsa lain (lih. 13:13). Dengan demikian, para pendengar Paulus pada waktu itu adalah orang-orang Israel (Yahudi) dan orang-orang yang takut akan Allah (sebutan untuk orang-orang non-Israel/Yahudi).
Allah Berkenan Meninggikan Umat-Nya (ay. 16-20a)
Berhadapan dengan para pendengar Israel/Yahudi (dan tentu didengar pula oleh orang-orang non-Yahudi yang ada di situ), Paulus menyampaikan pengakuan dan penegasan akan status bangsa Israel tersebut sebagai bangsa pilihan Allah sejak zaman nenek moyang mereka. Dalam perjalanannya, mereka menjadi bangsa yang besar, menjadi orang asing (budak) di Mesir, keluar/bebas dari Mesir, dan akhirnya memiliki tanah Kanaan (tanah perjanjian) sebagai warisan mereka. Sepintas kisah ini memberi rasa bangga (istimewa) tersendiri bagi bangsa Israel, namun sesungguhnya Paulus memberi penegasan bahwa status “istimewa” itu merupakan janji yang dianugerahkan Allah sejak zaman nenek moyang mereka, bukan karena “kehebatan” bangsa itu. Dengan sangat jelas, Paulus memberi penekanan pada kedaulatan dan kebebasan Allah dalam pemilihan, pembebasan, pembimbingan dan pemberian warisan tersebut. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa dalam kedaulatan dan kebebasan yang dimiliki-Nya, Allah telah berkenan meninggikan bangsa Israel.
Saat ini pun Allah berkenan meninggikan umat-Nya, karena Allah memang memiliki kedaulatan dan kebebasan yang tidak bisa diintervensi oleh si-apa pun. Demikian juga sebaliknya, Allah memiliki kedaulatan dan kebebasan penuh untuk menurunkan mereka yang menganggap diri tinggi. Ingatlah misalnya nyanyian pujian Maria: “Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari takhtanya, dan meninggikan orang-orang yang rendah” (Luk. 1:52). Manusia boleh saja berusaha mengatur sejarah kehidupannya (dan orang lain atau dunia), boleh saja membawa orang lain menurut kehendak hatinya, bahkan boleh saja memperlakukan sesamanya menurut kebutuhan kekuasaannya seperti yang pernah dilakukan oleh Firaun kepada bangsa Israel, namun tangan kuasa Tuhan yang sangat kuatlah yang pada akhirnya membimbing dan menentukan kehidupan umat-Nya, direndahkan (seperti Firaun) atau sebaliknya ditinggikan seperti bangsa Israel.
Keselamatan itu Sudah Sampai kepada Kita (ay. 20b-26)
Secara perlahan tetapi pasti, Paulus menggiring dan mengarahkan pendengarnya kepada pesan utama dari pidatonya ini. Dalam sejarahnya, demikian ulasan singkat Paulus, bangsa Israel pernah dipimpin oleh para hakim, nabi Samuel, dan raja pertama Saul, namun tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat memenuhi rencana besar Allah, baik bagi bangsa Israel maupun bagi bangsa-bangsa lain di dunia. Akhirnya, Allah dalam kedaulatan dan kebebasan-Nya mengangkat seorang raja Israel yang berkenan di hati-Nya dan melakukan segala kehendak-Nya, yaitu raja Daud (ay. 22). Kata-kata Paulus ini dapat menolong pendengarnya dari kelompok non-Yahudi untuk memahami sedikit latar belakang sejarah bangsa Israel, terutama dalam kaitannya dengan “asal-usul lahiriah” Yesus yang merupakan inti pesan Paulus dalam pidatonya ini. Paulus pun merasa tidak perlu menguraikan secara rinci dan panjang lebar sejarah ini, dia malah menarik hubungan langsung raja Daud dengan Yesus. Melalui ulasan ringkas dan langsung ini Paulus hendak memperlihatkan kepada semua pendengarnya bahwa Allah telah lama merencanakan keselamatan bagi bangsa Israel (dan bangsa-bangsa lain). Rencana besar itu telah mengalami proses yang sangat panjang, bahkan “membutuhkan” persiapan yang matang, dan itulah maksud dari kedatangan dan pemberitaan Yohanes, menunjuk kepada Mesias yang sesungguhnya (ay. 24-25). Kini keselamatan itu telah disampaikan (digenapi) di dalam Yesus, dan Paulus menegaskan hal ini di ayat 26b: “kabar keselamatan itu sudah disampaikan kepada kita”.
Pertanyaannya ialah apakah kabar keselamatan itu memang sudah sampai kepada kita semua? Kabar keselamatan seperti apa? Atau malah akhir-akhir ini kabar itu semakin tidak terdengar, tidak terlihat? Mengapa tidak terdengar? Mengapa tidak terlihat?
Tema natal kita tahun ini adalah “Hidup Bersama sebagai Keluarga Allah” (bnd. Kej. 9:16), “Fa’auri si sökhi ba fa’ogaena zi no soroiyomo Lowalangi” (fahela 1 Moze 9:16). Orang dapat hidup bersama dalam keluarga bahkan di mana saja kalau berita keselamatan itu memang telah sampai kepada kita masing-masing, telah kita alami, telah kita rasakan! Kita dapat hidup bersama sebagai keluarga Allah kalau masing-masing memang dapat mencerminkan kehidupan anak-anak Allah. Keselamatan itu sudah sampai kepada kita, itulah berita natal yang sesungguhnya.
Sejenak mari kita melihat teks tema natal kita tahun ini, Kejadian 9:16 “Jika busur itu ada di awan, maka Aku akan melihatnya, sehingga Aku mengingat perjanjian-Ku yang kekal antara Allah dan segala makhluk yang hidup, segala makhluk yang ada di bumi.” Penempatan busur di awan yang menutupi bumi menggambarkan “jarak” antara Allah dan bumi sekaligus menggambarkan kesediaan Allah untuk berbagi kekuasaan atas bumi dengan mereka yang hidup di bumi tersebut. Apa artinya? Dengan menunjukkan senjata-Nya yang amat dahsyat itu (dengan simbol busur, bnd. busur perang), Allah hendak menegaskan bahwa Dia tidak lagi menyerang, melenyapkan atau memusnahkan bumi (Kej. 9:11), Dia tidak lagi menggunakan air bah untuk menunjukkan kekuatan-Nya yang tak terbendung itu. Sekarang dan untuk seterusnya, umat manusia sendiri dan segala makhluk hidup, yang bertanggung jawab atas penguasaan bumi.
Karena itu, tema yang diangkat dari teks ini hendak menegaskan tanggung jawab kita untuk “hidup bersama sebagai keluarga Allah” dengan penekanan pada: (1) keterikatan (pertalian); (2) hidup berbagi; dan (3) kebersamaan. Itulah bentuk penguasaan bumi yang bertanggung jawab, dan Allah telah “memberikan/membagi” kekuasaan itu bagi kita.
No comments:
Post a Comment
Apa yang ada di pikiranmu?